• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN MODEL MATEMATIS PENGEBORAN LASER PADA LOGAM MENGGUNAKAN METODE PERTURBASI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENYELESAIAN MODEL MATEMATIS PENGEBORAN LASER PADA LOGAM MENGGUNAKAN METODE PERTURBASI SKRIPSI"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN MODEL MATEMATIS PENGEBORAN LASER PADA LOGAM MENGGUNAKAN METODE PERTURBASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Matematika

Program Studi Matematika

Oleh:

Arnelya Yunita Namang NIM: 163114016

PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2020

(2)

i

PENYELESAIAN MODEL MATEMATIS PENGEBORAN LASER PADA LOGAM MENGGUNAKAN METODE PERTURBASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Matematika

Program Studi Matematika

Oleh:

Arnelya Yunita Namang NIM: 163114016

PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2020

(3)

ii

SOLUTION TO THE MATHEMATICAL MODEL OF LASER DRILLING ON METALS USING THE PERTURBATION METHOD

THESIS

Presented as Partial Fulfillment of the

Requirements to Obtain the Degree of Sarjana Matematika Mathematics Study Program

Written by:

Arnelya Yunita Namang Student ID: 163114016

MATHEMATICS STUDY PROGRAM DEPARTMENT OF MATHEMATICS FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY

SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA

2020

(4)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang

terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”

Roma 8:28

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan berkat dan penyertaan-Nya disetiap langkah saya dan kedua orang tua tercinta, Arnoldus Dolu

Namang dan Rina Yunita, serta adek saya Gita dan Christo, yang selalu mendoakan saya.

(5)

viii ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang penyelesaian suatu masalah dalam pengeboran laser. Secara khusus, skripsi ini memodelkan kecepatan pengeboran laser pada beberapa bahan logam. Model matematika untuk masalah tersebut diselesaikan dengan dua kasus. Pertama, jika konduksi panas diabaikan maka masalah akan diselesaikan menggunakan hukum Fourier dari konduksi panas dengan 𝑘 = 0.

Kedua, jika konduksi panas diterapkan maka masalah akan diselesaikan menggunakan metode perturbasi. Metode perturbasi adalah cara untuk mendapatkan barisan pendekatan dimana setiap suku yang berurutan tersebut merupakan koreksi kecil dari suku sebelumnya. Penyelesaian dari kedua model matematika kemudian disimulasikan dalam MATLAB. Tujuan simulasi ini adalah mencari tahu perbedaan kecepatan yang dihasilkan dan mencari model yang terbaik.

Kata kunci: Pengeboran laser, persamaan panas, konduksi panas, metode perturbasi.

(6)

ix ABSTRACT

This thesis discusses the solution of a laser drilling problem. Specifically, this thesis models the speed of laser drilling on some metals.The mathematical model for the problem is solved in two cases. First, if heat conduction is neglected then the problem will be solved using Fourier’s law of heat conduction with 𝑘 = 0.

Second, if heat conduction is applied, then the problem will be solved using a perturbation method. The perturbation method is a procedure for obtaining a sequence of approximations where each successive term is a small correction to the previously obtained term. The solution of the both mathematical models is then simulated in MATLAB. The purpose of the simulation is to figure out the difference in speed and look for the best model.

Keywords: Laser drilling, heat equation, heat conduction, perturbation method.

(7)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INGGRIS ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Batasan Masalah ... 4

D. Tujuan Pemulisan ... 4

E. Metode Penelitian ... 4

F. Manfaat Penulisan ... 4

G. Sistematika Penulisan ... 4

BAB II ... 6

PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN HAL-HAL YANG TERKAIT ... 6

A. Turunan ... 6

B. Integral ... 10

C. Klasifikasi Persamaan Diferensial... 12

D. Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial Orde Dua ... 15

E. Persamaan Konduksi Panas ... 16

F. Kondisi Batas ... 18

G. Persamaan Skala ... 21

(8)

xiii

H. Deret Taylor ... 25

I. Pemodelan Matematis ... 29

BAB III... 31

MODEL UNTUK PENYELESAIAN PENGEBORAN LASER ... 31

A. Pengenalan Masalah ... 31

B. Metode Perturbasi ... 39

C. Batas Perturbasi ... 44

D. Penyelesaian Studi Kasus Pengeboran Laser ... 52

BAB IV ... 58

HASIL SIMULASI ... 58

A. Perbedaan Antara 𝑣0 dan 𝑣1 ... 58

B. Pembahasan Hasil Simulasi ... 59

BAB V ... 64

PENUTUP ... 64

A. KESIMPULAN ... 64

B. SARAN ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN ... 67

(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan masalah, metode penelitian, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan. Dalam menyusun Bab I buku acuan utama yang digunakan adalah Industrial Mathematics (Fulford and Broadbridge, 2002).

A. Latar Belakang Masalah

Model matematis merupakan penyederhanaan kejadian dunia nyata dalam bahasa matematis. Oleh sebab itu, model matematis sering digunakan untuk mengambil keputusan. Di era modern ini, penggunaan dan keserbagunaan model matematis telah diperkuat oleh kecanggihan komputer. Kemungkinan kecenderungan ini akan berlanjut, karena dapat menghasilkan efisiensi dalam memahami, menganalisis dan merancang suatu proses (Barnes and Fulford, 2009).

Banyak bidang yang telah menggunakan model matematis. Salah satu contohnya adalah bidang industri. Bidang industri terus mengembangkan model matematis untuk sistem operasional kerja. Jika terdapat masalah pada operasional kerja di suatu industri, maka industri tersebut lebih memilih untuk mengganti model matematisnya daripada memodifikasi peralatan yang berjumlah banyak. Oleh karena itu, suatu industri menilai bahwa menggunakan model matematis akan lebih mudah dan murah. Contoh konkret penerapan model matematis pada bidang industri adalah pengeboran laser pada logam, seperti tampak dalam Gambar 1.1.

(10)

Gambar 1.1 Skematik diagram pada pengeboran laser

Pengeboran laser merupakan proses yang menggunakan laser berdaya tinggi dan sinar elektron untuk memotong atau mengelas plat logam. Pengeboran laser ini akan memfokuskan sejumlah energi yang besar ke area kecil permukaan logam.

Proses ini merupakan masalah konduksi panas dengan perubahan wujud dari padat menjadi gas. Akibat dari pemanasan ini akan terbentuk lubang pada logam.

