• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Kekeluargaan Pada Pengelolaan Rumah Makan Tipe Sederhana (Studi Deskriptif Rumah Makan Minang di Daerah Kota Matsum IV Kec. Medan Area)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sistem Kekeluargaan Pada Pengelolaan Rumah Makan Tipe Sederhana (Studi Deskriptif Rumah Makan Minang di Daerah Kota Matsum IV Kec. Medan Area)"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

SI ST EM K EK ELU ARGAAN PADA

PEN GELOLAAN

RU M AH M AK AN T I PE SEDERH AN A

(St udi De sk ript if Rum a h M a k a n M ina ng di Da e ra h K ot a M a t sum I V K e c . M e da n Are a )

DI AJ U K AN OLEH :

SY AFRI N I RAH M AH

0 4 0 9 0 1 0 1 3

SOSI OLOGI

Guna M e m e nuhi Sa la h Sa t u Sya ra t M e m pe role h Ge la r Sa rja na

FAK U LT AS I LM U SOSI AL DAN I LMU POLI T I K

U N I V ERSI T AS SU M AT ERA U T ARA

(2)

ABSTRAKSI

Rumah Makan Minang atau “Lapau” berawal dari ditinggalkannya sektor pertanian dan kemudian beralih ke sektor perdagangan. “Lapau” dahulu merupakan usaha keluarga yang menjadi pekerjaan sampingan suami istri, namun dengan perkembangan zaman maka ada pula yang merekrut pekerja. Tradisi yang biasanya dimiliki masyarakat Minang yaitu “saling mengangkat” dalam arti mereka yang mapan membantu keluarga dari kampung untuk dipekerjakan. Soal rasa masakan yang tetap mempertahankan kekhasannya, faktor itulah yang membuat rumah makan Minang tetap terus berkembang di tengah beragam jajanan impor dan lokal serta restoran-restoran modern yang berjajar di mal-mal.

Jenis penelitian adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi deskriptif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari apa yang telah diamati. Sedangkan Studi deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah yang diteliti tanpa mempersoalkan hubungan antar variabel. Lokasi penelitian berada di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area dengan unit analisis adalah para pemilik dan para pekerja rumah makan Minang.

(3)

DAFTAR ISI

Teori Wong : Familisme dan Kewiraswastaan ………. 11

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1. Sejarah Kelurahan Kota Matsum IV ……… 20

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah 4.1.2.1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis ……... 21

4.1.2.2. Batas-Batas Wilayah ………. 21

4.1.2.3. Luas Wilayah ………. 21

(4)

4.1.5. Sejarah Kedatangan Masyarakat Minangkabau Kota Medan 30 4.1.6. Kebudayaan Minangkabau ……….. 33 4.1.7. Sistem Kekerabatan ………. 36 4.2. Interpretasi Data

4.2.1. Sejarah Munculnya Rumah Makan Minang ……… 37 4.2.2. Sistem Kekeluargaan Pada Pengelolaan Rumah Makan 38 4.2.2.1. Hubungan Kerja ……… 44 4.2.2.2. Alih Usaha ……… 51 4.2.2.3. Pemasaran ………. 54 4.2.3. Pembagian Keuntungan / Sistem Pengupahan …… 56 4.2.4. Perekrutan Tenaga Kerja ………. 58 BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan ……… 65 5.2. Saran ……….. 67 DAFTAR PUSTAKA

(5)

ABSTRAKSI

Rumah Makan Minang atau “Lapau” berawal dari ditinggalkannya sektor pertanian dan kemudian beralih ke sektor perdagangan. “Lapau” dahulu merupakan usaha keluarga yang menjadi pekerjaan sampingan suami istri, namun dengan perkembangan zaman maka ada pula yang merekrut pekerja. Tradisi yang biasanya dimiliki masyarakat Minang yaitu “saling mengangkat” dalam arti mereka yang mapan membantu keluarga dari kampung untuk dipekerjakan. Soal rasa masakan yang tetap mempertahankan kekhasannya, faktor itulah yang membuat rumah makan Minang tetap terus berkembang di tengah beragam jajanan impor dan lokal serta restoran-restoran modern yang berjajar di mal-mal.

Jenis penelitian adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi deskriptif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari apa yang telah diamati. Sedangkan Studi deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah yang diteliti tanpa mempersoalkan hubungan antar variabel. Lokasi penelitian berada di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area dengan unit analisis adalah para pemilik dan para pekerja rumah makan Minang.

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan dari berbagai bangsa untuk diteliti. Hal ini disebabkan karena Minangkabau dinilai mempunyai adat istiadat dan budaya yang istimewa dari pada suku bangsa Indonesia lainnya. Perbedaannya karena sistem kekerabatan yang menurut garis ibu atau matrilineal dan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat, pada dasarnya diatur oleh adat istiadat dan kebiasaan dengan sistem hubungan keluarga bilateral atau seasal.

Parsudi Suparlan (1982) menyatakan, sistem kekerabatan adalah serangkaian aturan-aturan yang mengatur penggolongan orang-orang yang sekerabat yang melibatkan adanya berbagai tingkat, hak dan kewajiban orang-orang yang sekerabat, yang membedakannya dengan orang-orang yang tergolong tidak sekerabat .

(7)

mengembangkan suatu usaha yang dikelola oleh keluarga (http://www.Cimbuak.net/ content/view/494/5/cimbuak_net Minangkabau Community Portal, 30/04/2008).

Suku Minangkabau adalah suatu suku yang dikenal di Indonesia karena penduduknya yang taat beragama Islam, suka berdagang dan merantau, tiga ciri tersebut merupakan pembentuk keutuhan identitas orang Minang. Terlepas dari semua keunikan di atas, suku bangsa Minangkabau memang terkenal dengan tradisi merantaunya. Merantau dalam pengertian disini adalah meninggalkan kampung halaman mereka dan menetap di tempat lain yang dianggap dapat memberikan kehidupan yang layak (Amir, 1982 : 219).

Biasanya dalam periode di negeri orang inilah orang Minang yang merantau mulai mencari suatu bidang untuk dapat menghidupi dirinya. Bidang usaha yang ditekuni suku Minangkabau adalah berjualan makanan. Ini terlihat dari berdirinya “warung-warung padang” mulai dari restoran sampai pedagang nasi pinggir jalan.

Pepatah bijak mengatakan “Dimana bumi di pijak disana langit di junjung”. Karena kemampuannya menjalin tali silaturahmi maka orang minang diterima di seantero nusantara. Dimanapun kita berada, selalu ditemukan orang minang, dan dimanapun orang minang berada, disana selalu ada masakan Padang

(8)

mereka yang hanya memiliki ijazah sekolah dasar cenderung memilih okupasi buruh dan pedagang (Pelly, 1984: 47-48).

Rumah makan merupakan salah satu mata pencaharian orang Minang baik di kampung maupun di rantau. Dalam pendirian dan aktivitas di rumah makan, terdapat berbagai kesepakatan-kesepakatan yang dibicarakan secara bersama-sama antara pemilik dan karyawan.

Asal usul rumah makan sebagai salah satu mata pencaharian terbesar dari orang Minangkabau berawal dari ditinggalkannya sektor pertanian dengan kesadaran bahwa dengan bertani tidak akan menjadi kaya, sehingga mereka biasanya akan lari ke sektor perdagangan seperti tekstil, kelontong dan rumah makan

Lapau atau rumah makan juga merupakan bentuk usaha keluarga yang biasanya menjadi pekerjaan sampingan dari suami dan istri. Dengan demikian usaha rumah makan dikelola oleh keluarga sendiri. Tetapi dengan perkembangan ekonomi banyak juga yang merekrut karyawan dengan sistem upah yang berbeda-beda sesuai dengan ketentuan dari masing-masing pemilik rumah makan. Pada rumah makan minang biasanya bermula dari sebuah bisnis keluarga yang melibatkan sebagian anggota keluarga di dalam kepemilikan dan operasionalnya (Rudito,1991:46).

Perbedaan yang dapat dilihat dari bisnis yang menggunakan nilai-nilai kekeluargaan pada bisnis orang Minang dengan bisnis yang menggunakan nilai-nilai kekeluargaan modern pada bisnis orang Cina adalah sebagai berikut :

(9)

1. Etika-etika ekonomi orang Minangkabau berhubungan dengan sistem kekeluargaan, dalam kaitannya dengan proses sosial dan realitas ekonomi politik dan perubahan sosial yang lebih mencakupinya;

2. Kenyataan bahwa sebagian besar orang Minangkabau masih mendukung ekonomi keluarga menurut garis keturunan ibu (matrilineal), terutama saudara perempuan dan anak dari saudara perempuan yang memacu mereka untuk melakukan akumulasi ekonomi;

3. Etika ekonomi orang Minang lebih bersifat kompetitif; memiliki orientasi pada kemajuan yang lebih terarah pada keberhasilan ekonomi dan mobilitas yang lebih tinggi; dan menempatkan dirinya secara berbeda ke tahap yang lebih tinggi dalam usaha dagang kecil dan kegiatan kewirausahaan lainnya; 4. Di kalangan orang Minangkabau, para wanita sangat didukung untuk

kepemilikan dan pewarisan rumah, juga dalam mengelola sumber-sumber rumah tangga, dan mereka memainkan peran penting dalam kegiatan jual beli. Dalam konteks ini biasanya mereka terlibat dalam perdagangan kecil, pengelolaan kedai-kedai nasi atau rumah makan kecil dan sebagainya (Hefner, 1999 : 262-276) .

