• Tidak ada hasil yang ditemukan

H. Deret Taylor

I. Pemodelan Matematis

BAB III MODEL UNTUK PENYELESAIAN PENGEBORAN LASER A. Pengenalan Masalah

B. Metode Perturbasi C. Batas Perturbasi

D. Penyelesaian Studi Kasus Pengeboran Laser BAB IV HASIL SIMULASI

A. Perbedaan Antara 𝑣0 dan 𝑣1 B. Pembahasan Hasil Simulasi BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

6 BAB II

PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN HAL-HAL YANG TERKAIT

Dalam bab ini akan dibahas mengenai dasar-dasar teori yang digunakan pada skripsi ini. Dasar-dasar teori yang digunakan adalah turunan, integral, klasifikasi persamaan diferensial, klasifikasi persamaan diferensial parsial orde dua, persamaan konduksi panas, kondisi batas, persamaan skala, deret Taylor dan pemodelan matematis. Dalam menyusun Bab II buku acuan utama yang digunakan adalah Calculus (Smith and Minton, 2006) dan Industrial Mathematics (Fulford and Broadbridge, 2002).

A. Turunan

Dalam subbab ini akan dibahas mengenai turunan dengan menggunakan referesi buku Calculus (Smith and Minton, 2006).

Definisi 2.1

Turunan dari fungsi 𝑓(π‘₯) di π‘₯ = π‘Ž didefiniskan sebagai

𝑓′(π‘Ž) = lim

β„Žβ†’0

𝑓(π‘Ž + β„Ž) βˆ’ 𝑓(π‘Ž) β„Ž

dengan syarat limitnya ada. Jika limitnya ada, maka 𝑓 dapat diturunkan di π‘₯ = π‘Ž.

Contoh 2.1

= lim

Contoh 2.1 dapat dibuat secara umum. Jika perlu menemukan 𝑓′(2), 𝑓′(3) dan seterusnya tidak perlu mengulangi perhitungan diatas. Hanya perlu mengganti π‘Ž menjadi π‘₯.

Teorema 2.1 (Aturan Pangkat) Untuk bilangan bulat 𝑛,

𝑑

𝑑π‘₯π‘₯𝑛 = 𝑛π‘₯π‘›βˆ’1.

Bukti:

Menggunakan definisi turunan, jika 𝑓(π‘₯) = π‘₯𝑛, maka 𝑑

Untuk menaksir limit diatas, akan disederhanakan terlebih dahulu bentuk dari pembilangnya. Jika 𝑛 adalah bilangan bulat positif, maka (π‘₯ + β„Ž)𝑛 dapat ditemukan, yaitu

(π‘₯ + β„Ž)𝑛 = π‘₯𝑛+ 𝑛π‘₯π‘›βˆ’1β„Ž +𝑛(𝑛 βˆ’ 1)

2 π‘₯π‘›βˆ’2β„Ž2+ β‹― + 𝑛π‘₯β„Žπ‘›βˆ’1+ β„Žπ‘›. Dengan mensubstitusi bentuk (π‘₯ + β„Ž)𝑛 ke bentuk limit, didapat

𝑓′(π‘₯) = lim

Pertama, akan dicari terlebih dahulu turunan dari 1/π‘₯19, yaitu 𝑑

𝑑π‘₯( 1

π‘₯19) = 𝑑

𝑑π‘₯π‘₯βˆ’19= βˆ’19π‘₯βˆ’19βˆ’1 = βˆ’19π‘₯βˆ’20 = βˆ’ 19 π‘₯20. Dengan cara yang sama, akan dicari turunan dari √π‘₯3 2, yaitu

𝑑 Kemudian, yang terakhir adalah turunan dari π‘₯πœ‹, yaitu

𝑑

𝑑π‘₯ π‘₯πœ‹= πœ‹π‘₯πœ‹βˆ’1.

