DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
INDONESIA (ZEEI) SAMUDERA HINDIA
SELATAN JAWA TIMUR
ANDI IRWAN NUR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keberlanjutan Sumberdaya
Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia Selatan Jawa Timur adalah hasil karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, 30 Desember 2011
ANDI IRWAN NUR. Sustainability of Skipjack (Katsuwonus pelamis) Fisheries in Indonesian Exclusive Economic Zone (IEEZ) of Indian Ocean at Southern Coast of East Java. Under supervision of MENNOFATRIA BOER, DIETRIECH G.BENGEN, AWAL SUBANDAR.
Indonesian exclusive economic zone of Indian Ocean at southern coast of East Java includes in WPP-RI 573 which has potential biological resources to be utilized for economic development. Specific oceanographic condition has caused the regions relatively more fertile than other regions. An abundance fishery resources in the region is skipjack which has a sufficiently high economic value. Utilization rate of the species is assumed of being moderate thus enabling further increasing in its utilization. One type of fleet used to exploit skipjack resources in WPPRI 573 is sekoci boat based in PPP Pondokdadap, Malang Regency. The fleet number has showed a significant increase during 2001-2010. Size of the vessel includes in medium category and still uses traditional fishing gears (hand-line). Sekoci boat has been reliably used to catch fish at a distance of 50-200 miles, with catching period 8 to 12 months every year in areas fitted with a fish aggregating device. Research objectives were to analyze the conditions of oceanographic factors, skipjack stock biomass, linkages between oceanographic aspects and stock biomass, fisheries sustainability status on ecological, economic, technological, social and institutional dimensions, as well as management strategy of the fisheries through priorities setting based on multidimensional sustainability status. Research results showed that wind monsoon affected vertical and horizontal distribution of sea surface temperature (SST) and chlorophyll-a concentration. Distribution of those parameters during eastern monsoon favored the abundance of skipjack population compared to that in western monsoon. CPUE fluctuations trailed monsoon patterns, with higher values in the eastern monsoon than in the western monsoon. Fishing season peak occurred in July to October annually. During the eastern monsoon SST decreased while concentration of chlorophyll-a and CPUE values tended to increase. Contrary, during the western monsoon SST increased and chlorophyll-a concentration as well as and CPUE tended to decrease. Furthermore, sustainability index for each dimension indicated that ecological dimension included in sustainable category, followed by technological dimension in moderate category. Sustainability index of institutional, economic, and social dimensions included in less sustainable category with the lowest index on social dimension. Multidimensional index indicated that overall status of skipjack sustainability in IEEZ at southern coast of East Java was moderate which required arrangement of various sensitive attributes. Smart analysis result showed policy priorities for social dimension followed by institutional and economic dimensions. The highest score attributes of the dimensions were consecutively business ownership, enforcement of rules, and environmental awareness. Application of policy priorities would result in increases in sustainability index with higher values after application of the policy.
ANDI IRWAN NUR. Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia Selatan Jawa Timur. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER, DIETRIECH G.BENGEN, dan AWAL SUBANDAR.
Perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia di Samudera Hindia selatan Jawa Timur termasuk dalam wilayah WPP-RI 573 yang memiliki potensi sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi masyarakat di selatan Jawa Timur. Kondisi oseanografi yang spesifik menyebabkan perairan ini relatif lebih subur dibandingkan wilayah lain. Salah satu jenis sumberdaya perikanan yang melimpah adalah Cakalang dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Tingkat pemanfaatannya diduga masih sedang sehingga memungkinkan peningkatan tingkat eksploitasi. Jenis armada yang banyak digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya Cakalang di WPPRI 573 adalah kapal sekoci yang berpangkalan di PPP Pondokdadap Kabupaten Malang.
Tujuan penelitian adalah menganalisis kondisi oseanografi perairan, kondisi biomas stok sumberdaya, keterkaitan kondisi oseanografi dengan biomas stok, status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan, serta menyusun strategi pengelolaan perikanan Cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur.
Analisis sebaran temporal dan spasial terhadap arah dan kecepatan angin, suhu permukaan laut, dan konsentrasi klorofil-a dilakukan menggunakan Grapher
7.0 dan Ocean Data View, analisis CPUE serta hubungan panjang berat dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excell 2007. Keterkaitan parameter oseanografi dengan CPU dilakukan dengan analisis deret waktu dan korelasi silang metode
Fast Fourier Transform dan Wavelet. Pendugaan status sumberdaya dianalisis dengan metode Clarke Yoshimoto Pooley, dan kelayakan invetasi dianalisis dengan net present value, internal rate of return, benefit cost ratio, dan payback period. Analisis atribut pada dimensi teknologi, sosial, dan kelembagaan dilakukan secara deskriptif. Indeks keberlanjutan dianalisis dengan Rapfish, status keberlanjutan multidimensi dengan program bobot dimensi, serta prioritas kebijakan dengan simple multi-attribute rating technique.
Hasil penelitian menunjukkan suhu permukaan laut pada musim barat 23,42 0C–29,02 0C dan pada musim timur 25,840C-29,580C. Lapisan termoklin terdapat pada kedalaman 30-199 m. Konsentrasi klorofil-a pada musim barat 0,07 mg.l-1–2,61 mg.l-, dan pada musim timur 0,08 mg.l-1–6,90 mg.l-1. Konsentrasi tertinggi terjadi di bulan Agustus yaitu 0,15 mg.l-1–6,90 mg.l-1. Fluktuasi CPUE selama 96 bulan menunjukkan hasil tangkapan yang lebih banyak pada musim timur dibandingkan pada musim barat. Puncak penangkapan terjadi pada bulan Juli-Oktober. Nilai suhu yang menurun dan konsentrasi klorofil-a yang meningkat pada bulan Juli – Oktober diikuti dengan peningkatan hasil tangkapan per trip. Hasil analisis regresi berganda SPL dan konsentrasi klorofil-a terhadap CPUE mengindikasikan terdapat faktor oseanografi lain yang tidak diamati dalam penelitian ini yang berpengaruh langsung terhadap CPUE.
produksi aktual, dan 83,58% dari trip aktual. Atribut sensitif pada dimensi ekologi adalah Rentang Migrasi.
Hasil analisis BCR adalah 1,71 yang menunjukkan rasio antara pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan biaya. Biaya terbesar adalah untuk pembelian solar yaitu 78,0%, disusul pembelian es 11,6% dan sembako 10,4%. Total manfaat yang diterima pihak eksternal adalah 88,93% yang lebih tinggi dibandingkan manfaat yang diterima pihak internal dengan jumlah tenaga kerja terserap 2.135 orang. Atribut sensitif dimensi ekonomi adalah (1) Kepemilikan usaha; (2) Sumber pendapatan lain; dan (3); Harga jual.
Kapal sekoci terbuat dari kayu dengan rataan panjang 16 m, lebar 3,3 m, tinggi 1,6 m , bobot 10 GT, bermesin dalam 30 PK berjumlah 303 buah. Jumlah rumpon yang dipasang nelayan sekoci adalah 80 buah, tersebar pada koordinat 113°00' - 115°00' BT dan 9°00' - 12° 00' LS dengan kedalaman perairan sekitar 3.000 m. Atribut yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap keberlanjutan dimensi teknologi adalah (1) Pengolahan pra jual; dan (2) Lama trip.
Sebagian besar nelayan Sekoci merupakan nelayan andon dengan tingkat pendidikan rendah yaitu 53% hanya lulus Sekolah Dasar, dan persentase kesadaran lingkungan yang rendah (27%). Pola kerja nelayan adalah berkelompok dengan rataan persentase pertambahan jumlah pelaku usaha baru 19,2%. Konflik yang terjadi adalah konflik cara produksi atau alat tangkap, kelas, dan usaha. Pada dimensi sosial atribut sensitif adalah (1) Kesadaran lingkungan; (2) Pelaku usaha baru; (3) Sumber pendapatan; dan (4) Status konflik.