Konduksi panas adalah proses perpindahan panas yang mengalir dari tempat yang bersuhu tinggi ke tempat yang bersuhu rendah dan media penghantar panasnya tetap. Dengan menggunakan hukum Fourier dari persamaan konduksi panas, Fulford and Broadbridge (2002) mengusulkan persamaan untuk kecepatan pengeboran 𝑑𝑠/𝑑𝑡, yaitu

𝜌𝜆𝑑𝑠 𝑑𝑡 =𝑄0

𝐴 + 𝑘𝜕𝑢

𝜕𝑥(𝑠(𝑡), 𝑡)

dengan 𝜌 adalah massa jenis bahan material yang digunakan, 𝜆 adalah panas laten, 𝑄0 adalah daya laser, 𝐴 adalah luas area yang di bor, 𝑘 adalah konstanta konduktivitas, 𝑠(𝑡) adalah jarak lubang yang terbentuk pada saat 𝑡 (waktu) dan 𝑢 adalah suhu pada logam. Dimisalkan suhu pada logam memenuhi persamaan panas

𝜕𝑢

𝜕𝑡 = 𝛼𝜕2𝑢

𝜕𝑥2, untuk 𝑥 > 𝑠(𝑡) plat baja

laser

(11)

dengan distribusi suhu awal 𝑢(𝑥, 0) = 0, kondisi batas 𝑢(𝑠(𝑡), 𝑡) = 𝑢𝑣 dan 𝑢(∞, 𝑡) → 0. Di sini 𝑢𝑣 diketahui, sedangkan 𝑠(𝑡) dan 𝑑𝑠/𝑑𝑡 akan ditentukan.

Kecepatan pengeboran akan mudah diselesaikan jika mengabaikan konduksi panas pada logam. Jadi, dengan mudah didapat estimasi untuk kecepatan pengeboran dengan 𝑘 = 0 , yaitu

𝑣0 = 𝑑𝑠 𝑑𝑡 = 𝑄0

𝜌𝜆𝐴.

Namun demikian, untuk mencari kecepatan pengeboran laser dengan 𝑘 ≠ 0, diperlukan pendekatan dengan menggunakan metode perturbasi sehingga penyelesaiannya lebih mudah. Dengan demikian, didapat estimasi baru untuk kecepatan pengeboran dengan 𝑘 ≠ 0, yaitu

𝑣1 =𝑑𝑠

𝑑𝑡= (1 −𝑐𝑢𝑣

𝜆 ) 𝑣0 = (1 −𝑐𝑢𝑣 𝜆 ) 𝑄0

𝜌𝜆𝐴 dimana c merupakan panas spesifik.

Pada skripsi ini, penulis akan membahas seberapa cepat lubang yang dibentuk oleh daya laser yang diberikan sehingga menyinari per satuan luas pada logam.

Selama proses pengeboran, semakin besar energi laser yang diberikan, semakin banyak logam yang akan diuapkan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana model matematis kecepatan pengeboran laser pada logam?

2. Bagaimana penyelesaian model matematis kecepatan pengeboran laser pada logam?

3. Bagaimana hasil pendekatan penyelesaian tersebut dengan metode perturbasi?

(12)

C. Batasan Masalah

Dalam skripsi ini hanya akan dibahas tentang penentuan kecepatan pengeboran laser pada logam yang berdimensi satu. Selain itu akan dibahas pendekatan penyelesaian dengan metode perturbasi.

D. Tujuan Pemulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk menyelesaikan dan menganalisis kecepatan pengeboran laser pada logam yang berdimensi satu menggunakan metode perturbasi.

E. Metode Penelitian

Metode penulisan yang dipergunakan adalah metode pustaka, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku dan jurnal-jurnal, serta praktik komputer menggunakan MATLAB. Jenis-jenis sumber pustaka yang digunakan tercantum dalam daftar pustaka.

F. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah mengetahui cara memodelkan dan menyelesaikan suatu permasalahan nyata yaitu pengeboran laser.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Batasan Masalah D. Tujuan Penulisan E. Metode Penulisan F. Manfaat Penulisan G. Sistematika Penulisan

BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN HAL-HAL TERKAIT

(13)

A. Turunan B. Integral

C. Klasifikasi Persamaan Diferensial

D. Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial Orde Dua E. Persamaan Konduksi Panas

F. Kondisi Batas G. Persamaan Skala H. Deret Taylor

I. Pemodelan Matematis

BAB III MODEL UNTUK PENYELESAIAN PENGEBORAN LASER A. Pengenalan Masalah

B. Metode Perturbasi C. Batas Perturbasi

D. Penyelesaian Studi Kasus Pengeboran Laser BAB IV HASIL SIMULASI

A. Perbedaan Antara 𝑣0 dan 𝑣1 B. Pembahasan Hasil Simulasi BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(14)

6 BAB II

PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN HAL-HAL YANG TERKAIT

Dalam bab ini akan dibahas mengenai dasar-dasar teori yang digunakan pada skripsi ini. Dasar-dasar teori yang digunakan adalah turunan, integral, klasifikasi persamaan diferensial, klasifikasi persamaan diferensial parsial orde dua, persamaan konduksi panas, kondisi batas, persamaan skala, deret Taylor dan pemodelan matematis. Dalam menyusun Bab II buku acuan utama yang digunakan adalah Calculus (Smith and Minton, 2006) dan Industrial Mathematics (Fulford and Broadbridge, 2002).

A. Turunan

Dalam subbab ini akan dibahas mengenai turunan dengan menggunakan referesi buku Calculus (Smith and Minton, 2006).

Definisi 2.1

Turunan dari fungsi 𝑓(𝑥) di 𝑥 = 𝑎 didefiniskan sebagai

𝑓(𝑎) = lim

ℎ→0

𝑓(𝑎 + ℎ) − 𝑓(𝑎) ℎ

dengan syarat limitnya ada. Jika limitnya ada, maka 𝑓 dapat diturunkan di 𝑥 = 𝑎.

Contoh 2.1

Hitunglah turunan dari 𝑓(𝑥) = 3𝑥3+ 2𝑥 − 1 di 𝑥 = 1.

Solusi:

𝑓(1) = lim

ℎ→0

𝑓(1 + ℎ) − 𝑓(1) ℎ

= lim

ℎ→0

[3(1 + ℎ)3+ 2(1 + ℎ) − 1] − (3 + 2 − 1) ℎ

= lim

ℎ→0

[3(1 + 3ℎ + 3ℎ2+ ℎ3) + (2 + 2ℎ) − 1] − 4 ℎ

(15)

= lim

ℎ→0

11ℎ + 9ℎ2+ 3ℎ3

= lim

ℎ→011 + 9ℎ + 3ℎ2 = 11

Jadi, turunan dari 𝑓(𝑥) = 3𝑥3+ 2𝑥 − 1 di 𝑥 = 1 adalah 11.

Contoh 2.1 dapat dibuat secara umum. Jika perlu menemukan 𝑓(2), 𝑓(3) dan seterusnya tidak perlu mengulangi perhitungan diatas. Hanya perlu mengganti 𝑎 menjadi 𝑥.

Contoh 2.2

Hitunglah turunan dari 𝑓(𝑥) = 3𝑥3+ 2𝑥 − 1 di 𝑥 yang tidak diketahui. Kemudian hitunglah turunan di 𝑥 = 2 dan 𝑥 = 3.