Teorema 2.2 (Aturan Rantai)

Jika 𝑔 dapat diturunkan terhadap π‘₯ dan 𝑓 dapat diturunkan terhadap 𝑔(π‘₯), maka 𝑑

Notasi Leibniz untuk aturan rantai juga sering digunakan. Jika 𝑦 = 𝑓(𝑒) dan 𝑒 = 𝑔(π‘₯), maka aturan rantai 𝑦 = 𝑓(𝑔(π‘₯)) dapat dinyatakan sebagai

Solusi:

Carilah turunan dari 𝑓(π‘₯) = sin(2π‘₯).

Solusi:

Pada subbab ini akan dibahas mengenai integral dengan menggunakan referesi buku Calculus (Smith and Minton, 2006).

Definisi 2.2

Misalkan 𝐹 adalah anti turunan dari 𝑓. Integral tak tentu dari 𝑓(π‘₯) (terhadap π‘₯), didefinisikan sebagai

∫ 𝑓(π‘₯) 𝑑π‘₯ = 𝐹(π‘₯) + 𝑐

dimana 𝑐 adalah sebarang konstanta (konstanta dari integral).

Contoh 2.6 Carilah ∫ 3π‘₯2 𝑑π‘₯.

Solusi:

Diketahui bahwa 3π‘₯2 adalah turunan dari π‘₯3, jadi

∫ 3π‘₯2 𝑑π‘₯ = π‘₯3+ 𝑐.

Teorema 2.3 (Aturan Pangkat) Untuk pangkat rasional π‘Ÿ β‰  βˆ’1,

∫ π‘₯π‘Ÿ 𝑑π‘₯ = 1

π‘Ÿ + 1π‘₯π‘Ÿ+1+ 𝑐 Bukti:

Diketahui

𝑑

𝑑π‘₯π‘₯π‘Ÿ+1 = (π‘Ÿ + 1)π‘₯π‘Ÿ, sehingga

𝑑 𝑑π‘₯

π‘₯π‘Ÿ+1

π‘Ÿ + 1= π‘₯π‘Ÿ. Sehingga didapat anti turunan dari 𝑓(π‘₯) yaitu

π‘₯π‘Ÿ+1 π‘Ÿ + 1. Jadi, menurut definisi integral didapat

∫ π‘₯π‘Ÿ 𝑑π‘₯ = 1

π‘Ÿ + 1π‘₯π‘Ÿ+1+ 𝑐 dimana 𝑐 adalah sebarang konstanta.

Terbukti.∎

Contoh 2.7

Hitunglah ∫ 1/(3π‘₯2) 𝑑π‘₯.

Solusi:

∫ 1

C. Klasifikasi Persamaan Diferensial

Pada subbab ini akan dibahas mengenai klasifikasi persamaan diferensial dengan menggunakan referesi buku A First Course in Differential Equation with Modeling Applications (Zill, 2009).

Definisi 2.3

Persamaan diferensial adalah sebuah persamaan yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel bergantung terhadap satu atau lebih variabel bebas.

Persamaan diferensial diklasifikasikan berdasarkan banyaknya variabel bebas, tingkat (orde) dan linearitas. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu.

1. Klasifikasi berdasarkan banyaknya variabel bebas

Berdasarkan banyaknya variabel bebas, persamaan diferensial dibagi menjadi dua, yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial.

Definisi 2.4

Persamaan diferensial biasa adalah sebuah persamaan yang hanya berisi turunan biasa dari satu atau lebih variabel bergantung terhadap satu variabel bebas.

Definisi 2.5

Persamaan diferensial parsial adalah sebuah persamaan yang melibatkan turunan parsial dari satu atau lebih variabel bergantung terhadap dua atau lebih variabel bebas. 2. Klasifikasi berdasarkan orde

Pada subbab ini akan diklasifikasikan persamaan diferensial biasa maupun parsial sesuai dengan orde turunan tertinggi yang muncul dalam persamaan.

Untuk itu diberikan definisi berikut ini.

Definisi 2.6

Orde dari persamaan diferensial biasa maupun persamaan diferensial parsial adalah orde dari turunan tertinggi yang terlibat di dalam persamaan diferensial tersebut.

