• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengertian Komunikasi

Istilah komunikasi berasal dari bahasa Inggris, yakni communication yang artinya hubungan, komunikasi. Sementara itu menurut kamus KBBI, komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak.

Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu yang mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan (sumber, komunikator sendiri) ditujukan kepada penerima pesan (receiver, komunikan, audience).

Koerner dan Fitzpatrick (2002:5) menjelaskan bahwa komunikasi merupakan suatu proses penggunaan simbol atau lambang dengan cara tertentu agar orang lain dapat mengerti makna simbol dan lambang tersebut.

Berdasarkan pernyataan ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi bukan hanya proses penyampaian pesan, ide, perasaan melalui media dan berbagai simbol tetapi juga proses untuk membuat penerima pesan memahami maksud pemberi pesan.

2. Pengertian Keluarga dan Ayah

Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia dimana ia belajar menyatakan dirinya sebagai manusia sosial, dalam interaksi dengan kelompoknya (Gerungan, 2004).

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1994) menjelaskan tentang keluarga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Dalam keluarga terdapat delapan fungsi yang harus dipenuhi oleh keluarga, termasuk ayah. Fungsi tersebut antara lain: fungsi keagamaan, fungsi sosial dan budaya, fungsi cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, serta fungsi pembinaan lingkungan.

Wikipedia menyebutkan bahwa ayah adalah orang tua laki-laki seorang anak. Seorang ayah dapat merupakan ayah kandung (ayah biologis) atau ayah angkat. Peran ayah dalam tumbuh kembang anak sangat diperlukan. Dalam menjalankan perannya, komunikasi merupakan hal yang tidak pernah terlepaskan. Melalui proses ini, dapat terlihat penerimaan dan penolakan yang dilakukan ayah. Penerimaan ayah secara signifikan mempengaruhi penyesuaian diri remaja, salah satu faktor yang memainkan peranan penting bagi pembentukan konsep diri dan harga diri.

3. Komunikasi Ayah-Anak

Berdasarkan PP No. 21 tahun 1994, komunikasi merupakan hal yang harus dibina dalam keluarga. Komunikasi dalam keluarga melibatkan ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain. Komunikasi sedikitnya bersifat diadik (melibatkan dua orang), yang dalam penelitian ini lebih lanjut akan meneliti tentang komunikasi diadik antara ayah dan anak. Komunikasi setiap keluarga bersifat khas. Setiap keluarga memiliki pola komunikasi yang berbeda satu dengan lainnya (Awalia, 2010:3).

Dalam komunikasi keluarga terdapat proses intersubjektivitas dan interaktivitas. Intersubjektivitas terkait dengan kemampuan kognitif dalam menangkap dan menerima pesan antar anggota keluarga, sedangkan interaktivitas terkait dengan perilaku keluarga yang membuat bentuk interaksi dan memelihara unit sosial (Koerner dan Fitzpatrick, 2002).

Lestari (2012:24) menjelaskan tentang bagaimana komunikasi yang baik, yaitu:

Komunikasi yang baik merupakan faktor yang penting bagi keberfungsian dan kelentingan keluarga. Komunikasi mencakup transmisi keyakinan, pertukaran informasi, pengungkapan perasaan, dan proses penyelesaian masalah. Keterampilan yang menjadi elemen dari komunikasi yang baik adalah keterampilan berbicara, mendengar, mengungkapkan diri, memperjelas pesan, menyinambungkan jejak, menghargai, dan menghormati.”

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dimengerti bahwa komunikasi dalam keluarga berarti proses penyampaian dan pemahaman, ide, pendapat, perasaan, pengalaman yang dilakukan sedikitnya oleh dua orang (bersifat diadik).

4. Peran Komunikasi Ayah-Anak

Komunikasi memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup berkeluarga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Koerner dan Fitzpatrick (2002:3), yakni:

“The ability of family to survive theses changes suggests that families are flexible and that their flexibility is aided by how family members communicate. Futhermore, although a number of the functions of the family have been delegated to other social agencies, families are expected to nurture one another and provide caregiving and support.”