Solusi:

𝑓(𝑥) = lim

ℎ→0

𝑓(𝑥 + ℎ) − 𝑓(𝑥) ℎ

= lim

ℎ→0

[3(𝑥 + ℎ)3+ 2(𝑥 + ℎ) − 1] − (3𝑥3 + 2𝑥 − 1) ℎ

= lim

ℎ→0

[3(𝑥3+ 3𝑥2ℎ + 3𝑥ℎ2 + ℎ3) + (2𝑥 + 2ℎ) − 1] − 3𝑥3− 2𝑥 + 1 ℎ

= lim

ℎ→0

9𝑥2ℎ + 9𝑥ℎ2+ 3ℎ3+ ℎ3 + 2ℎ ℎ

= lim

ℎ→09𝑥2 + 9𝑥ℎ + 3ℎ2 + ℎ2 + 2

= 9𝑥2+ 2

Jadi, turunan di 𝑥 = 2 dan 𝑥 = 3 didapat dengan mensubstitusikannya ke persamaan 𝑓(𝑥) = 9𝑥2+ 2, sehingga 𝑓(2) = 9(2)2+ 2 = 38 dan 𝑓(3) = 9(3)2+ 2 = 83.

Teorema 2.1 (Aturan Pangkat) Untuk bilangan bulat 𝑛,

𝑑

𝑑𝑥𝑥𝑛 = 𝑛𝑥𝑛−1.

(16)

Bukti:

Menggunakan definisi turunan, jika 𝑓(𝑥) = 𝑥𝑛, maka 𝑑

𝑑𝑥𝑥𝑛 = 𝑓(𝑥) = lim

ℎ→0

𝑓(𝑥 + ℎ) − 𝑓(𝑥)

ℎ = lim

ℎ→0

(𝑥 + ℎ)𝑛− 𝑥𝑛

ℎ .

Untuk menaksir limit diatas, akan disederhanakan terlebih dahulu bentuk dari pembilangnya. Jika 𝑛 adalah bilangan bulat positif, maka (𝑥 + ℎ)𝑛 dapat ditemukan, yaitu

(𝑥 + ℎ)𝑛 = 𝑥𝑛+ 𝑛𝑥𝑛−1ℎ +𝑛(𝑛 − 1)

2 𝑥𝑛−22+ ⋯ + 𝑛𝑥ℎ𝑛−1+ ℎ𝑛. Dengan mensubstitusi bentuk (𝑥 + ℎ)𝑛 ke bentuk limit, didapat

𝑓(𝑥) = lim

ℎ→0

𝑥𝑛 + 𝑛𝑥𝑛−1ℎ +𝑛(𝑛 − 1)

2 𝑥𝑛−22+ ⋯ + 𝑛𝑥ℎ𝑛−1+ ℎ𝑛 − 𝑥𝑛

= lim

ℎ→0

𝑛𝑥𝑛−1ℎ +𝑛(𝑛 − 1)

2 𝑥𝑛−22 + ⋯ + 𝑛𝑥ℎ𝑛−1+ ℎ𝑛

= lim

ℎ→0

ℎ [𝑛𝑥𝑛−1+𝑛(𝑛 − 1)

2 𝑥𝑛−2ℎ + ⋯ + 𝑛𝑥ℎ𝑛−2+ ℎ𝑛−1] ℎ

= lim

ℎ→0 [𝑛𝑥𝑛−1+𝑛(𝑛 − 1)

2 𝑥𝑛−2ℎ + ⋯ + 𝑛𝑥ℎ𝑛−2+ ℎ𝑛−1]

= 𝑛𝑥𝑛−1 Terbukti.∎

Contoh 2.3

Carilah turunan dari 1/𝑥19, √𝑥3 2 dan 𝑥𝜋. Solusi:

Pertama, akan dicari terlebih dahulu turunan dari 1/𝑥19, yaitu 𝑑

𝑑𝑥( 1

𝑥19) = 𝑑

𝑑𝑥𝑥−19= −19𝑥−19−1 = −19𝑥−20 = − 19 𝑥20. Dengan cara yang sama, akan dicari turunan dari √𝑥3 2, yaitu

(17)

𝑑

𝑑𝑥3√𝑥2 = 𝑑

𝑑𝑥𝑥2 3 =2

3𝑥2 3 ⁄ −1 =2

3𝑥−1 3 = 2 3√𝑥3 . Kemudian, yang terakhir adalah turunan dari 𝑥𝜋, yaitu

𝑑

𝑑𝑥 𝑥𝜋= 𝜋𝑥𝜋−1.

Teorema 2.2 (Aturan Rantai)

Jika 𝑔 dapat diturunkan terhadap 𝑥 dan 𝑓 dapat diturunkan terhadap 𝑔(𝑥), maka 𝑑

𝑑𝑥[𝑓(𝑔(𝑥))] = 𝑓(𝑔(𝑥))𝑔(𝑥).

Bukti:

Misalkan 𝐹(𝑥) = 𝑓(𝑔(𝑥)) dimana 𝑔(𝑥) ≠ 0, maka 𝑑

𝑑𝑥[𝑓(𝑔(𝑥))] = 𝐹(𝑥) = lim

ℎ→0

𝐹(𝑥 + ℎ) − 𝐹(𝑥) ℎ

= lim

ℎ→0

𝑓(𝑔(𝑥 + ℎ)) − 𝑓(𝑔(𝑥)) ℎ

= lim

ℎ→0

𝑓(𝑔(𝑥 + ℎ)) − 𝑓(𝑔(𝑥)) ℎ

𝑔(𝑥 + ℎ) − 𝑔(𝑥) 𝑔(𝑥 + ℎ) − 𝑔(𝑥)

= lim

𝑔(𝑥+ℎ)→𝑔(𝑥)

𝑓(𝑔(𝑥 + ℎ)) − 𝑓(𝑔(𝑥)) 𝑔(𝑥 + ℎ) − 𝑔(𝑥) lim

ℎ→0

𝑔(𝑥 + ℎ) − 𝑔(𝑥) ℎ

= 𝑓(𝑔(𝑥))𝑔(𝑥) Terbukti.∎

Notasi Leibniz untuk aturan rantai juga sering digunakan. Jika 𝑦 = 𝑓(𝑢) dan 𝑢 = 𝑔(𝑥), maka aturan rantai 𝑦 = 𝑓(𝑔(𝑥)) dapat dinyatakan sebagai

𝑑𝑦 𝑑𝑥 = 𝑑𝑦

𝑑𝑢 𝑑𝑢 𝑑𝑥. Contoh 2.4

Carilah turunan dari 𝑦 = (𝑥3+ 𝑥 − 1)5.

(18)

Solusi:

Misalkan 𝑢 = 𝑥3 + 𝑥 − 1 sehingga 𝑦 = 𝑢5. Menurut notasi Leibniz,

𝑑𝑦 𝑑𝑥 = 𝑑𝑦

𝑑𝑢 𝑑𝑢 𝑑𝑥 = 𝑑

𝑑𝑢(𝑢5)𝑑𝑢 𝑑𝑥

= 5𝑢4 𝑑

𝑑𝑥(𝑥3+ 𝑥 − 1)

= 5(𝑥3+ 𝑥 − 1)4(3𝑥2+ 1) Contoh 2.5

Carilah turunan dari 𝑓(𝑥) = sin(2𝑥).

Solusi:

Misalkan 𝑢 = 2𝑥 sehingga 𝑦 = sin 𝑢.

