• Tidak ada hasil yang ditemukan

URAIAN TEORITIS

II.1 KOMUNIKASI dan KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA. .1 Pengertian komunikasi dan komunikasi antarbudaya

II.1.1.2 Komunikasi antar budaya

Budaya dan komunikasi memiliki kaitan yang sangat erat. Hal ini disebabkan karena perkembangan komunikasi tidak terlepas dari perkembangan kebudayaan. Dalam komunikasi antar budaya, setiap individu memiliki latar belakang pengalaman budaya yang berbeda, diantara individu-individu yang mempunyai kebudayaan yang sama umumnya memiliki kesamaan (homogenitas) dalam hal latar belakang pengalaman secara keseluruhan jika dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kebudayaan yang berbeda.

Berbicara mengenai komunikasi antar budaya tidak dapat dielakkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Budaya merupakan landasan dari komunikasi, bila komunikasi beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasinya karena perbendaharaan perilaku kita sangat tergantung pada

budaya tempat kita dibesarkan. Kebudayaan (budaya) berasal dari bahasa Sanskerta yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal” (Koenjaraningrat, 1990:181). Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.

Budaya berkenaan dengan cara hidup manusia. Manusa berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, dan tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik, teknologi, semua itu berasal dari pola-pola budaya.

Komunikasi antar budaya memiliki perbedaan dari bentuk komunikasi lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada latar belakang pengalaman yang relatif besar diantara para komunikatornya, yang disebabkan oleh perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya, maka akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Ada syarat-syarat pokok yang diperlukan individu untuk berkomunikasi secara efektif antar budaya. Syarat-syarat itu adalah : 1. Menghormati anggota budya lain sebagai budaya, 2. Menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki, 3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak (Mulyana, 2005:6-7).

Menurut Barna efektivitas komunikasi antar budaya sangat tergantung dari faktor-faktor luar yang mempengaruhinya misalnya bahasa, pesan-pesan non verbal, prasangka, streotip, kecenderungan untuk mengevaluasi dan tingginya

tingkat kecemasan (Lubis, 1999:18). Porter dan samovar juga mengatakan bahwa ada banyak variabel yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antar budaya, yang salah satunya adalah sikap. Sikap merupakan suatu keadaan psikologis yang menyebabkan setiap manusia membuat predisposisi tindakan yang tepat dalam menghadapi baragam peristiwa sosial atau objek dalam lingkungan sosialnya. (Lubis.199:4).

Samovar dan Porter (1985) mengatakan bahwa suatu keinginan yang tulus untuk melakukan komunikasi yang efektif adalah penting, sebab komunikasi yang berhasil mungkin tidak hanya terhambat oleh perbedaan-perbedaan budaya, tetapi juga oleh sikap-sikap yang tidak bersahabat atau bermusuhan.

Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan. Dengan pemahaman yang sama, maka komunikasi antar budaya dapat diartikan melalui beberapa pernyataan berikut:

1. Komunikasi antar budaya adalah pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya.

2. Komunikasi antar budaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan secara lisan, behkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya.

3. Komunikasi antar budaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan atau tertulis atau metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar belakang kebudayaan.

4. Komunikasi antar budaya adalah pengalihan informasi dari seseorang yang berbeda kebudayaan tertentu kepada seseorang yang berbeda kebudayaan lainnya.

5. Komunikasi antar budaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.

6. Komunikasi antar budaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seseorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.

7. Komunikasi antar budaya adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan, atau perasaan diantara mereka yang berbeda latar belakang budayanya. proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau penampilan pribadi. (Mulyana, 1998:9).

Jadi komunikasi antar budaya merupakan komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang berbeda budaya bahkan dalam satu bangsa sekalipun (Liliweri, 2001:14).

Komunikasi antar budaya selalu mempunyai tujuan tertentu yakni menciptakan komunikasi yang efektif melalui pemaknaan yang sama melalui pesan yang dipertukarkan. Secara umum tujuan komunikasi antar budaya antara lain menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antar budaya melalui perolehan informasi baru, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan (Liliweri, 2001:255).