Ketersediaan kebijakan internasional, nasional serta aturan pelaksanaan pada level di bawahnya telah memadai. Demikian pula dengan mandat hukum yang mengatur kewenangan berbagai instansi penegakan hokum, namun kinerja penegakan hukum masih dihambat kemampuan sumberdaya manusia dan alokasi anggaran. Pelabuhan perikanan yang ada cukup baik yang merupakan salah satu sentra pendaratan ikan pelagis besar di selatan Jawa Timur dilengkapi solar paket dealer nelayan yang dikelola KUD. Peran lembaga keuangan masih lemah sehingga usaha penangkapan umumnya dibiayai oleh pengamba’. Atribut sensitif pada dimensi kelembagaan adalah (1) Penegakan aturan; (2) KUD dan lembaga keuangan mikro; dan (3) Kelompok nelayan.
Nilai stress kelima dimensi pada analisis Rapfish <0,20 dengan R2 >80%. Nilai indeks dimensi ekologi adalah 77,68, 44,90 untuk dimensi teknologi, dan kisaran indeks ketiga dimensi lainnya 24,70-38,83. Hasil analisis Smart menunjukkan prioritas pada kebijakan dimensi sosial dengan skor 0,735, dimensi kelembagaan 0,652, serta dimensi ekonomi 0,588. Atribut dengan skor tertinggi pada ketiga dimensi berturut-turut adalah kepemilikan usaha, penegakan aturan, dan kesadaran lingkungan. Penerapan strategi pengelolaan berbasis keberlanjutan multidimensi meningkatkan indeks keberlanjutan yaitu 51,86 pada dimensi sosial, 60,27 pada dimensi kelembagaan, dan 50,68 pada dimensi ekonomi, serta meningkatkan nilai indeks multidimensi dari 52,48 yang termasuk kategori sedang menjadi 60,74 yang termasuk kategori berkelanjutan.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF
INDONESIA (ZEEI) SAMUDERA HINDIA
SELATAN JAWA TIMUR
ANDI IRWAN NUR
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup
Tanggal 25 November 2011 : Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si.
: Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka
Tanggal 30 Desember 2011 : Prof. Dr.Ir. Daniel R. Monintja, MSc.
Eksklusif Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia Selatan Jawa Timur
Nama : Andi Irwan Nur
NRP : C261060151
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Ketua
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Dr. Ir. Awal Subandar, M.Sc.
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan (QS.84:19). Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat mencapai tingkatan ini. Tema disertasi adalah keberlanjutan sumberdaya perikanan cakalang yang terdiri dari lima bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dan saran.
Selama menempuh pendidikan doktoral dan merampungkan disertasi penulis mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai ketua komisi pembimbing, serta
pembimbing anggota Prof.Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Dr.Ir. Awal Subandar, M.Sc atas masukan berharga, teladan kebajikan dan kebijakan yang telah diberikan.
2. Ir. Kiagus Abdul Azis, M.Sc, Prof.Dr.Ir. Daniel R.Monintja M.Sc, Prof.Dr.Ir. H.M.Natsir Nessa, MS, Prof.Dr.Ir. Ismudi Muchsin, Prof.Dr. Rokhmin Dahuri, MS, Prof.Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc, Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc, Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, dan Dr.Ir. Sugeng Budiharsono, M.Si, yang telah membekali dengan ilmu berharga serta masukan bagi perbaikan disertasi. 3. Dekan dan staf pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, serta Dekan
dan staf pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 4. Rektor Universitas Haluoleo beserta Dekan Fakultas Kelautan dan Ilmu
Perikanan dan yang telah memberi dorongan dan izin belajar kepada penulis. 5. Sahabat penulis Ir. David Hermawan, MP. yang telah berbagi berbagai hal
sejak awal perkuliahan hingga penulisan disertasi, Dr.Ir.Hasni Yulianti Azis M.Si, Dr.Ir.Yon Vitner, M.Si, Muhammad Yusuf SPi.MSi, Syamsul Hidayat SPi, Andi Chadijah SPi.MSi, Sulaiman, SPi.M.Si, dan Rahmawani Dori, SPi.MSi atas segala bentuk bantuan termasuk pengolahan data.
6. Rekan angkatan 2006 pada program studi SPL-IPB, serta sahabat- sahabat dari Universitas Haluoleo khususnya Ir.Hj.Husna Faad, M.Si, Ir. Muhammad Ramli, M.Si, Drs. Amirullah, M.Si, dan M.Taswin Munier, SPi.MSi, atas segala bantuan, dorongan moril, kerjasama, dan kebersamaan yang berkesan. 7. Ucapan terima kasih tak terhingga kepada ayahanda (almarhum) dan ibunda
yang telah melahirkan, mendidik dan membesarkan penulis, serta kepada saudara-saudari penulis dan keluarga besar yang telah memberi dukungan. 8. Secara khusus isteri dan anak-anak tercinta Intihanah Yahya SE,QIA,M.Si,
Andi Aisyah Nurul Hidayah, Andi Azzahrah Fathanah Nur Putri, dan Andi Ahmad Afiq Nur Mubaraq, atas doa, dorongan, kasih sayang dan kesabarannya.
Disadari sepenuhnya bahwa disertasi ini tidak terlepas dari keterbatasan, namun diharapkan semoga uraian yang ada di dalamnya dapat bermanfaat kepada pihak yang terkait pengelolaan perikanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia.
Bogor, 30 Desember 2011
Penulis dilahirkan di Bulukumba Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Oktober 1969 sebagai anak kelima dari Sembilan bersaudara dari pasangan bapak H.Andi Muhammad Nur (almarhum) dan ibu Hj.Andi Hadanah. Pendidikan sarjana penulis tempuh di Program Studi Akuakultur Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1997 penulis mendapatkan beasiswa dari Collaborative Environmental Project in Indonesia (CEPI) untuk melanjutkan studi ke program master di Faculty of Environmental Studies York University Toronto dan tamat pada 2000. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2006 dengan bantuan beasiswa dari Islamic Development Bank.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo sejak tahun 1994. Selain melakukan berbagai kegiatan dan penelitian dalam bidang konservasi sumberdaya dan lingkungan perairan, artikel penulis berjudul
Mariculture as an Alternative for Sustainable Aquaculture in Indonesia dimuat sebagai salah satu bab dalam buku Contemporary Issues in Marine Science and Fisheries (Ed.Mc.Lean et.al) Muscat Oman pada tahun 2002. Penulis juga terlibat
dalam berbagai penyusunan dokumen nasional diantaranya Indonesian
Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) Bappenas RI-World Bank sebagai koordinator penulisan wilayah Sulawesi pada tahun 2003, serta penyusunan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………. xxiii
DAFTAR GAMBAR……… xxv
DAFTAR LAMPIRAN………. xxix
1 PENDAHULUAN ……….………... 1
2.1.2 Suhu Permukaan Laut……….………. 11
2.1.3 Klorofil-a ……….... 13
2.2 Aspek Biologi Cakalang …………...………... 14
2.2.1 Tingkah Laku …………..………..………. 14
2.2.2 Pendugaan Stok Cakalang....………..………. 16
2.3 Perikanan Cakalang Samudera Hindia ………..……….. 18
2.4 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan ……..……….. 20
2.4.1 Aspek Ekologi…………..………..………. 22
2.4.2 Aspek Ekonomi.……….………. 23
2.4.3 Aspek Teknologi………..………..………. 23
2.4.4 Aspek Sosial ….……….………. 24
2.4.5 Aspek Kelembagaan ….……….………. 25
2.5 Penentuan Status Keberlanjutan …...…………..…..……….. 25
3 METODELOGI PENELITIAN ……….…. 27
