• Tidak ada hasil yang ditemukan

Echo Power (Pantulan Radar) Apabila gelombang radio yang pancarkan

Tanggal disetujui:

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Equatorial Atmosphere Radar (EAR) EAR adalah radar doppler yang dibangun

2.6.1 Echo Power (Pantulan Radar) Apabila gelombang radio yang pancarkan

radar mengenai target, maka gelombang tersebut akan dipantulkan atau dihamburkan. Echo yang ditimbulkan karena hamburan atau pantulan oleh target akan memberikan informasi mengenai target tersebut. Kekuatan pemancar dan penerima sinyal radar biasanya digambarkan dengan desibel (dB). Reflektivitas radar Z sering didefinisikan dalam unit dBZ yang dinyatakan sebagai berikut (Collier 1989 dalam Nurmayani 2003): ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = 10 66 33 1 log 101 m mm m mm Z dBZ 2.6.2 Kecepatan Doppler

Kecepatan Doppler diperoleh dari beam vertikal yang merupakan pengurangan spektrum kecepatan jatuh yang dihubungkan dengan distribusi hidrometeor dan spektrum pergerakan udara. Perhitungan kecepatan Doppler dapat dinyatakan dengan persamaan (William et al):

Gambar 3. Diagram alir algoritma klasifikasi awan (William et al, 1995) Yes Yes Yes No No No Dimana Vd adalah perhitungan untuk

kecepatan Doppler (nilai positif mengidentifikasikan kecepatan ke arah atas), w untuk kecepatan vertikal udara (positif ke atas) dan Vt adalah kecepatan jatuh hidrometeor (positif ke bawah). Kecepatan Doppler vertikal adalah cara yang kuat untuk membedakan antara udara cerah dengan echo hujan dalam wind profiler UHF.

2.6.3 Lebar spektrum

Lebar spektrum secara langsung berhubungan dengan turbulensi dan distribusi ukuran hidrometeor pada volume resolusi radar.

2.7 Pertumbuhan Awan

Awan merupakan hasil kondensasi dari uap air yang bergerak naik bersama kantong udara. Karena sifatnya yang memantulkan dan menyerap radiasi bumi maka awan juga ikut menentukan pemanasan dan pendinginan bumi.

Konvektif merupakan salah satu faktor yang penting dalam pertumbuhan awan yang terjadi karena kenaikan udara di atas permukaan yang relatif panas. Jika kita mengamati atmosfer daerah tropis, maka akan terlihat bahwa keadaan awan tidak sama dari hari ke hari. Ketinggian, ketebalan dan jenis awan kumulus berubah setiap hari bergantung pada kondisi meteorologi.

Awan konvektif dan awan kumulus terbentuk karena adanya pemanasan radiasi dari permukaan tanah. Pertumbuhan selanjutnya disebabkan adanya pelepasan panas laten kondensasi yang merupakan sumber enegi yang cukup besar untuk menggiatkan awan kumulus. Karena pemanasannya di permukaan, maka udara di atasnya menjadi tidak stabil sehingga parsel udara naik ke atas hingga mencapai level kondensasi.

Menurut Tjasyono (1981) karena penyerapan energi matahari oleh permukaan tanah tidak uniform (daerah berbukit, daerah tumbuh-tumbuhan dan macam-macam jenis tanah), maka pertumbuhan awan konvektif cenderung pada daerah dengan pemanasan paling kuat. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan awan kumulus di daerah tropis adalah konvergensi horizontal, tebal lapisan lembab, stabilitas vertikal dan orografik. Selanjutnya Tjasyono (1981) mengatakan lapisan inversi merupakan hambatan bagi pertumbuhan awan konvektif karena lapisan ini adalah stabil. Hanya dengan updraft yang kuat lapisan ini dapat tembus oleh awan. Karena adanya lapisan inversi ini, maka bentuk awan konvektif menjadi berubah, pada saat tertentu seperti cerobong atau balok. Apabila terdapat lapisan inversi, maka kemungkinan untuk turun hujan hampir tidak ada.