Menurut notasi Leibniz, 𝑑𝑦

𝑑𝑥 = 𝑑𝑦 𝑑𝑢

𝑑𝑢

𝑑𝑥 = cos 𝑢 𝑑 𝑑𝑥(2𝑥)

= cos(2𝑥) 𝑑 𝑑𝑥(2𝑥)

= 2 cos 2𝑥.

B. Integral

Pada subbab ini akan dibahas mengenai integral dengan menggunakan referesi buku Calculus (Smith and Minton, 2006).

Definisi 2.2

Misalkan 𝐹 adalah anti turunan dari 𝑓. Integral tak tentu dari 𝑓(𝑥) (terhadap 𝑥), didefinisikan sebagai

∫ 𝑓(𝑥) 𝑑𝑥 = 𝐹(𝑥) + 𝑐

dimana 𝑐 adalah sebarang konstanta (konstanta dari integral).

Contoh 2.6 Carilah ∫ 3𝑥2 𝑑𝑥.

(19)

Solusi:

Diketahui bahwa 3𝑥2 adalah turunan dari 𝑥3, jadi

∫ 3𝑥2 𝑑𝑥 = 𝑥3+ 𝑐.

Teorema 2.3 (Aturan Pangkat) Untuk pangkat rasional 𝑟 ≠ −1,

∫ 𝑥𝑟 𝑑𝑥 = 1

𝑟 + 1𝑥𝑟+1+ 𝑐 Bukti:

Diketahui

𝑑

𝑑𝑥𝑥𝑟+1 = (𝑟 + 1)𝑥𝑟, sehingga

𝑑 𝑑𝑥

𝑥𝑟+1

𝑟 + 1= 𝑥𝑟. Sehingga didapat anti turunan dari 𝑓(𝑥) yaitu

𝑥𝑟+1 𝑟 + 1. Jadi, menurut definisi integral didapat

∫ 𝑥𝑟 𝑑𝑥 = 1

𝑟 + 1𝑥𝑟+1+ 𝑐 dimana 𝑐 adalah sebarang konstanta.

Terbukti.∎

Contoh 2.7

Hitunglah ∫ 1/(3𝑥2) 𝑑𝑥.

Solusi:

(20)

∫ 1

3𝑥2 𝑑𝑥 = ∫1

3𝑥−2 𝑑𝑥 =1 3

1

−2 + 1𝑥−2+1+ 𝑐 =1

3 (−1)𝑥−1+ 𝑐 = − 1 3𝑥+ 𝑐.

C. Klasifikasi Persamaan Diferensial

Pada subbab ini akan dibahas mengenai klasifikasi persamaan diferensial dengan menggunakan referesi buku A First Course in Differential Equation with Modeling Applications (Zill, 2009).

Definisi 2.3

Persamaan diferensial adalah sebuah persamaan yang memuat turunan dari satu atau lebih variabel bergantung terhadap satu atau lebih variabel bebas.

Persamaan diferensial diklasifikasikan berdasarkan banyaknya variabel bebas, tingkat (orde) dan linearitas. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu.

1. Klasifikasi berdasarkan banyaknya variabel bebas

Berdasarkan banyaknya variabel bebas, persamaan diferensial dibagi menjadi dua, yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial.

Definisi 2.4

Persamaan diferensial biasa adalah sebuah persamaan yang hanya berisi turunan biasa dari satu atau lebih variabel bergantung terhadap satu variabel bebas.

Contoh 2.8

𝑑𝑦

𝑑𝑥+ 5𝑦 = 𝑒𝑥 𝑑2𝑦

𝑑𝑥2−𝑑𝑦

𝑑𝑥+ 6𝑦 = 0 𝑑𝑥

𝑑𝑡 +𝑑𝑦

𝑑𝑡 = 2𝑥 + 𝑦

(21)

Definisi 2.5

Persamaan diferensial parsial adalah sebuah persamaan yang melibatkan turunan parsial dari satu atau lebih variabel bergantung terhadap dua atau lebih variabel bebas.

Contoh 2.9

𝜕2𝑢

𝜕𝑥2 +𝜕2𝑢 𝑑𝑦2 = 0

𝜕2𝑢

𝜕𝑥2 =𝜕2𝑢

𝜕𝑡2 − 2𝜕𝑢

𝜕𝑡

𝜕𝑢

𝜕𝑦 = −𝜕𝑣

𝜕𝑥 2. Klasifikasi berdasarkan orde

Pada subbab ini akan diklasifikasikan persamaan diferensial biasa maupun parsial sesuai dengan orde turunan tertinggi yang muncul dalam persamaan.

Untuk itu diberikan definisi berikut ini.

Definisi 2.6

Orde dari persamaan diferensial biasa maupun persamaan diferensial parsial adalah orde dari turunan tertinggi yang terlibat di dalam persamaan diferensial tersebut.

Contoh 2.10

𝑑2𝑦

𝑑𝑥2 + 5 (𝑑𝑦 𝑑𝑥)

3

− 4𝑦 = 𝑒𝑥

Dari contoh diatas dapat dilihat bahwa persamaan diferensial diatas memiliki orde 2.

3. Klasifikasi berdasarkan linearitas

Berdasarkan linearitas, persamaan diferensial biasa dibagi menjadi dua yaitu persamaan diferensial biasa linear dan persamaan diferensial biasa non linear.

(22)

Definisi 2.7

Sebuah persamaan diferensial biasa berorde 𝑛 dikatakan linear dengan variabel bergantung 𝑦 dan variabel bebas 𝑥, jika persamaan tersebut dapat dituliskan dalam bentuk

𝑎𝑛(𝑥)𝑑𝑛𝑦

𝑑𝑥𝑛+ 𝑎𝑛−1(𝑥)𝑑𝑛−1𝑦

𝑑𝑥𝑛−1+ ⋯ + 𝑎1(𝑥)𝑑𝑦

𝑑𝑥+ 𝑎0(𝑥)𝑦 = 𝑔(𝑥).

Contoh 2.11

𝑑2𝑦

𝑑𝑥2+ 3𝑦 = 0 𝑑3𝑦

𝑑𝑥3+ 𝑥𝑑𝑦

𝑑𝑥− 5𝑦 = 𝑒𝑥

Kedua persamaan diferensial berikut adalah linear. Kedua persamaan diferensial berikut memiliki variabel bergantung 𝑦. Perhatikan bahwa 𝑦 dan turunan-turunannya terjadi dengan pangkat satu saja dan tidak ada perkalian dari 𝑦 dan/atau turunan dari 𝑦.

Definisi 2.8

Persamaan diferensial biasa dikatakan nonlinear jika persamaan diferensial tersebut tidak linear.

Contoh 2.12

𝑑2𝑦

𝑑𝑥2+ 3𝑦2 = 0

Persamaan diatas nonlinear karena variabel bergantung 𝑦 muncul pada pangkat kedua dalam bentuk 3𝑦2.

