• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik kekerasan dan pengelolaannya di Poso,

Dalam dokumen with Muridan S Widjojo Studi Kasus Dua (Halaman 54-56)

Sulawesi Tengah

Pendahuluan

Konflik kekerasan komunal di Poso dimulai pada 24 Desember 1998: Malam Natal dan bulan Ramadan. Walaupun urutan kejadiannya diperdebatkan, kebanyakan menyatakan dimulai dengan adanya 3 pemuda Kristen yang mendatangi mesjid Darus- salam di kampung Sayo dan memukul seorang pemuda di dalam mesjid pada tengah malam tanggal 24 Desember menjelang dini hari tanggal 25 Desember.153 Kejadian ini membuat umat Muslim

merasa terancam dan mereka menyerang rumah warga Kristen. Berita ini cepat tersebar dan banyak orang berusaha masuk kota Poso dari daerah seke- lilingnya. Umat Muslim datang dari Tokorondo, Parigi dan Ampana, sedangkan umat Kristen yang dipersenjatai parang datang dari Sepe, Silanca dan Tentena. Kerusuhan berlanjut hingga tanggal 29 Desember, meluas melewati perbatasan kota dan masuk ke kota-kota disepanjang 3 jalan jalur utama.154

Walaupun konflik ini mencerminkan perpecahan keagamaan, namun juga dipicu oleh elit setempat yang diduga mendorong kekerasan tersebut. Seperti

153 Ecip, Sinansari, Rusuh Poso Rujuk Malino, (Jakarta: Cahaya Timur, 2002). Lihat juga: Lasahido, Tahmidy, Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik dan Resolusi, (Jakarta: YAPPIKA, 2003); Karnavian, Tito,

Indonesian Top Secret, Membongkar Konflik Poso, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).

154 Lasahido, Tahmidy, Suara dari Poso, Kerusuhan, Konflik dan Resolusi, (Jakarta: YAPPIKA, 2003).

yang diungkapkan oleh seorang mantan wakil bupati, “Konflik di Poso bukan karena agama. Selama konflik seseorang membakar gereja-gereja dan mesjid-mesjid untuk memperpanjang konflik. Untuk apa? Makin lama kerusuhannya, makin banyak uangnya. Seseorang mendapatkan keuntungan dari konflik ini.”155

Suatu hal yang menjadi perdebatan khusus adalah siapa yang menjadi bupati. Kebiasaan yang berlaku di Poso adalah untuk mengisi posisi tersebut dengan umat Kristen dan Muslim secara bergantian, sesuatu yang tidak dilakukan oleh bupatinya, Arif Patanga yang adalah seorang Muslim.156

Setelah kekerasan selama seminggu itu, hanya ada beberapa serangan yang dilakukan baik oleh umat Kristen maupun Muslim hingga April 2000, yang menandai dimulainya konflik tahap kedua. Jeda kekerasan ini dikarenakan adanya pemilihan umum nasional di Juni 1999 dan pemilihan bupati di Oktober 1999, di mana elite politik berusaha mendapatkan dukungan dari kedua komunitas. Pada 16 April 2000, terjadi perkelahian antara pemuda Muslim dan Kristen di terminal bis Poso di kampung Lombogia, daerah yang di dominasi umat Kristen. Umat Muslim mulai menyerang rumah di Lombogia dan membakar gereja utamanya.

Umat Kristen melakukan pembalasan. Tahap ketiga konflik dimulai di bulan Mei 2000 ketika kelompok Kristen yang dikenal sebagai Pasukan

155 Wawancara Johari Efendi & Akiko Horiba dengan mantan wakil Bupati, Poso, 12 Maret 2010.

156 Aditjondro, George, Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya, (Jakarta, ProPatria 2004); Arianto, Sangaji (2005), Rumput Kering di Balik Anyir Darah Konteks Etno Religius dari Tragedi Kemanusiaan Poso, (Palu: Yayasan Tanah Merdeka, 2005).