Pernyataan tersebut berarti “Kemampuan keluarga untuk menghadapi berbagai macam perubahan menunjukkan bahwa keluarga bersifat fleksibel yang dipengaruhi oleh bagaimana anggota keluarga berkomunikasi. Meskipun fungsi keluarga kini banyak dilakukan oleh

agen-agen sosial lainnya, keluarga tetap dituntut untuk dapat memberikan kasih sayang dan dukungan.”

Shek dalam Lestari (2012:61) mengatakan bahwa hasil penelitian telah menegaskan bahwa komunikasi tentang orang tua-anak memengaruhi fungsi keluarga secara keseluruhan dan kesejahteraan psikososial pada diri anak. Penelitian Amato dan Gilberth dalam Hakoama (2011:4) membuktikan bahwa, “It is believed that emotionally close relationships benefit childs well-being because fathers can more effectively monitor, communicate with, and teach children the characteristics they value.” Artinya adalah dapat dipercayai bahwa relasi yang dekat secara emosional mendukung perkembangan anak karena ayah dapat mengawasi secara lebih efektif, berkomunikasi, dan mengajarkan anak tentang nilai-nilai yang mereka pegang.”

Lebih jauh, Lestari (2012:62) menjelaskan bahwa komunikasi orang tua-anak, dalam hal ini ayah-anak memang memegang peranan penting bagi orang tua untuk melakukan kontrol, pemantauan, dan dukungan pada anak. Tindakan orang tua untuk mengontrol, memantau, dan memberikan dukungan dapat dipersepsi positif atau negatif oleh anak, di antaranya dipengaruhi oleh cara orang tua berkomunikasi.

Berdasarkan penyataan yang diungkapkan oleh beberapa ahli, dapat dimengerti bahwa komunikasi dalam keluarga, khususnya ayah-anak merupakan cara untuk memenuhi fungsi keluarga sebagai penyedia kasih

sayang dan dukungan. Selain itu, komunikasi ayah-anak juga memengaruhi kesejahteraan keluarga, khususnya kesejahteraan psikologis anak. Hal ini mungkin karena selama proses komunikasi berlangsung, terjadi kedekatan antara ayah-anak dimana pengajaran tentang nilai, pengawasan yang efektif dapat dilakukan.

5. Tipe Komunikasi Ayah-Anak

Fitzpatrick dan Badzinki (Lestari, 2012:61-62) menyebutkan dua karakteristik yang menjadi fokus penelitian komunikasi keluarga dalam relasi orang tua-anak. Pertama, komunikasi yang mendukung, yang mencakup persetujuan, membesarkan hati, ekspresi afeksi, pemberian bantuan, dan kerjasama. Kedua, komunikasi yang mengontrol yakni tindakan yang mempertegas otoritas orang tua atau egalitarianisme orang tua-anak.

Berdasarkan Family Communication Pattern Theory (FCPT) yang dikembangkan oleh McLeod dan Chafee (1972) Fizpatrick dan Ritchie (1994), terdapat dua pola komunikasi, yaitu conversation orientation dan conformity orientation. (Koerner dan Fitzpatrick, 2002:20).

a. Conversation orientation

Conversation orientation merupakan pola dimana anggota keluarga dapat terlibat dalam interaksi atau topik pembicaraan yang luas. Dalam dimensi ini, anggota keluarga bebas dan terbuka untuk saling

berinteraksi tanpa adanya batasan waktu atau topik yang dibicarakan. Mereka saling berbagi tentang pendapat, ide, pengalaman, perasaan satu sama lain. Segala keputusan merupakan keputusan bersama, bukan hasil dominasi satu pihak saja.