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ……….….. 27
3.2 Tahapan Penelitian ………... 27
3.3 Rancangan Penelitian ……….. 30
3.3.1 Jenis dan Sumber Data ………... 30
3.3.2 Metode Pengumpulan Data ……… 31
3.3.3 Prosedur Penelitian ….…...……….. 32
3.4. Analisis Data ………..……… 33
3.4.1 Analisis Sebaran Temporal dan Spasial ...……….. 33
3.4.2 Analisis Deret Waktu ……….……….... 33
3.4.2.1 Spektrum Densitas Energi………... 34
43.4.2.2 Korelasi Silang...…………..………. 35
3.4.3 Pendugaan Status Sumberdaya ... 36
3.4.3.1 Analisis CPUE ...………... 36
3.4.3.2 Estimasi Paramater Biologi... 37
3.4.3.3 Estimasi Keseimbangan Bioekonomi....………. 38
3.4.4 Analisis Panjang Berat ... 39
3.4.5 Analisis Kelayakan Investasi…….………....……….. 39
3.4.6 Analisis Status Keberlanjutan ………...……… 41
3.4.6.1 Penentuan Atribut Keberlanjutan….………... 42
3.4.6.2 Ordinasi Atribut... 49
3.4.6.3 Analisis Sensitivitas dan Monte Carlo... 49
3.4.6.4 Status Keberlanjutan Dimensi ... 51
3.4.6.5 Status Keberlanjutan Multidimensi...…….………. 51
3.4.6.6 Strategi Pengelolaan Berbasis Status Keberlanjutan Multidimensi...…….………. 52
4 HASIL DAN PEMBAHASAN …...………. 53
4.1 Kondisi Oseanografi ……… 53
4.1.1 Arah dan Kecepatan Angin ..………..………. 53
4.1.2 Sebaran Suhu Permukaan Laut………….………….………. 54
4.1.3 Sebaran Suhu Menegak……..……….... 58
4.1.4 Sebaran Suhu Melintang……..……….... 59
4.1.5 Sebaran Konsentrasi Klorofil-a ……….. 62
4.2 Analisis Tren Biomas..……..………... 63
4.3 Analisis Deret Waktu..……..………... 65
4.3.1 Spektrum Densitas Energi………... 65
4.3.2 Korelasi Silang ………..………. 69
4.3.2.1 CPUE dengan Suhu Permukaan Laut .………... 69
4.3.2.2 CPUE dengan Sebaran Klorofil-a……..……… 71
4.4 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi ………..……….. 73
4.4.1 Kondisi Atribut Ekologi…………..….…..………. 73
4.4.1.1 Komposisi Jenis dan Jumlah Tangkapan….………... 73
4.4.1.2 Komposisi Ukuran Panjang ………..………… 75
4.4.1.3 Komposisi Ukuran Berat……….………... 76
4.4.1.4 Pendugaan Status Sumberdaya ..………….………... 78
4.4.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Ekologi...…… 81
4.5 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ….…………..……….. 84
4.5.1 Kondisi Atribut Ekonomi….……..….…..………. 84
4.5.1.1 Analisis Kelayakan Investasi………..………... 84
4.5.1.2 Pemasaran dan Harga Jual………..……… 87
4.5.1.3 Biaya dan Pendapatan…….……….………... 88
4.5.1.5 Kepemilikan Usaha ………...….…… 90
4.5.1.6 Kontribusi Terhadap PDRB……….………... 91
4.5.1.7 Tenaga Kerja ………..……….………... 92
4.5.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Ekonomi…..…... 92
4.6 Analisis Keberlanjutan Dimensi Teknologi.….…………..……….. 96
4.6.1 Kondisi Atribut Teknologi….……..….…..………. 96
4.6.1.1 Armada Tangkap …………..………..………... 96
4.6.1.2 Alat Tangkap ………..……… 98
4.6.1.3 Rumpon…...……….………... 99
4.6.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Teknologi……… 100
4.7 Analisis Keberlanjutan Dimensi Sosial………..……….. 103
4.7.1 Kondisi Atribut Sosial……..……..…..…..………. 103
4.7.1.1 Pertumbuhan Jumlah Nelayan………..………... 103
4.7.1.2 Pendidikan dan Pengalaman Kerja ………. 104
4.7.1.3 Pola Kerja Nelayan ……..…..………..………... 105
4.7.1.4 Pertumbuhan Pelaku Usaha ……….…..…… 106
4.7.1.5 Konflik Pemanfaatan………..………..………... 106
4.7.1.6 Kesadaran Lingkungan ……….………..… 107
4.7.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Sosial…...……... 107
4.8 Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan…………..……….. 111
4.8.1 Kondisi Atribut Kelembagaan…....…..…..………. 111
4.8.1.1 Ketersediaan Aturan ………..………..………... 111
4.8.1.2 Lembaga Pelaksana ………..………. 112
4.8.1.3 Pelabuhan Perikanan…....…..………..………... 113
4.8.1.4 KUD dan Lembaga Keuangan Mikro……….……… 114
4.8.1.5 Kelompok Nelayan dan Pelibatan Nelayan ………… 115
4.8.1.6 IUU Fishingdan Penegakan Aturan ………..… 115
4.8.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Kelembagaan….. 116
4.9 Fitness, Tingkat Kepercayaan dan Stabilitas Atribut….…………. 120
4.10 Analisis Status Keberlanjutan Multidimensi …………..………... 121
4.11 Strategi Pengelolaan Berbasis Status Keberlanjutan Multidimensi 122 4.11.1 Dimensi dan Atribut Prioritas ……..………..………... 123
4.11.2 Arahan Strategi Keberlanjutan...………..………. 124
5 KESIMPULAN DAN SARAN... 131
5.1 Kesimpulan... 131
5.2 Saran... 132
DAFTAR PUSTAKA... 133
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Prosedur penelitian ... 32
2 Atribut keberlanjutan dimensi ekologi beserta kriteria
pemberian skor ... 43 3 Atribut keberlanjutan dimensi ekonomi beserta kriteria
pemberian skor ... 44 4 Atribut keberlanjutan dimensi teknologi beserta kriteria
pemberian skor ... 45 5 Atribut keberlanjutan dimensi sosial beserta kriteria
pemberian skor ... 46 6 Atribut keberlanjutan dimensi kelembagaan serta kriteria
pemberian skor ... 47 7 Karakteristik setiap kelas pelabuhan perikanan ...
48 8 Kategori indeks keberlanjutan setiap dimensi sistem yang dikaji……...
51 9 Kisaran suhu permukaan laut pada musim barat periode
Desember 2005-Mei 2009 ...
55 10 Kisaran suhu permukaan laut pada musim timur periode
Juni 2005-November 2009... 55 11 Nilai rataan CPUE bulanan cakalang tahun 2003-2010...
63 12 Periode fluktuasi setiap parameter tahun 2005-2009...
67 13 Rataan kondisi oseanografi dan CPUE tahun 2005-2009...
69 14 Nilai korelasi silang, periode fluktuasi, koherensi dan
beda fase suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan CPUE ... 72
15 Jumlah trip dan hasil tangkapan cakalang tahun 2003-2010 ...
74 16 Perubahan upaya tangkap perikanan cakalang tahun 2003-2010...……
75 17 Jumlah ikan tangkapan menurut ukuran berat (Kg)
tahun 2003-2010...
76 18 Tingkat biomas, produksi, upaya optimal, dan rente ekonomi
peri-kanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur……….
78 19 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi ekologi ...
81 20 Nilai dan penyusutan investasi kapal sekoci
tahun 2002-2010…………...
85 21 Kriteria kelayakan usaha penangkapan cakalang dengan kapal
sekoci………...
22 Jenis pembiayaan nelayan sekoci per trip tahun 2003-2010 ... 88 23 Biaya dan pendapatan kapal sekoci tahun 2003-2010 ...
89 24 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi ekonomi ...
93 25 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi teknologi ...
100 26 Perubahan jumlah kapal sekoci di PPP Pondokdadap 2001-2010...
106 27 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi sosial ...
108 28 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi kelembagaan...
117 29 Nilai stress dan kuadrat korelasi dari setiap dimensi ...
120 30 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi perikanan
cakalang nelayan sekoci Pondokdadap ...
122 31 Urutan atribut prioritas untuk setiap dimensi prioritas...
124 32 Strategi keberlanjutan dimensi sosial………...
124 33 Strategi keberlanjutan dimensi kelembagaan………...
125 34 Strategi keberlanjutan dimensi ekonomi...………...
126 35 Strategi keberlanjutan dimensi ekologi dan teknologi...…...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pikir penelitian Keberlanjutan Perikanan cakalang
(Katsuwonus pelamis) pada Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur ...