Dari contoh diatas dapat dilihat bahwa persamaan diferensial diatas memiliki orde 2.

3. Klasifikasi berdasarkan linearitas

Berdasarkan linearitas, persamaan diferensial biasa dibagi menjadi dua yaitu persamaan diferensial biasa linear dan persamaan diferensial biasa non linear.

Definisi 2.7

Sebuah persamaan diferensial biasa berorde 𝑛 dikatakan linear dengan variabel bergantung 𝑦 dan variabel bebas π‘₯, jika persamaan tersebut dapat dituliskan dalam bentuk

π‘Žπ‘›(π‘₯)𝑑𝑛𝑦

𝑑π‘₯𝑛+ π‘Žπ‘›βˆ’1(π‘₯)π‘‘π‘›βˆ’1𝑦

𝑑π‘₯π‘›βˆ’1+ β‹― + π‘Ž1(π‘₯)𝑑𝑦

𝑑π‘₯+ π‘Ž0(π‘₯)𝑦 = 𝑔(π‘₯).

Contoh 2.11

𝑑2𝑦

𝑑π‘₯2+ 3𝑦 = 0 𝑑3𝑦

𝑑π‘₯3+ π‘₯𝑑𝑦

𝑑π‘₯βˆ’ 5𝑦 = 𝑒π‘₯

Kedua persamaan diferensial berikut adalah linear. Kedua persamaan diferensial berikut memiliki variabel bergantung 𝑦. Perhatikan bahwa 𝑦 dan turunan-turunannya terjadi dengan pangkat satu saja dan tidak ada perkalian dari 𝑦 dan/atau turunan dari 𝑦.

Definisi 2.8

Persamaan diferensial biasa dikatakan nonlinear jika persamaan diferensial tersebut tidak linear.

Contoh 2.12

𝑑2𝑦

𝑑π‘₯2+ 3𝑦2 = 0

Persamaan diatas nonlinear karena variabel bergantung 𝑦 muncul pada pangkat kedua dalam bentuk 3𝑦2.

𝑑3𝑦

𝑑π‘₯3+ π‘₯ (𝑑𝑦 𝑑π‘₯)

4

βˆ’ 5𝑦 = 𝑒π‘₯

Persamaan ini nonlinear karena terdapat suku π‘₯(𝑑𝑦/𝑑π‘₯)4, yang melibatkan pangkat empat pada turunan pertama.

D. Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial Orde Dua

Pada subbab ini akan dibahas mengenai klasifikasi persamaan diferensial parsial orde dua dengan menggunakan referesi buku An Introduction to Partial Differential Equations with MATLAB (Coleman, 2013). Bentuk umum persamaan diferensial parsial linear orde dua ditulis sebagai berikut,

π΄πœ•2𝑒

Persamaan (2.1) dikatakan

1. Hiperbolik jika 𝐡2βˆ’ 4𝐴𝐢 > 0 2. Parabolik jika 𝐡2βˆ’ 4𝐴𝐢 = 0 3. Eliptik jika 𝐡2βˆ’ 4𝐴𝐢 < 0

Penjelasan singkat klasifikasi persamaan diferensial parsial diatas akan dirangkum dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi persamaan diferensial parsial orde dua

No. π‘©πŸβˆ’ πŸ’π‘¨π‘ͺ Kategori Contoh

E. Persamaan Konduksi Panas

Pada subbab ini akan dibahas mengenai persamaan konduksi panas dengan menggunakan referesi buku Industrial Mathematics (Fulford and Broadbridge, 2002). Persamaan yang menggambarkan konduksi panas adalah persamaan konduksi panas atau biasa disingkat persamaan panas. Misalkan ada aliran panas dalam batang padat dengan penampang melingkar 𝐴. Asumsikan bahwa permukaan batang diisolasi dengan sempurna sehingga tidak ada panas yang lepas secara radial. Dengan demikian arah aliran panas hanya dalam arah longitudinal (sepanjang sumbu simetri batang). Misalkan suhu awal pada batang rendah dan seragam, kemudian salah satu ujungnya tiba-tiba dinaikkan ke suhu yang lebih tinggi, maka panas akan mengalir dalam arah π‘₯, dari panas ke dingin, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Konduksi panas pada batang