Dalam konteks penelitian kali ini, saat pola komunikasi antara ayah-anak tinggi dalam dimensi conversation orientation, baik anak maupun ayah merasa bebas dan terbuka dalam menyampaikan ide, pendapat, perasaan, serta pengalaman mereka. Meskipun sebagai kepala keluarga, proses pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan anak tidak hanya berasal dari ayah melainkan berdasarkan kesepakatan keduanya. Berdasarkan pola ini, ayah meyakini bahwa komunikasi dengan anak mereka berarti mendidik dan bersosialisasi dengan anak tersebut (Koerner dan Fitzpatrick, 2002:20). b. Conformity orientation

Pada pola ini, pendapat, sikap, dan keyakinan bersifat sama. Keluarga dengan pola ini fokus pada keharmonisan, minimnya konflik, serta saling ketergantungan antara anggota keluarga. Komunikasi ini menggambarkan kepatuhan kepada orang tua, biasanya anak mengikuti apa yang diyakini oleh orang tua mereka. Anak umumnya menjadi tergantung pada apa yang dilakukan oleh orang tua mereka (Koerner dan Fitzpatrick, 2002:21).

Pola komunikasi ini banyak dipegang oleh keluarga tradisional, yakni keluarga yang memegang teguh hierarki, nilai-nilai adat (Lestari, 2012:53-54).

Berdasarkan dua orientasi tersebut, terdapat empat tipe keluarga yang dikelompokkan berdasarkan hasil perhitungan skor dalam instrumen pada masing-masing pola (Krisnatuti dan Putri, 2012:103). Empat tipe di bawah ini yang akan menjadi fokus pada penelitian, antara lain:

1. Consensual

Tipe jika keluarga tersebut tinggi di conversation dan conformity orientation. Komunikasi yang terjadi pada tipe ini bersifat terbuka dalam eksplorasi ide, perasaan, dan pengalaman setiap anggota keluarga tanpa menganggu struktur kekuatan keluarga. Dalam nilai masyarakat Indonesia, dikenal dengan musyawarah mufakat (Anna, 2012).

2. Pluralistic

Tipe jika keluarga tersebut tinggi di conversation tetapi rendah di conformity. Dalam tipe ini, komunikasi keluarga masih bersifat terbuka dalam membahas ide-ide, menghormati minta anggota lain, dan saling mendukung. Fokus komunikasi keluarga ini adalah pendapat yang mandiri dan kemampuan komunikasi anak.

3. Protective

Tipe jika keluarga tersebut rendah di conversation tetapi tinggi di conformity. Pada tipe ini keluarga memegang teguh kepatuhan dan nilai-nilai keluarga, keyakinan terhadap kebebasan perubahan ide dan perkembangan kemampuan komunikasi sedikit diterapkan. Anak-anak memiliki pendapat tetapi mudah dibujuk karena tidak belajar membela dan mempertahankan pendapat sendiri. Akhirnya, anak-anak patuh terhadap apa kata orang tua mereka.

4. Laissez-faire

Tipe ini jika keluarga tersebut rendah di conversation dan conformity. Anak tidak diarahkan untuk mandiri dan terbuka dalam menyampaikan ide, bahkan cenderung tidak membina keharmonisan hubungan dalam bentuk interaksi dengan orang tua (Anna, 2012). Anggota keluarga pada tipe ini jarang melibatkan diri dalam percakapan atau diskusi keluarga.

D. Tipe Komunikasi Ayah-Anak pada Konsep Diri

Tipe komunikasi ayah dan anak terbentuk melalui proses pengasuhan sehari-hari (Dagun, 2002:13; Santrock, 2003:207; Balswik dan Pipper, 2012:26). Dalam komunikasi sehari-hari banyak terjadi perbincangan, baik secara kuantitas maupun kualitatif, yang berpengaruh pada pembentukan konsep diri anak. Hal ini disebabkan oleh adanya proses belajar sosial, baik secara

langsung maupun tidak langsung, misalnya interaksi, pengajaran, dan imitasi mengenai konsep diri yang positif maupun negatif (Santrock, 2003:53).

Beberapa penelitian sejenis tentang ayah-anak dan pengaruhnya kepada anak, antara lain:

1. Penelitian Hakoama dan Brian S. Ready pada tahun 2011 membuktikan bahwa relasi yang dekat secara emosional mendukung perkembangan anak karena ayah dapat mengawasi secara lebih efektif, berkomunikasi, dan mengajarkan anak tentang nilai-nilai yang mereka pegang.