𝑑3𝑦

𝑑𝑥3+ 𝑥 (𝑑𝑦 𝑑𝑥)

4

− 5𝑦 = 𝑒𝑥

Persamaan ini nonlinear karena terdapat suku 𝑥(𝑑𝑦/𝑑𝑥)4, yang melibatkan pangkat empat pada turunan pertama.

(23)

D. Klasifikasi Persamaan Diferensial Parsial Orde Dua

Pada subbab ini akan dibahas mengenai klasifikasi persamaan diferensial parsial orde dua dengan menggunakan referesi buku An Introduction to Partial Differential Equations with MATLAB (Coleman, 2013). Bentuk umum persamaan diferensial parsial linear orde dua ditulis sebagai berikut,

𝐴𝜕2𝑢

𝜕𝑥2 + 𝐵 𝜕2𝑢

𝜕𝑥𝜕𝑦+ 𝐶𝜕2𝑢

𝜕𝑦2+ 𝐷𝜕𝑢

𝜕𝑥 + 𝐹𝜕𝑢

𝜕𝑦+ 𝐺𝑢(𝑥, 𝑦) = 0 (2.1) dimana 𝑢 = 𝑢(𝑥, 𝑦) dan 𝐴, 𝐵, 𝐶, 𝐷, 𝐹 dan 𝐺 merupakan fungsi dari 𝑥 dan 𝑦.

Definisi 2.9

Persamaan (2.1) dikatakan

1. Hiperbolik jika 𝐵2− 4𝐴𝐶 > 0 2. Parabolik jika 𝐵2− 4𝐴𝐶 = 0 3. Eliptik jika 𝐵2− 4𝐴𝐶 < 0

Penjelasan singkat klasifikasi persamaan diferensial parsial diatas akan dirangkum dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi persamaan diferensial parsial orde dua

No. 𝑩𝟐− 𝟒𝑨𝑪 Kategori Contoh

1. > 0 Hiperbolik

Persamaan gelombang

𝜕2𝑢

𝜕𝑡2 − 𝑐2𝜕2𝑢

𝜕𝑥2 = 0

2. = 0 Parabolik

Persamaan konduksi panas

𝜕𝑢

𝜕𝑡 − 𝛼2𝜕2𝑢

𝜕𝑥2 = 0

3. < 0 Eliptik

Persamaan Laplace

𝜕2𝑢

𝜕𝑥2+𝜕2𝑢

𝜕𝑦2 = 0

(24)

E. Persamaan Konduksi Panas

Pada subbab ini akan dibahas mengenai persamaan konduksi panas dengan menggunakan referesi buku Industrial Mathematics (Fulford and Broadbridge, 2002). Persamaan yang menggambarkan konduksi panas adalah persamaan konduksi panas atau biasa disingkat persamaan panas. Misalkan ada aliran panas dalam batang padat dengan penampang melingkar 𝐴. Asumsikan bahwa permukaan batang diisolasi dengan sempurna sehingga tidak ada panas yang lepas secara radial. Dengan demikian arah aliran panas hanya dalam arah longitudinal (sepanjang sumbu simetri batang). Misalkan suhu awal pada batang rendah dan seragam, kemudian salah satu ujungnya tiba-tiba dinaikkan ke suhu yang lebih tinggi, maka panas akan mengalir dalam arah 𝑥, dari panas ke dingin, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Konduksi panas pada batang

Misalkan 𝛿𝑥 adalah ketebalan penampang yang melalui batang pada titik 𝑥, dimana 𝛿𝑥 dianggap lebih kecil dibandingkan dengan 𝑥. Saat panas mengalir di sepanjang batang, sebagian dari panas akan diserap oleh batang sehingga meningkatkan suhu batang. Sebagai akibat, ketika panas mengalir di penampang 𝑥 jumlah panas yang mengalir di 𝑥 + 𝛿𝑥 berbeda atau bisa ditulis dengan konservasi energi

{laju perubahan

panas } = { laju konduksi panas yang

masuk dan keluar dari penampang}. (2.2) Hal ini mengasumsikan bahwa tidak ada panas yang diproduksi di dalam batang atau tidak ada panas yang lepas dari permukaan batang.

panas dingin 𝑥

𝑥 𝑥 + 𝛿𝑥

(25)

1. Merumuskan persamaan

Misalkan 𝑢(𝑥, 𝑡) menunjukkan suhu batang pada posisi 𝑥 dan waktu 𝑡.

Karena tidak ada aliran radial maka suhu penampang akan konstan jika suhu awalnya konstan pula. Misalkan fluks panas 𝐽(𝑥, 𝑡) didefinisikan sebagai laju panas yang melewati penampang per satuan luas dan per satuan waktu.

Sehingga suku fluks panas dan suku pada sisi kanan persamaan (2.2) menjadi { laju konduksi panas yang

masuk dan keluar dari penampang} = 𝐽(𝑥, 𝑡)𝐴 − 𝐽(𝑥 + 𝛿𝑥, 𝑡)𝐴 (2.3) Sekarang akan dihubungkan sisi kiri dari persamaan (2.2) dengan suhu.

Sebagian energi panas diserap oleh batang dan menyebabkan suhu batang berubah. Dalam nilai waktu yang kecil 𝛿𝑡, suhu pada 𝑥 diubah sejumlah 𝑢(𝑥, 𝑡 + 𝛿𝑡) − 𝑢(𝑥, 𝑡). Jumlah panas yang diperlukan untuk mengubah suhu seluruh massa penampang sebanding dengan massa penampang dan perbedaan suhu. Jadi,

{laju perubahan

panas } = 𝑐𝜌𝐴𝛿𝑥𝜕𝑢

𝜕𝑡(𝑥1, 𝑡) (2.4)

dimana 𝑥1 adalah interval antara titik 𝑥 < 𝑥1 < 𝑥 + 𝛿𝑥. Disini, 𝐴𝛿𝑥 adalah volume penampang, 𝜌 adalah massa jenis dan 𝑐 adalah panas spesifik. Panas spesifik sering dianggap konstan untuk bahan tertentu dengan variasi suhu yang tidak terlalu besar.

Dengan mensubstitusi persamaan (2.3) dan (2.4) ke persamaan (2.2) dan membagi dengan 𝛿𝑥, didapatkan

𝑐𝜌𝐴𝜕𝑢

𝜕𝑡 = −[𝐽(𝑥, 𝑡) − 𝐽(𝑥 + 𝛿𝑥, 𝑡)]

𝛿𝑥 𝐴. (2.5)

Misalkan 𝛿𝑥 menuju nol sehingga didapat 𝑐𝜌𝜕𝑢

𝜕𝑡 = −𝜕𝐽

𝜕𝑥. (2.6)

Persamaan (2.6) perlu dilengkapi dengan persamaan pokok yang menghubungkan fluks panas 𝐽 dengan suhu 𝑢. Untuk konduksi panas akan digunakan hukum Fourier.

(26)

2. Hukum Fourier

Akan dihubungkan suku kanan dari persamaan (2.6) dengan suhu. Untuk pendekatan yang baik, fluks panas harus sebanding dengan gradien suhu. Hal ini dikenal dengan hukum Fourier setelah matematikawan dan ilmuwan Prancis menerbitkan buku matematika pertama tentang teori panas (dikenal juga sebagai deret Fourier atau transformasi Fourier).