Misalkan 𝛿π‘₯ adalah ketebalan penampang yang melalui batang pada titik π‘₯, dimana 𝛿π‘₯ dianggap lebih kecil dibandingkan dengan π‘₯. Saat panas mengalir di sepanjang batang, sebagian dari panas akan diserap oleh batang sehingga meningkatkan suhu batang. Sebagai akibat, ketika panas mengalir di penampang π‘₯ jumlah panas yang mengalir di π‘₯ + 𝛿π‘₯ berbeda atau bisa ditulis dengan konservasi energi

{laju perubahan

panas } = { laju konduksi panas yang

masuk dan keluar dari penampang}. (2.2) Hal ini mengasumsikan bahwa tidak ada panas yang diproduksi di dalam batang atau tidak ada panas yang lepas dari permukaan batang.

panas dingin π‘₯

π‘₯ π‘₯ + 𝛿π‘₯

1. Merumuskan persamaan

Misalkan 𝑒(π‘₯, 𝑑) menunjukkan suhu batang pada posisi π‘₯ dan waktu 𝑑.

Karena tidak ada aliran radial maka suhu penampang akan konstan jika suhu awalnya konstan pula. Misalkan fluks panas 𝐽(π‘₯, 𝑑) didefinisikan sebagai laju panas yang melewati penampang per satuan luas dan per satuan waktu.

Sehingga suku fluks panas dan suku pada sisi kanan persamaan (2.2) menjadi { laju konduksi panas yang

masuk dan keluar dari penampang} = 𝐽(π‘₯, 𝑑)𝐴 βˆ’ 𝐽(π‘₯ + 𝛿π‘₯, 𝑑)𝐴 (2.3) Sekarang akan dihubungkan sisi kiri dari persamaan (2.2) dengan suhu.

Sebagian energi panas diserap oleh batang dan menyebabkan suhu batang berubah. Dalam nilai waktu yang kecil 𝛿𝑑, suhu pada π‘₯ diubah sejumlah 𝑒(π‘₯, 𝑑 + 𝛿𝑑) βˆ’ 𝑒(π‘₯, 𝑑). Jumlah panas yang diperlukan untuk mengubah suhu seluruh massa penampang sebanding dengan massa penampang dan perbedaan suhu. Jadi,

{laju perubahan

panas } = π‘πœŒπ΄π›Ώπ‘₯πœ•π‘’

πœ•π‘‘(π‘₯1, 𝑑) (2.4)

dimana π‘₯1 adalah interval antara titik π‘₯ < π‘₯1 < π‘₯ + 𝛿π‘₯. Disini, 𝐴𝛿π‘₯ adalah volume penampang, 𝜌 adalah massa jenis dan 𝑐 adalah panas spesifik. Panas spesifik sering dianggap konstan untuk bahan tertentu dengan variasi suhu yang tidak terlalu besar.

Dengan mensubstitusi persamaan (2.3) dan (2.4) ke persamaan (2.2) dan membagi dengan 𝛿π‘₯, didapatkan

π‘πœŒπ΄πœ•π‘’

πœ•π‘‘ = βˆ’[𝐽(π‘₯, 𝑑) βˆ’ 𝐽(π‘₯ + 𝛿π‘₯, 𝑑)]

𝛿π‘₯ 𝐴. (2.5)

Misalkan 𝛿π‘₯ menuju nol sehingga didapat π‘πœŒπœ•π‘’

πœ•π‘‘ = βˆ’πœ•π½

πœ•π‘₯. (2.6)

Persamaan (2.6) perlu dilengkapi dengan persamaan pokok yang menghubungkan fluks panas 𝐽 dengan suhu 𝑒. Untuk konduksi panas akan digunakan hukum Fourier.