7 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758)
Sumber: Collette dan Nauen (1983) ... 15
3 Hubungan antar komponen dalam segitiga keberlanjutan ……….
21 4 Lokasi penelitian Keberlanjutan Perikanan cakalang di Perairan
ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur …………... 28
5 Tahapan penelitian Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang di
Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur ... 29
6 Prosedur yang digunakan dalam aplikasi Rapfish
(Sumber: Alder et al.2000) …... 42 7 Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) awal musim timur pada bulan
Juni 2009 di perairan selatan Jawa Timur………... 53 8 Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) awal musim barat pada bulan
Desember 2009 di perairan selatan Jawa Timur ... 54 9 Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan (0C) pada musim
barat periode Desember 2005-Mei 2009; (a) Desember,
(b) Januari, (c) Februari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei ... 56 10 Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan (0C) pada musim timur
periode Juni 2005-November 2009; (a) Juni, (b) Juli,
(c) Agustus, (d) September, (e) Oktober, dan (f) November ... 57 11 Sebaran suhu menegak bulanan (0C) tahun 2009. Garis warna \merah
mewakili musim barat dan warna biru mewakili musim timur ………. 58 12 Sebaran suhu melintang bulanan (0C) tahun 2009...
59 13 Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg.l-1) pada musim
barat periode Desember 2005-Mei 2009; (a) Desember,
(b) Januari, (c) Februari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei ... 60 14 Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg.l-1) pada musim
timur periode Juni 2005-November 2009; (a) Juni, (b) Juli,
(c) Agustus, (d) September, (e) Oktober, dan (f) November ... 61 15 Variasi nilai bulanan CPUE untuk cakalang
pada tahun 2003-2010 ... 64 16 Regresi total tangkapan cakalang terhadap total upaya tangkap per
2005- 2009; (a) metode FFT, (b) metode Wavelet ... 65
18 Spektrum densitas energi klorofil-a tahun 2005-2009;
(a) metode FFT, (b) metode Wavelet... 66 19 Spektrum densitas energi CPUE periode tahun 2005-2009;
(a) metode FFT, (b) metode Wavelet... 66 20 Sebaran temporal suhu permukaan laut, klorofil-a
dan CPUE tahun 2005-2009... 67
21 Hasil korelasi silang antara SPL dan CPUE periode 2005-2009………
70 22 Hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut dan CPUE ...
71 23 Komposisi jenis hasil tangkapan nelayan sekoci tahun 2003-2010 ...
74
24 Komposisi cakalang tangkapan menurut ukuran panjang
tahun 2010……... 76
25 Komposisi jumlah tangkapan nelayan sekoci berdasarkan
ukuran tahun 2003-2010 ... 77 26 Hubungan panjang berat cakalang pada tahun 2010...
78 27 Perbandingan tingkat effort aktual dengan
tiga rezim pengelolaan …... 79 28 Perbandingan tingkat produksiaktual
dengan tiga rezim pengelolaan ... 80 29 Kurva produksi lestari cakalang di perairan ZEEI
Samudera Hindia... 80 30 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan
pada dimensi ekologi ... 83 31 Fluktuasi harga jual cakalang tahun 2003-2010 ...
87 32 Perbandingan biaya dan pendapatan per trip tahun 2003-2010...
89 33 Proporsi manfaat yang diterima oleh berbagai pihak pada
perikanan cakalang nelayan sekoci PPP Pondokdadap ... 91 34 Hasil analisis sensitivitas atribut pada dimensi ekonomi ………..
95
35 Perkembangan jenis dan jumlah armada tangkap yang
berpangkalan di PPP Pondokdadap ………... 96 36 Kapal sekoci dari PPP Pondokdadap ...
97 37 Alat pancing nelayan sekoci dengan metode
(a) tonda dan (b) coping... 98 38 Rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap ...
99 39 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan
40 Proporsi nelayan berdasarkan jenis perahu di
PPP Pondokdadap tahun 2001-2010... 104 41 Pendidikan nelayan kapal sekoci di PPP Pondokdadap ...
104 42 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan
pada dimensi sosial... 110 43 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan
pada dimensi Kelembagaan... 118 44 Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi
pada perikanan cakalang nelayan sekoci ... 121 45 Hirarki dimensi prioritas keberlanjutan pengelolaan cakalang...
123 46 Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Foto penelitian ………...
145 2 Ukuran, GT, PK, daya dan jenis mesin serta nama kapal
sampel dalam penelitian……….
148 3 Jenis fasilitas pada PPP Pondokdadap Sendang Biru
Kabupaten Malang……….
150 4 Hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut CPUE; (a)
Kospektrum densitas energi; (b) koherensi kuadrat; (c) beda fase …... 151 5 Hasil korelasi silang antara klorofil-a dan CPUE; (a) Kospektrum
densitas energi; (b) koherensi kuadrat; (c) beda fase ………
152
6 Tabel Pairwise Comparison ……….
153 7 Perhitungan panjang berat dan pendugaan status sumberdaya...
155 8 Sebaran suhu menegak pada mixed layer, thermocline, dan depth
layer di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur
tahun 2009………..
156 9 Jumlah trip, persentase jenis, jumlah tangkapan, harga, nilai jual,
pendapatan dan CPUE per perahu sekoci tahun 2003-2010…………..
157 10 Waktu, nilai maksimum/minimum, rataan dan standar deviasi suhu
permukaan laut Samudera Hindia selatan Jawa Timur 2005-2009 ….. 165 11 Waktu, nilai maksimum dan minimum, rataan dan standar deviasi
konsentrasi klorofil-a Samudera Hindia selatan Jawa
tahun 2005-2009 ………...
166 12 Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) musim barat di atas perairan
selatan Jawa periode November 2008–Oktober 2009: (a) Desember 2008; (b) Januari 2009; (c) Februari 2009; (d) Maret 2009;
(e) April 2009; dan (f) Mei 2009 ………... 167 13 Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) musim timur di atas perairan
selatan Jawa periode November 2008 – Oktober 2009: (a) Juni 2008; (b) Juli 2009; (c) Agustus 2009;
(d) September 2009; (e) Oktober 2009; dan (f) November 2009 ... 168 14 Perhitungan kriteria kelayakan usaha tangkap cakalang dengan
perahu sekoci di PPP Pondokdadap tahun 2003-2010 …..………
169
15 Perhitungan Analisis RapAnalysis ………...…….
170
16 Grafik ordinasi setiap dimensi ………...
176
17 Grafik Monte Carlo scatter plot………
18 WPP-RI 573 perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian
1.1 Latar Belakang
Kegiatan perikanan pelagis besar di Samudera Hindia relatif masih baru
dibandingkan dengan kegiatan serupa di samudera lain. Walaupun demikian,
produksi dari perairan ini terus meningkat dengan kontribusi yang semakin
bertambah kepada total produksi dunia. Dari beberapa spesies ikan pelagis besar
yang tertangkap, salah satu jenis yang dominan adalah cakalang (Katsuwonus
pelamis). Cakalang merupakan tuna berukuran paling kecil, tetapi saat ini arti
pentingnya bagi perikanan tangkap semakin dirasakan. Volume produksinya yang
besar menyebabkan nilai perdagangannya lebih tinggi dari nilai perdagangan jenis
tuna lainnya.
Cakalang merupakan spesies kosmopolit yang ditemukan di bagian tropis
hingga sub tropis Samudera Hindia. Cakalang merupakan ikan pelagis besar yang
melakukan migrasi dalam jarak yang jauh, dimana kelimpahan dan
penyebarannya banyak dipengaruhi oleh karakteristik oseanografi permukaan
perairan. Ikan ini umumnya membentuk gerombolan besar dan berasosiasi dengan
spesies tuna lain yang berukuran sama seperti juvenil Madidihang dan tuna
Matabesar. Spesies ini memiliki fekunditas tinggi dan laju pertumbuhan cepat
yang bisa mencapai ukuran dewasa dalam waktu kurang dari setahun. Laju
reproduksi dan pertumbuhan yang tinggi menyebabkan cakalang tidak rentan
terhadap peningkatan upaya tangkap.
Perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia
selatan Jawa Timur termasuk dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia (WPP-RI) 573 dengan karakteristik oseanografi yang mendukung
keberadaan cakalang, sehingga menjadi perairan potensial untuk penangkapannya
oleh nelayan yang berasal dari berbagai tempat. Salah satu jenis armada yang
digunakan untuk penangkapan sumberdaya ini di WPP-RI 573 adalah kapal
sekoci yang berpangkalan di pantai selatan Kabupaten Malang. Kapal ini
berukuran 10 GT yang mampu menangkap ikan hingga batas terluar ZEEI. Hasil
tangkapan cakalang dengan armada ini menempati proporsi yang cukup besar
Menurut data DJPT (2011) komposisi armada penangkap ikan menurut
ukuran pada tahun 2010 di WPP-RI 573 didominasi oleh motor tempel sejumlah
39.658 (57%), kemudian perahu tanpa motor sejumlah 16.132 buah (23%), dan
paling sedikit adalah kapal motor yaitu 13.780 buah (20%). Persentase tersebut
memperlihatkan bahwa sebagian besar armada berukuran kecil dan hanya dapat
beroperasi hingga perairan teritorial. Sementara itu, penangkapan dengan
menggunakan kapal sekoci di perairan ZEE berkembang cepat dalam sepuluh
tahun terakhir.