Sedangkan nilai-nilai kekeluargaan yang ada pada bisnis orang Cina dicirikan sebagai berikut;

1. Keluarga Cina dan perusahaan keluarga memiliki jaringan legendaris yang menjelajahi Asia Tenggara, yang saling menjalin berbagai perekonomian dengan garis keturunan atau sesuku (clan) tempat mereka saling dukung segala bentuk perusahaan keluarga dengan tingkat kewirausahaan yang tinggi;

2. Rumah tangga Cina terlibat dalam pembaruan dan penciptaan kembali (Patriakalisme) berbasiskan keluarga, dimana tuntutan keluarga perusahaan atas tenaga kerja dan upah anak yang dipekerjakan, terutama anak wanita; 3. Keluarga Cina lebih siap menghimpun pendapatan untuk memenuhi

keperluan keluarga, tunduk kepada otoritas keluarga, dan menyumbang banyak jam kerja tanpa bayaran kepada perusahaan keluarga yang dipandang sebagai perusahaan rumah tangga bersama;

4. Sistem kekeluargaan dan hubungan sosial Cina disusupi oleh ambivalensi yang dicirikan oleh dinamika pembangunan yang tidak hanya kondusif dengan realisasi ambivalensi yang merusak kemungkinan dapat bertahannya bisnis keluarga yang berjangka panjang. (Hefner, 1999:180-260)

(10)

Bisnis keluarga mempunyai karakteristik dengan kepemilikan atau keterlibatan antara dua orang atau lebih anggota keluarga yang sama dalam kehidupan dan fungsi bisnisnya. Kebanyakan bisnis keluarga berukuran kecil dikarenakan adanya pertimbangan keluarga menjadi hal yang penting (Longenecker, 2001: 34-36).

Keluarga dan bisnis muncul dengan alasan mendasar yang berbeda. Keluarga bertujuan untuk mengembangkan kesempatan dan penghargaan yang sama terhadap anggotanya, sedangkan tujuan bisnis adalah mencari keuntungan dan ketahanan hidup Banyak keuntungan yang berhubungan dengan keterlibatan keluarga diantaranya mereka akan terikat erat pada bisnis dalam keadaan susah dan senang, mereka juga terkadang dapat mengorbankan penghasilan demi berjalannya bisnis. Tetapi penurunan keuntungan bisnis bisa mengakibatkan karyawan yang bukan anggota keluarga mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Para karyawan yang bukan anggota keluarga masih dipengaruhi oleh pertimbangan keluarga.

Rumah makan kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Dari situ terlihat mengenai sifat kewiraswastaan masyarakat Minang dengan kemungkinan mobilitas mereka, meskipun pada kenyataannya di kota-kota besar, tidak selamanya rumah makan Minang itu dimiliki atau pemiliknya adalah orang Minang sendiri (http:malindo23.blogspot.com/2008/01/rumahmakan Minangkabau.html,25/02/2008).

(11)

anggota keluarga sangat dekat sekali, jadi sistem kekeluargaan atau kekerabatan memegang peranan penting dalam kesempatan kerja.

Pada rumah makan Minangkabau tercermin sistem ekonomi pancasila yang memiliki sifat kerjasama antara semua pihak, dimana tindakan ditujukan bagi kepentingan umum. Sistem Ekonomi Pancasila digambarkan sebagai suatu sistem yang khas Indonesia karena berasaskan pada sistem kekeluargaan (http://www.kompas.com/kompas.cetak/0305/latar/331202.htm>,.

Segi Positif dari rumah makan Minang yang melahirkan sistem kekeluargaan dalam suatu bisnis adalah sebagai berikut;

1. Sifat komunal dari orang Minangkabau merupakan faktor yang dapat mendukung usaha kegiatan di perantauan. Dimana mereka dapat saling membantu baik dalam kehidupan sosial maupun kegiatan permodalan yang terjadi pada para perantau di perkotaan;

2. Selain bersifat komunal yang dapat memajukan kegiatan usaha orang Minang, biasanya faktor lain yaitu adanya sifat keuletan dan agresifitas mereka dalam bekerja sama dalam suatu bisnis keluarga;

3. Suku Minang berkaitan erat dengan tradisi “Saling Mengangkat” dalam arti mereka yang telah mapan di perantuan akan membiayai keluarga mereka yang merantau untuk mengajak keluarga mereka mengikuti jejak mereka dan dengan bantuan dana maupun modal untuk hidup mandiri;

4. Banyak kegiatan bisnis dilakukan tanpa didukung oleh jaminan surat perjanjian, kontrak hukum dan bahkan secarik kertas karena mereka melakukan dengan rasa saling percaya, karena mereka merasa dari kampung halaman yang sama dan memiliki dialek bahasa yang sama;

5. Kebiasaan saling mengangkat berakar dari persepsi atau pandangan yang dibentuk oleh adat. Persepsi tentang keluarga sebagai suatu satuan yang tidak bisa dipisahkan karena anggota keluarga berkewajiban untuk saling bantu, bahkan tidak hanya dalam lingkungan keluarga besar (extended family), namun meluas sampai ikatan suku, sekampung halaman, atau sesama orang minang. Kebiasaan saling mengangkat berakar juga pada sistem nilai matrilineal dari orang minangkabau, dan biasanya terdapat pada usaha rumah makan minang yang biasanya membutuhkan tenaga kerja dari orang sekampung maupun dari kenalan-kenalan dekat;

(12)

Sedangkan Segi Negatif dari rumah makan Minang yang melahirkan sistem kekeluargaan dalam suatu bisnis adalah sebagai berikut;

1. Dengan adanya bisnis keluarga yang pekerjanya berasal dari anggota keluarga sendiri bisa menimbulkan terjadinya percekcokan antar keluarga yang menjalankan suatu usaha atau bisnis yang bisa mengganggu hubungan kekerabatan yang ada;

2. Orang Minang tidak seperti Cina yang memperluas jaringan sosialnya dengan membuat kelompok usaha dan pusat finansial yang meluas hingga mendunia; 3. Usaha etnis Minang cenderung tidak mau melakukan upaya kapitalis yang

tidak seperti Cina yang berusaha mencari laba sebesar-besarnya dengan meminta dukungan dari birokrasi pemerintahan;

4. Jaringan bisnis yang dimiliki orang Minang tidak seluas seperti Cina yang memiliki ikatan primordial yang kuat, karena jaringannya sangat sederhana yaitu antara orangtua dan anak atau hubungan dalam kekerabatan, karena jaringan bisnisnya memiliki komando yang didasarkan pada senioritas usia

Ideologi kekeluargaan yang menekankan kesetaraan diantara para anggota garis keturunan dan suku yang merintangi realisasi ketidaksetaraan kultural yang ditimbulkan oleh meningkatnya ketergantungan pada tanaman cepat yang menghasilkan uang dan integrasi yang lebih luas jangkauannya dalam ekonomi dunia.

Etika-etika ekonomi orang Minangkabau berhubungan dengan sistem kekeluargaan, dalam kaitannya dengan proses sosial dan realitas ekonomi politik dan perubahan sosial yang lebih mencakupinya. Kenyataan bahwa sebagian besar orang Minangkabau masih mendukung ekonomi keluarga menurut garis keturunan ibu, terutama saudara perempuan dan anak dari saudara perempuan yang memacu mereka untuk melakukan akumulasi ekonomi (Robert, 1999 : 273-276) .

(13)

masih dapat dirasakan pada prinsip kebersamaan dengan sistem kekeluargaan itu masih berjalan. Sejauh mana sebenarnya karakteristik sistem kekeluargaan mempengaruhi pengelolaan rumah makan minang. Serta bagaimana sebenarnya sistem perekrutan dan pengupahan yang ada pada rumah makan Minangkabau.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi perumusan masalah dari penelitian ini adalah : Bagaimanakah karakteristik sistem kekeluargaan pada pengelolaan rumah makan minang tipe sederhana ?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik sistem kekeluargaan pada pengelolaan rumah makan minang sederhana.

2. Untuk mengetahui bagaimana sistem pengupahan secara kekeluargaan pada pengelolaan rumah makan minang sederhana.

(14)

1.4.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan rumah makan minang dengan sistem kekeluargaan yang ditujukan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa sosiologi, masyarakat maupun wirausahawan.

2. Manfaat Praktis

(15)

1.5.Defenisi Konsep

Untuk memperjelas maksud dan pengertian tentang konsep yang digunakan dalam tulisan ini, maka dibuat batasan konsep yang dipakai sebagai berikut :

1. Sistem Kekeluargaan / Familisme

Adalah segala sesuatu yang dilakukan bersama-sama untuk kepentingan yang ditujukan kepada keluarga. Dengan kata lain, pertimbangan kepentingan keluarga pada kepentingan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.

2. Pengelolaan

Adalah segala sesuatu hal yang bertujuan untuk mengurus suatu usaha atau , perusahaan maupun organisasi.

3. Rumah Makan Minang

Adalah sebagai suatu usaha rumah makan yang khusus menyajikan masakan Padang dan dikelola / dimiliki oleh Orang Padang atau Urang Awak.

4. Upah

Adalah uang yang biasanya dibayarkan sebagai pembalas jasa atau bayaran dari tenaga yang sudah dipakai.

5. Pekerja

Adalah seseorang yang bekerja di sebuah tempat usaha baik itu di rumah makan, di pabrik, maupun badan usaha lainnya dan menawarkan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk menyediakan barang dan jasa.