2. Jones dalam penelitiannya di tahun 2004 membuktikan bahwa anak-anak yang mengalami masalah dalam pendidikan, konsep diri, dan interaksi sosial rata-rata memiliki relasi yang buruk dengan ayah mereka. Relasi buruk yang dimaksud adalah kurangnya komunikasi, perhatian, dan keterlibatan ayah dalam keseharian anak mereka.

3. Penelitian yang dilakukan oleh banyak ahli yang dirangkum oleh Health (Allien, 2001) membuktikan bahwa anak yang terlibat dalam komunikasi yang baik dengan ayahnya mengalami kematangan secara psikologis. Mereka merasa puas dengan hidup, terhindar dari stres, dan lebih mampu dalam memahami diri, orang lain, serta perasaan mereka dengan cara yang benar.

4. Hasil penelitian Putri W. Sari tahun 2012 tentang Family Communication, Self Esteem, and Academic Achievement memaparkan bahwa komunikasi keluarga bepengaruh secara signifikan bagi perkembangan harga diri anak dan prestasi yang dicapainya.

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMK Negeri 4 Bandar Lampung. Waktu penelitian ini adalah pada tahun pelajaran 2012/2013.

B. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan metode korelasi. Menurut Furchan (2007:447), “Penelitian deskriptif dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala saat penelitian dilakukan, untuk melukiskan variabel atau kondisi apa yang ada dalam situasi.” Desain yang dalam penelitian ini adalah desain cross sectional, yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu tertentu.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Gulo (2010:76), populasi merupakan sekumpulan obyek yang menjadi pusat perhatian, yang dari padanya terkandung informasi yang ingin diketahui. SMK Negeri 4 Bandarlampung memiliki 6 jurusan

berbeda dimana masing-masing jurusan terdiri dari 2-3 kelas dengan jumlah siswa 20-40 setiap kelas. Agar lebih sederhana dan tidak mempersulit proses penelitian, peneliti menetapkan bahwa penelitian dilakukan di kelas X jurusan Teknik Komputer dan Jaringan. Peneliti memilih jurusan Teknik Komputer dan Jaringan berdasarkan rekomendasi dari guru BK tentang konsep diri yang mungkin bisa beragam dapat ditemukan di jurusan ini. Selain rekomendasi, peneliti juga telah melakukan penyebaran instrumen konsep diri dan hasilnya menunjukkan bahwa siswa terbanyak yang memiliki konsep diri negatif terdapat di jurusan Teknik Komputer dan Jaringan. Karena penelitian ini memerlukan siswa yang masih memiliki ayah, diketahui dari 87 siswa terdapat 70 siswa yang memenuhi kriteria tersebut. Dengan demikian, siswa kelas X jurusan Teknik Komputer dan Jaringan yang berjumlah 70 orang merupakan populasi dalam penelitian ini.

2. Sampel

Sampel dilakukan secara purposive karena penelitian ini menetapkan kriteria khusus, yakni siswa yang masih memiliki ayah. Setelah dilakukan penjaringan pada populasi di jurusan Teknik Komputer dan Jaringan, didapat 70 siswa masih memiliki ayah. Untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih baik, seluruh siswa tersebut (70 siswa) dijadikan sampel, yang selanjutnya disebut dengan responden penelitian.

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Penelitian

Terdapat dua jenis variabel penelitian, yakni:

a. Variabel independen, yakni variable yang merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab variabel dependent (terikat). Dalam penelitian ini, tipe komunikasi ayah-anak merupakan variabel independent (bebas).

b. Variabel dependen, yakni variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat dari variabel independent (bebas). Konsep diri merupakan variabel dependent (terikat).

2. Definisi Operasional Variabel a. Tipe komunikasi ayah-anak

Definisi variabel tersebut adalah bentuk komunikasi yang terjadi antara ayah dan anak. Terdapat empat tipe yang akan diungkap, antara lain: tipe consensual, pluralistic, protective, atau laissez-faire. Keempat tipe ini diperoleh berdasarkan perhitungan skor pada pola conversation atau conformity orientation.

b. Konsep diri

Definisi variabel tersebut adalah gambaran/pandangan siswa tentang dirinya secara multidimensional, yang mencakup sebelas aspek, antara lain: kemampuan fisik, penampilan fisik, hubungan lawan jenis, hubungan sesama jenis, hubungan dengan orang tua, keyakinan dan

Kemandirian, stabilitas emosi, matematika, verbal, sekolah secara umum, dan diri pribadi secara umum.