2.8 Klasifikasi Awan Hujan

Secara umum awan hujan terdiri dari dua jenis yaitu awan hujan stratiform dan awan hujan konvektif. Awan hujan stratiform yang menghasilkan hujan, terbentuk dari awan nimbostratus, sedangkan awan konvektif terbentuk dari awan cumulus dan cumulonimbus.

Pengklasifikasian awan dan perkiraan struktur awan hujan berdasarkan struktur vertikal parameter-parameter yang dihasilkan dari radar (pantulan radar, kecepatan doppler dan lebar spektrum), yaitu menjadi 4 tipe awan yang terdiri dari awan stratiform, mixed stratiform/convective, deep convective dan shallow convective. Pengklasifikasian awan hujan dilakukan dengan metode William et al (1995) yaitu dengan menggunakan tiga kriteria sebagai berikut:

a. Adanya melting layer

b. Adanya turbulensi di atas melting layer c. Adanya hydrometeor di atas melting layer

Apakah terlihat adanya Melting Layer

Apakah ada Hidrometeor di atas Melting Layer Apakah ada turbulensi di atas

Melting Layer Mixed

Stratiform/Convective Stratiform

Shallow Convective Deep Convective

Apabila awan hujan memiliki melting layer, maka awan hujan diklasifikasikan sebagai awan stratiform atau mixed stratiform/convective, jika tidak ada turbulensi di atas melting layer, awannya diklasifikasikan sebagai stratiform dan jika ada turbulensi di atas melting layer, maka diklasifikasikan sebagai mixed stratiform/convective. Dan untuk awan hujan yang tidak memiliki melting layer, maka awan hujan diklasifikasikan sebagai awan konvektif, apabila terdapat hidrometeor di atas melting layer maka diklasifikasikan sebagai deep convective dan apabila tidak ada hidrometeor di atas melting layernya, maka awan diklasifikasikan sebagai awan shallow convective.

2.9 Disdrometer

Berbagai macam penelitian untuk mengukur distribusi butir hujan ini telah dilakukan orang sejak dahulu. Beberapa metode dan alat penelitian telah dicoba, tetapi yang paling populer adalah penelitian dengan menggunakan disdrometer yang ditemukan oleh Joss dan Waldvogel (1967). Dengan alat ini, momentum dari butir hujan yang jatuh mengenai sebuah sensor elektromekanis akan berubah menjadi sinyal listrik. Alat ini kemudian disempurnakan oleh Sheppard (1990) yang sampai sekarang ini merupakan alat standar untuk mengukur distribusi butir hujan.

Disdrometer yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe RD-80, yang merupakan disdrometer dengan sensor elektromekanis yang menghantarkan memontum butir hujan ke sinyal listrik. Alat ini mempunyai kemampuan untuk mengukur diameter butir hujan antara 0.3 mm sampai 0.5 mm, yang dibagi dalam 20 kelas (19 kelas tambah 1 kelas untuk data diatas 5.0 mm. Berdasarkan pembagian kelas ini masing-masing jumlah butir hujan dapat dihitung. Pembagian kelas ini untuk masing-masing ukuran butir hujan ditunjukkan pada lampiran 2. 2.10 Osilasi Madden Julian

Pada tahun 1971, Roland Madden dan Paul Julian menemukan sebuah osilasi di daerah tropis dengan periode 40-50 harian. Osilasi ini disebut dengan Osilasi Madden Julian (Madden Julian Oscillation). MJO dapat dianggap sebagai pita skala yang mulai muncul di atas perairan Samudera Hindia dan bergerak ke arah timur antara 10º LU dan 10º LS.

Kehadiran MJO dicirikan oleh adanya pertumbuhan gugus awan (SCC: super cloud cluster) di atas samudera Hindia dan kemudian

menjalar ke arah timur dengan kecepatan sekitar 5 m/s, penjalaran ini belum jelas, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa selalu muncul tekanan rendah di sebelah timur SCC.