6. Pemilik

(16)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Teori Wong : Familisme dan Kewiraswastaan

Sistem Kekeluargaan atau Family System secara umum memiliki pengertian bahwa segala sesuatu itu dilakukan untuk kepentingan yang ditujukan kepada keluarga. Dengan kata lain, pertimbangan kepentingan keluarga lebih utama dari pada kepentingan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.

Keluarga disini memiliki dua pengertian yaitu dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Keluarga dalam arti sempit, berarti keluarga inti (Nuclear Family), sedangkan dalam arti luas, berarti Extended Family. Peranan Extended Family berfungsi sebagai social control terhadap nilai-nilai yang dijalankan oleh keluarga inti. Keluarga inti atau pelaku yang bersangkutan akan malu dan terpencil apabila melanggar nilai-nilai familisme (Hariyono, 1993:78-79).

Tempat seorang individu tidak begitu penting, dibandingkan dengan kepentingan keluarga atau clannya. Keluarga besar atau clan merupakan struktur dasar sosial. Kewajiban seseorang bukan langsung untuk dirinya sendiri, akan tetapi hanya diperuntukkan bagi keluarga besar. Demikian asas Familisme mengajarkan.

(17)

Teori Modernisasi Klasik menyatakan bahwa pranata famili di Cina sebagai kekuatan dahsyat tradisional yang menimbulkan nepotisme, merendahkan disiplin kerja, menghalangi proses seleksi tenaga kerja di pasar bebas, mengurangi insentif individual untuk investasi, menghalangi timbulnya proses berpikir rasional dan merintangi timbulnya norma-norma bisnis universal.

Berdasarkan penelitiannya mengenai bisnis Cina di Hongkong dan Asia Tenggara, Wong Siu-Lun (1985) mengembangkan sebuah model teoritis perusahaan Cina yang memasukkan dinamika-dinamika kelembagaan sistem kekeluargaan patrilineal.

Wong kemudian menjelajahi dan menguji secara tekun pengaruh pranata keluarga terhadap organisasi internal dari berbagai badan usaha milik etnis Cina di Hongkong, khususnya melalui ideologi dan praktek manajemen paternalistik, tenaga kerja keluarga, dan pemilikan keluarga. Wong hendak menunjukkan bahwa pranata keluarga memiliki efek positif terhadap pembangunan ekonomi berikut ini.

Pertama, Wong menunjukkan adanya praktek manajemen paternalistik di banyak badan usaha di Hongkong. Wong menunjukkan bahwa metafora pranata keluarga telah cukup memberikan alasan untuk absahnya hubungan patron-klien antara pekerja dan pemilik usaha. Secara ekonomis, hubungan paternalisme yang penuh kebajikan ini telah membantu usahawan untuk menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang ada dalam industri yang sangat fluktuatif.

(18)

kekeluargaan pada umumnya hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan yang menganut nepotisme. Pada perusahaan kecil, anggota utama keluarga dan sanak keluarga yang lain berfungsi sebagai tenaga kerja murah dan cakap. Bahkan tenaga kerja keluarga ini diharapkan untuk bekerja dengan keras tetapi dengan upah yang lebih rendah.

Ketiga, adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha etnis Cina di Hongkong. Jika terjadi perselisihan keluarga, bentuk akhir yang dipilihnya lebih cenderung pada pembagian keuntungan dibandingkan dengan perpecahan fisik antar hubungan keluarga. Wong mengatakan bahwa satu kepercayaan antara anggota keluarga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditemukan diantara rekanan usaha mereka yang tidak kenal secara baik satu sama lain.

Trust disepadankan dengan istilah kepercayaan, didefenisikan oleh Fukuyama (1995), sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh anggota-anggota komunitas itu.

(19)

Banyak kegiatan bisnis dilakukan tanpa didukung oleh jaminan surat-surat perjanjian, kontrak hukum atau bahkan secarik kertas. Mereka melakukannya berdasarnya rasa saling percaya, karena mereka berasal dari kampung halaman yang sama, berbahasa yang sama, atau berdialek yang sama, memiliki norma keluarga yang sama, atau dari keturunan yang sama. Pada kelompok etnik minangkabau terdapat persatuan yang tersembunyi yang dikuatkan oleh kepercayaan bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama dalam lingkungan keluarga.

Para ahli yang mempelajari organisasi bisnis Cina menekankan pentingnya etika keluarga-sentris dan peranannya dalam mempermudah kegiatan ekonomi. Wong Siu-Lun dalam penelitiannya tentang keluarga dan bisnis Hongkong yaitu tentang pemanfaatan sumber daya manusia dan material, untuk mencapai “kemajuan bersama” keluarga (Siu-Lun, 1991 : 21).

Kemajuan keluarga adalah sasaran mendesak dari sebagian besar keluarga mengabdikan diri mereka pada tujuan tersebut. Akibatnya, keluarga-keluarga menghargai penciptaan kekayaan karena hal itu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kemajuan keluarga.

(20)

Menurut Wong, ada tiga karakteristik pokok dari etos usaha keluarga yaitu sebagai berikut :

• Pertama, konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan.

• Kedua, otonomi dihargai sangat tinggi dan bekerja secara mandiri lebih disukai. Pekerja akan lebih mendasarkan diri pada bentuk hubungan kerja yang paternalistik.

• Ketiga, usaha keluarga jarang berjangka panjang, dan selalu ajeg berada dalam posisi tidak stabil. Disamping itu, bentuk badan usaha keluarga yang demikian akan jarang terlibat dalam usaha-usaha kolusi, karena adanya penghargaan yang tinggi dan penjagaan yang ketat pada sifat otonomi.

(21)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang ada pada proposal ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan Kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari apa yang telah diamati (Faisal, 1995 : 22).

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti tanpa mempersoalkan hubungan antar variabel.

Penelitian deskriptif dipilih karena penelitian ini hanya terbatas pada usaha untuk mengungkapkan suatu permasalahan, keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar mengungkapkan fakta yang terjadi dalam proses sosialisasi.

3.2 Lokasi Penelitian

(22)

suku minangkabau. Sebagian dari suku bangsa Minangkabau tersebut menetap dan membuka usaha rumah makan minang di daerah kecamatan Medan Area tersebut.

3.3. Unit Analisa dan Informan

• Unit Analisa

Adapun yang menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah pemilik rumah makan , serta para karyawan dari rumah makan tersebut.

• Informan

Mengingat jumlah unit analisa cukup banyak, maka data yang diambil beberapa dijadikan sebagai sumber informan. Dalam penelitian ini, terdapat dua jenis informan yaitu informan utama dan informan tambahan.

1. Informan utama adalah seseorang yang terlibat langsung dalam kegiatan yang diteliti. Yang menjadi informan utama adalah pemilik rumah makan sederhana.

2. Informan biasa adalah seseorang yang dapat memberi informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang diteliti. Yang menjadi informan tambahan adalah karyawan rumah makan sederhana.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

(23)

a. Data Primer

• Observasi partisipatif adalah peneliti ikut dalam proses pengambilan data, dan peneliti mengadakan pengamatan secara langsung.

• Wawancara mendalam adalah wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada orang yang menjadi objek penelitian atau informan secara langsung. Agar wawancara terarah maka digunakan pedoman wawancara (interview guide).

b. Data Sekunder

• Studi Kepustakaan adalah suatu sumber yang diambil berupa buku referensi yang memperkuat teori dan pembahasan yang ada. Bahan juga bisa bersumber dari internet, surat kabar yang berkaitan langsung dan dianggap relevan dengan penelitian.

3.5. Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Maleong, 1993 : 103).

(24)

diinterpretasikan untuk menggambarkan secara jelas keadaan melalui kata berdasarkan dukungan teori dan tinjauan pustaka.

3.6. Jadwal Kegiatan

No Jenis Kegiatan Bulan

2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Pra Observasi

2 ACC Judul X

3 Penyusunan Proposal Penelitian X X 4 Seminar Penelitian X 5 Revisi Proposal Penelitian X 6 PenyerahanHasil Seminar penelitian X 7 Operasioanal Penelitian X

8 Bimbingan X X X X

9 Penulisan Laporan Akhir X

10 Sidang Meja Hijau

3.7. Keterbatasan Penelitian

1. Keterbatasan dana yang dimiliki peneliti akan membuat penelitian ini kurang mendalam.

2. Kesibukan para informan dalam menyelesaikan pekerjaannya membuat penelitian yang dilakukan kurang mendalam.

(25)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1.Sejarah Kelurahan Kota Matsum IV

Sejarah awal mula terbentuknya Kelurahan Kota Matsum IV yaitu tepatnya pada tahun 1986. Dimana sebelumnya daerah kota Matsum IV ini menjadi bagian di dalam kota Matsum II. Kemudian seiring berjalannya perkembangan kota maka Kota Matsum I dan II dikembangkan menjadi 4 wilayah Kelurahan yaitu Kelurahan Kota Matsum I, II, III dan Kota Matsum IV. Pada awalnya mayoritas masyarakat yang tinggal di Kota Matsum adalah masyarakat yang bersuku bangsa Melayu Deli. Sebelumnya sejak masa penjajahan Belanda, daerah ini merupakan bagian dari wilayah perkebunan karet. Tetapi setelah kemerdekaan RI kota Medan semakin berkembang dan terbuka. Kemudian menjadi pusat perdagangan dan wirausaha dengan banyaknya masyarakat pendatang dari daerah atau suku lain yang datang diantaranya suku bangsa Minangkabau yang kebanyakan menetap di daerah Kota Matsum, khususnya Kota Matsum IV yaitu di sekitar jalan Halat, Amaliun dan lainnya karena para perantau Minang tersebut biasanya sering dijumpai kecenderungan melakukan pengelompokan di satu kawasan pemukiman tertentu.