Hukum Fourier ditulis sebagai berikut 𝐽(𝑥, 𝑡) = −𝑘𝜕𝑢

𝜕𝑥(𝑥, 𝑡) (2.7)

dimana 𝑘 adalah konduktivitas termal. Dalam beberapa masalah aliran panas, 𝑘 bisa berupa fungsi 𝑢, 𝑥 atau 𝑡. Namun dalam model matematika, 𝑘 biasanya diasumsikan lebih sederhana diawal dengan 𝑘 = konstanta. Kemudian, asumsi ini bisa diturunkan kembali, jika diperlukan.

Dengan mensubstitusi hukum Fourier (2.7) dengan persamaan konservasi energi (2.6) akan didapat

𝑐𝜌𝜕𝑢

𝜕𝑡 = 𝑘𝜕2𝑢

𝜕𝑥2

anggap konduktivitas 𝑘 sebagai konstanta. Persamaan ini sering ditulis dalam bentuk berikut

𝜕𝑢

𝜕𝑡 = 𝛼𝜕2𝑢

𝜕𝑥2, 𝛼 = 𝑘 𝜌𝑐

(2.8) yang dikenal sebagai persamaan panas. Di sini konstanta , 𝛼 = 𝑘/𝜌𝑐 disebut difusi panas. Hal ini mencirikan kemampuan energi panas untuk berdifusi melalui bahan yang diberikan. Persamaan panas (2.8) adalah persamaan diferensial parsial dalam dua variabel bebas yaitu waktu 𝑡 dan posisi 𝑥.

F. Kondisi Batas

Pada subbab ini akan dibahas mengenai kondisi batas pada masalah konduksi panas dengan menggunakan referensi buku Industrial Mathematics (Fulford and Broadbridge, 2002). Sebagai contoh kondisi batas adalah masalah difusi.

Persamaan klasik difusi panas untuk aliran panas pada batang adalah

(27)

𝜕𝑢

𝜕𝑡 = 𝛼𝜕2𝑢

𝜕𝑥2

(2.9) yang merupakan persamaan diferensial orde dua untuk ruang dan persamaan diferensial orde satu untuk waktu. Diperlukan satu kondisi awal (distribusi suhu awal) dan dua kondisi batas, satu di setiap ujung batang.

Untuk persamaan panas tiga dimensi

𝜕𝑢

𝜕𝑡 = 𝛼∇2𝑢

diperlukan kondisi awal dan data yang ditentukan pada batas domain masalah. Ada beberapa bentuk umum kondisi batas yang terjadi dalam masalah sederhana seperti berikut ini,

1. Kondisi batas suhu yang ditentukan

Kondisi batas suhu yang ditentukan merupakan jenis kondisi batas yang sederhana. Di sini, suhu pada sebuah batas ditentukan oleh fungsi dari waktu, biasanya sebuah konstanta, meskipun mungkin fungsi waktu tertentu. Sebagai contoh

𝑢(𝐿, 𝑡) = 𝑢1 (2.10)

dimana 𝑢1 adalah konstanta. Hal ini mungkin terjadi ketika salah satu ujung pipa panas direndam dalam bak besar berisi air es pada suhu 0℃, jadi pada persamaan (2.9) 𝑢1 = 0. Pada literatur matematika, hal ini disebut kondisi batas Dirichlet.

2. Kondisi batas fluks panas yang ditentukan

Kondisi batas lainnya adalah laju aliran panas dengan batas yang diketahui. Biasanya suku dari fluks panas ditentukan, misalnya

𝐽(𝐿, 𝑡) = −𝑘𝜕𝑢

𝜕𝑥(𝐿, 𝑡) = 𝐽1 (2.11)

dimana 𝑘 adalah konduktivitas. Perhatikan bahwa 𝐽1 menjelaskan massa jenis fluks panas yang ditentukan melalui penampang pada arah 𝑥. Sebagai contoh pemanas air tenaga surya. Misalkan ada arus masuk 10 watt m⁄ 2, (berlawanan arah dengan sumbu 𝑥) maka kondisi batas pada 𝑥 = 𝐿 diberikan oleh

(28)

𝐽(𝐿, 𝑡) = −𝑘𝜕𝑢

𝜕𝑥(𝐿, 𝑡) = −10 watt

dimana tanda negatif menandakan bahwa aliran panas ke arah 𝑥 negatif. Pada literatur matematika, hal ini disebut kondisi batas Neumann.

Kasus khusus dari kondisi batas fluks yang ditentukan terjadi untuk isolasi sempurna dimana tidak ada panas yang bisa melewati batas. Dengan demikian persamaan (2.11) menjadi

𝐽(𝐿, 𝑡) = 0.

Dengan menggunakan hukum Fourier, 𝐽 = −𝑘 𝜕𝑢 𝜕𝑥⁄ , persamaan diatas dapat ditulis sebagai

𝜕𝑢

𝜕𝑥(𝐿, 𝑡) = 0 (2.12)

3. Kondisi batas pendinginan Newton

Kondisi batas lain yang menyebabkan isolasi tidak sempurna adalah hukum pendinginan Newton atau disebut (pendinginan konvektif). Hukum pendinginan Newton sebuah model empiris yang lebih dari sekedar hukum yang menyatakan bahwa laju massa jenis fluks panas yang lepas sebanding dengan perbedaan suhu bahan dan lingkungannya. Hal ini dinyatakan dengan

𝐽(𝐿, 𝑡) = ±ℎ[𝑢(𝐿, 𝑡) − 𝑢𝑠].

Dimana faktor proporsional ℎ disebut koefisien perpindahan panas dan 𝑢𝑠 adalah suhu lingkungan. Tanda yang sesuai dipilih untuk memberikan tanda 𝐽 yang benar dalam masalah apapun. Dengan menggunakan hukum Fourier,

−𝑘𝜕𝑢

𝜕𝑥(𝐿, 𝑡) = ±ℎ[𝑢(𝐿, 𝑡) − 𝑢𝑠].

Pada literatur matematika, persamaan diatas disebut sebagai kondisi batas Robin.

Nilai dari ℎ tergantung pada jenis bahan dan kecepatan fluida yang mengalir melewati sekitarnya. Jadi, jika angin dingin kuat maka panas lepas lebih cepat akibatnya nilai ℎ menjadi lebih tinggi. Hal ini disebut dengan faktor angin dingin. Dalam kasus ℎ = 0 akan diperoleh kembali kondisi isolasi

(29)

sempurna (2.12). Begitu pula (1/ℎ) → 0 akan diperoleh kembali kondisi suhu yang ditentukan (2.10).