Gambar 4. Hirarki MJO (Nakazawa, 1988) Menurut Nakazawa (1988), munculnya MJO dicirikan dengan adanya Super Cloud Cluster (SCC), SCC adalah kumpulan awan dengan skala 1000-2000 km yang bergerak ke arah timur. SCC terdiri dari Cloud Cluster (CC) yang mempunyai skala 100 km. sel-sel awan CC ini akan bergerak ke arah barat sambil tumbuh dan berkembang (matang) kemudian mati dan seterusnya dalam waktu kurang lebih dua hari, sehingga dapat disimpulkan bahwa timbulnya MJO dicirikan dengan adanya CC dan terjadinya gugus ini dalam rentang waktu 30-60 hari.

Selama perjalanan ke arah timur MJO dipengaruhi oleh posisi matahari. Ketika matahari berada di garis ekuator MJO bergerak lurus ke arah timur. Sedangkan ketika matahari berada di sebelah selatan garis ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah selatan ekuator yang dikenal sebagai penjalaran selatan-timur (south-eastern propagation). Ketika posisi matahari berada di sebelah utara ekuator, maka penjalaran MJO agak bergeser ke arah utara ekuator, yang dikenal sebagai penjalaran utara-timur (north-eastern propagation) (Rui and Wang 1990 dalam Sartika 2005).

2.11 Angin

Atmosfer selalu ada dalam keadaan bergerak. Gerak atmosfer ada dua jenis, yaitu gerak nisbi terhadap permukaan bumi, yang dinamakan angin, dan gerak bersama-sama dengan bumi yang berotasi terhadap sumbunya. Jenis gerak terakhir ini berpengaruh terhadap arah angin nisbi terhadap permukaan bumi. Gerak atmosfer terhadap permukaan bumi

mempunyai dua arah, ialah arah horizontal dan arah vertikal.

Menurut Holton (1992), komponen angin horizontal terbagi menjadi dua komponen, yaitu:

1. Komponen angin Timur-Barat (angin zonal) disebut juga kompenen angin U. 2. Komponen angin Utara-selatan (angin

meridional) disebut juga kompenen angin V.

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknik Hujan Buatan (UPTHB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta pada bulan April sampai Juli 2006.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office, dan compiler Fortran dan XYGRAPH yang dioperasikan pada sistem UNIX.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data EAR (Equatorial Atmosphere Radar) berupa angin zonal, angin meridional dan angin vertikal.

2. Data BLR dari beam vertikal yang terdiri dari 3 parameter yaitu pantulan radar (Echo Power), kecepatan Doppler (Doppler Shift) dan lebar spektrum (Spectral Width). Dengan resolusi pengukuran 100 m dan resolusi waktu kurang dari 1 menit.

3. Data radar X-Band untuk melihat pergerakan awan, karakteristik awan dan besarnya awan secara spasial.

4. Data Permukaan

Data permukaan digunakan sebagai pembanding dengan data radar dan citra satelit dalam penelitian ini. Data pembandingnya adalah data curah hujan yang diukur dengan distrometer dalam bentuk menit. Data curah hujan yang digunakan adalah data bulan April sampai Mei 2004.

5. Citra satelit GOES 9-IR

Citra satelit GOES 9-IR wilayah Kototabang 10 April 2004-11 Mei 2004. 3.3 Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.3.1 Identifikasi Kemunculan Awan dengan Menggunakan Data Satelit GOES 9-IR.

Pada penelitian ini data GOES yang diambil adalah data GOES 9-IR yang berada pada lintang 0.2ºS tanggal 10 April 2004-11 Mei 2004 yang kemudian dirata-ratakan untuk melihat keawanan secara global yang masuk ke Kototabang dan tutupan awan di atas Kototabang. Hasil olahan Data GOES 9 ini berupa temperatur radiasi benda hitam yang dipancarkan oleh puncak awan dan hasilnya diplot berupa bujur (sumbu x) dan penampang waktu (sumbu y).