(26)

pedagang kaki lima, pedagang pengecer dan penjual nasi atau rumah makan Minang yang tinggal & membuka usaha mereka di daerah Kota Matsum IV tersebut.

4.1.2. Letak dan keadaan Wilayah

4.1.2.1. Kondisi iklim dan letak geografis

Lokasi Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area berada di tengah Kota Medan. Jika dilihat dari letak wilayahnya lokasi ini berpenduduk padat. Kelurahan Kota Matsum IV ini termasuk beriklim sedang dengan curah hujan yang jatuh pada bulan Agustus, September, dan Oktober.

4.1.2.2. Batas-Batas Wilayah

• Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kota Matsum III

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Kota Matsum I

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Pasar Merah Barat

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Kota Matsum II

4.1.2.3. Luas wilayah

• Luas Wilayah yang ada di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area adalah 27 Ha

• Terdiri dari 17 Lingkungan di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area

(27)

4.1.3. Komposisi Penduduk

4.1.3.1. Komposisi penduduk berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel I

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Keterangan Jumlah Persentase

1 Laki-laki 7.755 50,41 %

2 Perempuan 7.630 49,59 %

Jumlah 15.385 100 %

Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008

(28)

4.1.3.2.Komposisi penduduk berdasarkan Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan terpenting dalam setiap diri manusia, karena tingkat pendidikan sangat berkaitan erat dengan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Tingkat pendidikan yang tinggi pada umumnya akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan yang lebih baik.

Tabel II

Komposisi Penduduk berdasarkan Pendidikan

No Keterangan Jumlah Persentase 1 Belum Sekolah 2.236 18,52 %

2 Tidak Tamat 553 4,57 %

3 SD 2.163 17.90 %

4 SLTP 3.087 25,55 %

5 SMU 3.142 26,02 %

6 D1 s/d D3 846 7,00 %

7 S1 s/d S3 52 0,44 %

Jumlah 12.079 100 %

Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008

(29)

berpendidikan SD sebesar 2.163 jiwa dengan persentase sebesar 17,90 %, kemudian penduduk yang berpendidikan D1 s/d D3 sebesar 846 jiwa dengan persentase sebesar 7,00 %, selanjutnya penduduk yang tidak berhasil menamatkan sekolah sebesar 553 jiwa dengan persentase sebesar 4,57 %, dan terakhir yang merupakan jumlah paling terkecil yaitu penduduk dengan pendidikan S1 sd/ S3 sebesar 52 jiwa dengan persentase terkecil yaitu 0,44 %.

4.1.3.3. Komposisi penduduk berdasarkan Mata Pencaharian

Mata pencaharian adalah merupakan sumber utama pendapatan dari setiap manusia untuk tetap dapat bertahan hidup. Tingkat pekerjaan menengah ke bawah pada umumnya hanya akan memperoleh pendapatan yang menengah ke bawah pula. Terdapat berbagai macam mata pencaharian penduduk yang tinggal di wilayah Kota Matsum IV ini yaitu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel III

Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian

No Keterangan Jumlah Persentase

1 PNS 547 6,44 %

2 Pedagang 6.527 76,87 %

3 Penjahit 1.120 13,19 %

4 Tukang Batu 4 0.05 %

5 Dokter 49 0,58 %

6 Supir 175 2,06 %

7 Penarik Becak 24 0,28 %

8 TNI / Polri 45 0,53 %

(30)

Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008

Dari data pada tabel III di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk Kota Matsum IV yang memiliki Mata Pencaharian yang terbesar jumlahnya adalah penduduk yang berprofesi sebagai Pedagang dengan jumlah 6.527 jiwa dengan persentase sebesar 76,87 %, selanjutnya mata pencaharian kedua terbanyak adalah penduduk yang berprofesi sebagai Penjahit sebanyak 1.120 jiwa dengan persentase sebesar 13,19 %, kemudian penduduk yang berprofesi sebagai PNS sebanyak 547 jiwa dengan persentase sebesar 6,44 %, selanjutnya penduduk yang berprofesi sebagai Supir sebanyak 175 jiwa dengan persentase sebesar 2,06 %, kemudian penduduk yang penduduk yang berprofesi sebagai Dokter sebanyak 49 jiwa dengan persentase 0,58 jiwa, penduduk yang berprofesi sebagai TNI / POLRI sebesar 45 jiwa dengan persentase sebesar 0,53 %, dan jumlah terakhir dan yang paling kecil adalah penduduk yang berprofesi sebagai Tukang Batu sebanyak 4 jiwa dengan persentase sebesar 0,05 %.

4.1.3.4.Komposisi penduduk berdasarkan Suku bangsa

(31)

Tabel IV

Komposisi Penduduk berdasarkan Suku Bangsa

No Keterangan Jumlah Persentase

1 Minang 8.665 56,32 %

2 Mandailing 1.011 6,57 %

3 Jawa 2.099 13,65 %

4 Melayu 1.603 10,41 %

5 Lainnya 2007 13,05 %

Jumlah 15.385 100 % Sumber dari : Data Kelurahan Kota Matsum IV Tahun 2008

Dari data pada tabel IV di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Kota Matsum IV adalah masyarakat yang heterogen dengan beragam suku bangsa diantaranya Minang, Mandailing, Jawa, Melayu dan lain-lain.

(32)

4.1.4. Sarana dan Prasarana

Sarana merupakan hal yang amat penting bagi pencapaian tujuan. Bagaimana baiknya suatu rencana tanpa didukung oleh adanya sarana dan prasarana, maka tujuan dari perencanaan itu akan sulit tercapai. Untuk mendukung tugas pelayanan terhadap masyarakat, maka di Kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area tersedia berbagai macam sarana dan prasarana, seperti sarana di bidang peribadatan, pendidikan, kesehatan, sarana air bersih dan sarana ekonomi. Untuk lebih jelas lagi berikut akan dipaparkan mengenai sarana-sarana tersebut.

4.1.4.1. Sarana Ekonomi

Sarana Ekonomi merupakan alat masyarakat untuk mencari kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian besar penduduk kelurahan Kota Matsum IV Kecamatan Medan Area hidup dengan berdagang baik kios kelontong maupun warung makan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada keterangan pada tabel di bawah ini.

Tabel V Sarana Ekonomi

No Keterangan Jumlah Persentase

1 Warung Makan 10 20,40 %

2 Kios Kelontong 20 40,82 % 3 Industri Kerajinan 15 30,62 % 4 Percetakan / Sablon 1 2.04 %

5 Bengkel 3 6,12 %

Jumlah 49 100 %

(33)

Dari data pada tabel V di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Kota Matsum IV memiliki berbagai macam sarana ekonomi seperti warung makan, kios kelontong, industri kerajinan, percetakan / sablon dan Bengkel.

Sarana Ekonomi yang paling banyak yang ada di wilayah Kota Matsum IV adalah sarana Kios Kelontong sebanyak 20 unit dengan persentase sebesar 40,82 %, kemudian sarana kedua terbanyak adalah sarana Industri Kerajinan sebanyak 15 unit dengan persentase sebesar 30,62 %, sarana ketiga terbanyak adalah sarana Warung Makan sebanyak 10 unit dengan persentase sebesar 20,40 %, kemudian sarana ekonomi Bengkel sebanyak 3 unit dengan persentase sebesar 6,12 %, dan yang terakhir adalah sarana ekonomi Percetakan / Sablon sebanyak 1 unit dengan persentase sebesar 2,04 %.

4.1.4.2. Prasarana berbentuk Organisasi Sosial Ekonomi masyarakat Minangkabau Masyarakat Minang terutama di Lingkungan Kota Matsum IV memiliki beberapa Organisasi Sosial Ekonomi Kemasyarakatan khusus untuk masyarakat Minang yang sifatnya sosial dan ekonomi masyarakat. Anggota-anggotanya adalah seluruh warga minang yang berminat menjadi anggota dan juga para pengusaha dibidang kewiraswastaan seperti konveksi, pedagang maupun pemilik usaha rumah makan Minang.

(34)

dari masyarakat Minang yang berinisiatif mengumpulkan dan menggalang dana dari anggota masyarakat Minang berjumlah Rp.1000,- per hari per orang sehingga disebut namanya dengan gerakan seribu rupiah masyarakat Minang. Dari sinilah terbentuk simpan pinjam dan Bank Gebu Minang. Ada lagi Kelompok Koperasi Syariah Bersama Kota Medan, dimana mereka memberikan pinjaman-pinjaman kepada para anggotanya yang ingin menambah dan mengembangkan usaha dengan bunga dan syarat-syarat yang ringan.

(35)

4.1.5. Sejarah Kedatangan Masyarakat Minangkabau ke Kota Medan

Semuanya bermula pada akhir abad ke-19 yang mana Kota Medan sudah mulai mengalami perkembangan di berbagai bidang. Perkebunan-perkebunan dalam skala besar, industri pertanian disertai dengan lancarnya jalur komunikasi membuat kota Medan menarik tumbuhnya lembaga-lembaga perdagangan dan kegiatan-kegiatan dalam berbagai macam ragam jasa. Dengan alasan tersebut para migran mulai berdatangan dari luar Kota Medan termasuk di dalamnya perantau Minangkabau.