Menurut Verdeber ada tiga faktor penentu dalam komunikasi antar budaya, diantaranya adalah 1. Stereotip, 2. Jarak sosial, 3. Diskriminasi (Lubis, 1999:21). Stereotip adalah sikap yang dimiliki seseorang untuk menilai orang lain semata-mata berdasarkan pengelompokan rasa atau pengelompokan yang dimilikinya sendiri. Stereotip pada umumnya condong mengarah kepada sikap negatif terhadap orang lain. menurut Gerungan streotip merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat dan watak pribadi orang, golongan lain yang umumnya becorak negatif (Lubis, 1999:21). Jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan tertentu. Secara teoritik pngukuran jarak sosial yang ditemukan Bogardus itu mengukur tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam item-item seperti kesediaan untuk menikah dengan orang lain, kesediaan untuk bergaul rapat sebagai kawan maupun sebagai anggota dalam klubnya, kesediaan untuk menerimanya sebagai warga negaranya. Diskriminasi merupakan suatu

perilaku yang ditujukan untuk mencegah suatu kelompok atau membatasi suatu kelompok yang lain yang berusaha untuk memiliki atau menguasai sumber daya (Lubis, 1999:21).

Devito (1978:261) ada beberapa faktor penentu efektivitas komunikasi antar budaya, yakni 1. Keterbukaan, 2. Empati, 3. Perasaan positif, 4. Dukungan, 5. Keseimbangan (Lubis, 1999:45). Cara menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi. Disatu pihak ada orang-orang yang sekaligus mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang-orang lain, dipihak lain ada juga orang-orang yang tidak mengetahui dan menerima, sehingga kemungkinannya tinggi sekali untuk mengalami kegagalan komunikasi. Penggunaan system sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam kepercayaan dan perilaku, dan pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan dan perilaku orang lain, semua itu membantu terciptanya komunikasi yang efektif.

II.2 Teori Etnosentrisme

Etnik berasal dari bahasa Yunani “etnichos”, secara harfiah digunakan untuk menerangkan keberadaan kelompok penyembah berhala atau kafir. Dalam perkembangannya istilah etnik mengacu pada kelompok yang di asumsikan sebagai kelompok yang fanatik dengan idiologinya. Para ahli ilmu sosial menganalogikan kelompok etnik sebagai sekelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat-sifat budaya, misalnya bahasa, adat istiadat, perilaku budaya, karakteristik budaya, serta sejarah. (Liliweri, 2001:334-335).

Menurut Narrol kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang ; (1). Secara biologis mampu bertahan dan berkembang biak, (2). Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3). Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4). Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. atau sebagaimana yang dikemukakan oleh Barth (1998) dan Zastrow (1089) etnik adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya (Liliweri, 2001:335). Etnosentris merupakan salah satu konsep yang mempunyai kaitan erat dengan etnik. Prinsip-prinsip etntosentris dalam masing-masing etnis memungkinkan munculnya prasangka sosial. Prasangka merupakan sikap negatif sebuah kelompok dan anggota-anggota individu atau prasangka juga bisa diartikan sebagai sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan lewat perasaan. Prasangka merupakan sikap negatif atas suatu kelompok tertentu yang dibangun tanpa alasan dan pengetahuan atas sesuatu sebelumnya dan sering terbangun karena ketidaktahuan dan keengganan untuk mengenal dan memahami sesama. Seringkali prasangka menjadi salah satu faktor penghambat terjadinya proses komunikasi hal ini disebabkan karena sikap curiga dan emosi yang memaksa kita untuk menarik sebuah kesimpulan tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata sekalipun.

Prasangka memiliki pengaruh yang kuat terhadap komunikasi antaretnis. Prasangka sosial juga berhubungan dengan stereotip etnis yang merupakan

seperangkat sifat yang menjadi atribut kelompok etnis tertentu dari sudut pandang etnis lain. stereotip berasal dari kecendrungan untuk mengorganisasikan sejumlah fenomena yang sama atau sejenis yang dimiliki oleh sekelompok orang kedalam kategori tertentu yang bermakna. Johnson (1986:382) mengatakan bahwa stereotip adalah suatu sikap yang dimiliki seseorang untuk menilai orang lain semata-mata berdasarkan pengelompokan ras atau pengelompokan yang dibuatnya sendiri (Lubis,1999:21). Stereotip juga berkaitan dengan konstruksi imej yang telah ada dan terbentuk secara turun temurun menurut sugesti, dan penyebab kurang efektifnya komunikasi antar etnik dalam komunikasi antarbudaya tidak disebabkan semata-mata karena pandangan mereka tentang etnis melainkan karena pengaruh tekanan streotip yang berlebihan dari etnis tersebut. dari penelitian tentang stereotip antar etnik maka dapat disimpulkan : 1). Setiap etnis yang mayoritas maupun minoritas mempunyai stereotip. 2). Stereotip intra etnis cendrung lebih positif dari pada antar etnik. 3). Kelas sosial, usia, tempat tinggal, waktu dapat membedakan stereotip intra dan antar etnis. 4). Karena itu stereotip dapat berubah melintasi waktu dan tempat secara dinamis. 5). Stereotip muncul antara lain karena faktor-faktor penamaan, kesamaan, dan perbedaan, intensitas, arah penilaian. 6). Ada perbedaan stereotip intra etnis dengan antar etnis, perbedaan itu terjadi karena informasi yang diterima seseorang, dan 7). Ada hubungan antara stereotip dengan terbentuknya hubungan sosial. (Lubis, 1999:24-25).

