• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis awan hujan di Wilayah Kototabang Sumatera Barat menggunakan data radar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis awan hujan di Wilayah Kototabang Sumatera Barat menggunakan data radar"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS AWAN HUJAN DI WILAYAH KOTOTABANG SUMATERA

BARAT MENGGUNAKAN DATA RADAR

MISNAWATI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ANALISIS AWAN HUJAN DI WILAYAH KOTOTABANG SUMATERA

BARAT MENGGUNAKAN DATA RADAR

MISNAWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Program Studi Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

ABSTRAK

MISNAWATI. Analisis Aktivitas Awan Hujan di Wilayah Kototabang Sumatera Barat Menggunakan Data Radar. Dibimbing oleh IMAM SANTOSA dan FINDY RENGGONO.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat jenis awan, karakteristik awan dan melihat arah pergerakan awan hujan yang muncul di wilayah di Kototabang Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan pada saat sebelum Madden Julian Oscillation (MJO) sampai pada saat adanya MJO dengan menggunakan data Equatorial Atmosphere Radar (EAR), Boundary Layer Radar (BLR) dan X-band Radar (XDR). Sebagai contoh kasus dalam penelitian ini diambil Super Cloud Cluster (SCC) yang terlihat dengan satelit GOES 9 yaitu SCC 1 sebelum MJO, SCC 2 dan SCC 3 pada saat adanya MJO. Untuk SCC 1 diambil kejadian awan hujan pada tanggal 15 April 2004, SCC 2 diambil kejadian awan hujan pada tanggal 23-24 April 2004 dan SCC 3 diambil kejadian awan hujan pada tanggal 29 April 2004.

Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi awan hujan ialah metode William et al (1995). Parameter-parameter yang digunakan dalam pengklasifikasian awan hujan adalah data yang berasal dari beam vertikal radar BLR, yaitu pantulan radar, kecepatan Doppler dan lebar spektrum. Berdasarkan metode tersebut awan hujan diklasifikasikan menjadi 4 tipe yaitu stratiform, mixed stratiform/convective, deep convective dan shallow convective. Untuk melihat pertumbuhan dan

perkembangan awan hujan digunakan data XDR. Untuk mengetahui curah hujan permukaan pada saat kemunculan awan hujan digunakan data dari hasil pengukuran dengan disdrometer. Dan untuk mengetahui kondisi angin pada saat kemunculan awan hujan digunakan data EAR.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa SCC 2 (23-24 April 2004) merupakan SCC yang paling aktif sehingga menghasilkan banyak awan hujan. Awan yang paling banyak muncul adalah awan Deep Convective dan Stratiform. Sedangkan awan hujan yang muncul pada SCC 1 dan SCC 3

lebih rendah dari SCC 2. Dan SCC 1 merupakan SCC yang paling sedikit menghasilkan awan hujan karen aterjadi sebelum adanya MJO.

Intensitas curah hujan permukaan yang paling tinggi terjadi pada tanggal 23-24 April 2004 karena awan hujan yang muncul pada saat itu dari jenis konvektitf yang dapat menghasilkan curah hujan tinggi.

(4)

Judul

Nama

Nrp

:

:

:

Analisis Awan Hujan Di Wilayah Kototabang Sumatera Barat

Menggunakan Data Radar

MISNAWATI

G24102007

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Ir. Imam Santosa, MS

NIP. 130804894

Pembimbing

II

Dr. Findy Renggono, BEng, M.Sc

NIP. 680001901

Mengetahui,

Dekan

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.Sc

NIP. 131473999

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pidie pada tanggal 9 Maret 1984 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan M. Saleh Wahab dan Kamariah.

Tahun 1996 penulis lulus dari SDN 2 Kembang Tanjung-Pidie, tahun 1999 lulus SMPN 1 Kembang Tanjung-Pidie dan tahun 2002 penulis lulus dari SMUN 1 Kembang Tanjung-Pidie. Kemudian pada tahun 2002 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima di program studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah WT atas nikmat serta karunia-Nya ayang dilimpahkan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai laporan hasil penelitian yang telah dilaksanakan April 2006-Agustus 2006 dengan judul Analisis Awan Hujan di Wilayah Kototabang Sumatera Barat Menggunakan Radar sebagai salah satu syarat kelulusan di Program Studi Meteorologi dapat terselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih penulis yang tak terhingga kepada Bapak Dr. Ir. Imam Santosa, MS selaku pembimbing pertama dan Bapak Dr. Findy Renggono, BEng, MSc selaku pembimbing kedua yang telah banyak membatu penulis dalam pelaksanaan dan memberikan pengarahan serta bimbingannya selama penelitian ini dilaksanakan.

Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada Untuk Ayah, Ibu, Abang, Dek Li dan Dek Vi serta semua keluarga yang selalu mendoakan, memberikan kasih sayang dan dukungannya selama ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada My 2nd family: Ayah, Bunda, Dhifa, Nenk N’dut dan Ka’E, atas keceriaanya di akhir pekan, teman-teman GFM 39 (Nida, Linda, Hesti, Lupi, Ana, Ani, Yo, Basyar, Rudi, Ridwan, Deni, Eko, Gian, Vio, An2, QQ, Vivi, Na2, Lina, Nita, Ipit, Sa2t, Anton, Zainul, La Ode, Joko, Mian, Wahyu, Aprian, Sapta, Samba, Dwi), semua teman-teman seperjuangan dari aceh khususnya penghuni ASWI (K’ika, K’rida, K’never, Reyna, Mala, Nyut2, Ami, Wadnen, Ela, Dessy, Andria dan Desna), Asrama Putra (Polem, B’rahmad, B’rifky, B’syahrul, Hakim, Wien, Ryan, Iqbal, Arifka, Zulfan, Oji, Pinem, Eko), teman-teman aceh lainnya (K’nasrita, Liza, OQ, Rida), seluruh pegawai Departemen GFM, dan seluruh dosen GFM yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis, serta semua pihak yang telah membantu tapi tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Tak ada yang bisa penulis berikan selain doa semoga Allah SWT senantiasa memberikan balasan yang terbaik buat kita semua.

Penulis menyadari dalam karya ilmiah ini belum sepenuhnya sempurna sehingga diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca. Penulis juga berharap semoga karya ilmiah ini bisa memberikan informasi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, November 2006

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Radar Secara Umum ... 1

2.2. Lapisan Batas (Boundary Layer) ... 1

2.3. Equatorial Atmosphere Radar (EAR) ... 2

2.4. Boundary Layer Radar (BLR) ... 2

2.5. X-Band Radar (XDR)... 3

2.6. Spektrum Doppler ... 3

2.6.1. Echo Power (Pantulan Radar) ... 3

2.6.2. Kecepatan Doppler ... 3

2.6.3. Lebar Spektrum... 4

2.7. Pertumbuhan Awan... 4

2.8. Klasifikasi Awan Hujan... 4

2.9. Madden Julian Oscillation (MJO)... 5

2.10 Angin ... 5

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat ... 5

3.2. Alat dan Bahan ... 5

3.3. Metode Penelitian... 6

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Identifikasi Kemunculan Awan Hujan Menggunakan Data Satelit GOES 9-IR ... 7

(8)

4.2.1. Karakteristik Awan Hujan ... 8

4.2.2. Pertumbuhan dan Pergerakan Awan Hujan ... 10

4.3. Hubungan Kemunculan Awan Hujan dengan Kejadian Hujan Permukaan .. 12

4.4. Analisis Angin Saat Kemunculan Awan Hujan Menggunakan Equatorial Atmosphere Radar (EAR) ... 13

4.5. Perbandingan dengan Hasil Observasi Kejadian Awan Tanggal 5-6 Mei 2004 ... 16

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan……….. 16

5.2.Saran……... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 17

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Spesifikasi Equatorial Atmosphere Radar (EAR). ... 2

2. Spesifikasi Boundary Layer Radar (BLR).. ... 2

3. Spesifikasi X-band Radar ... 3

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Prinsip kerja radar. ... 2

2. Lokasi radar di Kototabang.. ... 3

3. Diagram alir algoritma klasifikasi awan ... 4

4. Hierarki MJO ... 5

5. Penampang waktu bujur dari TBB rata-rata pada 0.2º S dari 10 April 2004 hingga 11 Mei 2004 meliputi 80º BT sampai 120º BT. Garis vertikal menunjukkan letak radar (100.3ºE) ... 7

6. Hasil pengamatan radar tanggal 15 April 2004 (jam 03.00-24.00) ... 8

7. Hasil pengamatan radar tanggal 23-24 April 2004 (jam 10.00-07.00)... 9

8. Hasil pengamatan radar tanggal 29 April 2004 (jam 01.00-21.00) ... 10

9. Penampang bujur waktu reflektivitas radar yang diamati dengan XDR pada ketinggian 3.85 km dpl ... 11

10. Distribusi curah hujan yang terukur oleh disdrometer ... 13

11. Profil angin pada ketinggian 2-12 km... 14

12. Hasil pengamatan awan hujan tanggal 5-6 Mei 2004 (Renggono, 2006) ... 15

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data identifikasi awan hujan tanggal 15, 23-24 dan 39 April 2004 ... 20

2. Kelas butir hujan ... 27

(10)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Atmosfer merupakan selubung gas yang menyelimuti permukaan padat dan cair pada bumi. Selubung tersebut membentang ke atas sampai ratusan kilometer sampai bertemu dengan suatu medium antara planet yang berkerapatan rendah dalam tata surya. Trewarta dan Horn (1980) menyatakan bahwa 75 % dari massa atmosfer terdapat pada lapisan troposfer dan lapisan ini merupakan tempat terjadinya awan, hujan dan aktivitas konveksi udara.