Suku bangsa Minangkabau dikenal sebagai bangsa perantau. Pada saat itu mereka sudah menempati sebagian besar pelosok tanah air, bahkan ada yang tinggal dan menetap di luar negara kesatuan Indonesia. Masyarakat Minangkabau dapat dijumpai di berbagai daerah baik daerah yang dapat diukur secara administrasi besar, sedang maupun kecil, ataupun dapat dijumpai di kota-kota besar maupun kota-kota kecil.

Kedatangan orang Minangkabau ini adalah untuk berdagang, namun pada saat itu perdagangan dilakukan antar perkebunan saja, sebagian kecil ada juga yang menetap di kota Medan, disana mereka juga bergerak dalam bidang perdagangan.

(36)

kota Medan dan 50 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1980 perantau minangkabau menunjukkan kenaikan dengan jumlah 141.507 jiwa.

Kedatangan orang Minangkabau ke Kota Medan ini pada awal tahun ke tahun jumlahnya tidak tetap karena dipengaruhi oleh keadaan atau situasi politik pada saat itu baik di daerah rantau ataupun di kampung halaman. Misalnya pada masa perang dunia II dan perang kemerdekaan RI, kebanyakan para perantau kembali ke kampungnya. Pada saat terjadi pemberontakan PRRI jumlah perantau ke kota Medan kembali meningkat. Data statistik menunjukkan bahwa angka rata-rata kenaikan perantau Minangkabau sejalan dengan kenaikan rata-rata penduduk kota Medan secara keseluruhan.

Pada masa kemerdekaan okupasi perantau Minangkabau di kota Medan masih dalam bidang perdagangan mengalami perkembangan dan semakin beragam. Perdagangan dilakukan bukan hanya antar perkebunan saja tetapi mereka sudah mulai merambat di kota-kota. Ada yang berdagang di emper-emper toko sebagai pedagang kaki lima dan ada pula yang telah memiliki toko sendiri dan menjadi pengecer.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mochtar Naim diperoleh data bahwa sekitar 80 % atau lebih dari keseluruhan pedagang pengecer di pusat pasar adalah masyarakat Minangkabau dan beberapa lainnya juga mendominasi seperti usaha penjahitan yang dikuasai rata-rata oleh orang Minangkabau, selain itu juga masyarakat Minangkabau banyak yang membuka usaha warung makan Padang mulai dari restoran besar hingga pedagang nasi pinggir jalan.

(37)

dan teman-teman sekampung yang lebih dahulu datang. Selain itu mereka juga sering melakukan perkumpulan untuk menanggulangi masalah atau musibah serta acara keagamaan dan lainnya. Kecendrungan masyarakat minangkabau lebih menyukai hidup berkelompok dan biasanya mereka memilih tinggal di dekat pusat pasar dan pusat kota.

(38)

4.1.6. Kebudayaan Minangkabau

Menurut legenda Minangkabau yang diberitakan dalam tambo, nama Minangkabau berasal dari peristiwa adu kerbau. Dalam legenda diceritakan secara turun temurun oleh nenek moyang orang Minangkabau kepada anak cucunya, yaitu pada saat menghadapi tentara Jawa yaitu dengan mengadakan adu kerbau. Jika kerbau Jawa yang menang maka rakyat Minang akan tunduk pada mereka, tetapi jika kerbau Jawa yang kalah maka mereka harus meninggalkan daerah Minangkabau.

Orang Minangkabau biasanya dikenal dengan ciri-ciri sosial yaitu : 1. Taat beragama Islam

2. Berpegang teguh kepada Sistem Kekeluargaan berdasarkan jenis keturunan ibu (matrilinial).

3. Suka merantau.

Mahyuddin (2002:11) menjelaskan menurut tambo adat alam Minangkabau, tempat tinggal pertama dari suku bangsa Minangkabau adalah Pariangan Padang Panjang yang terletak di Lereng Gunung Merapi. Oleh karena perkembangan penduduk yang semakin padat, yang tidak mungkin bagi mereka untuk memperluas tanah pertanian, maka sebagian mereka mulai mencari tempat tinggal yang baru, yang memungkinkan mereka dapat hidup. Mereka mulai berpindah ke lereng-lereng dan lembah Gunung Singgalang dan Sago.

(39)

Ada tiga luhak yang melilit Gunung Merapi yang disebut dengan Luhak Nan Tigo. Luhak Nan Tigo ini juga dikenal sebagai wilayah inti Minangkabau yang disebut daerah darek. Selain dari Luhak Nan Tigo itu wilayah Minangkabau disebut dengan daerah rantau.

Luhak berasal dari kata luak, luak dapat berarti kurang atau sumur kecil. Dari arti kata luak ini, menunjukkan daerah luhak merupakan daerah yang bergunung-gunung. Di Luhak Nan Tigo inilah nenek moyang masyarakat Minangkabau berkembang dan mulai turut serta membentuk adat dan limbago atau lembaga. Dari luhak nan tigo inilah bermulanya ekspansi ke daerah-daerah di sekitarnya. Hasil dari ekspansi ini menghasilkan daerah rantau. Oleh karena itu daerah rantau adalah daerah yang terletak di sekitar daerah inti. Dengan kata lain daerah rantau juga merupakan daerah pinggiran atau pesisir.

(40)

pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari ujung Utara pulau Sumatera sampai ujung Selatan dengan ketinggian rata-rata 1000-3000 m di atas permukaan laut.

Dari ketiga luhak ini berhulu beberapa sungai yang mengalir dan bermuara di pantai Timur dan pantai Barat Sumatera. Dari Luhak Lima Puluh Koto berhulu Sungai Siak, Sungai Kampar dan Sungai Sinamar atau Sungai Indragiri. Dari Luhak Tanah Datar berhulu Sungai Kiantan dan Sungai Batanghari. Semua sungai ini bermuara ke pantai Timur. Sedangkan ke Pantai Barat mengalir Sungai Batang Masang dan Batang Antokan dari luhak Agam.

Wilayah Luhak Nan Tigo terletak di daerah yang relatif cukup subur mengakibatkan sebagian besar masyarakatnya bergerak dalam lapangan pertanian untuk memenuhi kehidupannya. Selain menanam padi sebagai makanan utama, sampai pada awal abad ke-19 hasil utama Luhak Nan Tigo adalah kopi dan lada. Hasil bumi tersebut diperdagangkan oleh saudagar-saudagar Minangkabau. Rute perdagangan mereka adalah pantai Timur. Hal ini bisa berkembang karena tersedia sarana transportasi sungai yang memudahkan gerak perpindahan.

(41)

4.1.7. Sistem Kekerabatan

Koentjaraningrat (1992:132) menjelaskan, tiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat secara biologis dapat menyebut kerabat semua orang sesamanya yang mempunyai hubungan “darah” atau genes melalui ibu maupun ayahnya. Dipandang secara biologis, artinya dipandang dari sudut hubungan genes saja, jumlah kerabat dari seseorang individu itu amat besar. Dalam kenyataan tidak ada orang yang dapat mengetahui, semua orang sesamanya yang secara biologis merupakan kaum kerabatnya. Dengan demikian prinsip keturunan itu juga mempunyai fungsi sebagai prinsip untuk menentukan keanggotaan dalam kelompok-kelompok kekerabatan yang bersifat lineal misalnya pada masyarakat Minangkabau.

(42)

4.2. Interpretasi Data

4.2.1. Sejarah Munculnya Rumah Makan Minang

Sejarah munculnya rumah makan Minang yang secara tradisional lebih dikenal dengan sebutan “lapau”. Pada mulanya rumah makan minang ini bukanlah berbentuk usaha dalam pengertian untung dan rugi saja. Di desa-desa yang jarak antara satu dengan lainnya cukup jauh kita sering melihat adanya “lapau” nasi atau rumah makan Minang. Begitu juga di pinggir jalan yang kemungkinan besar para pejalan kaki atau pengemudi membutuhkan istirahat dan makan.

“Lapau” atau kedai nasi didirikan dengan dua segi pelayanan. Orang-orang yang menyinggahi kedai nasi boleh minta nasi dengan lauk-pauknya bila membutuhkan makan, atau juga sekedar beristirahat di “lapau” atau di kedai nasi itu, dan kemudian melanjutkan perjalanannya. Bila kebetulan kemalaman, para pengunjung rumah makan ini bisa dengan gratis bermalam di rumah makan tersebut. Karena itu lapau nasi menyediakan sebagian ruangannya untuk tempat tidur, yang dikenal dengan balai-balai atau bangku-bangku yang mampu memuat belasan orang.

(43)

“Lapau” atau rumah makan sebagai pusat informasi, selain karena tempatnya yang strategis, sekarang dilengkapi pula oleh media massa seperti surat kabar atau selebaran-selebaran iklan. Dengan demikian bahan pembicaraan dan informasi semakin meluas.

Disegi lain, “lapau” juga merupakan usaha keluarga yang menjadi sampingan atau juga bahkan menjadi pekerjaan utama antara suami dan istri. Jika antara suami dan istri yang ada di desa turun ke sawah, maka dengan demikian usaha lapau juga bisa dikelola oleh anggota keluarga sendiri. Dan dalam perkembangannya rumah makan minang tetap saja mengambil karyawan dari kalangan keluarga sendiri, orang sesuku atau sedaerah.

Dalam perkembangan berikutnya, lapau nasi yang menyediakan tempat tidur bagi pengunjung selain di desa-desa yang melayani pedagang keliling, kini berkembang pula di pinggir jalan raya antar daerah antar propinsi misalnya rute Padang-Medan. Selain itu juga biasanya tersedia tempat sembahyang dan WC yang dilengkapi dengan air bersih.