Produksi ikan terbanyak dari wilayah pengelolaan penangkapan ini adalah
jenis pelagis besar yaitu sebanyak 190.000 ton per tahun dengan nilai yang
cenderung stagnan dari tahun 2005-2010. Dari jumlah tersebut 42.000 ton
diantaranya adalah cakalang yang sebaliknya menunjukkan kecenderungan
peningkatan dalam periode tersebut. Cakalang merupakan jenis tangkapan
dominan kedua setelah ikan Lemuru (DJPT 2011). Hasil analisis dari data tagging
yang dilakukan pada tahun 2006-2007 di Samudera Hindia menunjukkan bahwa
jumlah cakalang yang tertangkap jauh lebih besar dari jenis tuna lainnya dengan
laju eksploitasi yang relatif masih rendah yaitu tidak melebihi 20% pada semua
jenis ukuran tangkapan (IOTC 2010).
Kondisi tersebut di atas merupakan peluang yang memerlukan upaya
untuk terus mengembangkan pemanfaatan ikan pelagis besar khususnya cakalang
di wilayah ZEEI. Pengembangan pemanfaatan memerlukan pemahaman tentang
kompleksitas perikanan tangkap. Untuk itu diperlukan berbagai informasi faktual
dari berbagai aspek pengelolaan. Informasi yang diperlukan meliputi kondisi
ekologi sumberdaya dan lingkungan perairan, teknologi penangkapan dan
pengolahan yang digunakan, kondisi sosial dan ekonomi nelayan dan masyarakat
pesisir, serta kondisi kelembagaan yang ada di suatu lokasi pemanfaatan.
Informasi yang memadai terkait hal di atas akan memudahkan dalam mengetahui
masalah-masalah utama yang ada sehingga rencana pemanfaatan yang dibuat
dapat mencapai tujuan dengan efektif dan efisien.
Selain membutuhkan berbagai informasi, pengelolaan perikanan tangkap
juga memerlukan pemahaman tentang tingginya dinamika dan ketidakpastian
dan lingkungannya, subsistem sumberdaya manusia dengan kegiatannya, dan
subsistem manajemen perikanan, dimana setiap subsistem memiliki berbagai
komponen. Sistem ini memiliki sifat yang dinamis dengan komponen yang
berubah sepanjang waktu sehingga memerlukan pendekatan pengelolaan secara
terpadu dan berkelanjutan, yaitu pengelolaan yang memperhatikan kompleksitas
dan keterkaitan aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, serta kelembagaan.
Sehubungan dengan hal di atas, pemanfaatan sumberdaya cakalang di
Samudera Hindia harus dilakukan sesuai amanat dalam Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan
secara bertanggungjawab. Tujuan dari penerapan prinsip tersebut adalah untuk
mempertahankan keberlanjutan sumberdaya cakalang dalam mendukung
kesejahteraan umat manusia. Pola pemanfaatan sumberdaya yang tidak
bertanggungjawab dapat menimbulkan ketidakstabilan pada salah satu aspek
pengelolaan, yang secara berantai akan berdampak pada kondisi aspek lainnya.
Keterkaitan tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
ketidakberlanjutan pada sebuah sistem perikanan. Kegagalan dalam sebuah sistem
perikanan akan diikuti oleh konsekuensi rusaknya ekosistem dengan dampak
sosial dan ekonomi yang besar bagi seluruh stakeholder.
Dengan demikian diperlukan analisis terhadap keberlanjutan setiap aspek
pengelolaan melalui kajian yang menggunakan pendekatan kualitatif pada
permasalahan yang terkait dengan aspek sosial, arah dan pola kebijakan dan
teknologi, serta kajian yang sedapat mungkin menggunakan pendekatan
kuantitatif pada permasalahan yang terkait pengkajian dan prediksi aspek ekologi,
ekonomi, dan teknologi. Analisis tersebut diarahkan pada kondisi keberlanjutan
sistem saat ini, sebagai langkah antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya
ketidakstabilan sistem yang dapat ditimbulkan oleh pengelolaan yang tidak sesuai.
Hasil pengkajian akan menyediakan berbagai informasi yang diperlukan
untuk merumuskan tujuan dan menemukan titik keserasian antara berbagai aspek
pengelolaan. Keserasian dalam keseluruhan aspek merupakan kunci untuk
mencapai tujuan utama pengelolaan, yaitu menjaga kapasitas fungsional
ekosistem alami sehingga tetap memberi manfaat yang berkesinambungan bagi
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Keberadaan cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa
Timur dipengaruhi oleh karakteristik oseanografi perairan, sehingga
diperlukan analisis kondisi oseanografi, kondisi biomas stok cakalang,
serta keterkaitan antara keduanya.
2. Semakin meningkatnya laju pemanfaatan sumberdaya cakalang di ZEEI
Samudera Hindia selatan Jawa Timur oleh nelayan sekoci memerlukan
analisis terhadap berbagai atribut pada setiap dimensi keberlanjutan.
3. Kompleksitas permasalahan dalam perikanan cakalang nelayan sekoci di
perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur memerlukan strategi
pengelolaan yang memadu-serasikan berbagai aspek pengelolaan.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis kondisi oseanografi perairan ZEEI Samudera Hindia selatan
Jawa Timur.
2. Menganalisis kondisi biomas stok sumberdaya cakalang di perairan ZEEI
Samudera Hindia selatan Jawa Timur.
3. Menganalisis keterkaitan kondisi oseanografi dengan biomas stok
cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur.
4. Menganalisis status keberlanjutan pada perikanan cakalang perairan ZEEI
Samudera Hindia selatan Jawa Timur berdasarkan dimensi ekologi,
ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan.
5. Menganalisis arahan strategi pengelolaan perikanan cakalang di perairan
ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur melalui penetapan skala
prioritas yang berbasis pada status keberlanjutan multidimensi.
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai referensi dalam pengembangan ilmu pengelolaan sumberdaya
Jawa Timur khususnya mengenai keterkaitan kondisi oseanografi dengan
hasil tangkapan cakalang, serta mengenai analisis status keberlanjutan
multidimensi.
2. Sebagai bahan perbandingan bagi pemerintah dalam menyusun strategi
dan kebijakan pengelolaan sumberdaya cakalang di perairan ZEEI
Samudera Hindia selatan Jawa Timur dengan menggunakan pendekatan
status keberlanjutan multidimensi.
3. Sebagai salah satu acuan bagi nelayan dan pihak terkait lainnya dalam
penentuan lokasi dan waktu penangkapan cakalang di perairan ZEEI
Samudera Hindia selatan Jawa Timur, sehingga dapat meningkatkan
pemanfaatan dengan tetap menjaga keberkelanjutannya.
1.4 Kerangka Pikir
Perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia di Samudera Hindia selatan
Jawa Timur termasuk dalam wilayah WPP-RI 573 yang memiliki potensi
sumberdaya hayati besar yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi
masyarakat di selatan Jawa Timur. Kondisi oseanografi yang spesifik
menyebabkan perairan ini relatif lebih subur dibandingkan wilayah lain di
WPP-RI 573. Salah satu jenis sumberdaya perikanan yang melimpah adalah cakalang
yang merupakan jenis ikan pelagis besar dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya ini diduga belum tinggi, sehingga masih
memungkinkan peningkatan dalam pemanfaatannya.
Salah satu jenis armada yang digunakan untuk meningkatkan pemanfaatan
cakalang di WPPRI 573 adalah kapal sekoci yang berpangkalan di PPP
Pondokdadap Kabupaten Malang. Armada ini menunjukkan pertambahan jumlah
yang signifikan dalam periode tahun 2001-2010. Walaupun ukuran kapal ini
sedang dan alat tangkap yang digunakan tradisional, namun memiliki kehandalan
untuk menangkap ikan hingga jarak 50-200 mil. Aktifitas penangkapan yang
dilakukan antara 8 hingga 12 bulan dalam setahun di lokasi yang telah dipasangi
alat bantu penangkapan berupa rumpon.