Menurut Johnson(1986) prasangka disebabkan karena : (1). Perbedaan antar kelompok, (2). Nilai yang dimiliki kelompok lain nampaknya sangat menguasai

kelompok minoritas, (3). Adanya stereotip, (4). Adanya perasaan superior kepada kelompok sendiri (Liliweri, 2001:176).

Menurut Summer (1906:12) manusia pada dasarnya seorang yang individualistik yang cendrung mengikuti naluri biologi untuk mementingkan diri sendiri, sehingga mengahasilkan hubungan diantara manusia yang bersifat antagonistic (pertentangan yang menceraikan). Pertentangan itu dapat dicegah dengan folkways yang bersumber pada pola tertentu seperti kebiasaan (habits), yang lama-lama menjadi adat-istiadat (costum), kemudian menjadi norma susila (mores) dan akhirnya menjadi hukum (law) (Lubis, 1999:35).

Kerjasama individu dalam masyarakat umumnya bersifat antagonistic corporation (kerjasama antar pihak-pihak yang mempunyai prinsip bertentangan). Akibatnya manusia memntingkan diri sendiri dan kelompoknya sendiri karena menganggap folkways nya lebih baik dari pada orang atau kelompok lain. oleh karena itu lahir lah rasa ingroup dan outgroup yang bermuara pada sikap etnosentris (Lubis, 1999:36). Etnosentris adalah paham yang menganggap kebudayaannya lebih tinggi, lebih unggul dibanding dengan kebudayaan lain. Etnosentris merupakan kecendrungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. etnosentris membimbing para anggotanya (kelompok etnis) untuk memandang kebudayaan mereka sebagai yang terbaik, terunggul dari pada kebudayaan yang dihadapinya. Etnosentris juga menyebabkan prasangka dalam setiap kelompok etnis yang dapat

memandang orang dari kelompok etnis lain sebagai orang bar-bar, kafir dan tidak mempunyai peradaban.

Setiap etnis tanpa terkecuali memiliki etnosentris, etnosentris tersebut memiliki prasangka sosial yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk perilaku berkomunikasi. Setiap kelompok etnis merupakan himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, atau kombinasi dari kategori-kategori itu. Kelompok ini memiliki keterikatan etnis yang tinggi melalui sikap etnosentris, karena itu orang cendrung memandang norma dan nilai kelompok budayanya sebagai sesuatu yang mutlak dan dapat digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap kebudayan lain. (Lubis, 1999:24). Oleh karena itulah etnosentris dikatakan sangat berpengaruh dalam komunikasi antarbudaya, misalnya meningkatkan kecendrungan untuk memilih dengan siapa kita berkomunikasi.

Dalam komunikasi antar budaya, penggunaan perspektif etnosentris dibenarkan oleh Porter dan Samovar (1976:8) bahwa banyak variabel yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antar budaya, yang salah satunya adalah sikap. Sikap merupakan suatu keadaan psikologi yang menyebabkan setiap manusia membuat predisposisi tindakan yang tepat dalam menghadapi beragam peristiwa sosial atau objek dalam lingkungannya. Bukan hanya itu, sikap tidak hanya mempengaruhi perilaku yang nyata tetapi malah menghambat persepsi ketika menerjemahkan setiap peristiwa yang tergantung pada predisposisi itu. Kita cenderung memandang sesuatu yang disukai lebih daripada yang lainnya. Sikap mempengaruhi komunikasi antar budaya, misalnya terlihat dalam etnosentris,

pandangan hidup (cara pandang), nilai-nilai yang absolut, stereotip dan prasangka. (Lubis, 1999:37).

Masyarakat yang mejemuk yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda akan selalu menghadapi masalah etnosentris. Perbedaan itu merupakan akibat dari perbedaan folkways yang dimiliki. Keberbedaan ini juga dapat memicu adanya perpecahan yang mengarah ke disintegrasi antarbudaya. Etnosentris adalah akar dari rasisme.