4.2.2. Sistem Kekeluargaan Pada Pengelolaan Rumah Makan Minang

Kekeluargaan adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah, keluarga, salah satu hal yang pertama kali harus diperhatikan mengenai kekeluargaan ialah bahwa ini merupakan suatu sistem hubungan-hubungan.

(44)

sistem-sistem kekeluargaan, yaitu bahwa ada hubungan yang saling ketergantungan dan kompleks antara anggota-anggotanya.

Karakteristik sistem kekeluargaan yang dapat kita lihat pada pengelolaan Rumah Makan Minang yang ada di wilayah Kota Matsum IV adalah bahwa anggota keluarga memiliki keterlibatan khusus dalam suatu usaha rumah makan, seperti ada yang merekrut suami atau istri, anak dan keponakan, tetapi ada juga yang merekrut pekerja dari luar keluarga, selain itu masyarakat Minang juga memiliki sikap saling mengangkat, gotong royong diantara pemilik dengan pekerjanya, hal ini merupakan ciri “Komunalisme” masyarakat Minang yang terletak pada kuatnya ikatan kekerabatan ataupun kesukuan, dimana pada pengelolaan rumah makan Minang mereka biasanya merekrut pekerja dari kampung halaman sendiri atau seasal sedaerah.

Karakteristik lainnya yaitu besarnya rasa kepercayaan pekerja dalam bekerja dengan diberikannya kesadaran seolah-olah pekerjaan itu adalah untuk dirinya sendiri, contoh lainnya yang dipaparkan oleh para informan peneliti mengenai karakteristik sistem kekeluargaan pada rumah makan Minang seperti adanya kerja sama yang baik sebagai sebuah tim tanpa memilih-milih pekerjaan yang ada dengan saling bantu membantu misalnya seperti dikatakan oleh Pak Syafri :

(45)

Rumah Makan Minang dalam hal usaha keluarga memiliki karakteristik dengan kepemilikan atau keterlibatan dari dua orang atau lebih anggota keluarga yang sama dalam kehidupan dan fungsi bisnisnya. Biasanya usaha keluarga berukuran kecil dikarenakan pertimbangan keluarga menjadi hal yang penting. Seperti contohnya dalam restoran kecil, seorang istri / suami dapat bekerja sebagai pemilik sementara anak-anak mereka dapat bekerja di dapur atau sebagai pelayan (Longenecker, 2001:34).

Sikap saling gotong royong disini dapat diartikan sebagai suatu sistem pengerahan tenaga seperti bersifat usaha kecil dan terbatas. Konsep nilai gotong royong merupakan nilai-nilai budaya mengenai dasar hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (Koentjaraningrat, 1983).

Proses musyawarah berdasarkan sistem kekeluargaan antara pemilik dan pekerja apabila terdapat suatu kendala di dalam mengelola rumah makan yaitu rata-rata informan menjawab yaitu dilakukan dengan cara tukar pikiran, musyawarah dan berdiskusi, selain itu ada juga yang menjawab yaitu dengan memberikan pengarahan dan nasehat-nasehat demi kelancaran rumah makan yang kemungkinan bisa saja dilakukan seminggu sekali karena mereka ada yang tinggal serumah, atau pekerja juga boleh menyampaikan keluhan dan kritik terhadap hasil dan cara kerja

(46)

maka mereka merasa saling memiliki dan semakin dekat dengan pemilik rumah makan tanpa ada perbedaan status.

Kata “Badunsanak” dalam bahasa Indonesia adalah bersahabat atau berkerabat. Terciptanya rasa senasib sepenanggungan di antara kelompok di dalam suatu kegiatan usaha yaitu dengan memiliki rasa kebersamaan, rasa kekeluargaan, saling membelajarkan, saling terbuka terhadap pembaharuan dan perubahan, saling percaya, seiya sekata, saling menyadari kelebihan dan kekurangandan saling menguntungkan. Dalam berkerabat tidak ada rasa saling curiga, keberhasilan anggota keluarga juga merupakan keberhasilan dari keluarga yang dapat membawa kebanggaan keluarga (Jamaris, 1996 : 84).

Sistem kekerabatan atau kekeluargaan dikatakan sebagai unsur pengikat di dalam suatu hubungan kerja dikarenakan beberapa hal yaitu tidak adanya perbedaan status antara pemilik dan pekerja, karena pekerja merasa memiliki status yang disamakan, pekerja juga dianggap sebagai patner atau kawan kerja dan bukannya sebagai pegawai, dan adanya rasa saling memiliki . Dengan adanya sistem kekeluargaan di Rumah Makan ini maka hubungan antara pemilik dan pekerja semakin dekat secara kekeluargaan seperti yang diungkapkan salah satu informan yaitu pak Budi.

“Sistem kekerabatan memang menjadi unsur pengikat dalam hubungan kerja karena menurut saya dengan adanya rasa kekeluargaan itu maka antara pemilik dan pekerja tidak ada perbedaan status karena semua dianggap sama, selain itu juga terdapat saling memiliki satu sama lainnya”.

(47)

konflik terbuka. Suatu keadaan sosial disebut rukun apabila semua pihak dalam kelompok berdamai satu sama lain, keadaan rukun hanya dapat dicapai kalau masyarakat berperilaku atau bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.

Hubungan yang terjalin antara pemilik dan pekerja yang masih memiliki ikatan kekerabatan dalam pengelolaan rumah makan Minang yaitu memiliki hubungan yang semakin dekat dan cukup baik karena mereka berusaha untuk menjaga kerukunan dan ketentraman, meskipun sesekali tetap terjadi permasalahan diantara mereka yang disebabkan hal-hal tertentu yang kemudian dapat dibicarakan dan dimusyawarahkan bersama antara pemilik dengan pekerja rumah makan.

Sedangkan hubungan yang terjalin antara pemilik dan pekerja yang tidak memiliki ikatan kekerabatan dalam pengelolaan rumah makan Minang yaitu biasanya pemilik menganggap pekerja itu sebagai bagian dari anggota keluarga sendiri tanpa membeda-bedakan status karena semua disamakan sehingga pekerja merasa betah dan nyaman bekerja di rumah makan Minang dan setiap ada masalah dapat dibicarakan bersama.

Mata pencaharian adalah merupakan sumber utama bagi setiap masyarakat untuk dapat mempertahankan hidupnya dan menjadi manusia yang lebih sempurna. Dari beberapa informan yang saya wawancarai mengatakan bahwa usaha Rumah Makan Minang ini dijadikan sebagai mata pencaharian utama keluarga mereka seperti yang dikatakan oleh bu Zurmi .

(48)

Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa usaha rumah makan minang hanya sebagai usaha sampingan keluarga saja seperti yang dikatakan oleh bu Marnita :

“ Sebenarnya usaha Rumah Makan Minang ini adalah usaha tambahan keluarga kami karena suami saya juga mempunyai usaha sendiri yaitu membuka bengkel sendiri.”

Struktur organisasi yang ada pada pengelolaan Rumah Makan Minang adalah bahwa di dalam pengelolaan ada yang memiliki pembagian tugas seperti salah satu informan peneliti yang mengatakan bahwa pekerjanya ada yang bertugas memasak di dapur, mencuci piring dan ada juga yang melayani, tapi walaupun ada pembagian tugas tidak menutup kemungkinan jika pada saat ramai mereka semua dapat terjun langsung tanpa fokus pada satu pekerjaan saja, tetapi ada juga beberapa informan yang mengatakan tidak terdapat jenjang penugasan secara jelas dari atas ke bawah di rumah makannya, karena pembagian tugasnya longgar dan terdapat sikap saling kerjasama dan saling bantu.

Bentuk-bentuk kerjasama yang ada pada pengelolaan rumah makan minang seperti pekerja mengerjakan pekerjaan yang ada tanpa harus diperintahkan terlebih dahulu, selain itu jika ada pekerjaan yang kosong seperti dalam melayani pembeli, mencuci piring, maka langsung saja dibantu dan digantikan pekerja lainnya dan semuanya saling mendukung satu sama lain.

(49)

kepercayaan kepada masing pekerja dalam mengerjakan tugasnya masing-masing, seperti pendapat dari informan yang bernama pak Syafri.

“Pengawasan di Rumah Makan Minang saya sangat longgar, tetapi tetap diberi kepercayaan terhadap tugasnya masing-masing”.

Di dalam Teori Modernisasi Wong mengatakan bahwa satu kepercayaan antara anggota keluarga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditemukan diantara rekanan usaha mereka yang tidak kenal secara baik satu sama lain.

Terkadang di dalam pengelolaan rumah makan Minang terdapat perselisihan pada pekerja dari keluarga dan pekerja dari luar keluarga yang dapat menimbulkan persaingan. Maka cara untuk mempertahankan usaha rumah makan ini agar tetap utuh dan tidak mengalami kebangkrutan dan perselisihan yaitu dengan cara dikerjakan dengan mengutamakan kejujuran, dikelola dengan baik dan profesional serta juga memperhatikan mutu masakan serta memperhitungkan untung dan rugi yang didapatkan.

4.2.2.1. Hubungan Kerja

(50)

kerabat dekat maupun kerabat jauh, namun ada pula pekerja yang bukan merupakan kerabat namun sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh pemilik rumah makan.