E. Teknik Pengumpulan Data

Beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan, antara lain: 1. Questionnaire (Kuesioner)

Penelitian ini menggunakan dua jenis questionnaire. Jenis questionnaire yang digunakan mengacu pada instrumen yang sudah ada, yakni: Self-Description Questionnaire (SDQ) II rumusan Marsh (1992) yang mengungkap konsep diri siswa dan Revised Family Communication Pattern (RFCP) Instrument rumusan Ritchie dan Fitzpatrick (1990), yang mengungkap tipe komunikasi ayah-anak. Kedua instrumen ini memiliki tiga alternatif jawaban, yakni: setuju, ragu-ragu, dan tidak setuju. Masing-masing jawaban diberi nilai 3 untuk setuju, 2 untuk ragu-ragu, dan 1 untuk tidak setuju. Khusus untuk SDQ II, terdapat pernyataan unfavorable yang pemberian nilai untuk jawaban setuju 1, ragu-ragu 2, dan tidak setuju 3.

2. Wawancara

Wawancara yang digunakan yakni wawancara tidak berstrukstur atau terbuka. Teknik ini dilakukan untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan, seperti: informasi keadaan siswa kelas X, informasi mengenai keadaan siswa yang memiliki konsep diri negatif.

F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Dalam penelitian ini, akan digunakan dua macam instrumen, yakni: 1. Instrumen Konsep Diri

Instrumen konsep diri mengacu pada Self-Description Questionnaire (SDQ) II yang merupakan kuesioner rumusan Marsh (1992) dan telah banyak digunakan di berbagai penelitian yang mengungkap tentang konsep diri. Marsh menyusun SDQ I, II, dan III yang berbeda sasaran respondennya. SDQ II ditujukan untuk secondary student (siswa SMP-SMA) dengan rentang kelas 7-12. Terdapat 11 area yang dapat diungkap dengan jumlah item sebanyak 102 yang terdiri dari pernyataan favorable dan unfavorable. Masing-masing pernyataan memiliki 3 alternatif jawaban. Nilai jawaban bagi pernyataan favorable adalah 3 untuk “setuju”, 2 untuk “ragu-ragu”, dan 1 untuk “tidak setuju” sedangkan bagi pernyataan unfavorable adalah 1 untuk “setuju”, 2 untuk “ragu-ragu”, dan 3 untuk “tidak setuju”.

Untuk memastikan bahwa instrumen cocok untuk mengukur konsep diri siswa di SMK Negeri 4 Bandar Lampung, peneliti telah melakukan uji validitas. Dari 102 item, diperoleh 62 item yang valid dimana 62 item ini mewakili masing-masing faktor (deskriptor) instrumen. Pengukuran validitas ini sesuai dengan rumusan Sugiyono (2011:178), “Bila korelasi setiap faktor tersebut positif dan besarnya 0,3 keatas maka faktor tersebut merupakan konstruk yang kuat.” Berikut ini merupakan keterangan mengenai jumlah item sebelum dan setelah uji validitas:

Tabel 3.1. Jumlah Item Instrumen Konsep Diri Sebelum dan Sesudah Uji Validitas.

No Faktor (Deskriptor) Jumlah Item

Sebelum Sesudah

1 Kemampuan fisik 8 2

2 Penampilan fisik 8 8

3 Hubungan lawan jenis 8 6

4 Hubungan sesama jenis 10 6

5 Hubungan dengan orang tua 8 5

6 Kejujuran dan Kemandirian 10 5

7 Stabilitas emosi 10 4

8 Matematika 10 4

9 Verbal 10 7

10 Sekolah secara umum 10 8

11 Diri-Pribadi secara umum 10 7

Jumlah 102 62

Tabel berikut ini menjelaskan tentang data item yang valid di setiap faktor/deskriptor:

Tabel 3.2. Keterangan Validitas Instrumen Konsep Diri.