3.3.2 Identifikasi Karakteristik Awan Hujan

Untuk melihat karakteristik awan hujan digunakan data BLR dan XDR. BLR digunakan untuk menentukan jenis awan hujan berdasarkan ketiga paramater yang diperoleh dari beam vertikal BLR, yaitu pantulan radar, kecepatan doppler dan lebar spektrum dengan menggunakan metode William, et al (1995), sehingga dapat ditentukan jenis awan yang terpantau adalah awan jenis stratiform, deep convective, campuran dari keduanya (Mix stratiform/convective) atau shallow convective. Pengolahan data BLR menggunakan perangkat lunak Fortran dan hasilnya diplot dengan menggunakan excel. Hasil olahan data BLR berupa penampang waktu (sumbu x) dan frekuensi kemunculan awan hujan (sumbu y). Sedangkan XDR digunakan untuk melihat pertumbuhan, pergerakan dan tutupan awan secara spasial. Pengolahan data XDR dengan menggunakan perangkat lunak Fortran dan memplot hasilnya dengan menggunakan XY-Graph dan hasilnya berupa grafik reflektivitas radar yang menunjukkan aktivitas awan hujan dimana sumbu x adalah penampang waktu dan sumbu y adalah bujur.

3.3.3 Analisis Kejadian Hujan Saat Kemunculan Awan Hujan.

Analisis awan hujan dilakukan dengan menggunakan data disdrometer. Untuk menghitung jumlah curah hujan yang turun ke permukaan digunakan persamaan sebagai berikut:

( )

= × × × × = 20 1 3 3 1 10 6 . 3 6 i i i D n t F R π 3600 / t R RA = × Dimana:

t = Selang waktu Pengukuran (t=60 detik)

mempunyai dua arah, ialah arah horizontal dan arah vertikal.

Menurut Holton (1992), komponen angin horizontal terbagi menjadi dua komponen, yaitu:

1. Komponen angin Timur-Barat (angin zonal) disebut juga kompenen angin U. 2. Komponen angin Utara-selatan (angin

meridional) disebut juga kompenen angin V.

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknik Hujan Buatan (UPTHB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta pada bulan April sampai Juli 2006.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office, dan compiler Fortran dan XYGRAPH yang dioperasikan pada sistem UNIX.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data EAR (Equatorial Atmosphere Radar) berupa angin zonal, angin meridional dan angin vertikal.

2. Data BLR dari beam vertikal yang terdiri dari 3 parameter yaitu pantulan radar (Echo Power), kecepatan Doppler (Doppler Shift) dan lebar spektrum (Spectral Width). Dengan resolusi pengukuran 100 m dan resolusi waktu kurang dari 1 menit.

3. Data radar X-Band untuk melihat pergerakan awan, karakteristik awan dan besarnya awan secara spasial.

4. Data Permukaan

Data permukaan digunakan sebagai pembanding dengan data radar dan citra satelit dalam penelitian ini. Data pembandingnya adalah data curah hujan yang diukur dengan distrometer dalam bentuk menit. Data curah hujan yang digunakan adalah data bulan April sampai Mei 2004.

5. Citra satelit GOES 9-IR

Citra satelit GOES 9-IR wilayah Kototabang 10 April 2004-11 Mei 2004. 3.3 Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.3.1 Identifikasi Kemunculan Awan dengan Menggunakan Data Satelit GOES 9-IR.

Pada penelitian ini data GOES yang diambil adalah data GOES 9-IR yang berada pada lintang 0.2ºS tanggal 10 April 2004-11 Mei 2004 yang kemudian dirata-ratakan untuk melihat keawanan secara global yang masuk ke Kototabang dan tutupan awan di atas Kototabang. Hasil olahan Data GOES 9 ini berupa temperatur radiasi benda hitam yang dipancarkan oleh puncak awan dan hasilnya diplot berupa bujur (sumbu x) dan penampang waktu (sumbu y).