Hubungan kerja antara pemilik usaha dengan pekerja rumah makan Minang memiliki ikatan kekerabatan yang tidak hanya merupakan hubungan kerja saja yang didasari oleh adanya kepentingan-kepentingan bisnis semata, sehingga dalam kehidupan mereka tidak ada batasan-batasan tertentu yang dibuat kecuali dalam pekerjaan. Sebagian pemilik ada yang menganggap pekerja yang bekerja bersamanya sebagai anggota keluarga sendiri meskipun tidak memiliki ikatan kekeluargaan yang mendasarinya, dimana pekerja yang masih muda dianggap sebagai saudara sendiri jika ia telah lama bekerja dan tidak pernah membuat masalah dengan pemilik.

Selain itu hubungan yang terbentuk antara pemilik dan pekerja merupakan hubungan patron-klien, dimana hubungan ini diciptakan karena ingin memiliki relasi dengan orang atau pihak lain. Dalam hubungan seperti ini terkandung kepentingan-kepentingan tertentu misalnya ketergantungan ekonomi pekerja terhadap pemilik. Hubungan antara pemilik dan pekerja merupakan bentuk hubungan yang saling menguntungkan dan saling tergantung satu sama lainnya, pengusaha membutuhkan pekerja untuk menjalankan kelangsungan rumah makan untuk memperoleh keuntungan, sedangkan pekerja membutuhkan pekerjaan untuk upah atau gaji sebagai jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

(51)

keadilan, kebebasan, dan keterbukaan yang diberikan pemilik rumah makan kepada pekerjanya sehingga hubungan kerja semakin baik, harmonis dan semakin berjalan dengan lancar tanpa ada dominasi pemilik kepada pekerjanya

Para informan juga menjelaskan bahwa adanya rasa kepercayaan yang timbul di dalam mengelola rumah makan minang antara pemilik dengan pekerja, contoh dari kepercayaan misalnya pekerja dipercaya untuk memegang laci atau kotak uang, serta memiliki sikap saling jujur dan mengerti, contoh lain misalnya jika ada satu piring pecah, maka akan menjadi beban semuanya, sehingga mereka saling mengingatkan dan memiliki budaya kontrol pada diri sendiri yang semakin kuat.

Fukuyama memberikan defenisi kepercayaan atau trust adalah merupakan keteraturan, kejujuran dan perilaku yang muncul dari satu komunitas yang didasarkan pada norma yang dianut bersama oleh anggota masyarakat. Dengan adanya kepercayaan, maka orang-orang bisa bekerjasama secara efektif. Hal ini dikarenakan mereka lebih mementingkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu.

(52)

Pembagian tugas yang dilakukan di masing-masing rumah makan berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa di rumah makannya terdapat pembagian tugas seperti yang dikatakan oleh Bu Marnita :

“ Pembagian tugas yang ada di kedai nasi saya ini beragam, ada yang bertugas sebagai tukang masak, ada yang belanja ke pajak, ada yang menghidang, dan ada juga yang mencuci piring dan semuanya telah diatur dengan baik.

Sedangkan informan lainnya ada juga yang mengatakan bahwa di Rumah makan milik mereka sama sekali tidak terdapat pembagian tugas karena semuanya dilakukan secara bersama tanpa memilih-milih pekerjaan dari yang bagian dapur hingga yang menghidang semuanya turut serta dalam mengerjakannya.

Di beberapa rumah makan yang sudah saya wawancarai ternyata tidak terdapat perjanjian kerja sebelum mereka mempekerjakan pekerjanya. Seperti pernyataan dari Pak Budi yang mengatakan :

“ Di rumah makan saya ini biasanya memang tidak pernah ada perjanjian apapun, kalaupun ada itu hanyalah berbentuk lisan dan bukan berbentuk tulisan atau tanpa hitam di atas putih, karena menurut saya semua itu tidaklah penting”.

Kegiatan usaha rumah makan Minang dilakukan tanpa adanya jaminan surat perjanjian, kontrak hukum maupun secarik kertaspun. Mereka melakukannya berdasarkan rasa saling percaya, karena mereka berasal dari kampung halaman yang sama, berbahasa dan berdialek yang sama dan memiliki kesamaan identitas dasar untuk saling mempercayai satu sama lain antara pemilik dan pekerja.

(53)

Kesepakatan jam kerja yang dimiliki rumah makan tipe sederhana ini berlaku lebih fleksibel, tidaklah sama dengan jam kerja yang ditetapkan pada restoran besar, dimana kalau restoran besar biasanya memiliki penetapan jam kerja kepada pekerjanya seperti mempergunakan sistem “sift” kepada pekerjanya. Sedangkan pada rumah Rumah Makan tipe sederhana biasanya jam kerja tanpa penetapan waktu dan dibicarakan secara bersama antara pemilik rumah makan dan pekerja yang biasanya dimulai selama jam buka rumah makan hingga sampai jam tutup atau sampai tidak ada lagi makanan yang dapat dijual atau telah habis terjual.

Usaha Rumah Makan tipe sederhana tidaklah sama dengan Rumah Makan tipe Besar yang memiliki struktur dan peraturan tentang sistem kerja misalnya dalam penetapan jam kerja. Dalam kegiatan usaha Rumah Makan tipe sederhana ini para pemilik usaha tidak pernah menetapkan waktu yang harus dijalani oleh pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya dalam suatu hari, karena bagi mereka yang terpenting adalah pekerja dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Rasa kepercayaan yang timbul dalam hubungan kerja antara pemilik usaha dengan pekerja adalah seperti yang diungkapkan oleh bu Dahlia .

“Kepercayaan yang ada biasanya merupakan sikap saling memiliki antara pemilik usaha dengan pekerja, serta adanya kepercayaan dalam hal mengelola keuangan serta tidak adanya perjanjian kerja sebelum memulai kerja.”

(54)

Terkadang tak jarang pula timbul konflik berupa percekcokan , selain itu juga terdapat persaingan di dalam usaha keluarga. Masalah-masalah ini cenderung menimbulkan persaingan sehingga mempengaruhi pekerja yang merupakan anggota keluarga maupun pekerja yang bukan anggota keluarga. Persaingan merupakan hal yang wajar terjadi untuk mencapai tujuan dalam kegiatan ekonomi, namun terkadang seringkali persaingan ini menjadi hal yang tidak wajar yang akhirnya menimbulkan konflik seperti persaingan antar pekerja.

Kompetisi atau persaingan merupakan proses sosial yang mengandung perjuangan untuk memperebutkan tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya terbatas, yang semata-mata bermanfaat untuk mempertahankan suatu kelestarian hidup.

Banyak keputusan yang mempengaruhi usaha keluarga, misalnya kinerja orangtua sebagai bos dan anak sebagai bawahan. Evaluasi keberadaan hubungan keluarga dapat menambah tekanan emosional yang semakin mempersulit proses pengelolaan rumah makan.

Antara pekerja dengan pemilik usaha jarang terjadi permasalahan yang disebabkan oleh masalah penetapan upah, karena permasalahan antara mereka muncul lebih dikarenakan pekerja merasa tidak puas dengan tindakan pemilik terhadap pekerja. Jika terjadi ketidakpuasan dan permasalahan antara pekerja dan pemilik usaha, maka biasanya lebih memilih untuk berhenti dan mencari peluang pekerjaan di tempat lain sehingga hal tersebut tidak akan mengganggu kelangsungan kegiatan usaha.

(55)

konflik antar pekerja tersebut. Selain itu juga tidak adanya rasa keadilan, kebebasan dan keterbukaan yang diberikan pemilik rumah makan kepada para pekerjanya dapat pula memicu konflik. Hubungan komunikasi dan interaksi yang terjalin diantara keduanya kurang baik sehingga dapat mengakibatkan terganggunya kegiatan usaha.

Dominasi-dominasi yang dilakukan pemilik kepada pekerja dapat pula memicu konflik seperti misalnya, adanya tekanan baik fisik maupun mental, tekanan fisik seperti pekerja diharuskan bekerja dengan waktu jam kerja yang cukup panjang lebih kurang 14 jam per hari sehingga pekerja merasa tertekan. Sedangkan tekanan mental yaitu pemilik merasa kurang puas dengan hasil kerja dari pekerja, ini dipengaruhi pada saat timbul kejenuhan dari pekerja. Atau mungkin saja pekerja sedang mengalami masalah dengan keluarga.

Untuk dapat menangani konflik baik antara pemilik dengan pekerja maupun konflik antar pekerja dengan pekerja, maka diperlukan suatu pemecahan masalah seperti misalnya permasalahan dapat dibicarakan secara kekeluargaan yaitu dengan pemeliharaan nilai dan norma-norma yang tertanam dalam diri setiap individu, dimana nilai-nilai diperoleh melalui lembaga pendidikan dan agama sehingga keseimbangan dapat terpelihara.

Bentuk sikap saling tolong menolong dan gotong royong yang ada dalam mengelola rumah makan minang beragam misalnya jika ada pekerjaan yang kosong maka semuanya akan ikut terlibat dalam membantu dan tidak hanya fokus pada satu pekerjaan tertentu saja karena semuanya dikerjakan secara bersama-sama.

(56)

Rami Yanti dan Lusiana, dikarenakan mereka adalah anak dari pemilik rumah makan, tentu saja ia tinggal bersama pemilik yang merupakan orangtuanya sendiri.

Lain pula halnya dengan pekerja yang dimiliki oleh ibu Marnita, walaupun pekerja yang ia rekrut sebagian bukanlah keluarganya, tetapi ia tetap menyediakan tempat tinggal karena sebagian pekerjanya merupakan perantau dari daerah lain, selain itu pemilik juga menyediakan fasilitas makan siang bagi pekerjanya.