No Faktor Nomor Korelasi Keterangan

A Kemampuan fisik 5 0,30 Valid

16 0,10 Tidak valid 27 -0,30 Tidak valid 38 0,30 Valid 49 0,09 Tidak valid 60 0,16 Tidak valid 71 0,14 Tidak valid 82 0,25 Tidak valid

B Penampilan fisik 2 0,46 Valid

13 0,35 Valid

24 0,30 Valid

35 0,40 Valid

46 0,39 Valid

Tabel 3.2. (Lanjutan)

68 0,61 Valid

79 0,35 Valid

C Hubungan lawan jenis 11 0,34 Valid

21 0,23 Tidak valid 33 0,39 Valid 43 0,44 Valid 54 0,46 Valid 66 0,22 Tidak valid 76 0,49 Valid 88 0,33 Valid

D Hubungan sesama jenis 10 -0,07 Tidak valid

22 0,45 Valid 32 0,56 Valid 44 0,46 Valid 55 0,47 Valid 65 0,05 Tidak valid 77 0,79 Valid 87 0,37 Valid 95 0,02 Tidak valid 102 -0,20 Tidak valid

E Hubungan dengan orang tua 8 0,30 Valid

19 0,00 Tidak valid 30 0,32 Valid 41 0,30 Valid 52 0,11 Tidak valid 63 0,31 Valid 74 -0,02 Tidak valid 85 0,43 Valid

F Kejujuran dan Kemandirian 4 0,50 Valid

15 0,19 Tidak valid 26 0,30 Valid 37 0,30 Valid 48 0,30 Valid 59 0,00 Tidak valid 70 0,02 Tidak valid 81 0,02 Tidak valid 91 0,35 Valid 98 0,08 Tidak valid

G Stabilitas emosi 7 0,20 Tidak valid

18 0,22 Tidak valid

29 0,42 Valid

40 0,18 Tidak valid 51 0,10 Tidak valid

Tabel 3.2. (Lanjutan)

73 0,33 Valid

84 0,47 Valid

93 -0,10 Tidak valid 100 0,08 Tidak valid

H Matematika 1 0,15 Tidak valid

12 0,16 Tidak valid 23 0,22 Tidak valid 34 0,43 Valid 45 0,30 Valid 56 -0,30 Tidak valid 67 0,31 Valid 78 -0,4 Tidak valid 89 0,37 Valid 96 0,25 Tidak valid I Verbal 6 0,43 Valid 17 0,37 Valid 28 0,01 Tidak valid 39 0,31 Valid 50 0,58 Valid 61 0,42 Valid 72 0,75 Valid 83 0,56 Valid 92 -0,40 Tidak valid 99 0,22 Tidak valid

J Sekolah secara umum 9 -0,14 Tidak valid

20 0,72 Valid 31 0,23 Tidak valid 42 0,52 Valid 53 0,30 Valid 64 0,36 Valid 75 0,48 Valid 86 0,52 Valid 94 0,30 Valid 101 0,40 Valid

K Diri-Pribadi secara umum 3 0,38 Valid

14 0,15 Tidak valid 25 0,19 Tidak valid 36 0,62 Valid 47 0,32 Valid 58 0,49 Valid 69 0,44 Valid 80 0,64 Valid 90 0,19 Tidak valid 97 0,68 Valid

Setelah memastikan validitas instrumen, peneliti melakukan uji reliabilitas dengan rumus Alpha. Nilai cronbach’s alpha untuk instrumen konsep diri sebesar 0,915. Artinya, instrumen konsep diri ini bersifat reliabel atau ajeg sehingga dapat digunakan dalam penelitian.