2. Hukum Fourier

Akan dihubungkan suku kanan dari persamaan (2.6) dengan suhu. Untuk pendekatan yang baik, fluks panas harus sebanding dengan gradien suhu. Hal ini dikenal dengan hukum Fourier setelah matematikawan dan ilmuwan Prancis menerbitkan buku matematika pertama tentang teori panas (dikenal juga sebagai deret Fourier atau transformasi Fourier).

Hukum Fourier ditulis sebagai berikut 𝐽(π‘₯, 𝑑) = βˆ’π‘˜πœ•π‘’

πœ•π‘₯(π‘₯, 𝑑) (2.7)

dimana π‘˜ adalah konduktivitas termal. Dalam beberapa masalah aliran panas, π‘˜ bisa berupa fungsi 𝑒, π‘₯ atau 𝑑. Namun dalam model matematika, π‘˜ biasanya diasumsikan lebih sederhana diawal dengan π‘˜ = konstanta. Kemudian, asumsi ini bisa diturunkan kembali, jika diperlukan.

Dengan mensubstitusi hukum Fourier (2.7) dengan persamaan konservasi energi (2.6) akan didapat

π‘πœŒπœ•π‘’

πœ•π‘‘ = π‘˜πœ•2𝑒

πœ•π‘₯2

anggap konduktivitas π‘˜ sebagai konstanta. Persamaan ini sering ditulis dalam bentuk berikut yang dikenal sebagai persamaan panas. Di sini konstanta , 𝛼 = π‘˜/πœŒπ‘ disebut difusi panas. Hal ini mencirikan kemampuan energi panas untuk berdifusi melalui bahan yang diberikan. Persamaan panas (2.8) adalah persamaan diferensial parsial dalam dua variabel bebas yaitu waktu 𝑑 dan posisi π‘₯.

F. Kondisi Batas

Pada subbab ini akan dibahas mengenai kondisi batas pada masalah konduksi panas dengan menggunakan referensi buku Industrial Mathematics (Fulford and Broadbridge, 2002). Sebagai contoh kondisi batas adalah masalah difusi.

Persamaan klasik difusi panas untuk aliran panas pada batang adalah

πœ•π‘’

πœ•π‘‘ = π›Όπœ•2𝑒

πœ•π‘₯2

(2.9) yang merupakan persamaan diferensial orde dua untuk ruang dan persamaan diferensial orde satu untuk waktu. Diperlukan satu kondisi awal (distribusi suhu awal) dan dua kondisi batas, satu di setiap ujung batang.

Untuk persamaan panas tiga dimensi

πœ•π‘’

πœ•π‘‘ = π›Όβˆ‡2𝑒

diperlukan kondisi awal dan data yang ditentukan pada batas domain masalah. Ada beberapa bentuk umum kondisi batas yang terjadi dalam masalah sederhana seperti berikut ini,

1. Kondisi batas suhu yang ditentukan

Kondisi batas suhu yang ditentukan merupakan jenis kondisi batas yang sederhana. Di sini, suhu pada sebuah batas ditentukan oleh fungsi dari waktu, biasanya sebuah konstanta, meskipun mungkin fungsi waktu tertentu. Sebagai contoh

𝑒(𝐿, 𝑑) = 𝑒1 (2.10)

dimana 𝑒1 adalah konstanta. Hal ini mungkin terjadi ketika salah satu ujung pipa panas direndam dalam bak besar berisi air es pada suhu 0℃, jadi pada persamaan (2.9) 𝑒1 = 0. Pada literatur matematika, hal ini disebut kondisi batas Dirichlet.

2. Kondisi batas fluks panas yang ditentukan

Kondisi batas lainnya adalah laju aliran panas dengan batas yang diketahui. Biasanya suku dari fluks panas ditentukan, misalnya

𝐽(𝐿, 𝑑) = βˆ’π‘˜πœ•π‘’

πœ•π‘₯(𝐿, 𝑑) = 𝐽1 (2.11)

dimana π‘˜ adalah konduktivitas. Perhatikan bahwa 𝐽1 menjelaskan massa jenis fluks panas yang ditentukan melalui penampang pada arah π‘₯. Sebagai contoh pemanas air tenaga surya. Misalkan ada arus masuk 10 watt m⁄ 2, (berlawanan arah dengan sumbu π‘₯) maka kondisi batas pada π‘₯ = 𝐿 diberikan oleh

𝐽(𝐿, 𝑑) = βˆ’π‘˜πœ•π‘’

πœ•π‘₯(𝐿, 𝑑) = βˆ’10 watt

dimana tanda negatif menandakan bahwa aliran panas ke arah π‘₯ negatif. Pada literatur matematika, hal ini disebut kondisi batas Neumann.