3.3.2 Identifikasi Karakteristik Awan Hujan

Untuk melihat karakteristik awan hujan digunakan data BLR dan XDR. BLR digunakan untuk menentukan jenis awan hujan berdasarkan ketiga paramater yang diperoleh dari beam vertikal BLR, yaitu pantulan radar, kecepatan doppler dan lebar spektrum dengan menggunakan metode William, et al (1995), sehingga dapat ditentukan jenis awan yang terpantau adalah awan jenis stratiform, deep convective, campuran dari keduanya (Mix stratiform/convective) atau shallow convective. Pengolahan data BLR menggunakan perangkat lunak Fortran dan hasilnya diplot dengan menggunakan excel. Hasil olahan data BLR berupa penampang waktu (sumbu x) dan frekuensi kemunculan awan hujan (sumbu y). Sedangkan XDR digunakan untuk melihat pertumbuhan, pergerakan dan tutupan awan secara spasial. Pengolahan data XDR dengan menggunakan perangkat lunak Fortran dan memplot hasilnya dengan menggunakan XY-Graph dan hasilnya berupa grafik reflektivitas radar yang menunjukkan aktivitas awan hujan dimana sumbu x adalah penampang waktu dan sumbu y adalah bujur.

3.3.3 Analisis Kejadian Hujan Saat Kemunculan Awan Hujan.

Analisis awan hujan dilakukan dengan menggunakan data disdrometer. Untuk menghitung jumlah curah hujan yang turun ke permukaan digunakan persamaan sebagai berikut:

( )

= × × × × = 20 1 3 3 1 10 6 . 3 6 i i i D n t F R π 3600 / t R RA = × Dimana:

t = Selang waktu Pengukuran (t=60 detik)

n(i) = Jumlah butir hujan kelas i yang terukur selama waktu t

D = Diameter butir hujan (mm) R = Curah Hujan (mm/jam) RA = Jumlah curah hujan (mm)

F = Luas permukaan disdrometer (F=0.005 m2)

Hasil olahan data tersebut berupa waktu (sumbu x) dan jumlah curah hujan dalam mm (sumbu y).

3.3.4 Analisis Angin saat Kemunculan Awan Hujan.

Untuk menganalisis angin pada saat kemunculan awan hujan digunakan data EAR. Data EAR yang berupa data angin zonal, meridional dan vertikal diolah dengan menggunakan fortran. Hasil olahannya berupa arah angin berdasarkan waktu (sumbu x) dan ketinggian (sumbu y).

3.3.5 Membandingkan hasil pengamatan tanggal 15, 23 dan 29 April 2004 dengan 5-6 Mei 2004.

Perbandingan hasil pengamatan dilakukan dengan melihat karakteristik awan hujan, kejadian hujan dan keadaaan angin pada masing-masing pengamatan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Kemunculan Awan Hujan dengan Menggunakan Data Satelit GOES 9-IR.

Gambar 5 merupakan penampang bujur-waktu dari TBB pada 0.2º S dari 10 April 2004 hingga 11 Mei 2004 meliputi 80º BT sampai 120º BT. Garis vertikal menunjukkan letak radar dan untuk pewarnaan gambar, semakin merah maka temperatur puncak awan semakin rendah dan semakin biru maka temperatur puncak awan semakin tinggi. Terlihat juga bahwa ada empat Super Cloud Cluster (SCC) yang melintas di atas Kototabang dan menjadi kajian dalam penelitian ini yaitu SCC 1(15 April 2004), SCC 2 (23-24 April 2004), SCC 3 (29 April 2004) dan SCC 4 (5 dan 6 April 2004). Menurut Kozu at al (2004), terdapat empat SCC yang masuk ke Kototabang pada tanggal 10 April sampai 11 Mei 2004 yang terjadi antara fase MJO non aktif dan aktif yang terdiri dari SCC yang kecil dan besar.