4. Kondisi batas kontinuitas

Jenis lainnya dari kondisi batas yang terjadi pada masalah konduksi panas adalah kontak termal antara dua media yang berbeda. Media-media tersebut dikatakan berada dalam kontak sempurna jika media tersebut dilas dengan kuat sehingga panas dapat mengalir dengan lancar. Asumsikan bahwa suhu 𝑢(𝑥, 𝑡) dan massa jenis fluks panas 𝐽(𝑥, 𝑡) kontinu melintasi batas misalnya

𝑢1(𝐿, 𝑡) = 𝑢2(𝐿, 𝑡), 𝐽1(𝐿, 𝑡) = 𝐽2(𝐿, 𝑡),

dimana 𝑢1 dan 𝐽1 berkorespondensi dengan suhu dan fluks panas pada sisi batas 𝑥 = 𝐿 dan 𝑢2 dan 𝐽2 berkorespondensi dengan suhu dan fluks panas ujung lainnya.

5. Batas bergerak

Batas bergerak terjadi dalam masalah yang melibatkan peleburan dan pemadatan. Batas ini lebih rumit karena tidak diketahui lokasi sebenarnya dari batas sebelum menyelesaikan masalah.

G. Persamaan Skala

Pada subbab ini akan dibahas mengenai persamaan skala dengan menggunakan referensi buku Industrial Mathematics (Fulford and Broadbridge, 2002). Dalam memodelkan sebuah sistem fisika yang rumit, tahap awal dalam pengembangan model adalah mengabaikan faktor yang paling tidak berpengaruh.

1. Penggunaan penskalaan

Proses membuat persamaan diferensial dan kondisi batas tanpa dimensi disebut penskalaan. Jadi jika nilai parameter tak berdimensi sangat kecil (atau sangat besar) dimungkinkan untuk mengabaikan satu atau lebih suku dari persamaan tersebut, dengan tujuan mendapatkan penyederhanaan masalah yang signifikan.

(30)

Contoh masalah

Misalkan persamaan panas satu dimensi untuk batang dengan panjang ℓ. Suhu pada salah satu ujung batang ditentukan sedangkan pada ujung batang lainnya (𝑥 = ℓ) didinginkan oleh pendingin Newton sampai suhu nol.

Model matematika persamaan panas adalah

𝜕𝑢

𝜕𝑡 = 𝛼𝜕2𝑢

𝜕𝑥2

(2.13) dimana 𝛼 adalah difusi panas.

Pada ujung batang, kondisi batas suhu ditentukan dengan

𝑢(0, 𝑡) = 𝑢1 (2.14)

dan ujung batang lainnya, memiliki kondisi batas pendinginan Newton

−𝑘𝜕𝑢

𝜕𝑥 = ℎ𝑢(ℓ , t) (2.15)

dimana 𝑘 adalah konduktivitas dan ℎ adalah koefisien perpindahan panas.

2. Variabel tanpa dimensi

Ide dasar dalam penskalaan ini adalah memilih konstanta yang memiliki dimensi yang sama dengan variabel pada persamaan (sebut skala). Setelah itu akan didapat variabel tanpa dimensi dengan membagi variabel skala terhadap variabel asli, kemudian substitusi model matematika ke kondisi batas dan kondisi awal.

Parameter pada masalah diatas adalah ℓ, 𝛼, 𝑢1, 𝑘 dan ℎ. Parameter berikut akan digunakan untuk mencari skala dari variabel 𝑢, 𝑥 dan 𝑡. Skala untuk 𝑥 dan 𝑢 mudah ditemukan karena ada konstanta yang memiliki dimensi yang sama dengan variabel 𝑥 dan 𝑢 yaitu ℓ untuk 𝑥 dan 𝑢1 untuk 𝑢. Tidak ada parameter tunggal dengan dimensi waktu untuk digunakan pada skala 𝑡, sehingga perlu dibuat dari parameter-parameter yang tersedia. Kemungkinan pertama adalah kombinasi ℓ2/𝛼 yang memiliki dimensi [ℓ2/𝛼] = 𝑇.

Akan diperkenalkan rasio tanpa dimensi sebuah variabel. Didefinisikan panjang 𝑋 tanpa dimensi, waktu 𝑇 tanpa dimensi dan suhu 𝑈 tanpa dimensi dengan

(31)

𝑋 =𝑥

ℓ, 𝑇 =𝛼𝑡

2, 𝑈 = 𝑢 𝑢1

(2.16)

Contoh 2.13

Dengan menggunakan aturan rantai dan mengubah variabel (2.16), nyatakan

𝜕𝑢 𝜕𝑥⁄ dan 𝜕2𝑢 𝜕𝑥⁄ 2 ke dalam suku tanpa dimensi dari variabel 𝑈 dan 𝑋.

Solusi:

Dari persamaan (2.16)

𝑥 = ℓ𝑋, 𝑡 =ℓ2

𝛼 𝑇, 𝑢 = 𝑢1𝑈 (2.17)

dengan aturan rantai,

𝜕𝑢

𝜕𝑥 = 𝜕

𝜕𝑋(𝑢1𝑈) ×𝑑𝑋 𝑑𝑥 = (𝑢1

ℓ)𝜕𝑈

𝜕𝑋 kemudian digunakan aturan rantai kembali

𝜕2𝑢

𝜕𝑥2 = 𝜕

𝜕𝑥(𝜕𝑢

𝜕𝑥) = 𝜕

𝜕𝑋(𝑢1

𝜕𝑈

𝜕𝑋) ×𝑑𝑋 𝑑𝑥 = (𝑢1

2)𝜕2𝑈

𝜕𝑋2

Jika dilihat pola yang terjadi, efek pada variabel bergantung 𝑢 adalah mengalikannya dengan skala 𝑢1. Efek pada variabel bebas 𝑥 adalah membaginya dengan skala ℓ, untuk setiap orde dari diferensiasi. Secara umum, jika

𝑢 = 𝑢0𝑈, 𝑥 = 𝑥0𝑋, 𝑡 = 𝑡0𝑇 maka

𝜕𝑚+𝑛𝑢

𝜕𝑥𝑚𝜕𝑡𝑛 = ( 𝑢0

𝑥0𝑚𝑡0𝑛) 𝜕𝑚+𝑛𝑈

𝜕𝑋𝑚𝜕𝑇𝑛. (2.18)

Contoh 2.14

Gunakan rumus (2.18) untuk menyatakan turunan 𝜕𝑢 𝜕𝑡⁄ dan 𝜕2𝑢 𝜕𝑥⁄ 2 pada suku variabel tanpa dimensi 𝑈, 𝑋 dan 𝑇.

Solusi:

(32)

Misalkan 𝑡0= ℓ2⁄ , 𝑥𝛼 0 = ℓ, 𝑢0 = 𝑢1 dan jika 𝜕𝑢 𝜕𝑡⁄ maka 𝑚 = 0, 𝑛 = 1,

𝜕𝑢

𝜕𝑡 = 𝑢02⁄𝛼

𝜕𝑈

𝜕𝑇. Jika 𝜕2𝑢 𝜕𝑥⁄ 2 maka 𝑚 = 2, 𝑛 = 0 dan 𝑥0 = ℓ,

𝜕2𝑢

𝜕𝑥2 =𝑢02

𝜕2𝑈

𝜕𝑋2.

Dengan menerapkan rumus (2.18) turunan persamaan diferensial tanpa dimensi cepat ditemukan tanpa harus menggunakan aturan rantai pada turunan.

