• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Penduduk Kota Medan 1 Pada Masa Kolonial 1 Pada Masa Kolonial

GAMBARAN UMUM KAWASAN KOTA LAMA

2.4. Komposisi Penduduk Kota Medan 1 Pada Masa Kolonial 1 Pada Masa Kolonial

Medan didirikan oleh Guru Patimpus Pelawi pada tahun 1590. John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan pemimpin bernama Tuanku Pulau Brayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada tahun 1886, Medan secara resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan. Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang. Tahun 1909, Medan menjadi kota penting di luar pulau jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang Bumiputra, dan seorang Tionghoa.

Diakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat (2) dua gelombang migrasi ke Medan, yaitu :

1. Gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk

2. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru dan ulama. Sejak tahun 1950, Medan telah beberapa kali melakukan perluasan areal, dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha di tahun 1974. Dengan demikian dalam tempo 25 tahun setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belasa kali lipat.

Kota Medan dalam peningkatan jumlah penduduknya cukup signifikan. Pada awal perkembangannya, awalnya penduduk Medan hanya sekitar 200 jiwa saja. Kemudian pada tahun 1905 penduduk Medan menjadi 14.000 jiwa dan pada tahun 1930 menjadi 76.584 jiwa. Pada masa pendudukan Jepang, penduduk Medan adalah 108.000 jiwa. Adapun hasil sensus tahun 1971 memperlihatkan adanya 635.562 jiwa yang tinggal di kota Medan dan pada tahun 1980 jumlah penduduknya meningkat, tidak kurang dari 1.378.955 jiwa (BPS 1980).

2.4.2 Pada Masa Republik

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km2) atau 3,6 dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya, kota Medan memiliki luas wilayah yang relatih kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3 derajat 30’ – 3 derajat 43’ Lintang utara dan 98 derajat 35’ – 98 derajat 44 Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 3,7 meter di atas permukaan laut.

Berdasarkan data kependudukan tahun 2005, penduduk kota Medan diperkirakan telah mencapai 2.036.018 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria, (1.010.174 jiwa > 995.968). Jumlah penduduk tersebut diketahui merupakan penduduk tetap, sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 500.000 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar.

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010, penduduk Medan berjumlah 2.109.339 jiwa. Penduduk kota Medan terdiri atas 1.040.680 laki-laki dan 1.068.659 perempuan. Disiang hari jumlah meningkat hingga 2,5 juta jiwa dengan dihitungnya jumlah penglaju (komuter). Sebagian besar penduduk kota Medan berasal dari kelompok umur 0-19 tahun dan 20-39 tahun (masing-masing 41% dan 37,8 dari teritorial penduduk).

Dilihat dari struktur umur penduduk, kota Medan dihuni kurang lebih 1.377.751 jiwa berusia produktif, (15-59 tahun). Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah, penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan demikian, secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri manufaktur.

Laju pertumbuhan penduduk Medan periode tahun 2000-2004 cenderung mengalami peningkatan-tingkat pertumbuhan penduduk pada tahun 2000 adalah 0,09% dan menjadi 0,63% pada tahun 2004. Sedangkan tingkat kapadatan penduduk mengalami peningkatan dari 7.183 jiwa per km² pada tahun 2004. Jumlah penduduk paling banyak ada di Kecamatan Medan Deli, disusul Medan Helvetia dan Medan Tembung. Jumlah penduduk yang paling sedikit, terdapat di Kecamatan Medan Baru,

angka harapan hidup bagi laki-laki adalah 69 tahun sedangkan bagi wanita adalah 71 tahun.

Mayoritas penduduk Kota Medan sekarang ialah dari orang Tionghoa cukup banyak. Keanekaragaman etnis di Medan terlihat dari jumlah sekitar Jl. Zainul Arifin dikenal sebaga pemukiman orang keturunan India. Secara historis, pada tahun Medan dihuni 43.826 jiwa. Dari jumlah tersebut, 409 orang berketurunan 35.009 berketurunan Indonesia, 8.269 berketurunan Tionghoa, dan 139 lainnya berasal dari ras Timur lainnya.