Atmosfer di atas wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan atmosfer di wilayah khatulistiwa lainnya. Hal ini dimungkinkan karena letak geografisnya yang unik, diapit antara dua benua luas (Asia dan Australia) dan dua samudera luas (Pasifik dan Hindia) yang dikenal sebagai benua maritim. Wilayahnya yang 2/3 terdiri dari lautan dan tersebar diantara kurang lebih 17.000 pulau (sebagai suatu kawasan kepulauan) memungkinkan kawasan ini sebagai penyimpan bahang (panas) baik berupa bahang sensible maupun laten terbesar bagi pembentukan awan-awan raksasa yang dikenal sebagai awan kumulonimbus (Cb). Kawasan ini juga dianggap sebagai mesin pembangkit terjadinya perubahan iklim global, seperti peristiwa EL-Nino dan La-Nina yang erat kaitannya dengan masalah kering dan banjir, pergeseran arus laut antara Samudera Pasifik dan Hindia, pergeseran musim hujan dari kondisi normal, pembakaran biomassa (seperti kebakaran hutan) yang akhir-akhir ini melanda sebagian kawasan Indonesia.

Pulau Sumatra adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang letaknya sangat stategis yaitu di ujung timur Samudra Hindia, dan memiliki topografi yang khas. Hal ini menyebabkan daerah ini memegang peran yang sangat penting dalam pembentukan awan-awan konvektif di wilayah tersebut. Untuk mengetahui fenomena atmosfer ini membutuhkan alat yang bisa menggambarkan kejadian di atmosfer, seperti radar meteorologi, jaringan stasiun cuaca, akses ke citra satelit dan perangkat komputer. Untuk mempelajari awan hujan di atas Kototabang digunakan radar meteorologi. Radar yang digunakan adalah radar EAR (Equatorial Atmosphere Radar), BLR (Boundary Layer Radar) dan X-band Radar.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat jenis awan, karakteristik awan dan melihat arah pergerakan awan hujan di wilayah Kototabang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Radar Secara Umum

Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), kata Radar merupakan suatu singkatan untuk Radio Detection and Ranging. Radar dikembangkan sebagai suatu cara dengan menggunakan gelombang radio untuk medeteksi adanya objek dan menentukan jarak (posisi)nya. Prosesnya meliputi transmisi ledakan pendek atau pulsa tenaga gelombang pendek mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dari asal gema (echo) atau pantulan yang diterima dari objek dalam sistem medan pandang.

Radar memiliki beberapa komponen utama yaitu sebagai berikut:

1. Unit transmiter yang memperkuat sinyal frekuensi radar

2. Unit antena yang memfokuskan dan memancarkan sinyal yang sudah diperkuat 3. Unit penerima (Receiver), yaitu untuk

menerima sinyal yang dipantulkan oleh objek di atmosfer melalui antena sinyal tersebut diperjelas dan diubah menjadi sinyal gambar.

4. Unit akuisisi data, yaitu untuk menerima sinyal gambar yang diubah menjadi sinyal angka.

5. Unit pemroses data, yaitu memproses sinyal angka.

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Imager: Sonar_Principle_EN.svg.

Gambar 1. Prinsip kerja radar

(11)

ANALISIS AWAN HUJAN DI WILAYAH KOTOTABANG SUMATERA

BARAT MENGGUNAKAN DATA RADAR

MISNAWATI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ANALISIS AWAN HUJAN DI WILAYAH KOTOTABANG SUMATERA

BARAT MENGGUNAKAN DATA RADAR

MISNAWATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Program Studi Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

ABSTRAK

MISNAWATI. Analisis Aktivitas Awan Hujan di Wilayah Kototabang Sumatera Barat Menggunakan Data Radar. Dibimbing oleh IMAM SANTOSA dan FINDY RENGGONO.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat jenis awan, karakteristik awan dan melihat arah pergerakan awan hujan yang muncul di wilayah di Kototabang Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan pada saat sebelum Madden Julian Oscillation (MJO) sampai pada saat adanya MJO dengan menggunakan data Equatorial Atmosphere Radar (EAR), Boundary Layer Radar (BLR) dan X-band Radar (XDR). Sebagai contoh kasus dalam penelitian ini diambil Super Cloud Cluster (SCC) yang terlihat dengan satelit GOES 9 yaitu SCC 1 sebelum MJO, SCC 2 dan SCC 3 pada saat adanya MJO. Untuk SCC 1 diambil kejadian awan hujan pada tanggal 15 April 2004, SCC 2 diambil kejadian awan hujan pada tanggal 23-24 April 2004 dan SCC 3 diambil kejadian awan hujan pada tanggal 29 April 2004.

Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi awan hujan ialah metode William et al (1995). Parameter-parameter yang digunakan dalam pengklasifikasian awan hujan adalah data yang berasal dari beam vertikal radar BLR, yaitu pantulan radar, kecepatan Doppler dan lebar spektrum. Berdasarkan metode tersebut awan hujan diklasifikasikan menjadi 4 tipe yaitu stratiform, mixed stratiform/convective, deep convective dan shallow convective. Untuk melihat pertumbuhan dan

perkembangan awan hujan digunakan data XDR. Untuk mengetahui curah hujan permukaan pada saat kemunculan awan hujan digunakan data dari hasil pengukuran dengan disdrometer. Dan untuk mengetahui kondisi angin pada saat kemunculan awan hujan digunakan data EAR.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa SCC 2 (23-24 April 2004) merupakan SCC yang paling aktif sehingga menghasilkan banyak awan hujan. Awan yang paling banyak muncul adalah awan Deep Convective dan Stratiform. Sedangkan awan hujan yang muncul pada SCC 1 dan SCC 3

lebih rendah dari SCC 2. Dan SCC 1 merupakan SCC yang paling sedikit menghasilkan awan hujan karen aterjadi sebelum adanya MJO.

Intensitas curah hujan permukaan yang paling tinggi terjadi pada tanggal 23-24 April 2004 karena awan hujan yang muncul pada saat itu dari jenis konvektitf yang dapat menghasilkan curah hujan tinggi.

(14)

Judul

Nama

Nrp

:

:

:

Analisis Awan Hujan Di Wilayah Kototabang Sumatera Barat

Menggunakan Data Radar

MISNAWATI

G24102007

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Ir. Imam Santosa, MS

NIP. 130804894

Pembimbing

II

Dr. Findy Renggono, BEng, M.Sc

NIP. 680001901

Mengetahui,

Dekan

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.Sc

NIP. 131473999

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pidie pada tanggal 9 Maret 1984 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan M. Saleh Wahab dan Kamariah.

Tahun 1996 penulis lulus dari SDN 2 Kembang Tanjung-Pidie, tahun 1999 lulus SMPN 1 Kembang Tanjung-Pidie dan tahun 2002 penulis lulus dari SMUN 1 Kembang Tanjung-Pidie. Kemudian pada tahun 2002 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima di program studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(16)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah WT atas nikmat serta karunia-Nya ayang dilimpahkan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai laporan hasil penelitian yang telah dilaksanakan April 2006-Agustus 2006 dengan judul Analisis Awan Hujan di Wilayah Kototabang Sumatera Barat Menggunakan Radar sebagai salah satu syarat kelulusan di Program Studi Meteorologi dapat terselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih penulis yang tak terhingga kepada Bapak Dr. Ir. Imam Santosa, MS selaku pembimbing pertama dan Bapak Dr. Findy Renggono, BEng, MSc selaku pembimbing kedua yang telah banyak membatu penulis dalam pelaksanaan dan memberikan pengarahan serta bimbingannya selama penelitian ini dilaksanakan.

Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada Untuk Ayah, Ibu, Abang, Dek Li dan Dek Vi serta semua keluarga yang selalu mendoakan, memberikan kasih sayang dan dukungannya selama ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada My 2nd family: Ayah, Bunda, Dhifa, Nenk N’dut dan Ka’E, atas keceriaanya di akhir pekan, teman-teman GFM 39 (Nida, Linda, Hesti, Lupi, Ana, Ani, Yo, Basyar, Rudi, Ridwan, Deni, Eko, Gian, Vio, An2, QQ, Vivi, Na2, Lina, Nita, Ipit, Sa2t, Anton, Zainul, La Ode, Joko, Mian, Wahyu, Aprian, Sapta, Samba, Dwi), semua teman-teman seperjuangan dari aceh khususnya penghuni ASWI (K’ika, K’rida, K’never, Reyna, Mala, Nyut2, Ami, Wadnen, Ela, Dessy, Andria dan Desna), Asrama Putra (Polem, B’rahmad, B’rifky, B’syahrul, Hakim, Wien, Ryan, Iqbal, Arifka, Zulfan, Oji, Pinem, Eko), teman-teman aceh lainnya (K’nasrita, Liza, OQ, Rida), seluruh pegawai Departemen GFM, dan seluruh dosen GFM yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis, serta semua pihak yang telah membantu tapi tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Tak ada yang bisa penulis berikan selain doa semoga Allah SWT senantiasa memberikan balasan yang terbaik buat kita semua.