Pada gambar juga terlihat adanya penjalaran gugus-gugus awan yang sebagian besar tumbuh di sebelah barat radar dan setelah melewati sekitar 100oBT, pertumbuhan awan terlihat sedikit berkurang, hal ini kemungkinan

disebabkan oleh adanya pegunungan Bukit Barisan di sepanjang sisi barat pulau Sumatera. Hal ini juga disebutkan oleh Nitta et al (1992) dalam penelitiannya menggunakan data infra red dari satelit NOAA bahwa penjalaran MJO ini biasanya sedikit terganggu saat melewati kepulauan Sumatera karena adanya faktor lokal (orografik). Pergerakan gugus-gugus awan di atas Samudera Hindia yang bergerak ke arah timur dengan periode sekitar 30-50 hari yang memperlihatkan pola MJO.

Gambar 5. Penampang bujur-waktu dari TBB pada 0.2º S dari 10 April 2004 hingga 11 Mei 2004 meliputi 80º BT sampai 120º BT. Garis vertikal menunjukkan letak radar (100.3ºE). 4.2 Pengamatan Awan Hujan dengan BLR

dan XDR

Pengamatan awan hujan dengan menggunakan BLR dan XDR dilakukan untuk membandingkan kemunculan awan hujan dengan dua alat yang berbeda sistem kerjanya. Pengamatan awan hujan dengan BLR dilakukan untuk melihat struktur vertikal awan hujan sehingga dapat diketahui jenis awan hujannya, sedangkan pengamatan awan dengan XDR dilakukan untuk melihat awan secara spasial berdasarkan reflektivitas yang dipancarkan oleh radar.

Untuk melihat karakteristik awan di atas Kototabang digunakan BLR dan X-band radar. BLR digunakan untuk mengklasifikasikan awan hujan berdasarkan tiga parameter spektrum doppler yang didapat dari beam tegak lurus BLR (Renggono, 2006). Berdasarkan pengamatan BLR tersebut awan hujan dikelompokkan menjadi awan Stratiform (STR), Mixed Stratiform/Convective (MIX), Deep Convective (CNV), dan Shallow

SCC1

SCC 2

SCC 3

n(i) = Jumlah butir hujan kelas i yang terukur selama waktu t

D = Diameter butir hujan (mm) R = Curah Hujan (mm/jam) RA = Jumlah curah hujan (mm)

F = Luas permukaan disdrometer (F=0.005 m2)

Hasil olahan data tersebut berupa waktu (sumbu x) dan jumlah curah hujan dalam mm (sumbu y).

3.3.4 Analisis Angin saat Kemunculan Awan Hujan.

Untuk menganalisis angin pada saat kemunculan awan hujan digunakan data EAR. Data EAR yang berupa data angin zonal, meridional dan vertikal diolah dengan menggunakan fortran. Hasil olahannya berupa arah angin berdasarkan waktu (sumbu x) dan ketinggian (sumbu y).

3.3.5 Membandingkan hasil pengamatan tanggal 15, 23 dan 29 April 2004 dengan 5-6 Mei 2004.

Perbandingan hasil pengamatan dilakukan dengan melihat karakteristik awan hujan, kejadian hujan dan keadaaan angin pada masing-masing pengamatan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Kemunculan Awan Hujan dengan Menggunakan Data Satelit GOES 9-IR.

Gambar 5 merupakan penampang bujur-waktu dari TBB pada 0.2º S dari 10 April 2004 hingga 11 Mei 2004 meliputi 80º BT sampai 120º BT. Garis vertikal menunjukkan letak radar dan untuk pewarnaan gambar, semakin merah maka temperatur puncak awan semakin rendah dan semakin biru maka temperatur puncak awan semakin tinggi. Terlihat juga bahwa ada empat Super Cloud Cluster (SCC) yang melintas di atas Kototabang dan menjadi kajian dalam penelitian ini yaitu SCC 1(15 April 2004), SCC 2 (23-24 April 2004), SCC 3 (29 April 2004) dan SCC 4 (5 dan 6 April 2004). Menurut Kozu at al (2004), terdapat empat SCC yang masuk ke Kototabang pada tanggal 10 April sampai 11 Mei 2004 yang terjadi antara fase MJO non aktif dan aktif yang terdiri dari SCC yang kecil dan besar.