Perbandingan Etnis di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000 Etnis Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000

24,89% 29,41% 33,03% 2,93% 14,11% -- 35,63% 12,8% 10,65% 6,12% 11,91% 9,36% 7,29% 10,93% 8,6% 7,06% 8,57% 6,59% 0,19% 3,99% 4,10% -- 2,19% 2,78% 1,58% 1,90% --

Lain-lain 14,31% 4,13% 3,95% Sumber:

Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai salah satu suku bangsa, namun total Simalungun (0,69%), Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak, (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93%

tahun, sedangkan jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 adalah 148.100 jiwa. Sebagai kota terbesar di Pulau Sumatra dan di Selat Malaka, penduduk Medan banyak yang berprofesi di bidang perdagangan. Biasanya pengusaha Medan banyak yang menjadi pedagang komoditas perkebunan. Setelah kemerdekaan, sektor perdagangan secara konsisten didominasi oleh etnis Tionghoa dan Minangkabau. Bidang pemerintahan dan politik, dikuasai oleh orang-orang Mandailing. Sedangkan profesi yang memerlukan keahlian dan pendidikan tinggi, seperti pengacara, dokter, notaris, dan wartawan, mayoritas digeluti oleh orang Minangkabau.

Komposisi Etnis Berdasarkan Okupasi Profesional Etnis Pengacara Dokter Notaris Wartawan

2,6% 3,9% -- 3,7% 13,2% 15,9% 18,5% 8,5% 5,3% 15,9% 11,1% 10,4% 5,3% 10% 7,4% 0,6% 23,6% 14,1% 14,8% 18,3% 36,8% 20,6% 29,7% 37,7%

-- 14,7% 7,4% 1,2%

Perluasan kota Medan telah mendorong perubahan pola pemukiman kelompok-kelompok etnis. Etnis Melayu yang merupakan penduduk asli kota, banyak yang tinggal di pinggiran kota. Etnis Tionghoa dan Minangkabau yang sebagian besar hidup di bidang perdagangan, 75% dari mereka tinggal di sekitar pusat-pusat perbelanjaan. Pemukiman orang Tionghoa dan Minangkabau sejalan dengan arah pemekaran dan perluasan fasilitas pusat perbelanjaan. Orang Mandailing juga memilih tinggal di pinggiran kota yang lebih nyaman, oleh karena itu terdapat kecenderungan di kalangan masyarakat Mandailing untuk menjual rumah dan tanah mereka di tengah kota, seperti di Kampung Mesjid, Kota Maksum, dan Sungai Mati.

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Perubahan tata ruang di Kota Medan kini memang benar sudah terjadi, banyak hal nyata yang membuktikan bahwa Kota Medan sudah mengalami perubahan dari masa klasik ke modern. Perubahan yang terjadi pada tata ruang kota melibatkan banyak karekteristik manusia di dalamnya, yaitu baik berupa pemerintah, pengusaha atau pemilik modal. Semua perubahan yang terjadi tersebut dilakukan atas dasar kepentingan ekonomi. Para pemilik modal (pengusaha) lebih merasa tertarik dan menguntungkan jika merancang pembangunan di daerah kawasan yang sudah matang dan memiliki fasilitas infrastruktur yang memadai, sehingga hanya membutuhkan sedikit investasi untuk merubahnya di banding dengan daerah pinggiran kota. Bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah bagi kota Medan pada akhirnya harus dikorbankan demi kepentingan para investor. Dengan demikian faktor ekonomi dan bisnis memiliki andil yang besar dalam perubahan tata ruang kota Medan.

Desakan kepentingan ekonomi yang demikian kuat telah menyebabkan Pemerintah Kota Medan sebagai pembuat kebijakan dan pengelola pembangunan kota sampai melanggar Undang-Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya serta Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan NO.6 Tahun 1988 Tentang “ Pelestarian Bangunan dan Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan Serta Penghijauan Dalam Daerah Kota Madya

Dengan terjadi perubahan tata ruang tersebut banyak bangunan-bangunan bersejarah yang perlahan-lahan dihancurkan serta dialih fungsikan keberadaannya. Mencermati pertumbuhan Kota Medan yaitu corak penjajahan bangsa Eropa dana pertumbuhan ekonomi. Medan dibangun dengan sentuhan kekuasaan Belanda. Dengan berlatar belakang budaya lokal Melayu dan pendatang dari Cina dan India, ternyata setelah lebih dua ratus tahun kondisinya jadi sangat berbeda. Medan secara tetap dan bertahap menghancurkan bangunan lama dan menggantikannya dengan bangunan baru. Percepatan pembangunan yang mengalahkan aturan tata ruang dan nilai sejarah, telah menyebabkan Kota Medan mulai kehilangan jati diri dan sejarah masa lalunya.