Kasus khusus dari kondisi batas fluks yang ditentukan terjadi untuk isolasi sempurna dimana tidak ada panas yang bisa melewati batas. Dengan demikian persamaan (2.11) menjadi

𝐽(𝐿, 𝑑) = 0.

Dengan menggunakan hukum Fourier, 𝐽 = βˆ’π‘˜ πœ•π‘’ πœ•π‘₯⁄ , persamaan diatas dapat ditulis sebagai

πœ•π‘’

πœ•π‘₯(𝐿, 𝑑) = 0 (2.12)

3. Kondisi batas pendinginan Newton

Kondisi batas lain yang menyebabkan isolasi tidak sempurna adalah hukum pendinginan Newton atau disebut (pendinginan konvektif). Hukum pendinginan Newton sebuah model empiris yang lebih dari sekedar hukum yang menyatakan bahwa laju massa jenis fluks panas yang lepas sebanding dengan perbedaan suhu bahan dan lingkungannya. Hal ini dinyatakan dengan

𝐽(𝐿, 𝑑) = Β±β„Ž[𝑒(𝐿, 𝑑) βˆ’ 𝑒𝑠].

Dimana faktor proporsional β„Ž disebut koefisien perpindahan panas dan 𝑒𝑠 adalah suhu lingkungan. Tanda yang sesuai dipilih untuk memberikan tanda 𝐽 yang benar dalam masalah apapun. Dengan menggunakan hukum Fourier,

βˆ’π‘˜πœ•π‘’

πœ•π‘₯(𝐿, 𝑑) = Β±β„Ž[𝑒(𝐿, 𝑑) βˆ’ 𝑒𝑠].

Pada literatur matematika, persamaan diatas disebut sebagai kondisi batas Robin.

Nilai dari β„Ž tergantung pada jenis bahan dan kecepatan fluida yang mengalir melewati sekitarnya. Jadi, jika angin dingin kuat maka panas lepas lebih cepat akibatnya nilai β„Ž menjadi lebih tinggi. Hal ini disebut dengan faktor angin dingin. Dalam kasus β„Ž = 0 akan diperoleh kembali kondisi isolasi

sempurna (2.12). Begitu pula (1/β„Ž) β†’ 0 akan diperoleh kembali kondisi suhu yang ditentukan (2.10).

4. Kondisi batas kontinuitas

Jenis lainnya dari kondisi batas yang terjadi pada masalah konduksi panas adalah kontak termal antara dua media yang berbeda. Media-media tersebut dikatakan berada dalam kontak sempurna jika media tersebut dilas dengan kuat sehingga panas dapat mengalir dengan lancar. Asumsikan bahwa suhu 𝑒(π‘₯, 𝑑) dan massa jenis fluks panas 𝐽(π‘₯, 𝑑) kontinu melintasi batas misalnya

𝑒1(𝐿, 𝑑) = 𝑒2(𝐿, 𝑑), 𝐽1(𝐿, 𝑑) = 𝐽2(𝐿, 𝑑),

dimana 𝑒1 dan 𝐽1 berkorespondensi dengan suhu dan fluks panas pada sisi batas π‘₯ = 𝐿 dan 𝑒2 dan 𝐽2 berkorespondensi dengan suhu dan fluks panas ujung lainnya.

5. Batas bergerak

Batas bergerak terjadi dalam masalah yang melibatkan peleburan dan pemadatan. Batas ini lebih rumit karena tidak diketahui lokasi sebenarnya dari batas sebelum menyelesaikan masalah.

Dokumen terkait