Potensi cakalang yang besar yang disertai oleh keberadaan kapal yang
mampu menjangkau wilayah ZEEI, merupakan modal dasar yang perlu disokong
masyarakat. Namun demikian, kegiatan perikanan cakalang di wilayah ini masih
menghadapi berbagai permasalahan dalam pengelolaannya. Oleh karena itu,
kompleksitas dan dinamika permasalahan yang ada perlu dianalisis secara
mendalam dan sedapat mungkin mencakup keseluruhan dimensi pengelolaan
yaitu ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan.
Kondisi stok cakalang merupakan dasar utama bagi keberlanjutan
pemanfaatan sumberdaya cakalang. Pemanfaatan stok cakalang terkait erat
dengan kondisi dimensi ekonomi, teknologi, dan sosial dan kelembagaan nelayan.
Interaksi antara aspek tersebut dengan stok sumberdaya yang ada akan
mempengaruhi kondisi dimensi ekologi. Oleh karena itu, pemahaman dan
informasi tentang kondisi dari setiap dimensi tersebut merupakanpra syarat dalam
pengelolaan pemanfaatannya. Dalam konteks pengelolaan yang berkelanjutan,
dimensi kelembagaan yang efektif dalam mengelola interaksi antar aspek
merupakan kebutuhan utama bagi tercapainya keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya cakalang.
Penilaian status keberlanjutan terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya
cakalang adalah bagian dari mekanisme umpan balik untuk menyediakan
informasi yang diperlukan untuk membenahi permasalahan yang terdapat dalam
kebijakan pengelolaan atau berfungsi sebagai pendukung dalam pengambilan
keputusan (decision support tools). Prosedur penilaian meliputi analisis terhadap
permasalahan-permasalahan yang mempengaruhi status keberlanjutan pada setiap
dimensi pengelolaan, serta analisis terhadap status dimensi pengelolaan secara
keseluruhan.
Hasil penilaian akan menyediakan informasi aktual dan komprehensif
tentang status keberlanjutan pemanfaatannya. Informasi tersebut selanjutnya dapat
dijadikan sebagai landasan dalam menyusun kebijakan pengelolaan yang mampu
menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya cakalang di perairan di ZEEI
1.5 Kebaruan Penelitian
Penelitian tentang kondisi oseanografi di Samudera Hindia selatan Jawa
Timur telah menjadi fokus penelitian selama bertahun-tahun, diantaranya kajian
mengenai upwelling di selatan Jawa selama angin muson tenggara (Purba 1995;
Susanto et al. 2001), kajian tentang fluktuasi semi-annual arus Kelvin (Sprintall
et al. 2000), kajian variabilitas suhu permukaan laut di selatan Jawa-Sumbawa
(Gordon 1998; Qu et al.2005; Farita et al. 2006), serta Tubalawony (2008) yang
mengkaji sebaran konsentrasi klorofil-a dan nutrien di perairan barat Sumatera
dan selatan Jawa-Sumbawa. Penelitian yang mengkaji hubungan antara kondisi
oseanografi dengan sumberdaya perikanan dilakukan oleh Gaol (2003) yaitu
untuk hasil tangkapan tuna matabesar (Thunnus obesus), serta Silvia (2009) yang
menganalisis daerah penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan
suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a.
Penelitian tentang keberlanjutan perikanan dengan menggunakan teknik
Rapfish telah banyak dilakukan. Teknik ini diperkenalkan oleh Pitcher dan
Preikshot (2001) yang menjelaskan metode Rapfish beserta atribut yang
digunakan, Hartono et al. (2005) yangmengembangkan teknik Rapfish untuk
menentukan indikator kinerja perikanan tangkap yang berkelanjutan di Indonesia,
Tesfamichael dan Pitcher (2006) mengkaji status keberlanjutan perikanan di Laut
Merah dengan menggunakan 44 atribut keberlanjutan, Nababan et al. (2007)
menganalisis status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten
Tegal Jawa Tengah, Abdullah (2011) yang meneliti keberlanjutan perikanan
pelagis di Ternate dan menyusun strategi pengembangannya, serta Allahyari
(2010) memfokuskan pengkajian keberlanjutan perikanan pada aspek sosial
nelayan di Provinsi Guilan Iran.
Penelitian Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan cakalang (Katsuwonus
pelamis) di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur menggunakan
perpaduan pendekatan dalam menganalisis sumberdaya cakalang, yaitu 1) analisis
keterkaitan kondisi oseanografi perairan dengan biomas stok sumberdaya
cakalang; dan 2) analisis status keberlanjutan perikanan cakalang oleh nelayan
sekoci berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan,
multidimensi . Dengan demikian penelitian ini tidak hanya dapat memberikan
informasi mengenai kondisi stok sumberdaya cakalang berdasarkan kondisi
oseanografi, tetapi lebih jauh dapat menyediakan perspektif komprehensif
mengenai status keberlanjutan perikanan cakalang oleh nelayan sekoci di perairan
ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur, serta menyediakan strategi dan
arahan kebijakan yang diperlukan bagi peningkatan status keberlanjutannya.
Selain itu, dalam penelitian ini pemilihan dan penilaian status
keberlanjutan pada setiap dimensi dilakukan sesuai dengan kondisi aktual
perikanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur serta
penambahan atribut pada dimensi kelembagaan yaitu pelabuhan perikanan.
Ketersediaan fasilitas di suatu pelabuhan perikanan dianggap dapat menjembatani
keterbatasan yang umumnya dimiliki oleh armada perikanan di Indonesia
khususnya kapal sekoci, yaitu dalam ketersediaan prasarana pendukung kegiatan
penangkapan serta penanganan hasil. Tingkat dukungan yang dapat disediakan di
suatu pelabuhan bergantung kepada kelasnya sehingga perbedaan dalam kelas
pelabuhan akan memberi pengaruh yang berbeda kepada status keberlanjutan
2.1 Kondisi Oseanografi
2.1.1 Arah dan Kecepatan Angin
Pada kondisi normal wilayah Asia Tenggara dipengaruhi oleh empat angin
muson utama yaitu 1) Angin muson barat laut pada bulan Desember, Januari dan
Februari; 2) Transisi dari angin muson barat laut ke angin muson tenggara pada
bulan Maret, April dan Mei; 3) Angin muson tenggara pada bulan Juni, Juli dan
Agustus, dan 4) Transisi dari angin muson tenggara ke angin muson barat laut
pada bulan September, Oktober dan November (Wyrtki 1961).
Wilayah perairan Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan
Australia merupakan wilayah yang ideal untuk terjadinya angin muson. Pada
musim barat di belahan bumi utara (daratan Asia) terjadi musim dingin sementara
di belahan bumi selatan (daratan Australia) terjadi musim panas. Pada saat
tersebut pusat tekanan tinggi berada di daratan Asia dan pusat tekanan rendah
berada di daratan Australia yang menyebabkan angin bertiup dari daratan Asia
menuju daratan Australia, serta hal yang sebaliknya terjadi pada musim timur.
Pada bulan Maret-Mei dan September-November arah angin tidak menentu
(Wyrtki 1961). Hasil observasi Susanto et al. (2005) menunjukkan bahwa waktu
transisi atau musim peralihan lebih pendek. Angin muson barat laut bertiup dari
November-Maret, sementara angin muson tenggara bertiup dari Mei-September.
Musim transisi hanya terjadi pada bulan April dan Oktober.
Perubahan arah dan kecepatan angin yang bertiup di atas perairan
mengakibatkan terjadinya perubahan dinamika perairan. Menurut Susanto et al.
(2001), terjadinya upwelling di sepanjang pantai Jawa-Sumatera merupakan
respon terhadap bertiupnya angin muson tenggara. Upwelling di daerah ini
berlangsung dari bulan Juni hingga pertengahan Oktober dan pusat upwelling
dengan suhu permukaan laut yang rendah dimulai dari perairan selatan Jawa
Timur dan kemudian berpindah ke arah barat.
