• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.7 Analisis Keberlanjutan Dimensi Sosial

4.7.1 Kondisi Atribut Sosial

Atribut pada dimensi sosial mencerminkan bagaimana sistem sosial manusia (masyarakat perikanan) yang berada dalam kegiatan perikanan saling berinteraksi dan mendukung berlangsungnya pembangunan sub sektor perikanan tangkap dalam jangka panjang dan berkelanjutan (Hartono et al. 2005).

4.7.1.1 Pertumbuhan Jumlah Nelayan

Penduduk Desa Tambakrejo pada tahun 2010 adalah 4.839 jiwa dengan proporsi penduduk yang berprofesi sebagai nelayan 48,50% atau sebanyak 2.347 jiwa. Dari proporsi tersebut, sebagian besar merupakan nelayan sekoci dengan pertumbuhan jumlah yang signifikan pada tahun 2001-2010, yaitu dari 385 jiwa menjadi 1.663 jiwa atau 34,4% dari jumlah total penduduk desa. Peningkatan

jumlah nelayan sekoci terkait dengan peningkatan jumlah kapal sekoci yang menjadikan PPP Pondokdadap sebagai pangkalan. Pada tahun 2010 persentase jumlah kapal ini telah mendominasi struktur armada tangkap dengan jumlah yang beroperasi 303 buah.

Gambar 40 Proporsi nelayan berdasarkan jenis perahu di PPP Pondokdadap tahun 2001-2010.

Sebagian besar (90%) nelayan Sekoci di PPP Pondokdadap merupakan nelayan pendatang (andon) yang berasal dari Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan yang dikenal memiliki kemampuan melaut yang tinggi serta keterampilan memancing ikan pelagis besar, sementara sisanya sebanyak 10% berasal dari pulau Madura dan kabupaten lain di provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. 4.7.1.2 Pendidikan dan Pengalaman Kerja

Hasil wawancara terhadap 165 orang nelayan sekoci yang berpangkalan di PPP Pondokdadap memberi gambaran tentang tingkat pendidikan nelayan yang rendah. Sebagian besar atau 53% dari nelayan hanya lulus Sekolah Dasar, 46% lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan hanya 1% yang lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.

Gambar 41 Pendidikan nelayan kapal sekoci di PPP Pondokdadap.

Nelayan Sampan 10% Nelayan Jukung 2% Nelayan Sekoci 59% Nelayan Payangan 29% Lulus SD 53% Lulus SLTP 46% Lulus SLTA 1%

Teknologi penangkapan tradisional yang diterapkan, menyebabkan pendidikan bukan persyaratan untuk menjadi nelayan. Faktor utama yang menentukan kinerja perahu sekoci adalah pengalaman nakhoda dalam memandu serta pengalaman awak perahu buah kapal dalam memancing. Rataan pengalaman nakhoda perahu sekoci adalah 4-5 tahun dan awak perahu 2-5 tahun.

4.7.1.3 Pola kerja Nelayan

Sekoci pertama kali masuk ke perairan selatan Jawa Timur secara tidak sengaja oleh nelayan andon dari Sulawesi Selatan yang hanyut dari perairan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1998. Interaksi awal nelayan andon dengan masyarakat Desa Tambakrejo kemudian berkembang menjadi bentuk kerjasama saling menguntungkan dalam penangkapan cakalang di perairan lepas pantai selatan Jawa Timur.

Pada mulanya, teknologi penangkapan disiapkan oleh nelayan andon sementara perbekalan operasi dan penjualan hasil tangkapan ditangani oleh pengambek dari masyarakat Desa Tambakrejo. Saat ini sudah ada nelayan lokal yang menguasai teknologi penangkapan dan memiliki perahu sekoci, sementara nelayan andonpun sudah banyak yang berbaur dengan masyarakat Sendang Biru dan menjadi pengamba’ untuk memasok perbekalan operasi dan menangani penjualan hasil tangkapan.

Interaksi dengan nelayan andon merubah pola kerja penangkapan nelayan Desa Tambakrejo yang sebelumnya lebih banyak dilakukan dengan pola individu dan keluarga menjadi pola berkelompok. Perjalanan menuju fishing ground biasanya dilakukan bersama oleh 5 hingga 10 buah perahu sekoci, demikian halnya biaya dan pembuatan rumpon dilakukan secara berkelompok dimana satu buah rumpon dibuat secara berkongsi oleh beberapa pemilik perahu sekoci untuk kemudian dijadikan fishing ground bersama.