Ditinjau dari kontribusi budaya, Medan merupakan kota yang paling tinggi keberagaman budaya etnis dan latar belakang agamanya. Mesjid, gereja, biara dan kelenteng merupakan bangunan yang sudah didirikan dan difungsikan sejak awal pertumbuhan kota. Medan dihuni oleh sepuluh etnis yang pada awalnya masing-masing memiliki kontribusi budaya yang cukup signifikan terhadap budaya Medan. Keberagaman etnis menjadikan warna kehidupan kota lebih dinamis, terbuka dan akomodatif. Kelompok masyarakat dari masing-masing etnis memiliki kebanggaan dan memberi nama kawasan pemukiman mereka dengan asal daerah etnis mereka. Namun kebanggaan nama kawasan ini tidak diiringi dengan pengembangan budaya etnik penghuninya.

Keberagaman budaya etnik juga tidak berhasil membaur dan membangun budaya lokal Medan. Kepercayaan, kesenian dan adat istiadat masing-masing etnis tetap bertahan dalam warna aslinya. Secara nasional, kondisi ini menguntungkan karena perbauran akibat interaksi sosial kemasyaratan seperti perkawinan mendukung kekuatan rasa nasionalisme, tapi di sisi lain, sebagian besar menghilangkan warna

budaya masing-masing asal etnis pasangan. Makin luas wilayah hubungan interaksi sosial, makin memudar warna budaya lokalnya.

Budaya lokal ternyata tidak mampu bertahan dalam perputaran sejarah pertumbuhan ekonomi kota. Sebagai salah satu kota besar di Asia, catatan pertumbuhan pembangunan dan perkembangan budaya Medan dapat dijadikan masukan untuk membangun wajah kota Asia. Wajah kota yang dulunya artistik ala Eropa kini sebagian besar berubah jadi petak rumah toko yang berorientasi pada efektifitas ruang untuk transaksi dagang. Jiwa kota yang dulunya diperkaya budaya lokal kini hanya berorientasi pada pertumbuhan nilai ekonomi. Ruang dan aktivitas warga hanya dinilai dari pertumbuhan ekonomi dan banyaknya bangunan baru di pusat kota bahkan menyebabkan kanibalisasi bangunan tua yang sarat nilai sejarah.

5.2 SARAN

Seiring dengan adanya perkembangan zaman dan globalisasi, memang wajar dilakukan pembangunan terhadap kota Medan. Hal ini akan menunjukan kota Medan akan menjadikan kota yang maju dan berkembang. Tetapi alangkah baiknya, apabila pembangunan tersebut dilakukan dengan tidak merusak cagar budaya atau yang memiliki nilai sejarah bagi kota Medan, seperti menghancurkan banguna n-bangunan bersejerah yang memiliki aset penting dan bahkan menunjukkan jati diri terhadap kota Medan.

Apabila pembangunan memang dilakukan di Kota Medan, seharusnya berada pada kawasan-kawasan yang memiliki lahan yang tepat untuk proses pembangunan, dan sebaiknya pembangunan itu dilakukan secara merata, tidak menonjol dan

kawasan bisnis saja, dan bahkan lebih dominan digunakan bagi kalangan masyarakat kalangan atas.

Oleh sebab itu, bagi para Pemerintah Kota dan Pemilik modal (pengusaha) untuk menutupi adanya kesenjangan sosial akibat dari perubahan tatanan kota Medan yang dulunya klasik dan kini berubah menjadi kota yang modern tetapi tidak memberikan jati dirinya, sebaiknya juga memberikan lahan untuk berkumpul dan berekreasi bagi masyarakat kalangan bawah, sehingga kenyamanan untuk tinggal di kota Medan dapat dinikmati oleh berbagai strata sosial masyarakat Kota Medan.

Dokumen terkait