2.1.2 Suhu Permukaan Laut
Karena posisi geografisnya di antara benua Asia dan Australia dan
sangat dipengaruhi oleh topografi daratan dan atau fluks atmosfer-lautan (Aldrian
& Susanto 2003). Variabilitas SPL sangat dipengaruhi oleh muson Asia-Australia
dan interaksi kompleks antara atmosfer dan lautan, seperti ENSO di katulistiwa
Pasifik Barat dan IODM di katulistiwa Samudera Hindia (Susanto et al. 2005),
serta percampuran yang diakibatkan oleh pasut dan Arus Lintas Indonesia (Qu et
al. 2005).
Variabilitas suhu permukaan laut mempengaruhi karakteristik biologis di
laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebaran SPL merupakan salah
satu indikator terjadinya proses upwelling di suatu perairan (Farita et al. 2006).
Fakta bahwa SPL rata-rata bulanan di daerah perbatasan antara selatan Jawa
Tengah dan Jawa Timur merupakan suhu terendah dibanding wilayah lain di
Selatan Jawa-Sumbawa selama bulan Juli-September, mengindikasikan adanya
penguatan upwelling di daerah tersebut (Farita et al. 2009).
Menurut Bearman (2004) sebaran menegak suhu dibagi menjadi tiga
lapisan, yaitu: (1) lapisan permukaan tercampur (mixed surface layer), (2) lapisan
termoklin permanen pada kedalaman 300 -1.000 m dimana terjadi penurunan suhu
yang tajam, dan (3) lapisan di bawah 1.000 m sampai dasar laut dengan suhu yang
dingin dan relatif konstan. Gradien suhu pada lapisan homogen (tercampur) tidak
lebih dari 0,03 0C/m. Ketebalan lapisan ini sangat tergantung pada kecepatan dan lamanya angin bertiup (Wyrtki 1961).
Purba (1995) menyatakan bahwa di perairan selatan Jawa ketebalan
lapisan tercampur berkisar antara 40–75 m. Ketebalan lapisan termoklin ini
dipengaruhi oleh pertukaran bahang, percampuran oleh gelombang, pergerakan
massa air secara mendatar dan gelombang dalam. Gradien perubahan suhu pada
lapisan termoklin sekitar 0,05 0C/m (Hela & Laevastu 1970). Ross (1995) menyatakan bahwa gradien perubahan suhu lapisan termoklin sekitar 0,1 0C/m. Di perairan selatan Jawa batas lapisan termoklin sebelah atas adalah 45-70 m dan
batas bawahnya adalah 150-200 m (Purba 1995). Lapisan dalam terdapat di bawah
lapisan termoklin, dimana penurunan suhu terhadap kedalaman pada lapisan ini
sangat kecil (Nybakken 1992).
Keberadaan lapisan termoklin sangat mendukung tingginya laju
atas lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang
cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktifitas primer.
Lapisan termoklin yang dangkal dapat lebih berperan dalam menunjang
produktifitas perairan daripada lapisan termoklin yang dalam. Ini disebabkan
karena pada saat terjadi proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan
termoklin yang dangkal lebih mudah mencapai lapisan permukaan daripada
lapisan termoklin yang lebih dalam. Kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a
maksimum adalah pada batas atas lapisan termoklin (Tubalawony 2008).
Hela dan Laevastu (1970) mengemukakan bahwa ikan pelagis akan
bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau mencari daerah yang kondisi
suhunya lebih rendah. Suhu juga menyebabkan perbedaan penyebaran ikan
dewasa dan anak ikan karena mereka cenderung memilih suhu yang cocok bagi
masing-masing umur. Perbedaan suhu perairan juga merupakan faktor penting
yang mempengaruhi migrasi dan besarnya gerombolan ikan. Beberapa jenis ikan
pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu perairan di permukaan lebih
tinggi. Kedalaman gerombolan ikan sangat tergantung luasnya lapisan tercampur
di permukaan pada malam hari.
2.1.3 Klorofil-a
Salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan di
suatu perairan adalah ada tidaknya sumber makanan yang dibutuhkan. Sumber
makanan ikan terkonsentrasi di wilayah perairan yang subur. Daerah perairan
yang subur memiliki kandungan nutrien yang tinggi, seperti ortoposfat, nitrat,
nitrit dan unsur hara lainnya. Daerah ini biasanya diindikasikan dengan
kelimpahan fitoplankton yang tinggi dan konsentrasi klorofil-a yang tinggi pula
(Realino et al. 2007).
Klorofil-a merupakan salah satu pigmen fotosintesis dominan yang
terdapat dalam kloroplast alga dan jenis fitoplankton lainnya. Klorofil diperlukan
dalam konversi energi radiasi sinar matahari menjadi energi kimia dalam proses
fotosintesis. Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada daerah upwelling
dan zona divergensi. Di wilayah tropis, konsentrasi klorofil maksimum ditemukan
pada kedalaman sekitar 20-100 m (Lalli & Parsons 2004). Nontji (1993)
0,19 - 0,16 mg/m3/hari selama musim barat dan 0,21 mg/m3/hari selama musim timur. Karakteristik dan dinamika kolom air antara lapisan tercampur dan lapisan
termoklin sangat mempengaruhi proses-proses biologis yang terjadi di dalamnya.
Sebagian besar produktifitas primer dihasilkan pada lapisan tersebut. Dalam
proses fotosintesis dibutuhkan kehadiran beberapa komponen, seperti cahaya,
karbon dioksida, pigmen klorofil dan nutrien (Lalli & Parsons 2004).
Pada wilayah tropis dari Samudera Hindia, air yang jernih memungkinkan
sinar matahari dapat menembus hingga kedalaman perairan. Hal ini sejalan
dengan Matsuura et al. (1997) yang menyatakan bahwa sebaran konsentrasi
klorofil-a pada bagian atas lapisan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat
menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara
drastik pada lapisan termoklin hingga tidak ditemukan pada lapisan di bawah
termoklin.
Upwelling adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan
dimana air dingin dan kaya unsur hara dari lapisan yang lebih dalam, naik menuju
ke permukaan perairan. Gerakan naik ini membawa serta air yang bersuhu dingin,
salinitas yang tinggi dan unsur-unsur hara yang kaya fhosfat dan nitrat ke
permukaan (Nontji 1993). Umumnya diketahui bahwa upwelling di perairan akan
meningkatkan produktivitas primer yang memainkan peran penting dalam
transpor materi organik ke perairan oligotrof di sekitarnya (Zalewsky et al. 2005).
2.2 Aspek Biologi Cakalang
2.2.1 Tingkah Laku
Cakalang (Katsuwonus pelamis) atau skipjack merupakan salah satu jenis
ikan tuna dalam famili Scombridae yang berbentuk fusiform, memanjang, agak
bulat dan tidak bersisik. Punggung berwarna biru kehitaman. Sisi bawah perut
keperakan dengan 4-6 buah garis hitam memanjang pada bagian samping badan
(Collette & Nauen 1983).
Jones dan Silas (1962) menyatakan cakalang hidup pada suhu antara 160C
– 300C dengan suhu optimum 28 0C. Cakalang termasuk ikan kosmopolit yang epipelagik, yaitu ditemukan hampir di seluruh permukaan perairan laut tropis
hingga 30°C, sedangkan larvanya ditemukan terbatas pada suhu minimal 25°C
(Collette & Nauen 1983, Matsumoto et al.1984).
Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus 1758). (Sumber: Collette dan Nauen 1983)
Cakalang memiliki tendensi untuk bergerombol di permukaan perairan
yang biasanya berasosiasi dengan keberadaan burung, obyek terapung, hiu, paus
atau spesies tuna lainnya. Ikan ini termasuk perenang cepat yang senang melawan
arus, memiliki sifat makan yang rakus dan mencari makanan berdasarkan
penglihatan. Cakalang bermigrasi di sekitar pulau maupun dalam jarak jauh. Pada
siang hari ditemukan mulai dari permukaan perairan hingga kedalaman 260 m,
dan terbatas dekat permukaan perairan pada malam hari (Matsumoto et al. 1984).
Migrasi adalah setiap jenis pergerakan yang sistematik dari
individu-individu yang termasuk dalam suatu stok (Sparre & Venema 1998). Cakalang
termasuk spesies yang melakukan migrasi yang jauh (highly migratory species).