Nelayan yang bekerja pada sebuah sekoci umumnya memiliki hubungan kekerabatan. Sayangnya praktek ini belum didukung oleh partisipasi keluarga nelayan yang hanya terlibat dalam persiapan pemberangkatan dan saat pendaratan hasil tangkapan. Keterlibatan keluarga dalam penjualan dan pengolahan terbatasi oleh perjanjian antara pemilik sekoci dan pengamba’ yang berhak sepenuhnya terhadap pengelolaan hasil tangkapan.

4.7.1.4 Pertumbuhan Pelaku Usaha

Perubahan persentase jumlah perahu sekoci yang berpangkalan di PPP Pondokdadap dalam satu tahun merupakan gambaran dari dinamika keluar masuknya nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan cakalang pada suatu tahun tertentu.

Tabel 26 Perubahan jumlah kapal sekoci di PPP Pondokdadap 2001-2010

Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rataan Jumlah

Sekoci (unit) 77 128 154 145 211 301 273 342 323 303 225,7 Perubahan

(%) - 66,2 20,3 -5,8 45,5 42,7 -9,3 25,3 -5,6 -6,2 19,2 Nilai persentase menunjukkan perubahan jumlah pelaku usaha, dimana apabila nilainya negatif berarti ada pelaku usaha yang keluar dan sebaliknya bila nilainya positif berarti ada pelaku usaha baru yang masuk. Rataan persentase pertambahan jumlah perahu sekoci di PPP Pondokdadap tahun 2001-2010 adalah 19,2%, yang menunjukkan bahwa secara umum dalam setiap tahun terdapat penambahan pelaku usaha baru sebesar 19,2%. Persentase pertambahan pelaku usaha baru tersebut sekaligus menggambarkan adanya peningkatan rataan kapasitas tangkap nelayan sekoci, yaitu pertambahan jumlah kapal setiap tahun. Status eksploitasi cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia yang masih rendah membutuhkan penambahan pelaku usaha baru, sehingga tingkat pertumbuhan pelaku usaha yang tinggi merupakan kondisi yang diharapkan.

4.7.1.5 Konflik Pemanfaatan

Nelayan sekoci PPP Pondokdadap selama ini telah menghadapi berbagai konflik, yang menurut jenisnya terbagi atas konflik cara produksi atau alat tangkap, konflik kelas, dan konflik usaha. Konflik cara produksi atau alat tangkap terjadi sejak awal interaksi nelayan andon dengan nelayan lokal dimana kapal sekoci dianggap memiliki kemampuan lebih tinggi untuk menangkap ikan dibandingkan dengan sampan pakisan dan payangan. Konflik tidak berkembang karena nelayan sekoci memilih memindahkan rumpon ke wilayah yang sulit dijangkau oleh kedua jenis perahu tersebut.

Konflik kelas terjadi antara nelayan sekoci dengan armada purse seine yang berasal dari Pekalongan, Benoa, dan Muara Angke Jakarta yang memiliki teknologi tangkap berbeda. Daya tangkap purse seine yang lebih tinggi menyebabkan armada tersebut dengan mudah melakukan penjarahan ikan dan merusak rumpon sehingga menimbulkan kerugian besar bagi nelayan sekoci. Upaya mediasi dari pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah belum dapat menghentikan praktek penjarahan ikan dan pengrusakan rumpon tersebut hingga saat ini.

Selain itu terdapat pula konflik antara pemilik perahu dan nelayan sekoci dengan pengamba’ sebagai penyedia modal bagi operasi penangkapan ikan. Konflik biasanya dipicu oleh praktek kecurangan dalam penimbangan dan penghitungan saat pelelangan ikan. Konflik seperti ini dapat diselesaikan melalui musyawarah dengan menghadirkan pihak yang berkonflik, dipimpin oleh tokoh masyarakat Sendang Biru dan kelompok nelayan.

4.7.1.6 Kesadaran Lingkungan

Nelayan sekoci memiliki kesadaran yang rendah tentang perlunya menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan bagi keberlanjutan usaha penangkapan yang mereka lakukan. Dari 165 responden 27% menjawab tidak setuju apabila penangkapan cakalang dilakukan dengan menggunakan alat tangkap trawl atau purse seine yang dapat merusak rumpon. Selanjutnya 73% responden menyatakan akan menggunakan alat tangkap lain yang kapasitasnya lebih besar seperti trawl walaupun tidak menjamin kualitas dan kuantitas hasil tangkapan yang lebih baik sepanjang tahun.

Dokumen terkait