• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : Tinjauan Pustaka dan Pengembangan Hipotesis

2.1 Tinjauan Teori

2.1.3 Komunikasi Dalam Proses Penyusunan Anggaran

Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan bantuan dari orang lain disekitarnya. Dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial, maka komunikasi tidak saja sebagai alat untuk melakukan kontak hubungan dengan antar individu, namun komunikasi juga merupakan alat bagi manusia untuk bertahan hidup (Soemanagara,2006:45). Untuk itulah manusia memerlukan dan melakukan komunikasi dengan baik. Manusia sebagai makhluk berbudi pekerti luhur yang harus dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, akan selalu berinteraksi untuk berbicara, menyampaikan keinginan, dan lain sebagainya melalui atau dengan cara berkomunikasi. Semua kebutuhan dan keinginan dimaksud hanya dapat disampaikan dan dipenuhi dengan jalan berkomunikasi dengan baik antara yang satu dengan yang lainnya, terlebih dalam suatu sistem organisasi perkantoran atau perusahaan, dimana

komunikasi yang baik dan lancar tersebut sangat dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan operasional dan demi kelangsungan hidup perusahaan, sebab bila manusia tidak mampu berkomunikasi dengan baik mereka tidak akan bisa bekerjasama (Effendy,1989:7). Komunikasi yang baik berarti bisnis yang baik. Komunikasi merupakan perekat yang menyatukan manusia bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama (Corrado,2004:11). Peran penting komunikasi dalam memulihkan keseimbangan antara kebutuhan perusahaan dan kebutuhan karyawan, serta membantu untuk mengembalikan dan memelihara kepercayaan, menjadi jelas bagi lebih banyak orang, karena komunikasi amat penting bagi peremajaan kembali organisasi. Komunikasi yang baik meningkatkan keharmonisan kerja dalam perkantoran. Sebaliknya apabila tidak ada komunikasi yang baik, maka koordinasi akan terganggu. Akibatnya adalah disharmonisasi yang akan mengganggu proses pencapaian target dan tujuan perusahaan (Suranto,2005:57).

Kata komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu communis, yang berarti bersama. Banyak sekali defenisi dari komunikasi menurut para ahli, misalnya menurut Theodore Herbert (1981) dalam Suranto (2005:15) mendefenisikan komunikasi sebagai proses yang didalamnya menunjukkan arti pengetahuan dipindahkan dari seorang kepada orang lain, biasanya dengan maksud mencapai beberapa tujuan khusus. Menurut Everett M.Rogers (1955) dalam Suranto (2005:15) menyatakan bahwa komunikasi ialah proses yang didalamnya terdapat suatu gagasan yang dikirimkan dari sumber kepada penerima dengan tujuan merubah perilakunya.

Jadi dalam hal ini komunikasi memiliki banyak defenisi sesuai dengan persepsi dari masing-masing para ahli, dan disesuaikan konteks yang dihadapi dalam komunitas yang dihadapi. Menurut penulis bahwa komunikasi tersebut merupakan ungkapan-ungkapan penyampaian keinginan ataupun pesan-pesan dan informasi antara sesama individu dan kelompok baik secara lisan maupun tulisan dengan maksud dan tujuan tertentu untuk mendapatkan respons tentang keinginan ataupun pesan-pesan dan informasi dimaksud.

Komunikasi yang baik dan lancar adalah komunikasi terbuka dimana informasi mengalir secara bebas dari atas ke bawah atau sebaliknya. Dalam suatu organisasi, infomasi tersebut sebaiknya harus terbuka, ada umpan balik yang dapat diutarakan dalam suasana saling percaya, orang saling tertarik, saling memperhatikan dan saling menghormati. Hal-hal ini yang dapat membuat komunikasi dalam semua organisasi menjadi lancar (Arep dan Tanjung,2004:81). Sama halnya dalam penyusunan anggaran di suatu perusahaan, komunikasi yang baik dan lancar antara pimpinan dengan bawahan atau sebaliknya, sangat dibutuhkan dalam menyamakan persepsi untuk menyusun dan merumuskan serta melaksanakan dengan baik rencana kerja yang ingin dicapai oleh perusahaan. Sebab, kendati begitu cemerlangnya hasil berpikir seseorang baik pimpinan maupun bawahan tidak ada artinya jika tidak dinyatakan dan dikomunikasikan dengan baik. Pemimpin tidak hanya memiliki kemampuan membuat komitmen atau keputusan, tetapi harus diterjemahkan menjadi gagasan, prakarsa, inisiatif, kreativitas, pendapat, saran, perintah, dan lainnya yang