II. 3. Teori Pertukaran.

Saat orang berinteraksi, mereka melakukan sejumlah pertukaran dan terus melakukannya sampai biaya dari hubungan itu sendiri lebih besar dari manfaat yang didapat. Seperti contoh dalam hal berpacaran, pada setiap date, perbincangan, atau pertukaran lainnya setiap orang terus melakukan kalkulasi apakah dia akan mendapat manfaat dari hubungan tersebut dengan biaya resiko serendah mungkin. Teori pertukaran (exchange theory) mengatakan bahwa semua hubungan manusia digerakkan oleh sejumlah analisis subjektif tentang biaya dan manfaat serta perbandingan terhadap alternatif yang ada.

Teori pertukaran (exchange theory) dikembangkan oleh John Thibaut, George Homas dan Harlod Kelley. Teori ini menganggap hubungan interpersonal sebagai sebuah transaksi dagang, dalam arti ini hubungan yang terjadi antar individu disebabkan karena adanya harapan untuk saling memenuhi kebutuhan. Pada perkembangan selanjutnya, berbagai pendekatan dalam teori ini semakin fokus kepada bagaimana kekuatan hubungan antar pribadi dapat membentuk suatu

hubungan interaksi dan menghasilkan suatu usaha, untuk mencapai keseimbangan dalam hubungan tersebut.

Dalam teori pertukaran ini memandang hubungan interpersonal sebagai transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam sebuah hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut dianggap cukup menguntungkan bagi mereka dari segi ganjaran, biaya, laba dan tingkat perbandingan (Rakhmat, 2003). Ganjaran merupakan setiap tindakan yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial, atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Sedangkan biaya adalah akibat negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Jadi, berdasarkan teori pertukaran ini komunikasi terjadi karena adanya imbalan sebagai akibat dari interaksi yang dilakukan tersebut. Teori pertukaran sosial dititik beratkan pada ganjaran (reward) dalam hubungan antar manusia. Anggapan umum yang menjadi landasan teori pertukaran ini adalah :

1. Perilaku sosial dapat dipahami dalam kaitannya dengan ganjaran (reward) dalam pengertian barang ataupun pelayanan, yang nyata memenuhi kebutuhan seseorang atau mendekatkan pada tujuannya.

2. Manusia berusaha untuk memperoleh ganjaran yang sebesar-besarnya dan menekankan kerugian serta hukuman yang dideritanya menjadi sekecil-kecilnya.

3. Interaksi sosial timbul dari keadaan pihak lain menguasai hal-hal yang berharga atau yang dibutuhkan, karena itu mampu untuk memberi ganjaran kepada seseorang. Untuk mendorong orang lain memberi ganjaran kepadanya, harus memberi ganjaran orang lain.

4. Interaksi sosial dilihat sebagai suatu pertukaran tindakan yang saling menguntungkan tempat penerimaan barang berharga yang dibutuhkan (berupa barang dan jasa). Tergantung dari penyerahan ganjaran sebagai balasan (yang biasanya terjadi seketika). (Lubis, 1999:83).

Dalam teori pertukaran ini menganggap bahwa individu dan lingkungan memiliki hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita terdiri dari orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi. Banyak para ahli antropologi (termasuk Malinowski dan Marcil) menemukan bahwa keadaan yang saling mempengaruhi berfungsi sebagai landasan bagi struktur persahabatan dan persekutuan dalam masyarakat tradisional (Lubis, 1999:87). Dalam teori pertukaran sosial ini suatu tindakan akan dilakukan berulang apabila tindakan tersebut dirasa memiliki imbalan bagi dirinya. Makin tinggi nilai hasil perbuatan bagi seseorang, maka makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali. Homans dalam bukunya “Elementrary Forms of Social

Behavioral,1974 mengeluarkan beberapa preposisi dan salah satunya berbunyi : semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi. Preposisi ini menjelaskan bahwa suatu tindakan tertentu akan dilakukan secara berulang jika ada imbalannya. Preposisi lain yang memperkuat preposisi tersebut adalah makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran adalah “disributif justice” yaitu aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang dikeluarkannya. Makin tinggi pengorbanan, maka makin tinggi imbalannya, dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya. Makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungannya.