Penulis menyadari dalam karya ilmiah ini belum sepenuhnya sempurna sehingga diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca. Penulis juga berharap semoga karya ilmiah ini bisa memberikan informasi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, November 2006

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Radar Secara Umum ... 1

2.2. Lapisan Batas (Boundary Layer) ... 1

2.3. Equatorial Atmosphere Radar (EAR) ... 2

2.4. Boundary Layer Radar (BLR) ... 2

2.5. X-Band Radar (XDR)... 3

2.6. Spektrum Doppler ... 3

2.6.1. Echo Power (Pantulan Radar) ... 3

2.6.2. Kecepatan Doppler ... 3

2.6.3. Lebar Spektrum... 4

2.7. Pertumbuhan Awan... 4

2.8. Klasifikasi Awan Hujan... 4

2.9. Madden Julian Oscillation (MJO)... 5

2.10 Angin ... 5

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat ... 5

3.2. Alat dan Bahan ... 5

3.3. Metode Penelitian... 6

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Identifikasi Kemunculan Awan Hujan Menggunakan Data Satelit GOES 9-IR ... 7

(18)

4.2.1. Karakteristik Awan Hujan ... 8

4.2.2. Pertumbuhan dan Pergerakan Awan Hujan ... 10

4.3. Hubungan Kemunculan Awan Hujan dengan Kejadian Hujan Permukaan .. 12

4.4. Analisis Angin Saat Kemunculan Awan Hujan Menggunakan Equatorial Atmosphere Radar (EAR) ... 13

4.5. Perbandingan dengan Hasil Observasi Kejadian Awan Tanggal 5-6 Mei 2004 ... 16

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan……….. 16

5.2.Saran……... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 17

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Spesifikasi Equatorial Atmosphere Radar (EAR). ... 2

2. Spesifikasi Boundary Layer Radar (BLR).. ... 2

3. Spesifikasi X-band Radar ... 3

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Prinsip kerja radar. ... 2

2. Lokasi radar di Kototabang.. ... 3

3. Diagram alir algoritma klasifikasi awan ... 4

4. Hierarki MJO ... 5

5. Penampang waktu bujur dari TBB rata-rata pada 0.2º S dari 10 April 2004 hingga 11 Mei 2004 meliputi 80º BT sampai 120º BT. Garis vertikal menunjukkan letak radar (100.3ºE) ... 7

6. Hasil pengamatan radar tanggal 15 April 2004 (jam 03.00-24.00) ... 8

7. Hasil pengamatan radar tanggal 23-24 April 2004 (jam 10.00-07.00)... 9

8. Hasil pengamatan radar tanggal 29 April 2004 (jam 01.00-21.00) ... 10

9. Penampang bujur waktu reflektivitas radar yang diamati dengan XDR pada ketinggian 3.85 km dpl ... 11

10. Distribusi curah hujan yang terukur oleh disdrometer ... 13

11. Profil angin pada ketinggian 2-12 km... 14

12. Hasil pengamatan awan hujan tanggal 5-6 Mei 2004 (Renggono, 2006) ... 15

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data identifikasi awan hujan tanggal 15, 23-24 dan 39 April 2004 ... 20

2. Kelas butir hujan ... 27

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Atmosfer merupakan selubung gas yang menyelimuti permukaan padat dan cair pada bumi. Selubung tersebut membentang ke atas sampai ratusan kilometer sampai bertemu dengan suatu medium antara planet yang berkerapatan rendah dalam tata surya. Trewarta dan Horn (1980) menyatakan bahwa 75 % dari massa atmosfer terdapat pada lapisan troposfer dan lapisan ini merupakan tempat terjadinya awan, hujan dan aktivitas konveksi udara.

Atmosfer di atas wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan atmosfer di wilayah khatulistiwa lainnya. Hal ini dimungkinkan karena letak geografisnya yang unik, diapit antara dua benua luas (Asia dan Australia) dan dua samudera luas (Pasifik dan Hindia) yang dikenal sebagai benua maritim. Wilayahnya yang 2/3 terdiri dari lautan dan tersebar diantara kurang lebih 17.000 pulau (sebagai suatu kawasan kepulauan) memungkinkan kawasan ini sebagai penyimpan bahang (panas) baik berupa bahang sensible maupun laten terbesar bagi pembentukan awan-awan raksasa yang dikenal sebagai awan kumulonimbus (Cb). Kawasan ini juga dianggap sebagai mesin pembangkit terjadinya perubahan iklim global, seperti peristiwa EL-Nino dan La-Nina yang erat kaitannya dengan masalah kering dan banjir, pergeseran arus laut antara Samudera Pasifik dan Hindia, pergeseran musim hujan dari kondisi normal, pembakaran biomassa (seperti kebakaran hutan) yang akhir-akhir ini melanda sebagian kawasan Indonesia.

Pulau Sumatra adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang letaknya sangat stategis yaitu di ujung timur Samudra Hindia, dan memiliki topografi yang khas. Hal ini menyebabkan daerah ini memegang peran yang sangat penting dalam pembentukan awan-awan konvektif di wilayah tersebut. Untuk mengetahui fenomena atmosfer ini membutuhkan alat yang bisa menggambarkan kejadian di atmosfer, seperti radar meteorologi, jaringan stasiun cuaca, akses ke citra satelit dan perangkat komputer. Untuk mempelajari awan hujan di atas Kototabang digunakan radar meteorologi. Radar yang digunakan adalah radar EAR (Equatorial Atmosphere Radar), BLR (Boundary Layer Radar) dan X-band Radar.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat jenis awan, karakteristik awan dan melihat arah pergerakan awan hujan di wilayah Kototabang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Radar Secara Umum

Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), kata Radar merupakan suatu singkatan untuk Radio Detection and Ranging. Radar dikembangkan sebagai suatu cara dengan menggunakan gelombang radio untuk medeteksi adanya objek dan menentukan jarak (posisi)nya. Prosesnya meliputi transmisi ledakan pendek atau pulsa tenaga gelombang pendek mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dari asal gema (echo) atau pantulan yang diterima dari objek dalam sistem medan pandang.

Radar memiliki beberapa komponen utama yaitu sebagai berikut:

1. Unit transmiter yang memperkuat sinyal frekuensi radar

2. Unit antena yang memfokuskan dan memancarkan sinyal yang sudah diperkuat 3. Unit penerima (Receiver), yaitu untuk

menerima sinyal yang dipantulkan oleh objek di atmosfer melalui antena sinyal tersebut diperjelas dan diubah menjadi sinyal gambar.

4. Unit akuisisi data, yaitu untuk menerima sinyal gambar yang diubah menjadi sinyal angka.

5. Unit pemroses data, yaitu memproses sinyal angka.

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Imager: Sonar_Principle_EN.svg.

Gambar 1. Prinsip kerja radar

(21)

momentum, aliran panas ataupun aliran massa yang dibawa oleh turbulen.

Menurut Stull (1988), Boundary Layer atmosfer merupakan bagian dari troposfer yang secara langsung dipengaruhi oleh permukaan bumi dan bereaksi dengan gaya permukaan dengan skala waktu kurang dari satu jam. Gaya tersebut termasuk panahan gesekan, evaporasi dan transpirasi, transfer panas dan emisi polutan. Ketebalan boundary layer sangat bervariasi dalam waktu dan ruang yang berjarak antara ratusan meter sampai beberapa kilometer.

2.3 Equatorial Atmosphere Radar (EAR) EAR adalah radar doppler yang dibangun untuk observasi di daerah ekuator, radar ini selesai diinstal sejak bulan Maret 2001. EAR beroperasi pada 47 MHz dengan maksimum peak dan kekuatan transmisi rata-rata 100 kW dan 5 kW. EAR diinstal pada area pengunungan di bagian barat Sumatra yang berlokasi pada 0.20º S, 100º E di Bukittinggi, Spesifikasi radar EAR terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Spesifikasi Equatorial Atmosphere Radar (EAR)

Item Spesifikasi Operating frequency 47.0 MHz

Antenna

Quasi-circular antenna array of 560 three-element Yagi antenna

Aperture 110 m in diameter Beam width 3.4º (half power

width) Gain 33 dBi Time resolution 82 s Beam directions:

Azimuth Zenith

0-360º in 0.1º steps 0-30º in 0.1º steps (no grating lobe)

Peak power 100 kW

Average power 5 kW (maximum) Pulse length 0.5-256 µs

IPP 200 µs-10 ms

A/D converter 14 bits Sumber: Renggono (2006)

Prinsip pengukuran angin dengan radar memancarkan dan menerima pulsa radiasi gelombang mikro dengan antenanya. Antena memfokuskan radiasi menjadi beam sempit, sehingga sinyal yang ditransmisikan berjalan pada arah yang spesifik. Sinyal yang diterima dipantulkan dari target yang terletak di arah beam, dan jarak antar radar dengan target bisa ditentukan secara akurat dari selang waktu

sinyal yang dipancarkan sampai sinyal yang diterima. Di stasiun ini dibangun Radar Atmosfer Khatulistiwa (Equatorial Atmospheric Radar) untuk memantau kondisi atmosfer hingga ketinggian lebih dari 100 kilometer. Dengan instrumen ini diukur angin dalam tiga dimensi. Selain itu diperoleh data suhu virtual dengan menggunakan gelombang suara untuk kemudian dikonversikan guna memperoleh gambaran besarnya kandungan uap air di atas atmosfer Sumatera Barat.

2.4 Boundary Layer Radar (BLR)

BLR merupakan L-band Doppler radar yang disebutkan sebagai radar profil angin yang dapat digunakan untuk mengukur kecepatan angin pada suatu tempat sebagai fungsi dari ketinggian. Boundary Layer atmosfer sendiri didefinisikan sebagai bagian dari troposfer yang secara langsung dipengaruhi oleh permukaan bumi dan bereaksi dengan gaya permukaan dalam skala waktu kurang dari satu jam. Gaya ini termasuk evaporasi, transpirasi, transfer panas dan emisi polutan (Nurmayani, 2003).

Tabel 2. Spesifikasi Boundary Layer Radar (BLR)

Item Spesifikasi Operating frequency 1357.5 MHz Antenna Phased array Aperture 5.9 m2 Beam width 4.1º Gain 27 dBi Beam directions 3 directions

(Zenith: 15 º) Band width 8 MHz Peak power 1.1 kW Pulse length 0.33, 0.67, 1μs Inter pulsa period 50, 100, 200 μs A/D converter 12 bits Pulse compression Spano code Range resolution (min) 50 m Sumber: Renggono (2006)

(22)

resolusi temporal 1 menit. Kisaran ketinggian BLR sekitar 1-5 km. BLR menggunakan tiga buah antena parabola dengan diameter masing-masing 2 m. Antena-antena diarahkan ke tiga titik berbeda yaitu satu beam tepat kearah vertikal, dua beam lainnya kearah timur dan utara dengan sudut zenith maksimum 30º. Untuk mendapatkan tiga komponen angin, BLR harus beroperasi dengan menggunakan frekuensi tinggi. Sebagai konsekuensi penggunaan frekuensi tinggi ini, pemantulan volume radar dari turbulensi atmosfer akan lebih kecil bila dibandingkan butir hujan. Akibatnya BLR tidak dapat mengukur pergerakan atmosfer secara langsung pada saat awan hujan atau mendung.