“ Biasanya para pekerja yang bekerja bersama saya semuanya saya berikan tempat tinggal, karena mereka biasanya datang dari luar kota medan, biasanya pekerja yang berjenis kelamin Perempuan saya sediakan tempat tinggal dan serumah dengan saya, sedangkan untuk pekerja yang berjenis kelamin Laki-laki biasanya mereka saya sediakan penginapan yang berada tepat di tingkat atas warung nasi saya ”.

Tetapi ada juga pekerja yang tidak diberikan tempat tinggal atau penginapan dikarenakan mereka merupakan orang Medan yang memang tinggal sekitar warung. Rata-rata pekerja mengatakan bahwa mereka melakukan kesepakatan kepada pemilik jika berhenti sementara waktu dari pekerjaannya. Pekerja jarang yang dikeluarkan dari pekerjaannya, kalau pun memang keluar, biasanya ingin mandiri dan kemudian mereka juga dibantu dalam hal modal. Jika pekerja sewaktu-waktu diberhentikan, maka itu merupakan kesepakatan bersama seluruh pekerja.

4.2.2.2. Alih Usaha

(57)

mendapatkan modal dari tabungan pribadi, pinjaman kerabat dan tak jarang pinjaman modal mereka dapatkan dari lembaga keuangan yang bukan Bank.

Salah satu informan yaitu ibu Marnita yang memulai usahanya karena meneruskan dari usaha orangtuanya yang telah berumur dan tidak sanggup lagi mengelola Rumah Makannya sendiri, sehingga ditunjuklah ibu Marnita ini untuk dapat meneruskan usaha keluarganya tersebut secara turun temurun. Ada juga informan lainnya seperti Ibu Dahlia dan Ibu Zurmi yang mengatakan hal yang sama.

“ Saya membuka usaha rumah makan ini karena tuntutan ekonomi keluarga dan merupakan mata pencarian utama untuk menghidupi anak-anak kami yaitu dengan berjualan nasi”.

Status kepemilikan usaha Rumah Makan Minang yang peneliti observasi rata-rata milik sendiri dan ada juga salah seorang informan peneliti yaitu Budi yang masih menyewa rumah makan, sedangkan ibu Marnita yang mengatakan status kepemilikan Rumah Makannya adalah milik orangtua walaupun sekarang sudah sepenuhnya diserahkan kepada ibu Marnita untuk dikelola. Awal mula dalam meneruskan usaha keluarga ini ibu Marnita menjelaskan bahwa :

“ Ibu saya adalah seorang pengusaha warung nasi sejak ia muda, kemudian setelah ia tidak sanggup lagi mengelola dan mengurus Rumah Makan tersebut sehingga Ibu saya menyerahkan tugas mengelolanya kepada saya untuk meneruskan dan menjalankan usaha Rumah Makan Minang dan Insya Allah sampai sekarang Rumah Makan milik orangtua saya masih berjalan lancar, kata Ibu Marnita.”

Bagitu juga dengan bu Zurmi yang meneruskan usaha keluarga dari kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia.

(58)

dibantu oleh orang lain atau pekerja yang bukan saudara. Jika mereka tidak mampu lagi dalam mengelola usaha Rumah Makannya biasanya mereka mengatakan akan diteruskan oleh anak mereka sendiri. Seperti yang dikatakan oleh ibu Zurmi :

“Suami saya dulunya adalah seorang pengusaha kios rokok, tapi kemudian usaha rokoknya kurang berkembang maka suami dan anak-anak saya juga ikut terjun dalam membantu saya dalam mengelola usaha keluarga ini”.

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Blood dan Woolf 1969 : 58-60 dinyatakan bahwa dalam hubungan kerja antara istri dengan suami dinyatakan bahwa istri selalu bersifat “Collaborative” (kerjasama), “Supportive” (mendukung) dan “Peripheral” (mendorong). Pengaruh lainnya dari faktor-faktor pekerjaan terhadap peranan suami istri adalah terhadap keakraban diantara keduanya. Adanya suatu keterikatan diantara keluarga yang mungkin akan menjadi lebih kuat apabila ada suatu kerjasama dengan tuntutan pekerjaan diantara mereka.

Biasanya jika pemilik rumah makan tidak mampu lagi mengelola rumah makan Minang maka mereka akan mengalihkan usaha atau bahkan membuat perluasan usahanya yang diserahkan kepada anak-anaknya atau mengangkat orang-orang yang dipercaya untuk mengelola dan mereka biasanya saling membantu antara satu dengan lainnya.

(59)

“Saya pernah ditawarkan oleh pemilik rumah makan yang merupakan orangtua saya sendiri untuk membuka usaha yang sama dengan bantuan modal, tetapi karena orangtua saya sudah mulai jarang berjualan karena alasan kesehatan makanya saya belum mau membuka usaha baru tersebut.”

Bantuan dan dukungan biasanya berupa moril dan materil, bantuan moril yaitu dengan memberikan kepercayaan penuh kepada pekerja dengan rasa memiliki dan tanggung jawab baik mengatur masakan di dapur, pekerjaan menghidang dan tugas bersih-bersih. Bantuan materil yaitu dengan memberikan gaji yang pantas disertai dengan kebutuhan dasar para pekerja sehari-hari dan pada saat lebaran tiba diberikan THR dan cuti, juga memberikan pinjaman lunak kepada pekerja dan terkadang juga ditawarkan untuk membuka usaha yang sama dengan bantuan modal dari pemilik.

4.2.2.3. Pemasaran

Beradaptasi bagi manusia merupakan suatu cara untuk menghadapi lingkungan dan kondisi sosial yang berubah-ubah agar tetap dapat bertahan, proses adaptasi dapat diartikan sebagai perubahan dalam pola tingkah laku untuk memenuhi syarat minimal agar manusia dapat melangsungkan kehidupan dalam satu lingkungan tertentu. Dalam melakukan adaptasi maka manusia harus menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan lingkungannya, dimana hal ini yang menjadi ukuran cocok atau tidaknya seseorang dalam suatu lingkaran (Ahimsa-Putra, 2003).

(60)

diperoleh dari berbagai pengalaman dan hubungan langsung dengan lingkungan itu sendiri yang disampaikan melalui simbol lisan maupun tulisan. Informasi ini mengenai kategorisasi, strategi untuk beradaptasi dengan memanfaatkan lingkungan tertentu beserta aturan-aturan.

Untuk memudahkan dalam proses pemasaran dalam mempertahankan kelangsungan suatu usaha agar tidak mengalami penurunan omset penjualan, maka pemilik usaha Rumah Makan memiliki strategi khusus dalam hal untuk menarik minat pembeli, seperti yang dikatakan informan saya yang bernama ibu Dahlia.

“Saya biasanya mengganti meja dan kursi jika telah rusak, selain itu juga menukar piring dan perlengkapan makan lainnya sebanyak setahun sekali”.

Strategi lainnya yang dilakukan oleh informan dalam menarik minat pembeli adalah dengan melakukan interaksi sosial berupa komunikasi yang baik dan lancar seperti bersikap ramah tamah yang dilakukan pemilik dan pekerja dalam melayani setiap pembeli yang datang ke rumah makan mereka. Kemampuan pemilik usaha dalam mengidentifikasi selera agar sesuai dengan minat pasar atau pembeli merupakan hal yang penting agar apa yang dilakukan tidak mengalami kegagalan.

Strategi yang dilakukan agar tidak mengalami kebangkrutan, maka pemilik usaha berusaha untuk tetap variatif menyediakan jenis makanan sesuai dengan selera konsumen dan sesuai dengan pesanan pelanggan. Selanjutnya yaitu dengan memperluas jaringan dengan memiliki langganan yang tetap dan menjaga agar pelanggan tidak lari dengan berusaha memperbaiki dan menjaga kualitas masakan.

(61)

ada intensitas sosial yang bersifat pribadi dan dijaga oleh nilai sosial seperti malu dan harga diri (Davis dalam Ahimsa, 2003 : 123).

Dalam menjalankan suatu usaha, maka seseorang pemilik rumah makan biasanya memiliki sasaran pembeli agar mendapatkan keuntungan. Sasaran pembeli yang biasanya makan di Rumah Makan Minang milik para informan adalah para pegawai kantor, pelajar, para supir angkot, tukang becak sampai pekerja bengkel dan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Kota Matsum IV tersebut.

Dalam menangani pesanan yang berbentuk Catering untuk konsumsi rumah tangga pemilik mengatakan bahwa biasanya mereka mengerjakannya secara bersama-sama seperti dalam bentuk rantangan dengan variasi jenis masakan. Sedangkan untuk menangani pesanan Catering untuk konsumsi perkawinan biasanya mereka mempekerjakan pekerja tambahan baik pekerja yang direkrut dari keluarga sendiri maupun pekerja yang bukan saudara seperti tetangga untuk membantu memasak dalam jumlah yang lumayan besar serta berdasarkan pada besar kecilnya pesanan dan porsi makanan serta jumlah undangan yang akan disiapkan.

4.2.3. Pembagian Keuntungan / Sistem Pengupahan

Gambar

Tabel I
Tabel II
Tabel III
Tabel IV
+2

Referensi

Dokumen terkait

1. Strategi pengembangan bisnis yang sesuai bagi Rumah Makan Minang Setia Jl. Jamin Ginting No. 326, Medan adalah strategi agresif yakni strategi yang menggunakan kekuatan

Pada dasarnya pelayanan pada rumah makan Puti Minang Rajabasa Bandar Lampung telah sesuai dengan pandangan ekonomi Islam yaitu pelayanan harus mengutamakan kejujuran,