2. Instrumen Tipe Komunikasi

Insrumen tipe komunikasi yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada The Revised Family Communication Pattern (RFCP) Instrument yang dikembangkan oleh Ritchie dan Fitzpatrick (1990). Instrumen ini memuat 26 pernyataan yang digolongkan pada dua pola, yaitu: pola conversation orientation dan pola conformity orientation. Terdapat 15 pernyataan pada pola conversation orientation dan 11 pernyataan pada pola conformity orientation. Selanjutnya, skor yang diperoleh pada kedua pola ini dapat menghasilkan empat tipe komunikasi berbeda, yang menjadi fokus penelitian. Seperti yang telah dijelaskan, terdapat empat tipe komunikasi, antara lain: pluralistic jika skor tinggi pada conversation orientation tetapi rendah pada conformity orientation, consensual jika skor tinggi pada conversation orientation dan conformity orientation, protective jika skor rendah pada conversation orientation dan conformity orientation, dan laissez-faire jika rendah pada conversation orientation tetapi tinggi pada conformity orientation. Setiap pernyataan memiliki tiga alternatif jawaban, yakni “setuju”, “ragu-ragu”, dan “tidak setuju”. Masing-masing jawaban diberi nilai 3 untuk “setuju”, 2 untuk “ ragu-ragu”, dan 1 untuk “tidak setuju”.

Seperti yang peneliti lakukan pada instrumen konsep diri, peneliti juga melakukan uji validitas untuk instrumen tipe komunikasi. Berdasarkan hasil uji validitas yang diperoleh, dari 26 pernyataan yang terbagi dalam 15 pernyataan pada pola conversation orientation dan 11 pernyataan pada pola conformity orientation, terdapat 22 pernyataan yang valid. Pernyataan yang valid ini terdiri dari 13 pernyataan pada pola conversation orientation dan 9 pernyataan pada pola conformity orientation. Adapun valid tidaknya pernyataan ditentukan dari hasil korelasi minimal 0,30. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sugiyono (2011:178), “Bila korelasi setiap faktor tersebut positif dan besarnya 0,3 keatas maka faktor tersebut merupakan konstruk yang kuat.” Tabel berikut ini memuat tentang jumlah pernyataan sebelum dan setelah uji validitas:

Tabel 3.3. Jumlah Item Instrumen Tipe Komunikasi Sebelum dan Setelah Uji Validitas.

No Faktor (Deskriptor) Jumlah Item

Sebelum Sesudah

1 Conversation Orientation 15 13 2 Conformity Orientation 11 9

Tabel berikut ini menjelaskan tentang data item yang valid di setiap faktor/deskriptor:

Tabel 4. Keterangan Validitas Instrumen Tipe Komunikasi.

No Nomor Item Korelasi Keterangan

A Conversation Orientation 1 0,54 Valid 2 0,55 Valid 3 0,49 Valid 4 0,23 Tidak valid 5 0,32 Valid 6 0,40 Valid 7 0,62 Valid 8 0,58 Valid 9 0,41 Valid 10 0,30 Valid 11 0,69 Valid 12 0,37 Valid 13 0,46 Valid 14 0,69 Valid 15 0,20 Tidak Valid B Conformity Orientation 16 0,39 Valid 17 0,33 Valid 18 0,30 Valid 19 0,37 Valid 20 -0,10 Tidak Valid 21 0,51 Valid 22 0,64 Valid 23 0,47 Valid 24 0,33 Valid 25 -0,01 Tidak Valid 26 0,30 Valid

Setelah memastikan validitas instrumen, peneliti melakukan uji reliabilitas dengan rumus Alpha. Nilai cronbach’s alpha untuk instrumen tipe komunikasi sebesar 0,824 yang berarti sangat reliabel.

G. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menghitung nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan standar deviasi. Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antar variabel, yakni tipe komunikasi dan konsep diri.

Beberapa rumus analisis data yang akan digunakan, antara lain: 1. Interval

Keterangan: : interval

: nilai tertinggi/skor maksimum : nilai terendah/skor minimum : jumlah kategori

Berikut ini adalah hasil perhitungan interval yang diperoleh dari masing-masing instrumen:

a. Instrumen Konsep Diri

Skor maksimum didapat sebesar 175 dan skor minimum sebesar 98 sehingga dapat diintervalkan menjadi tiga bagian: rendah (98-123), sedang (124-149), dan tinggi (150-175).

b. Instrumen Tipe Komunikasi

Pada instrumen ini interval dilakukan pada masing-masing pola sehingga dicari skor minimum dan maksimum di bagian conversation dan conformity. Skor minimum pada conversation 14

Dokumen terkait