2.5 X-band Radar (XDR)

X-band merupakan radar doppler yang dapat mendeteksi awan sampai pada jarak 83 km. X-band beroperasi pada 9.445 GHz dan kekuatan transmisi puncaknya 40 kW dengan resolusi waktu 4 menit dan resolusi spasial 250 m. Pada tanggal 10 April-9 Mei 2004, X-band dipasang pada sebuah volume pengamatan dengan 17 sudut zenith dari 0.7º-40.0º. Untuk melihat aktivitas awan di Kototabng, X-band dipasang dengan jarak 20 km dari arah tenggara EAR dan dapat mengamati awan pada ketinggian lebih dari 14 km. Spesifikasi X-band dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. spesifikasi X-band Radar

Item Spesifikasi

Operating frequency 9445 MHz Peak power 40 kW Pulse width 0.5µs

PRF 1800 Hz

Beam width 1.1º Maximum range 83 km Sample spacing 250 m Antenna rotation speed 30ºs-1 Nyquist velocity 16 m-1 Sumber: Renggono (2006)

Sumber: Renggono (2006)

Gambar 2. Lokasi Radar di Kototabang, dimana (+) adalah EAR (100.32oE, 0.20oS, 865 m MSL) dan (×) adalah X-band Weather Radar (100.407oE, 0.36oS, 1164 m MSL).

2.6 Spektrum Doppler

Spektrum Doppler yang diperoleh dari radar terdiri dari 3 parameter yaitu pantulan radar, kecepatan Doppler dan lebar spektrum. Dalam pengamatan hujan, parameter tersebut mempunyai karakteristik masing-masing. Pantulan radar dapat memperkirakan benda-benda yang berhamburan di atmosfer dan dapat juga digunakan untuk memperkirakan rata-rata hujan dengan menggunakan hubungan perbandingan pantulan-hujan (Z-R).

2.6.1 Echo Power (Pantulan Radar) Apabila gelombang radio yang pancarkan radar mengenai target, maka gelombang tersebut akan dipantulkan atau dihamburkan. Echo yang ditimbulkan karena hamburan atau pantulan oleh target akan memberikan informasi mengenai target tersebut. Kekuatan pemancar dan penerima sinyal radar biasanya digambarkan dengan desibel (dB). Reflektivitas radar Z sering didefinisikan dalam unit dBZ yang dinyatakan sebagai berikut (Collier 1989 dalam Nurmayani 2003):

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛

= 10 66 33

1 log 101 m mm m mm Z dBZ

2.6.2 Kecepatan Doppler

Kecepatan Doppler diperoleh dari beam vertikal yang merupakan pengurangan spektrum kecepatan jatuh yang dihubungkan dengan distribusi hidrometeor dan spektrum pergerakan udara. Perhitungan kecepatan Doppler dapat dinyatakan dengan persamaan (William et al):

(23)

Gambar 3. Diagram alir algoritma klasifikasi awan (William et al, 1995) Yes Yes Yes No No No Dimana Vd adalah perhitungan untuk

kecepatan Doppler (nilai positif mengidentifikasikan kecepatan ke arah atas), w untuk kecepatan vertikal udara (positif ke atas) dan Vt adalah kecepatan jatuh hidrometeor (positif ke bawah). Kecepatan Doppler vertikal adalah cara yang kuat untuk membedakan antara udara cerah dengan echo hujan dalam wind profiler UHF.

2.6.3 Lebar spektrum

Lebar spektrum secara langsung berhubungan dengan turbulensi dan distribusi ukuran hidrometeor pada volume resolusi radar.

2.7 Pertumbuhan Awan

Awan merupakan hasil kondensasi dari uap air yang bergerak naik bersama kantong udara. Karena sifatnya yang memantulkan dan menyerap radiasi bumi maka awan juga ikut menentukan pemanasan dan pendinginan bumi.

Konvektif merupakan salah satu faktor yang penting dalam pertumbuhan awan yang terjadi karena kenaikan udara di atas permukaan yang relatif panas. Jika kita mengamati atmosfer daerah tropis, maka akan terlihat bahwa keadaan awan tidak sama dari hari ke hari. Ketinggian, ketebalan dan jenis awan kumulus berubah setiap hari bergantung pada kondisi meteorologi.

Awan konvektif dan awan kumulus terbentuk karena adanya pemanasan radiasi dari permukaan tanah. Pertumbuhan selanjutnya disebabkan adanya pelepasan panas laten kondensasi yang merupakan sumber enegi yang cukup besar untuk menggiatkan awan kumulus. Karena pemanasannya di permukaan, maka udara di atasnya menjadi tidak stabil sehingga parsel udara naik ke atas hingga mencapai level kondensasi.

Menurut Tjasyono (1981) karena penyerapan energi matahari oleh permukaan tanah tidak uniform (daerah berbukit, daerah tumbuh-tumbuhan dan macam-macam jenis tanah), maka pertumbuhan awan konvektif cenderung pada daerah dengan pemanasan paling kuat. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan awan kumulus di daerah tropis adalah konvergensi horizontal, tebal lapisan lembab, stabilitas vertikal dan orografik. Selanjutnya Tjasyono (1981) mengatakan lapisan inversi merupakan hambatan bagi pertumbuhan awan konvektif karena lapisan ini adalah stabil. Hanya dengan updraft yang kuat lapisan ini dapat tembus oleh awan. Karena adanya lapisan inversi ini, maka bentuk awan konvektif menjadi berubah, pada saat tertentu seperti cerobong atau balok. Apabila terdapat lapisan inversi, maka kemungkinan untuk turun hujan hampir tidak ada.

2.8 Klasifikasi Awan Hujan

Secara umum awan hujan terdiri dari dua jenis yaitu awan hujan stratiform dan awan hujan konvektif. Awan hujan stratiform yang menghasilkan hujan, terbentuk dari awan nimbostratus, sedangkan awan konvektif terbentuk dari awan cumulus dan cumulonimbus.

Pengklasifikasian awan dan perkiraan struktur awan hujan berdasarkan struktur vertikal parameter-parameter yang dihasilkan dari radar (pantulan radar, kecepatan doppler dan lebar spektrum), yaitu menjadi 4 tipe awan yang terdiri dari awan stratiform, mixed stratiform/convective, deep convective dan shallow convective. Pengklasifikasian awan hujan dilakukan dengan metode William et al (1995) yaitu dengan menggunakan tiga kriteria sebagai berikut:

a. Adanya melting layer

b. Adanya turbulensi di atas melting layer c. Adanya hydrometeor di atas melting layer

Apakah terlihat

adanya Melting Layer

Apakah ada Hidrometeor di atas Melting Layer Apakah ada turbulensi di atas

Melting Layer Mixed

Stratiform/Convective Stratiform

(24)

Apabila awan hujan memiliki melting layer, maka awan hujan diklasifikasikan sebagai awan stratiform atau mixed stratiform/convective, jika tidak ada turbulensi di atas melting layer, awannya diklasifikasikan sebagai stratiform dan jika ada turbulensi di atas melting layer, maka diklasifikasikan sebagai mixed stratiform/convective. Dan untuk awan hujan yang tidak memiliki melting layer, maka awan hujan diklasifikasikan sebagai awan konvektif, apabila terdapat hidrometeor di atas melting layer maka diklasifikasikan sebagai deep convective dan apabila tidak ada hidrometeor di atas melting layernya, maka awan diklasifikasikan sebagai awan shallow convective.

2.9 Disdrometer

Berbagai macam penelitian untuk mengukur distribusi butir hujan ini telah dilakukan orang sejak dahulu. Beberapa metode dan alat penelitian telah dicoba, tetapi yang paling populer adalah penelitian dengan menggunakan disdrometer yang ditemukan oleh Joss dan Waldvogel (1967). Dengan alat ini, momentum dari butir hujan yang jatuh mengenai sebuah sensor elektromekanis akan berubah menjadi sinyal listrik. Alat ini kemudian disempurnakan oleh Sheppard (1990) yang sampai sekarang ini merupakan alat standar untuk mengukur distribusi butir hujan.

Disdrometer yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe RD-80, yang merupakan disdrometer dengan sensor elektromekanis yang menghantarkan memontum butir hujan ke sinyal listrik. Alat ini mempunyai kemampuan untuk mengukur diameter butir hujan antara 0.3 mm sampai 0.5 mm, yang dibagi dalam 20 kelas (19 kelas tambah 1 kelas untuk data diatas 5.0 mm. Berdasarkan pembagian kelas ini masing-masing jumlah butir hujan dapat dihitung. Pembagian kelas ini untuk masing-masing ukuran butir hujan ditunjukkan pada lampiran 2.

2.10 Osilasi Madden Julian

Pada tahun 1971, Roland Madden dan Paul Julian menemukan sebuah osilasi di daerah tropis dengan periode 40-50 harian. Osilasi ini disebut dengan Osilasi Madden Julian (Madden Julian Oscillation). MJO dapat dianggap sebagai pita skala yang mulai muncul di atas perairan Samudera Hindia dan bergerak ke arah timur antara 10º LU dan 10º LS.

Kehadiran MJO dicirikan oleh adanya pertumbuhan gugus awan (SCC: super cloud cluster) di atas samudera Hindia dan kemudian

menjalar ke arah timur dengan kecepatan sekitar 5 m/s, penjalaran ini belum jelas, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa selalu muncul tekanan rendah di sebelah timur SCC.

Gambar 4. Hirarki MJO (Nakazawa, 1988)

Menurut Nakazawa (1988), munculnya MJO dicirikan dengan adanya Super Cloud Cluster (SCC), SCC adalah kumpulan awan dengan skala 1000-2000 km yang bergerak ke arah timur. SCC terdiri dari Cloud Cluster (CC) yang mempunyai skala 100 km. sel-sel awan CC ini akan bergerak ke arah barat sambil tumbuh dan berkembang (matang) kemudian mati dan seterusnya dalam waktu kurang lebih dua hari, sehingga dapat disimpulkan bahwa timbulnya MJO dicirikan dengan adanya CC dan terjadinya gugus ini dalam rentang waktu 30-60 hari.