sejenis itu melalui komunikasi yang baik. Oleh karena kemampuan mengambil keputusan akan kehilangan artinya tanpa kemampuan mengkomunikasikannya (Namawi dan Martini,2004:167). Dengan komunikasi yang baik maka seluruh komponen dalam perusahaan dapat secara sistematis bekerja dalam satu arah yang sama yaitu untuk meningkatkan produktivitas perusahaan (Suranto,2005:57). Jika terjadinya miscommunication dalam perusahaan, khususnya dalam penyusunan anggaran ini, akan menimbulkan dampak negatif yang berakibat buruk bagi kelangsungan hidup perusahaan.

Anggaran tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya komunikasi yang baik antara pimpinan dan bawahan. Kemampuan berkomunikasi secara efektif bagi seorang pimpinan erat kaitannya dengan kempimpinan yang berwibawa. Kalau seorang pimpinan ingin memiliki kepemimpinan yang berwibawa, maka ia perlu mempunyai kemampuan berkomunikasi secara efektif. Kemahiran berkomunikasi bagi seorang manajer dapat memperkecil, bahkan menghilangkan konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan organisasi (Effendy,1989:134,141). Untuk itulah komunikasi yang baik dan lancar tersebut selalu ditumbuhkembangkan dalam perusahaan, yang salah satunya dengan cara melibatkan (partisipasi) para manajer dan karyawan dalam merumuskan dan memutuskan sesuatu keputusan atau hal-hal penting dalam perusahaan, terlebih khusus tentang penyusunan anggaran dimaksud.

Untuk mencapai sasaran yang diharapkan dari anggaran dimaksud, maka manajemen hendaknya menggerakkan para karyawan agar mempunyai otoaktivitas

dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan gairah. Berkurangnya atau ketidakadanya gairah para karyawan dalam melaksanakan tugas mereka, akan merupakan masalah bagi manajemen. Untuk sampai kepada suasana bekerja seperti itu, diperlukan kegiatan komunikasi, persuasi dan motivasi melalui partisipasi, yang sangat erat hubungannya dengan kejiwaan para pekerja dalam mencapai tujuan yang telah digariskan dan direncanakan sebelumnya. Kemampuan berkomunikasi yang baik akan besar artinya bagi para manajer dalam mengemban tugasnya mengelola dan mencapai tujuan perusahaan, khususnya dalam upaya melakukan perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan tingkahlaku (behavior change) para karyawan, sehingga sesuai, serasi, selaras, senada dan seirama dengan perilaku organisasi (organizational behavior) (Effendy,1989:29,149). Dengan demikian tujuan dan sasaran organisasi atau perusahaan yang telah dituangkan kedalam anggaran, akan dapat dicapai dengan efektif dan efisien.

2.1.4 Komitmen dalam Proses Penyusunan Anggaran

Sebagai mana dijelaskan diatas bahwa peran semua manajer dalam berpartisipasi dalam penyusunan anggaran maka yang tak kalah penting adalah disertai dengan komitmen yang tinggi demi pencapaian target yang diharapkan. Untuk itu setiap manajer operaional atau divisi operasional perlu memiliki kesadaran serta motivasi yang kuat untuk kesuksesan perusahaan.