Pergerakan lokal cakalang berukuran panjang kurang dari 45 cm pada malam hari
berkisar 25 hingga 106 km dari posisi awal dan kembali ke tempat semula di pagi
hari. Pergerakan dalam jarak yang besar dapat dilihat dari hasil tagging cakalang
di Samudera Pasifik yang tertangkap kembali 30 hari setelah dilepaskan dan
sebagian besar yaitu 95% tertangkap di perairan yang berjarak 1.350 mil dari
posisi pelepasannya (Sibert & Hampton 2003). Selanjutnya IOTC (2008b)
melaporkan hasil tangging cakalang di Samudera Hindia yang menunjukkan
bahwa spesies ini memiliki mobilitas tinggi dengan rataan jarak migrasi yang
2.2.2 Pendugaan Stok Cakalang
Charles (2001) menyatakan bahwa dalam dinamika populasi yang disebut
biomas untuk tahun sekarang adalah kombinasi dari 1) jumlah ikan yang bertahan
hidup dari tahun sebelumnya setelah dikalikan dengan laju pertumbuhan individu,
beserta 2) jumlah ikan hasil rekruitmen pada tahun ini yang berasal dari proses
reproduksi tahun sebelumnya setelah dikurangi laju kematian. Selanjutnya
disebutkan bahwa untuk keperluan pengelolaan perikanan, stok adalah suatu sub
kelompok dari satu spesies yang dapat diperlakukan sebagai suatu stok jika
perbedaan-perbedaan dalam kelompok tersebut dan pencampuran dengan
kelompok lain mungkin dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang salah
(Gulland 1983 in Sparre & Venema 1998).
Pengkajian stok harus dilakukan secara terpisah untuk setiap stok ikan
kemudian hasilnya dapat digabung ke dalam suatu pengkajian perikanan
multi-spesies (Sparre & Venema 1998). Hasil tagging cakalang di Samudera Hindia
menunjukkan bukti pergerakan yang cepat dalam skala sangat luas yang
mendukung dugaan terkini bahwa cakalang di samudera ini merupakan stok
tunggal (IOTC 2009a; Huntington et al. 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa stok
ikan yang bermigrasi dimanfaatkan oleh berbagai negara, sehingga pengkajian
stoknya tidak boleh terikat oleh batas geografi yang dibuat manusia. Pengkajian
stoknya akan lebih baik bila dilakukan melalui kerjasama antar negara (Sparre &
Venema, 1998).
Cakalang adalah spesies tuna terkecil yang dieksploitasi secara komersial,
namun memiliki pertumbuhan paling cepat dan dapat mencapai umur dewasa
dalam waktu kurang dari setahun. Estimasi panjang berdasarkan data tagging
menunjukkan panjang total antara 45-85 cm untuk ikan berumur 1 tahun
(Hampton 2000). Kisaran ukuran panjang cakalang maksimum adalah 80 cm
dengan berat berat 8-10 kg hingga ukuran 108 cm dengan berat 34,5 kg (Collette
& Nauen 1983). Fekunditas cakalang betina yang berukuran panjang total 41 cm
hingga 87 cm berkisar antara 80.000 hingga 2 juta telur (Matsumoto et al. 1984).
Estimasi mortalitas menunjukkan bahwa mortalitas alami pada cakalang
berukuran 21–30 cm lebih tinggi dari cakalang berukuran 51–70 cm (Kirby et al.
Catch per unit effort (CPUE) adalah cara sederhana untuk memprediksi
kondisi biomas ikan di perairan dengan cara melihat perbandingan antara hasil
tangkapan dengan jumlah upaya yang dilakukan. Biomas stok ikan yang baik
akan menunjukkan nilai CPUE yang terus meningkat dengan pertambahan upaya
tangkap. IOTC (2008a) melaporkan bahwa tren CPUE perikanan cakalang dengan
purse seine tahun 2008 di Samudera Hindia (Somalia dan Sisilia) menunjukkan
data yang bervariasi tetapi menunjukkan hasil tangkapan yang cenderung
meningkat setiap tahun.
Beragamnya ukuran tangkapan pada data yang diperoleh selama
bertahun-tahun menunjukkan laju pertumbuhan cakalang yang bervariasi (IOTC 2009c).
Dengan menggunakan pembacaan otolith didapatkan hasil bahwa cakalang di
bagian timur Samudera Hindia bisa mencapai ukuran panjang total 45 cm dalam
waktu satu tahun, dan panjang total 50 hingga 55 cm dalam waktu satu setengah
tahun. Kematangan seksual cakalang dicapai pada umur satu tahun dan dapat
hidup 8 - 12 tahun (Huntington et al. 2010), dengan rataan siklus hidup yang
relatif pendek yaitu 4 tahun (Sibert & Hampton 2003).
Dinamika stok cakalang sangat bergantung kepada rekruitmen (recruitment
driven) yang disebabkan siklus hidupnya yang pendek serta kemampuannya untuk
bereproduksi sepanjang tahun sehingga proses rekruitmen juga terjadi sepanjang
tahun. Produktifitas yang tinggi serta siklus hidup yang relatif pendek
menyebabkan cakalang memiliki ketahanan terhadap overfishing (IOTC 2009a;
IOTC 2011). Hasil analisis terhadap data tagging tahun 2008 menunjukkan
rekruitmen cakalang yang masih besar di Samudera Hindia sebelah barat
walaupun tingkat eksploitasinya tinggi (IOTC 2010). Mayoritas cakalang yang
tertangkap di Samudera Hindia berasal dari ikan berukuran > 40 cm sehingga
kemungkinannya telah melakukan pemijahan sebelum tertangkap (IOTC 2011).
Prosedur pengkajian stok terdiri dari elemen input (data perikanan dan
berbagai asumsi menyangkut data dan metodologi), proses (analisis data), dan
output (perkiraaan parameter populasi atau sistem). Output yang dihasilkan berisi
prediksi dan berbagai alternatif yang merupakan input bagi proses berikutnya.
Pengulangan proses akan menghasilkan output akhir yang berisi strategi
1996 in Charles 2001). Salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam
pengkajian stok adalah analisis statistik data deret waktu antara hasil dan upaya
tangkap yang menghasilkan indeks hasil tangkap per upaya tangkap atau catch per
unit effort (CPUE). Metode ini sangat berguna dalam memberikan indikator
kelimpahan stok bila tidak tersedia data lengkap mengenai ukuran, berat dan umur
ikan. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa kelimpahan stok berkorelasi
positif dengan dengan laju penangkapan (Charles 2001).
IOTC (2009c) melaporkan bahwa hasil pengkajian secara menyeluruh
terhadap stok cakalang di Samudera Hindia belum tersedia hingga saat ini, namun
diperkiran masih jauh dari maximum sustainable yield (MSY) atau belum
mencapai over fishing, namun demikian dibutuhkan upaya monitoring yang
cermat. Selanjutnya dikatakan bahwa beberapa indikator populasi yang tersedia
belum menunjukkan tanda terjadinya masalah dalam populasi cakalang, seperti
berikut:
1. Tren peningkatan kegiatan penangkapan dalam jumlah besar sejak
pertengahan era 80-an sebagai akibat dari ekspansi perikanan tangkap yang
menggunakan fish aggregating devices di Samudera Hindia.
2. Tren catch per unit effort (CPUE) atau hasil tangkapan per satuan upaya
penangkapan untuk alat purse seine dari tiga wilayah utama penangkapan
cakalang di Samudera Hindia, yaitu Somalia timur, barat daya Sesilia, dan
terusan Mozambiq menunjukkan nilai yang bervariasi tetapi umumnya
memperlihatkan jumlah tangkapan yang meningkat dengan pertambahan
upaya tangkap.
3. Rataan ukuran tangkapan dengan berbagai alat tangkap menunjukkan kondisi
populasi yang stabil. Purse seine serta pole and line terbanyak menangkap
ikan yang berukuran 40-65 cm sementara gillnet terbanyak menangkap ikan
yang berukuran 70-80 cm.
2.3 Perikanan Cakalang Samudera Hindia
Menurut Matsumoto et al. (1984) daerah penangkapan cakalang biasanya
tersebar di perairan sekitar benua atau pulau-pulau besar dimana seringkali terjadi
upwelling atau fenomena oseanografi yang menyebabkan terjadinya konsentrasi