Selama perjalanan ke arah timur MJO dipengaruhi oleh posisi matahari. Ketika matahari berada di garis ekuator MJO bergerak lurus ke arah timur. Sedangkan ketika matahari berada di sebelah selatan garis ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah selatan ekuator yang dikenal sebagai penjalaran selatan-timur (south-eastern propagation). Ketika posisi matahari berada di sebelah utara ekuator, maka penjalaran MJO agak bergeser ke arah utara ekuator, yang dikenal sebagai penjalaran utara-timur (north-eastern propagation) (Rui and Wang 1990 dalam Sartika 2005).

2.11 Angin

(25)

mempunyai dua arah, ialah arah horizontal dan arah vertikal.

Menurut Holton (1992), komponen angin horizontal terbagi menjadi dua komponen, yaitu:

1. Komponen angin Timur-Barat (angin zonal) disebut juga kompenen angin U. 2. Komponen angin Utara-selatan (angin

meridional) disebut juga kompenen angin V.

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknik Hujan Buatan (UPTHB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta pada bulan April sampai Juli 2006.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office, dan compiler Fortran dan XYGRAPH yang dioperasikan pada sistem UNIX.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data EAR (Equatorial Atmosphere Radar) berupa angin zonal, angin meridional dan angin vertikal.

2. Data BLR dari beam vertikal yang terdiri dari 3 parameter yaitu pantulan radar (Echo Power), kecepatan Doppler (Doppler Shift) dan lebar spektrum (Spectral Width). Dengan resolusi pengukuran 100 m dan resolusi waktu kurang dari 1 menit.

3. Data radar X-Band untuk melihat pergerakan awan, karakteristik awan dan besarnya awan secara spasial.

4. Data Permukaan

Data permukaan digunakan sebagai pembanding dengan data radar dan citra satelit dalam penelitian ini. Data pembandingnya adalah data curah hujan yang diukur dengan distrometer dalam bentuk menit. Data curah hujan yang digunakan adalah data bulan April sampai Mei 2004.

5. Citra satelit GOES 9-IR

Citra satelit GOES 9-IR wilayah Kototabang 10 April 2004-11 Mei 2004.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.3.1 Identifikasi Kemunculan Awan dengan Menggunakan Data Satelit GOES 9-IR.

Pada penelitian ini data GOES yang diambil adalah data GOES 9-IR yang berada pada lintang 0.2ºS tanggal 10 April 2004-11 Mei 2004 yang kemudian dirata-ratakan untuk melihat keawanan secara global yang masuk ke Kototabang dan tutupan awan di atas Kototabang. Hasil olahan Data GOES 9 ini berupa temperatur radiasi benda hitam yang dipancarkan oleh puncak awan dan hasilnya diplot berupa bujur (sumbu x) dan penampang waktu (sumbu y).

3.3.2 Identifikasi Karakteristik Awan Hujan

Untuk melihat karakteristik awan hujan digunakan data BLR dan XDR. BLR digunakan untuk menentukan jenis awan hujan berdasarkan ketiga paramater yang diperoleh dari beam vertikal BLR, yaitu pantulan radar, kecepatan doppler dan lebar spektrum dengan menggunakan metode William, et al (1995), sehingga dapat ditentukan jenis awan yang terpantau adalah awan jenis stratiform, deep convective, campuran dari keduanya (Mix stratiform/convective) atau shallow convective. Pengolahan data BLR menggunakan perangkat lunak Fortran dan hasilnya diplot dengan menggunakan excel. Hasil olahan data BLR berupa penampang waktu (sumbu x) dan frekuensi kemunculan awan hujan (sumbu y). Sedangkan XDR digunakan untuk melihat pertumbuhan, pergerakan dan tutupan awan secara spasial. Pengolahan data XDR dengan menggunakan perangkat lunak Fortran dan memplot hasilnya dengan menggunakan XY-Graph dan hasilnya berupa grafik reflektivitas radar yang menunjukkan aktivitas awan hujan dimana sumbu x adalah penampang waktu dan sumbu y adalah bujur.

3.3.3 Analisis Kejadian Hujan Saat Kemunculan Awan Hujan.

Analisis awan hujan dilakukan dengan menggunakan data disdrometer. Untuk menghitung jumlah curah hujan yang turun ke permukaan digunakan persamaan sebagai berikut:

(

)

= × × × × = 20 1 3 3 1 10 6 . 3 6 i i i D n t F R π 3600 / t R

RA = ×

Dimana:

(26)

n(i) = Jumlah butir hujan kelas i yang terukur selama waktu t

D = Diameter butir hujan (mm) R = Curah Hujan (mm/jam) RA = Jumlah curah hujan (mm)

F = Luas permukaan disdrometer (F=0.005 m2)

Hasil olahan data tersebut berupa waktu (sumbu x) dan jumlah curah hujan dalam mm (sumbu y).

3.3.4 Analisis Angin saat Kemunculan Awan Hujan.

Untuk menganalisis angin pada saat kemunculan awan hujan digunakan data EAR. Data EAR yang berupa data angin zonal, meridional dan vertikal diolah dengan menggunakan fortran. Hasil olahannya berupa arah angin berdasarkan waktu (sumbu x) dan ketinggian (sumbu y).

3.3.5 Membandingkan hasil pengamatan tanggal 15, 23 dan 29 April 2004 dengan 5-6 Mei 2004.

Perbandingan hasil pengamatan dilakukan dengan melihat karakteristik awan hujan, kejadian hujan dan keadaaan angin pada masing-masing pengamatan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Kemunculan Awan Hujan dengan Menggunakan Data Satelit GOES 9-IR.

Gambar 5 merupakan penampang bujur-waktu dari TBB pada 0.2º S dari 10 April 2004 hingga 11 Mei 2004 meliputi 80º BT sampai 120º BT. Garis vertikal menunjukkan letak radar dan untuk pewarnaan gambar, semakin merah maka temperatur puncak awan semakin rendah dan semakin biru maka temperatur puncak awan semakin tinggi. Terlihat juga bahwa ada empat Super Cloud Cluster (SCC) yang melintas di atas Kototabang dan menjadi kajian dalam penelitian ini yaitu SCC 1(15 April 2004), SCC 2 (23-24 April 2004), SCC 3 (29 April 2004) dan SCC 4 (5 dan 6 April 2004). Menurut Kozu at al (2004), terdapat empat SCC yang masuk ke Kototabang pada tanggal 10 April sampai 11 Mei 2004 yang terjadi antara fase MJO non aktif dan aktif yang terdiri dari SCC yang kecil dan besar.

Pada gambar juga terlihat adanya penjalaran gugus-gugus awan yang sebagian besar tumbuh di sebelah barat radar dan setelah melewati sekitar 100oBT, pertumbuhan awan terlihat sedikit berkurang, hal ini kemungkinan

disebabkan oleh adanya pegunungan Bukit Barisan di sepanjang sisi barat pulau Sumatera. Hal ini juga disebutkan oleh Nitta et al (1992) dalam penelitiannya menggunakan data infra red dari satelit NOAA bahwa penjalaran MJO ini biasanya sedikit terganggu saat melewati kepulauan Sumatera karena adanya faktor lokal (orografik). Pergerakan gugus-gugus awan di atas Samudera Hindia yang bergerak ke arah timur dengan periode sekitar 30-50 hari yang memperlihatkan pola MJO.

Gambar 5. Penampang bujur-waktu dari TBB pada 0.2º S dari 10 April 2004 hingga 11 Mei 2004 meliputi 80º BT sampai 120º BT. Garis vertikal menunjukkan letak radar (100.3ºE).

4.2 Pengamatan Awan Hujan dengan BLR dan XDR

Pengamatan awan hujan dengan menggunakan BLR dan XDR dilakukan untuk membandingkan kemunculan awan hujan dengan dua alat yang berbeda sistem kerjanya. Pengamatan awan hujan dengan BLR dilakukan untuk melihat struktur vertikal awan hujan sehingga dapat diketahui jenis awan hujannya, sedangkan pengamatan awan dengan XDR dilakukan untuk melihat awan secara spasial berdasarkan reflektivitas yang dipancarkan oleh radar.

Untuk melihat karakteristik awan di atas Kototabang digunakan BLR dan X-band radar. BLR digunakan untuk mengklasifikasikan awan hujan berdasarkan tiga parameter spektrum doppler yang didapat dari beam tegak lurus BLR (Renggono, 2006). Berdasarkan pengamatan BLR tersebut awan hujan dikelompokkan menjadi awan Stratiform (STR), Mixed Stratiform/Convective (MIX), Deep Convective (CNV), dan Shallow

SCC

1

SCC

2

SCC 3

(27)

Convective (SHL) dengan menggunakan metode William et al (1995). Sedangkan X-band radar digunakan untuk melihat awan secara spasial di daerah tertentu dengan melihat reflektivitas radar yang dihasilkan oleh radar tersebut sehingga dapat ditentukan daerah dan waktu ketika pertama kali awan tumbuh. Untuk menganalisis awan hujan dalam penelitian ini digunakan awan hujan yang terjadi pada tanggal 15 April 2004 (SCC 1), 23-24 April 2004 (SCC 2) dan 29 April 2004 (SCC 3) sebagai studi kasusnya.

4.2.1 Karakteristik Awan Hujan

Gambar 6.a merupakan reflektivitas XDR hasil pengamatan awan hujan tanggal 15 April 2004 dengan XDR menurut ketinggian, sedangkan Gambar 6.b merupakan frekuensi kemunculan awan hujan tiap waktu. Dari gambar terlihat bahwa hasil pengamatan dengan XDR dan BLR menunjukkan hasil yang sama, yaitu pada saat XDR menunjukkan reflektivitas yang kuat, BLR juga mendeteksi adannya awan hujan yang muncul. Reflektivitas kuat terlihat menjulang ke atas (pukul 18.00-21.00) dan pada waktu yang sama terlihat adanya kemunculan awan hujan yang terdiri dari CNV, MIX, STR dan SHL.