Pada gambar juga terlihat adanya penjalaran gugus-gugus awan yang sebagian besar tumbuh di sebelah barat radar dan setelah melewati sekitar 100oBT, pertumbuhan awan terlihat sedikit berkurang, hal ini kemungkinan

disebabkan oleh adanya pegunungan Bukit Barisan di sepanjang sisi barat pulau Sumatera. Hal ini juga disebutkan oleh Nitta et al (1992) dalam penelitiannya menggunakan data infra red dari satelit NOAA bahwa penjalaran MJO ini biasanya sedikit terganggu saat melewati kepulauan Sumatera karena adanya faktor lokal (orografik). Pergerakan gugus-gugus awan di atas Samudera Hindia yang bergerak ke arah timur dengan periode sekitar 30-50 hari yang memperlihatkan pola MJO.

Gambar 5. Penampang bujur-waktu dari TBB pada 0.2º S dari 10 April 2004 hingga 11 Mei 2004 meliputi 80º BT sampai 120º BT. Garis vertikal menunjukkan letak radar (100.3ºE). 4.2 Pengamatan Awan Hujan dengan BLR

dan XDR

Pengamatan awan hujan dengan menggunakan BLR dan XDR dilakukan untuk membandingkan kemunculan awan hujan dengan dua alat yang berbeda sistem kerjanya. Pengamatan awan hujan dengan BLR dilakukan untuk melihat struktur vertikal awan hujan sehingga dapat diketahui jenis awan hujannya, sedangkan pengamatan awan dengan XDR dilakukan untuk melihat awan secara spasial berdasarkan reflektivitas yang dipancarkan oleh radar.

Untuk melihat karakteristik awan di atas Kototabang digunakan BLR dan X-band radar. BLR digunakan untuk mengklasifikasikan awan hujan berdasarkan tiga parameter spektrum doppler yang didapat dari beam tegak lurus BLR (Renggono, 2006). Berdasarkan pengamatan BLR tersebut awan hujan dikelompokkan menjadi awan Stratiform (STR), Mixed Stratiform/Convective (MIX), Deep Convective (CNV), dan Shallow

SCC1

SCC 2

SCC 3

Convective (SHL) dengan menggunakan metode William et al (1995). Sedangkan X-band radar digunakan untuk melihat awan secara spasial di daerah tertentu dengan melihat reflektivitas radar yang dihasilkan oleh radar tersebut sehingga dapat ditentukan daerah dan waktu ketika pertama kali awan tumbuh. Untuk menganalisis awan hujan dalam penelitian ini digunakan awan hujan yang terjadi pada tanggal 15 April 2004 (SCC 1), 23-24 April 2004 (SCC 2) dan 29 April 2004 (SCC 3) sebagai studi kasusnya.

4.2.1 Karakteristik Awan Hujan

Gambar 6.a merupakan reflektivitas XDR hasil pengamatan awan hujan tanggal 15 April 2004 dengan XDR menurut ketinggian, sedangkan Gambar 6.b merupakan frekuensi kemunculan awan hujan tiap waktu. Dari gambar terlihat bahwa hasil pengamatan dengan XDR dan BLR menunjukkan hasil yang sama, yaitu pada saat XDR menunjukkan reflektivitas yang kuat, BLR juga mendeteksi adannya awan hujan yang muncul. Reflektivitas kuat terlihat menjulang ke atas (pukul 18.00-21.00) dan pada waktu yang sama terlihat adanya kemunculan awan hujan yang terdiri dari CNV, MIX, STR dan SHL.

Awan-awan hujan ini muncul pada sore hingga malam hari (Gambar 6.b). Awan hujan CNV muncul hampir pada setiap kemunculan

Dokumen terkait