Kelelawar atau ninja yang dipimpin oleh Fabianus Tibo membunuh 3 orang di kampung Mo-Engko. Kekerasan meningkat secara signifikan ketika serangan dilakukan ke kampung Situwu Lemba, atau dikenal sebagai Kilo Sembilan. Kelurahan ini adalah daerah transmigrasi suku Jawa Muslim dan mempunyai pesantren bernama Wali Songo. Sekitar 70 orang dibunuh atau hilang dalam penyerangan tersebut. Kota Poso menjadi target dan membuat banyak Muslim mengungsi dari kota. Penyerangan Kilo Sembilan memicu umat Muslim disekitarnya untuk angkat senjata. Hal ini juga membuat tentara Indonesia menurunkan lebih banyak anggotanya.157

Pada Agustus 2000, Presiden Abdurrahman Wahid diundang oleh empat Gubernur Sulawesi untuk pertemuan damai, mengumpulkan 14 ketua adat dari kabupaten Poso. Inisiatif yang dikenal sebagai Rujuk Sintuwu Maroso ini diselenggarakan

157 Ecip, Sinansari (2002), hal. 20-23.

oleh pemerintah provinsi, pejabat kabupaten Poso dan 4 Gubernur di Sulawesi – tapi hanya sedikit hasilnya.

Pada April 2001, kemarahan yang memuncak dari komunitas Muslim terlihat dengan permintaan mereka untuk hukuman mati atas 3 orang Kristen – Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus Dasilva – yang dituduh terlibat dalam penyerangan Kilo Sembilan. Kelompok ekstrim dari luar Poso juga mengeluarkan amarahnya dan pada Juli 2001, beribu-ribu anggota Laskar Jihad (kaum militan Muslim yang berbasis di Jawa) tiba di Poso, menandai dimulainya tahap keempat dari konflik. Keterlibatan mereka di konflik ini mengubah dinamikanya, memberikan tambahan yang signifikan untuk umat Muslim, yang menyerang dan membakar perkampungan Kristen disekitar kota Poso. Konflik ini menjadi sangat satu pihak sekarang.

Pada Desember 2001, serangan yang dikoordinasi oleh kelompok-kelompok Muslim terjadi di beberapa kampung, dari Betalembah ke Sanginora, menandai dimulainya tahap kelima dari konflik. Pemerintah

Aparat keamanan dan penduduk, tampak belakang, mengamati puing-puing yang hangus dari toko-toko milik penduduk Kristen yang dibakar oleh kelompok-kelompok Muslim di Poso pada 6 Desember 2001. © AP Photo/str

pusat mengirim 2000 petugas untuk mencoba mengatasi kekerasan di Poso, sehingga total petugas keamanan menjadi sekitar 3500 didaerah itu. Pada saat yang sama, Pemerintah menggagasi pembic- araan politik yang memuncak menjadi Deklarasi Damai Malino (Malino I) yang ditandatangani tanggal 21 Desember 2001 oleh para pemimpin Muslim dan Kristen. Deklarasi ini menyerukan semua pihak untuk mengakhiri semua kekerasan, dan walaupun ada kekurangannya, mempunyai beberapa hasil. Bentrokan langsung antara dua komunitas ini berkurang, walaupun kadang-kadang masih terjadi pemboman dan penembakan yang sebagian besar dilakukan oleh kelompok Muslim. Ketiga orang Kristen yang dicurigai melakukan penyerangan Kilo Sembilan diadili pada September 2006, yang akhirnya memicu protes yang berakibat kekerasan.

Keberhasilan mengurangi kekerasan ini sebagian dikarenakan petugas keamanan, yang kepercayaannya bertambah setelah Malino I ditandatangani dan menjadi makin bertekad untuk menahan mereka yang melakukan penyerangan. Kemungkinan pun- cak semuanya ini adalah serangan polisi pada 2007

ke Tanah Runtuh, yang merupakan markas Laskar Mujahidin dan Laskar-laskar setempat, yang merupakan daerah yang dihindari sebelumnya.158

Namun, kenyataan bahwa konflik yang bertahun- tahun ini telah menjadikan komunitas tersebut terpisah – di mana Muslim berpusat disekitar Poso dan Kristen disekitar Tentena – juga telah menghilangkan motivasi dan kemampuan untuk melakukan penyerangan.

Dalam dokumen with Muridan S Widjojo Studi Kasus Dua (Halaman 54-56)