Awan-awan hujan ini muncul pada sore hingga malam hari (Gambar 6.b). Awan hujan CNV muncul hampir pada setiap kemunculan

awan dan puncaknya pada pukul 18.00. Untuk awan hujan STR kemunculannya terjadi setelah kemunculan awan hujan CNV dengan puncak kemunculan terjadi pada pukul 19.00. Puncak kemunculan awan hujan STR ini juga menjadi puncak kemunculan awan pada hari itu. Jenis awan hujan yang muncul pada saat itu adalah awan hujan CNV, STR, MIX dan SHL. Meskipun kemunculan puncaknya terjadi pada pukul 19.00 tetapi awan hujan yang menghasilkan curah hujan paling tinggi terjadi pada pukul 18.00. Awan hujan jenis MIX terlihat muncul diantara kemunculan awan hujan CNV dan STR dengan frekuensi yang kecil. Sedangkan untuk awan hujan SHL muncul dengan frekuensi yang paling kecil dibangdingkan dengan yang lain.

Gambar 7.a menunjukkan bahwa pada tanggal 23-24 April 2004 saat muncul awan hujan, reflektivitas radarnya tinggi dan terlihat menjulang ke atas pada saat kemunculan awan hujan CNV. Awan hujan muncul pada siang sampai malam hari dan bertahan sampai pagi hari berikutnya. Awan yang pertama kali muncul adalah CNV diikuti dengan kemunculan semua jenis awan pada pukul 13.00 yang merupakan puncak kemunculan awan pertama. Puncak kemunculan awan ini tidak membuat terjadi puncak hujan karena awannya baru berkembang, puncak kejadian

(28)

Gambar 7. Hasil pengamatan radar tanggal 23-24 April 2004 (pukul 10.00-07.00). (a) reflektivitas radar XDR menurut ketinggian (b) jenis awan hujan yang diklasifikasikan dengan BLR.

hujan terjadi pada pukul 16.00. Pada saat puncak kejadian hujan ini semua jenis awan muncul dan awan SHL merupakan awan yang paling banyak muncul.

Setelah mengalami break off awan hujan muncul kembali pada pukul 20.00 tanggal 23 April 2004 sampai pukul 03.00 tanggal 24 April 2004 (Gambar 7.b). Kemunculan awan hujan ini dimulai dengan kemunculan awan CNV dan awan hujan MIX yang terbentuk diantara awan CNV dan STR. Awan hujan ini mampu bertahan sampai hari berikutnya sehingga menghasilkan awan hujan STR (pukul 23.00-01.00). Awan STR ini terbentuk dari awan CNV yang kehilangan daya angkatnya (updraf). Hal ini dapat diterangkan dari penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa proses hidup dari awan konvektif berakhir karena kehilangan daya angkatnya sehingga kumpulan butir es yang ada di atas akan membentuk awan hujan jenis STR (Renggono, 2000).

Puncak kemunculan awan kedua terjadi pada pukul 23.00 WIB yang didominasi oleh awan hujan STR. Puncak kemunculan awan ini juga tidak menghasilkan puncak hujan, puncak kejadian hujan terjadi pada pukul 20.00. Pada saat puncak kejadian hujan ini, terlihat awan hujan CNV yang paling banyak muncul. Awan hujan jenis ini merupakan awan hujan yang

paling banyak mengahasilkan hujan. Penjelasan tentang kejadian hujan permukaan akan di bahas lebih lanjut pada subbab berikutnya.

(29)

Gambar 8. Hasil pengamatan radar tanggal 29 April 2004 (pukul 00.00-21.00). (a) reflektivitas radar XDR menurut ketinggian (b) jenis awan hujan yang diklasifikasikan dengan BLR.

Karakteristik awan hujan dari ketiga super cloud cluster tersebut berbeda-beda. Pada SCC 1 frekuensi kemunculan awan hujannya paling sedikit dibandingkan dengan awan hujan yang muncul pada SCC 2 dan SCC 3. Hal ini disebabkan karena SCC 1 terjadi pada saat fase MJO non aktif. Awan hujan pada SCC 1 terjadi setelah tengah hari dan masa hidup awan hujan ini lebih singkat dibandingkan dengan yang lain. Sedangkan SCC 2 dan SCC 3 yang terjadi saat fase MJO aktif, kemunculan awan hujannya yang lebih banyak dibandingkan dengan SCC 1. SCC 2 merupakan SCC yang paling aktif dan menghasilkan banyak awan hujan. Kemunculan awan hujan pada SCC 2 terjadi hampir sepanjang hari yang didominasi oleh awan CNV dan STR. Masa hidup awan ini lebih lama dibandingkan dengan awan hujan pada SCC 1 dan SCC 3. Frekuensi kemunculan awan hujan pada SCC 3 lebih sedikit dibangdingkan dengan awan hujan pada SCC 2 meskipun kedua SCC tersebut terjadi pada saat fase MJO aktif. Kemunculan awan hujan pada SCC 3 terjadi pada pagi dan sore hari dan awan yang mendominasi adalah awan jenis STR. Masa hidup awan ini lebih lama dari SCC 1, tetapi lebih singkat dari SCC 2.

Dari ketiga pengamatan awan hujan diatas, reflektivitas radar terlihat kuat saat kemunculan

awan hujan, reflektivitas terlihat mejulang ke atas saat kemunculan awan hujan CNV. Awan hujan CNV kebanyakan muncul mulai tengah hari sampai malam hari, sedangkan awan hujan STR kebanyakan muncul pada pagi hari dengan puncak kemunculan terjadi setelah kemunculan awan hujan CNV. Menurut Renggono (2006) awan hujan banyak muncul pada sore hari dengan puncak kemunculan terjadi dari pukul 13.00-20.00.

Persentase kemunculan awan hujan CNV dan STR di Kototabang relatif tinggi sepanjang hari. Sedangkan kemunculan awan hujan MIX dan SHL relatif rendah, awan hujan MIX muncul diantara awan hujan CNV dan hujan STR dan awan hujan SHL muncul sebelum kemunculan awan CNV.

Kemunculan awan hujan dari ketiga super cloud cluster tersebut umumnya terjadi pada sore hari hingga malam hari. Hal ini disebabkan oleh penjalaran awan dari Samudera Hindia menuju Kototabang, sehingga awan tersebut sampai ke Kototabang pada sore hingga malam hari.

4.2.2 Pertumbuhan dan Pergerakan Awan Hujan

(30)

dilakukan dengan menggunakan XDR karena dapat memantau awan secara spasial. Gambar 9.a menunjukkan pertumbuhan dan pergerakan awan hujan pada tanggal 15 April 2004 (SCC 1), terlihat bahwa awannya mulai tumbuh sekitar 20-30 km sebelah barat. Menurut Renggono (2006) pertumbuhan awan hujan di daerah ini banyak dipengaruhi oleh faktor topografi yaitu adanya danau Maninjau yang terletak sekitar 20 km sebelah barat Kototabang Kototabang (Gambar 2). Pada saat frekuensi kemunculan awan hujannya tinggi (18.00-19.00), terlihat bahwa awan hujannya berada sebelah timur Kototabang dan terus bergerak ke sebelah barat Kototabang hingga menutupi Kototabang pada pukul 18.00-20.00. Awan hujan yang mendominasi pada saat itu adalah awan hujan jenis CNV dan STR.

Gambar 9.b menunjukkan pertumbuhan dan pergerakan awan hujan pada tanggal 23-24 April 2004 (SCC 2). Dari gambar terlihat bahwa awan mulai tumbuh sekitar 20 km

sebelah timur Kototabang pada pukul 12.00. Awan ini bergerak ke arah barat dan menyebabkan hujan pada pukul 11.00. Kejadian hujan lebih awal dari kemunculan awan hujan dilihat dari BLR dan XDR, hal ini disebabkan oleh pemantauan jenis awan hujan dengan menggunakan parameter-parameter BLR yang tidak masuk kategori sehingga tidak terdeteksi adanya awan hujan. Pada pukul 18.00, awan hujan yang didominasi oleh STR dan CNV yang berkembang sekitar 40 km sebelah timur Kototabang dan menutupi Kototabang pada pukul 20.00-03.00.

[image:30.612.155.482.333.657.2]

Reflektivitas radar pada Gambar 9.c menunjukkan bahwa awan hujan tanggal 29 April 2004 (SCC 3) mulai berkembang sekitar 40 km sebelah timur Kototabang pada pukul 01.00. Awan hujan ini terus bergerak ke barat dan menutupi Kototabang pada pukul 02.00-05.00. Awan yang muncul pada saat itu adalah awan hujan jenis STR.

(31)

Berdasarkan pengamatan XDR pada ketiga super cloud cluster tersebut, terlihat bahwa awan hujan yang paling aktif pertumbuhannya terdapat pada SCC 2. Awan hujan yang terdapat pada SCC 2 ini dapat bertahan lebih lama di sekitar Kototabang. Sedangkan awan hujan yang terdapat pada SCC 1 dan SCC 3 masa hidupnya lebih singkat dibandingkan dengan awan hujan pada SCC 2, hal ini dapat dilihat dari besarnya reflektivitas radar.

Reflektivitas radar XDR menunjukkan bahwa pada ketiga super cloud cluster tersebut terlihat gugus awan yang bergerak dari sebelah timur ke sebelah barat Kototabang. Arah pergerakan awan hujan ini sesuai dengan arah pergerakan angin di atas ketinggian 5km yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Sedangkan hasil pematauan satelit GOES 9 menunjukkan awan bergerak dari barat ke timur. Menurut Nakazawa (1988) sel-sel awan cloud cluster akan bergerak ke arah barat sambil tumbuh dan berkembang (matang) kemudian mati dan seterusnya dalam waktu kurang lebih dua hari.