Komitmen dalam organisasi dapat diartikan sebagai dimensi perilaku yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan para karyawan untuk bertahan pada suatu perusahaan. Membuat karyawan agar memiliki komitmen yang tinggi adalah sangat penting, terutama pada perusahaan-perusahaan non-profit yang skala gajinya tidak kompetitif, seperti pada perusahaan industri (Munandar, 2001:453). Karyawan yang memiliki tingkat komitmen organisasi yang tinggi tidak sekedar bergabung dengan perusahaan secara fisik atau hanya mengerjakan sesuatu yang menjadi tugasnya, melainkan juga bersedia melakukan pekerjaan diluar tugasnya. Karyawan yang memperlihatkan komitmen yang tinggi, dalam penelitian yang dilakukan oleh Jones (1988:214) memperlihatkan bahwa karyawan yang memiliki komitmen tinggi akan lebih termotivasi dan lebih puas terhadap pekerjaannya. Pada umumnya mereka menjadi kurang tertarik untuk meninggalkan perusahaan mereka (Temaluru, 2001: 453).

Porter (1982:27) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Hal ini dapat ditandai dengan tiga hal, yaitu :

1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.

2. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi.

3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (menjadi bagian dari organisasi).

Sedangkan Richard M. Steers (1985: 50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi

Secara singkat pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada individu (pegawai) dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan pegawai dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena pegawai yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab

yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.

Allen dan Meyer (dalam Dunham, dkk 1994: 370 ) membedakan komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu : afektif, normatif dan continuance.

1. Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di dalam suatu organisasi.

2. Komponen normatif merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi.

3. Komponen continuance berarti komponen berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi.

Setiap pegawai memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Pegawai yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan pegawai yang berdasarkan continuance. Pegawai yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada pegawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi.

Dalam beberapa kasus, tingkat komitmen organisasi yang rendah diantara karyawan sangat berhubungan dengan tingginya tingkat absen dan turn over. Namun demikian bukan berarti rendahnya tingkat turn over menunjukkan bahwa tingkat komitmen organisasinya tinggi, karena tidak sedikit karyawan yang bertahan di perusahaan meski sebenarnya mereka mengaku tidak menyukai pekerjaannya akan tetapi tidak mau keluar kerja karena takut tidak mendapatkan pekerjaan, apalagi di tengah krisis sekarang ini. Karyawan yang demikian sangat sulit diharapkan dapat memberikan kontribusi yang maksimal bagi perusahaan.

Upaya untuk mencapai dan meningkatkan tingkat keterlibatan kerja dan komitmen diantara para karyawan bukan merupakan pekerjaan yang mudah bagi perusahaan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan manusiawi yaitu menganggap karyawan bukan sebagai faktor produksi semata, akan tetapi juga berusaha memelihara aspek individualitas yang akan menanamkan harga diri dan diharapkan selanjutnya karyawan akan memiliki rasa tanggungjawab, keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan aktivitas kerjanya. Pendekatan manusiawi ini disamping memberikan imbalan yang sepadan dan memperhatikan kesejahteraan karyawan, juga memberikan kesempatan pada karyawan untuk berinisiatif, berkreasi mengemukakan gagasan-gagasannya serta turut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Kuswanto,1990:10-11). Keadaan ini diharapkan dapat menimbulkan rasa ikut memiliki atau rasa terlibat pada diri setiap karyawan sehingga karyawan tidak akan tertarik untuk meninggalkan atau keluar dari

perusahaan tersebut. Dalam hal ini, karyawan diajak untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan atas suatu masalah mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan serta mampu mempertanggungjawabkan keputusannya itu. Dengan demikian, karyawan diharapkan akan merasa puas dengan pekerjaannya.

Dalam budaya perusahaan seyogianya mengandung nilai-nilai yang dianut secara bersama-sama dan mengandung konsep kepercayaan dan keyakinan individu sehingga menghadirkan kesadaran akan adanya arah dan tujuan bersama. Nilai-nilai ini akan menghadirkan juga motif bagi perilaku sehari-hari karyawan. Kesadaran akan nilai-nilai yang dianut akan melahirkan perasaan pada karyawan untuk ikut terlibat dalam pekerjaannya dan rasa memiliki sebagai anggota organisasi sehingga akan selalu berusaha membantu perusahaan untuk mencapai tujuannya.

Dokumen terkait