Kerjasama merupakan aspek penting dalam sebuah kerangka relasi pertukaran sosial. Kerjasama disini dinyatakan dalam pernyataan saling melibatkan diri dan saling bantu. Kerjasama sebagai salah satu syarat bagi berlangsungnya sebuah model pertukaran sosial, termuat didalamnya perilaku resiprositas yang dilakukan oleh orang yang terlibat dalam kerangka relasi tersebut. aspek resiprositas menjadi perhatian penting bagi sebagian besar pemerhati teori pertukaran sosial, karena selain memiliki dimensi kerjasama, resiprositas yang berlangsung dalam suatu kerangka relasi, juga membuka

peluang untuk terjadinya praktek eksploitasi oleh suatu pihak atas pihak lain, meskipun tidak disadari oleh masing-masing pihak (Lubis.1999:87).

Teori pertukaran beranggapan bahwa orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan objektif cenderung menganggap manusia yang mereka amati sebagai pasif dan perubahannya disebabkan karena kekuatan-kekuatan sosial diluar diri mereka. Pendekatan ini juga berpendapat, hingga derajat tertentu perilaku manusia dapat diramalkan, meskipun ramalan tersebut tidak setepat ramalan alam. Dengan kata lain hukum-hukum yang berlaku pada perilaku manusia bersifat mungkin (probalistik). Misalnya kalau mahasiswa lebih rajin belajar, mereka (mungkin) akan mendapatkan nilai yang lebih baik, kalau kita ramah pada orang lain, orang lain (mungkin) akan lebih ramah kepada kita, bila suami istri sering bertengkar, mereka (mungkin) akan bercerai.

Inti dari teori pertukaran sosial ini menyatakan bahwa hubungan antar pribadi bisa diteruskan dan dihentikan. Hal ini disebabkan karena dalam perkembangan hubungan antar pribadi, setiap orang mempunyai pengalaman tertentu sehingga dia dapat membandingkan faktor-faktor motivasi dan sasaran hubungan antar pribadi yang dilakukan diantara beberapa orang. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antar pribadi, makin besar pula peluang hubungan tersebut diteruskan, makin kecil keuntungan yang diperoleh dari hubungan antar pribadi, maka makin kecil peluang hubungan tersebut diteruskan (Liliweri, 2001:54-55).

II. 4. Persepsi

Manusia diberi kemampuan oleh tuhan untuk mempersepsikan apa yang dia lihat dan dia rasakan dari pengalaman dilingkungan tempat dia hidup. Persepsi-persepsi tersebut berasal dari kebudayaan yang mengajarkan kepada individu untuk mencipta, merasa, dan mengkarsa. Jadi kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang turut menentukan persepsi manusia. Berbeda kebudayaan, maka berbeda pula persepsi yang dimiliki oleh masing-masing individu tersebut.

Persepsi seringkali dimaknakan dengan pendapat, sikap, penilaian, perasaan dan lain-lain. persepsi menggambarkan pengalaman manusia tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan tentang objek tersebut. Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensori stimuli). Antara persepsi dan sensasi memiliki hubungan yang erat karena sensasi merupakan bagian dari persepsi. Walaupun begitu, dalam menfsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, akspektasi, motivasi dan memori. (Rakhmat, 2001:51).

Sensasi merupakan pengalaman elementer segera yang tidak memerlukan uraian verbal, simbolis atau konseptual yang berhubungan dengan kegiatan alat indera. Sensasi berkaitan erat dengan cara indera manusia yang menangkap secara sepintas atas objek. Sedangkan ekspektasi sama dengan harapan, harapan yang ditimbulkan karena proses komunikasi (Liliweri, 2001:112).

Persepsi memiliki hubungan yang erat dengan sensasi, atensi, ekspektasi, motivasi, memori. Persepsi tidak akan ada tanpa melalui proses-proses tersebut. persepsi memiliki keunikan tersendiri, keunikan tersebut terletak pada perbedaan persepsi diantara manusia terhadap ransangan yang sama. Misalnya setiap individu akan mempersepsikan berbeda-beda setiap ransangan yang sama yang datang kepada mereka. Selain faktor personal persepsi juga ditentukan oleh faktor situasional. Faktor personal berasal dari dalam diri individu seperti pengalaman masa lalu, kebutuhan, jenis kelamin dan lain-lain yang bersifat subjektif. Sedangkan faktor situasional berasal dari luar diri individu seperti lingkungan keadaan sosial, hukum yang berlaku, dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Ada salah satu faktor yang menentukan persepsi, faktor tersebut adalah perhatian (attention). Menurut Kenneth E. Andersen perhatian (attention) merupakan proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian (attention) juga dipengaruhi oleh faktor situasional dan personal. Faktor situasional atau penarik perhatian (attention getter) berupa gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan

Dokumen terkait