4.3 Hubungan Kemunculan Awan Hujan dengan Kejadian Hujan Permukaan. Sebaran curah hujan di Kototabang pada saat kemunculan awan hujan tanggal 15, 23-24 dan 29 April 2004 diukur dengan menggunakan disdrometer. Disdrometer dapat mengukur curah hujan dengan diameter 0.3-5.0 mm (Renggono, 2006). Hasil pengukuran curah hujan permukaan akan dibandingkan dengan awan hujan yang muncul.

Gambar 10.a adalah jumlah curah hujan dari pukul 03.00-24.00 pada tanggal 15 April 2004. Dari gambar terlihat bahwa ada kesamaan waktu antara kejadian hujan di permukaan dengan kemunculan awan di atmosfer (Gambar 10.b). Pada saat BLR mendeteksi ada awan hujan, disdrometer juga mencatat adanya kejadian hujan pada waktu yang sama. Disdrometer mencatat kejadian hujan terjadi pada pukul 15.00-21.00. Curah hujan tertinggi terjadi pada saat terbentuk awan CNV pada pukul 18.00 yaitu sebesar 11.0 mm. Sedangkan hujan yang dihasilkan oleh awan hujan jenis lainnya seperti STR tidak setinggi curah hujan yang dihasilkan oleh CNV meskipun frekuensi awannya lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena awan CNV merupakan awan yang paling aktif dan banyak menghasilkan curah hujan yang tinggi.

Gambar 10.b merupakan intensitas curah hujan tanggal 23-24 April 2004 pukul 10.00-07.00. Dari gambar tersebut terlihat bahwa curah hujan yang terjadi cukup tinggi, hujan mulai terjadi pada pukul 11.00-24.00 dan

berlanjut sampai pukul 03.00. Curah hujan tertinggi terlihat pada saat muncul awan hujan CNV, sebagai contoh hujan yang terjadi pada pukul 20.00. Awan yang tumbuh pada saat itu adalah awan hujan CNV, MIX dan STR, diantara ketiga jenis awan hujan tersebut yang paling banyak muncul adalah awan CNV sehingga curah hujan yang dihasilkan cukup tinggi yaitu sebesar 15.0 mm. Sedangkan hujan yang dihasilkan oleh awan STR jumlahnya lebih kecil, meskipun awan yang muncul lebih banyak seperti hujan yang terjadi pada pukul 23.00. Awan hujan CNV yang banyak menghasilkan curah hujan adalah awan hujan CNV yang terbentuk pada pertengahan siklus awan, sedangkan awan CNV berada pada saat siklus awan hampir berakhir tidak menghasilkan curah hujan yang tinggi.

Gambar 10.c merupakan jumlah curah hujan yang terukur pada tanggal 29 April 2004 pukul 00.00-21.00. Dari Gambar terlihat bahwa saat awal kemunculan awan hujan, curah hujannya tidak terlalu tinggi karena dihasilkan oleh awan hujan STR. Setelah awan hujan mengalami masa break off pada pukul 05.00-09.00, awan hujan kembali muncul pada pukul 10.00-16.00. Awan tersebut menghasilkan curah hujan lebih tinggi dari pada curah hujan yang terjadi pada awal kemunculan awan. Awan hujan yang menghasilkan curah hujan tinggi adalah awan hujan SHL pada pukul 10.00 yaitu sebesar 4.5 mm. Awan SHL merupakan awan CNV yang tipis sehingga meskipun frekuensi kemunculan lebih kecil dari awan STR (15.00) tetapi hujan yang dihasilkan lebih tinggi.

Dari ketiga studi kasus di atas dapat disimpulkan bahwa awan hujan CNV merupakan awan hujan yang paling banyak menyumbang curah hujan dibandingkan dengan awan hujan lainnya meskipun frekuensi kemunculannya lebih kecil. Awan yang menghasilkan hujan biasanya muncul pada siang hingga malam hari.

(32)

Kejadian hujan pagi hari, kemungkinan terjadi dari awan yang muncul tengah malam sebelumnya dan bertahan sampai keesokan

[image:32.612.145.490.123.604.2]

paginya, atau terjadi karena konvergensi dari awan-awan kecil (Renggono, 2000).

(33)

4.4 Analisis Angin saat Kemunculan Awan Hujan Menggunakan Equatorial Atmosphere Radar (EAR).

Untuk melihat kondisi angin pada saat kemunculan awan dan kejadian hujan digunakan Equatorial Atmosphere Radar

[image:33.612.138.510.159.628.2]

(EAR) yang dapat melihat angin secara horizontal dan vertikal). Data EAR yang terdiri dari angin zonal, angin horizontal dan angin vertikal, berguna dalam penelitian ini, karena aliran udara mempengaruhi pembentukan awan dan hujan.

Gambar 11. Profil angin pada ketinggian 2-12 km. (a) Tanggal 15 April 2004, (b) Tanggal 23 April 2004 dan (c) Tanggal 29 April 2004.

Dari gambar 11.a terlihat bahwa keadaan angin pada tanggal 15 April 2004, tidak terlihat dengan jelas, hal ini disebabkan karena ketiadaan data akibat terputusnya aliran listrik dari PLN. Keadaan angin yang terlihat hanya

pada pukul 20.00-24.00. Pada ketinggian 2-5 km angin bergerak dengan kecepatan kecil dan angin yang terjadi adalah angin timur dan pada ketinggian di atas 6 km, angin bergerak dengan kecepatan lebih besar dari pada angin yang

a)

(34)

terjadi pada ketinggian 2-5 km. Angin bergerak dengan kecepatan rata-rata 0.2 ms-1 pada ketinggian 2-5 km dan 8.7 ms-1 pada ketinggian di atas 6 km. Pada saat kemunculan awan hujan profil angin yang terjadi tidak dapat dilihat karena ketiadaaan data yang disebabkan oleh tidak beroperasinya alat.

Keadaan angin pada tanggal 23-34 April 2004 terlihat pada gambar 11.b. Dari gambar menunjukan bahwa pada ketinggian di bawah 3 km, angin yang terjadi adalah angin barat pada saat awal kemunculan awan hujan yang bergerak dengan kecepatan kecil. Tetapi setelah awan hujan mengalami break off, angin barat sedikit menguat dari pada sebelumnya. Sedangkan pada ketinggian di atas 6 km angin yang terjadi adalah angin timur sepanjang hari dan cenderung menguat pada saat adanya awan hujan (pukul 20.00-02.00). Pada ketinggian di bawah 3 km angin bergerak dengan kecepatan rata-rata 1.3 ms-1, sedangkan pada ketinggian di atas 6 km angin bergerak dengan kecepatan rata-rata 6.3 ms-1.

Keadaan angin pada tanggal 29 April 2004 pukul 00.00-21.00 ditunjukkan pada Gambar 11.c. Dari gambar terlihat bahwa angin yang mendominasi pada saat awal kemunculan awan hujan adalah angin timur (pukul 00.00-10.00) dan angin barat (pukul 11.00-23.00) pada ketinggian di bawah 3 km. Pada ketinggian di atas 6 km angin yang terjadi adalah angin timur sepanjang hari dan menguat cenderung menguat pada saat adanya awan (pukul 13.00-15.00). Pada ketinggian di bawah 3 km angin bergerak dengan kecepatan 0.8 ms-1, sedangkan pada ketinggian di atas 6 km angin bergerak dengan kecepatan 3.6 ms-1.

Angin zonal yang terjadi pada saat kemunculan awan hujan umumnya adalah angin barat pada ketinggian di bawah 3 km dan angin timur pada ketinggian di atas 6 km. Variasi diurnal angin zonal yang terjadi di Kototabang adalah angin barat pada ketinggian di bawah 3 km dan angin timur pada ketinggian di atas 6 km yang terlihat intensif pada pukul 13.00-18.00 (Renggono, 2006).

Angin yang berpengaruh terhadap pergerakan awan hujan adalah angin yang terjadi pada ketinggian di atas 6 km yaitu angin timur yang membawa awan hujan dari timur ke barat. Pergerakan awan yang disebabkan oleh angin ini berkaitan dengan pusat tekanan rendah yang diikuti oleh perubahan pola angin. Pada saat awan hujan berada disebelah barat Kototabang, pusat tekanan rendah yang berada di sebelah barat mengakibatkan udara bergerak ke arah barat dan ditandai dengan adanya timuran yang kuat.

Kondisi angin dari awan hujan pada setiap SCC berbeda-beda. Kondisi angin pada SCC 1 tidak terlihat dengan jelas, sedangkan kondisi angin pada SCC 2 dan SCC 3 terlihat jelas. Pada SCC 2 arah gerak angin terlihat jelas perbedaannya. Pada ketinggian dibawah 5 km, angin yang terjadi adalah angin barat yang bergerak dengan kecepatan kecil. Sedangkan pada ketinggian di atas 6 km, angin yang terjadi adalah angin timur kuat terutama yang terjadi saat kemunculan puncak awan hujan. Sedangkan kondisi angin pada SCC 3, umumnya angin yang terjadi adalah angin timur. Tetapi pada ketinggian di bawah 3 km, angin yang terjadi adalah angin timur pada pukul 00.00-10.00 dan angin barat pada pukul 11.00-23.00.

4.5 Perbandingan dengan Hasil Observasi Kejadian Awan Hujan Tanggal 5-6 Mei 2004.

Kemunculan awan hujan pada tanggal 5-6 Mei 2004 merupakan salah satu kejadian awan hujan (aktivitas konvektif) dengan skala besar yang terjadi pada saat fase MJO aktif (Kozu et al, 2005) dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Renggono (2006) menunjukkan bahwa refklektivitas XDR terlihat kuat pada saat kemunculan awan dan kejadian hujan (Gambar 12.a). Awan hujan mulai tumbuh sekitar 30-40 km sebelah timur Kototabang yang bergerak menuju ke sebelah barat Kototabang. Awan hujan ini digerakkan oleh angin timuran pada ketinggian lebih dari 6 km (Gambar 12.c).

Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa awan hujan kebanyakan muncul setelah tengah hari. Pada sore hari (pukul 14.00-18.00) awan hujan didominasi oleh awan hujan SHL. Awan-awan ini berasal sekitar 20 km sebelah barat Kototabang. Curah hujan permukaan yang tinggi juga terlihat pada saat kemunculan awan hujan jenis ini (Gambar 12.d). Sedangkan awan hujan STR kebanyakan muncul pada malam hari (pukul 20.00-03.00) yang tumbuh sekitar 30 km sebelah timur Kototabang. Menurut Renggono (2006) kejadian hujan tanggal 5-6 Mei 2004 merupakan kejadian hujan terakhir, setelah itu Kototabang mengalami kekeringan.

(35)

Gambar 12. Hasil pengamatan awan hujan tanggal 5-6 Mei 2004 (Renggono, 2006), dimana (a) Reflektivitas XDR yang menunjukkan pergerakan awan hujan, (b) Reflektivitas XDR dan tipe awan hujan (c) Profil angin horizontal yang diamati dengan EAR, (d) Curah hujan permukaan.

Jenis awan hujan yang muncul pada tanggal 23-24 April 2004 hampir sama dengan jenis awan hujan yang muncul pada tanggal 5-6 Mei 2004. Awan hujan yang kebanyakan muncul adalah awan hujan jenis STR.

Curah hujan yang terjadi pada tanggal 5-6 Mei 2004 memiliki intensitas yang tinggi seperti curah hujan pada tanggal 23-24 April 2004. Kondisi angin juga menunjukkan karakteristik yang sama yaitu pada ketinggian dibawah 3 km angin yang terjadi adalah angin barat dan pada ketinggian di atas 6 km angin yang terjadi adalah angin timur.

Hasil pengamatan pertumbuhan, perkembangan awan hujan dan kejadiaan hujan dipermukaan tanggal 5-6 Mei 2004 mempunyai

karakteristik yang sama dengan hasil pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini.

V. KESIMPULAN

Kemunculan awan hujan di Kototabang biasanya terjadi pada siang hingga malam hari dan jenis awan yang paling banyak muncul adalah awan hujan CNV dan STR.

[image:35.612.152.490.91.487.2]
(36)

hujan SHL muncul sebelum kemunculan awan CNV.

Reflektivitas radar terlihat kuat dan menjulang ke atas pada saat kemunculan awan CNV. Dari reflektivitas radar terlihat bahwa awan-awan hujan umumnya mulai tumbuh sebelah timur yang bergerak ke sebelah barat Kototabang.

Kejadian hujan dipermukaan berhubungan erat dengan kemunculan awan hujan, pada saat kemunculan awan hujan di atmosfer, di permukaan juga tercatat adanya curah hujan. Curah hujan yang tinggi biasanya terjadi dari awan CNV meskipun frekuensi kemunculannya lebih rendah dari jenis awan yang lain.

Angin yang terjadi pada saat kemunculan awan hujan adalah angin barat pada ketinggian di bawah 3 km dan angin timur pada ketinggian di atas 6 km. Keadaan angin cenderung menguat saat kemunculan awan hujan. Angin yang menggerakkan awan hujan di atas Kototabang dari timur ke barat adalah angin timur yang terjadi pada ketinggian di atas 6 km.

Dari ketiga SCC yang diamati, SCC 2 merupakan SCC yang paling aktif dan banyak menghasilkan awan hujan dan curah hujan.

Hasil pengamatan awan hujan pada tanggal 5-6 Mei 2004 memiliki karakteristik yang sama dengan hasil pengamatan awan hujan pada penelitian ini.

SARAN

1. Mempelajari lebih lanjut pengaruh-pengaruh lokal terhadap kemunculan awan hujan.

2. Untuk penelitian awan hujan lebih lanjut diharapkan menggunakan data lebih banyak (lebih panjang jangka waktunya) agar dapat melihat veriasi harian dan tahunannya.

DAFTAR PUSTAKA

Darmawati, M. 2005. Studi Curah Hujan Daerah DKI Jakarta dan Kaitannya dengan Fenomena Madden Julian Oscillation (MJO). Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. Bogor.

Houze, RA, Jr. 1993. Cloud Dynamics. Academic Press, London.

Houze, RA, Jr and Leary CA. 1979. Melting and evaporation of hydrometeors in

precipitation from the anvil clouds of deep tropical convection, J. Atmos. Sci, 36: 669-679.

Kidder, SQ and Vonder Haar, TH. 1995. Satellite Meteorology An Introduction. Academic Press. London.

Kozu, T., T. Shimomai, Z. Akramin, Marzuki, Y. Shibagaki, and H. Hashiguchi, Intraseasonal variation of raindrop size distribution at Koto Tabang,West Sumatra, Indonesia, Geophys. Res. Lett., submitted, 2005.

Leary, CA. and Houze, RA, Jr. 1979. The structure and evolution of convection in tropical cloud cluster, J. Atmos. Sci, 36: 437–457.

Lilleand, TM and Kiefer, RW. 1979. Pengindaraan Jauh dan Intrepretasi Citra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Nakazawa, T. 1988. Tripocal super cluster within interseasonal variations over the westrn pasific, J. Meteo. Soc. 66: 823-839.

Nurmayani, H. 2003. Pemamfaatan Data BLR pada Troposfer Bawah untuk Analis Awan Hujan Penyebab Banjir. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. Bogor.

Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Renggono, F, 2000. Awan hujan di serpong: pengamatan dengan boundary layer radar. J. Sains&Teknologi Modifikasi Cuaca. I(I): 53-59.

Renggono, F. 2001. Precipitating clouds observed by 1.3-ghz boundary layer radar in equatorial indonesia. Ann. Geophys, 19: 889–897.

Renggono, F. 2006. Study on Precipitating Clouds Over Kototabang, West Sumatra Observed by Wind Profilers.

(37)

Setyadipratikno, A. 1999. Penggunaan Informasi Air Mampu Curah (Precipitation Water) dan Tinggi Lapisan Bawah Dalam Penentuan Awal Musim Hujan dan Awal Musim Kemarau. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. Bogor.

Seto, TH. 2002. Pengamatan osilasi madden julian dengan radar atmosfer equator di bukit tinggi sumatera barat, sebuah studi pendahulan. J. Sains&Teknologi Modifikasi Cuaca. 03: 121-124.

Trewartha, GT dan Horn, LH. 1980. An Introduction to Climate, 5th ed. Mc Grawl Hill International Company. New York.

William, CR, Ecklund, WL and Gage, KS. 1995. Clasification of precipitating clouds in the tropics using 915 mhz wind profiler. J. Atmos. Oceanic Technol, 12: 996-1012.

(38)
(39)

Lampiran 1. Tabel Identifikasi Awan Hujan Tanggal 15, 23-24 dan 29 April 2004.

Tanggal Jam Jenis Awan

15 9 Shallow Conv

15 15 Mix Strat/Conv 15 15 Deep Convective 15 15 Deep Convective 15 15 Mix Strat/Conv

15 16 Stratiform

15 18 Mix Strat/Conv 15 18 Mix Strat/Conv 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective 15 18 Deep Convective

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Deep Convective

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Stratiform

15 19 Mix Strat/Conv

15 19 Shallow Conv

15 19 Stratiform

15 19 Deep Convective 15 19 Deep Convective 15 20 Deep Convective 15 20 Deep Convective 15 20 Deep Convective

15 20 Stratiform

15 20 Stratiform

15 20 Stratiform

15 20 Stratiform

15 20 Stratiform

15 20 Stratiform

15 21 Deep Convective 15 21 Deep Convective 15 21 Deep Convective

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Mix Strat/Conv

23 0 Stratiform

23 0 Mix Strat/Conv

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Mix Strat/Conv

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Shallow Conv

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 0 Stratiform

23 12 Deep Convective 23 12 Deep Convective 23 12 Deep Convective 23 12

Gambar

Gambar 1. Prinsip kerja radar
Tabel 2. Spesifikasi Boundary Layer Radar       (BLR)
Gambar 2. Lokasi Radar di Kototabang, Sumber: Renggono (2006) m MSL) dan ((100.407dimana (+) adalah EAR (100.32oE, 0.20oS, 865 ×) adalah X-band Weather Radar oE, 0.36oS, 1164 m MSL)
Gambar 4. Hirarki MJO (Nakazawa, 1988)
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu menetapkan Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Unsur Organisasi Unit Pelaksana Teknis Dinas

Departemen Teknik Mesin Universitas Indonesia melaksanakan pertemuan di dalam peer- group (Kelompok Ilmu/KI) dengan seluruh calon Promotor dan Ko-Promotor yang ingin

Berdasarkan pada uraian diatas, maka dalam penelitian ini akan mengkaji tentang Penerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Time Token dapat dijadikan upaya untuk

Indonesia Enterprise Risk Management Award III 2019 Penyelenggara/ Organizer Economic Review Tanggal/ Date 3 Agustus 2019/ August 3, 2019 PENgHARgAAN | aWaRd.. Penghargaan

Skripsi dengan judul “Uji Pupuk Organik Cair dari Beberapa Jenis Urin Ternak terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Tanaman Kailan (Brassica oleracea L.)”

Proses ini merupakan proses permintaan barang yang berdasarkan pengolahan dari data MPS yang diterima sebagai masukkan, sistem akan mengolah data dari data produk yaitu

Sementara itu data ekonomi yang dirilis hari Jumat menunjukkan sentimen konsumen AS bulan Februari turun menjadi 93,6 dari sebelumnya 98,1, lebih bu- ruk dari estimasi ekonom

3) Hasil analisis sikap kepedulian lingkungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat beli produk hijau yang dapat dilihat dengan nilai t signifikan 0,000 lebih