3. Penskalaan untuk persamaan diferensial parsial

Pada subbab ini, persamaan (2.17) akan digunakan untuk mengubah variabel dimensi pada persamaan (2.13) menjadi tanpa dimensi. Pada prinsipnya, digunakan kembali aturan rantai, namun pada praktiknya akan digunakan rumus (2.18) karena hubungan antar variabel hanya mengalikan dengan konstanta yang merupakan perubahan variabel sederhana.

Contoh 2.15

Dengan menggunakan skala (2.16), nyatakan persamaan (2.13) ke dalam persamaan diferensial parsial tanpa dimensi dengan variabel 𝑈, 𝑋 dan 𝑇.

Solusi:

Dari Contoh 2.13 dan Contoh 2.14 persamaan diferensial partial (2.13) menjadi ( 𝑢1

2⁄𝛼) 𝜕𝑈

𝜕𝑇 = 𝛼 (𝑢12)𝜕2𝑈

𝜕𝑋2 atau jika disederhanakan menjadi

𝜕𝑈

𝜕𝑇 =𝜕2𝑈

𝜕𝑋2. 4. Penskalaan untuk kondisi batas

Penskalaan kondisi batas berguna untuk menuliskan apa yang dimaksud kondisi batas. Sebagai contoh, kondisi batas 𝑢(0, 𝑡) = 𝑢1 bisa ditulis

(33)

𝑢 = 𝑢1 dimana 𝑥 = 0.

Kemudian, variabel huruf kecil cukup diganti dengan variabel huruf kapital menggunakan (2.16)

Contoh 2.16

Ubah kedua skala kondisi batas berikut 𝑢(0, 𝑡) = 𝑢1, −𝑘𝜕𝑢

𝜕𝑥(ℓ, 𝑡) = ℎ𝑢(ℓ, 𝑡).

menggunakan perubahan variabel (2.17).

Solusi:

Kedua kondisi batas dapat ditulis sebagai 𝑢 = 𝑢1 jika 𝑥 = 0, −𝑘𝜕𝑢

𝜕𝑥(ℓ, 𝑡) = ℎ𝑢 jika 𝑥 = ℓ.

Dengan menggunakan persamaan (2.16), persamaan diatas menjadi 𝑢1𝑈 = 𝑢 jika ℓ𝑋 = 0, −𝑘𝑢1

𝜕𝑈

𝜕𝑋= ℎ𝑢1𝑈 jika ℓ𝑋 = ℓ.

Persamaan diatas disederhanakan menjadi 𝑈 = 1 jika 𝑋 = 0, −𝜕𝑈

𝜕𝑋= 𝜖𝑈 jika 𝑋 = 1 dimana,

𝜖 =ℎℓ 𝑘.

Dikarenakan 𝑈 didefinisikan sebagai fungsi dari variabel tanpa dimensi 𝑋 dan 𝑇, maka kondisi batas berskala dapat ditulis

𝑈(0, 𝑇) = 1, −𝜕𝑈

𝜕𝑋(1, 𝑇) = 𝜖𝑈(1, 𝑇)

H. Deret Taylor

Pada subbab ini akan dibahas mengenai deret Taylor dengan menggunakan referesi buku Introduction to the Foundations of Applied Mathematics (Holmes, 2009).

(34)

1. Deret Taylor satu variabel

Diberikan fungsi 𝑓(𝑥) kemudian asumsikan bahwa (𝑛 + 1) adalah turunan dari 𝑓(𝑛+1)(𝑥) yang kontinu untuk 𝑥𝐿 < 𝑥 < 𝑥𝑅. Pada kasus ini jika 𝑎 dan 𝑥 adalah titik pada interval (𝑥𝐿, 𝑥𝑅) maka

𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑎) + (𝑥 − 𝑎)𝑓(𝑎) +1

2(𝑥 − 𝑎)2𝑓′′(𝑎) + ⋯ + 1

𝑛!(𝑥 − 𝑎)𝑛𝑓(𝑛)(𝑎) + 𝑅𝑛+1

(2.19)

dimana

𝑅𝑛+1 = 1

(𝑛 + 1)!(𝑥 − 𝑎)𝑛+1𝑓(𝑛+1)(𝜂) (2.20) dan 𝜂 adalah titik antara 𝑎 dan 𝑥. Atau bisa pula ditulis sebagai

𝑓(𝑥 + ℎ) = 𝑓(𝑥) + ℎ𝑓(𝑥) + ⋯ + 1

𝑛!ℎ𝑛𝑓(𝑛)(𝑥) + 𝑅𝑛+1. (2.21) Persamaan (2.21) terlihat berbeda dengan persamaan (2.19), namun pada dasarnya kedua persamaan tersebut ekuivalen, dimana pada persamaan (2.21) 𝑥 dan 𝑥 + ℎ adalah titik yang berada pada interval (𝑥𝐿, 𝑥𝑅).

Misalkan diambil 𝑎 = 0 pada persamaan (2.19) maka akan didapat perluasan,

𝑓(𝑥) = 𝑓(0) + 𝑥𝑓(0) +1

2(𝑥)2𝑓′′(0) + ⋯ 1

𝑛!𝑥𝑛𝑓(𝑛)(0) + 𝑅𝑛+1 dimana

𝑅𝑛+1 = 1

(𝑛 + 1)!𝑥𝑛+1𝑓(𝑛+1)(𝜂)

dan 𝜂 adalah titik antara 0 dan 𝑥. Untuk nilai-nilai dari 𝑥 dengan lim

𝑛→∞𝑅𝑛(𝑥) = 0, didapat rangkaian perluasan dari 𝑓 yang diketahui adalah deret Maclaurin dari 𝑓,

𝑓(𝑥) = ∑𝑓(𝑛)(0) 𝑛! 𝑥𝑛

𝑛=0

disini 𝑓(0)(0) didefinisikan menjadi 𝑓(0).

Dasar-dasar deret Maclaurin yang sering digunakan adalah sebagai berikut:

(35)

𝑒𝑥 = 1 + 𝑥 +𝑥2 2! +𝑥3

3! + ⋯ = ∑𝑥𝑛

𝑛!

𝑛=0

(𝑥 ∈ ℝ)

sin 𝑥 = 𝑥 −𝑥3 3! +𝑥5

5! + ⋯ = ∑(−1)𝑛𝑥2𝑛+1

(2𝑛 + 1)!

𝑛=0

(𝑥 ∈ ℝ)

cos 𝑥 = 1 −𝑥2 2! +𝑥4

4! − ⋯ = ∑(−1)𝑛𝑥2𝑛

(2𝑛)!

𝑛=0

(𝑥 ∈ ℝ)

(1 + 𝑥)𝑎 = 1 + 𝑎𝑥 +𝑎(𝑎 − 1)𝑥2

2! + ⋯ = ∑ (𝑎

𝑛)

𝑛=0

𝑥𝑛 (|𝑥| ∈ ℝ) dimana (𝑎

𝑛) = 𝑎(𝑎 − 1) … (𝑎 − (𝑛 − 1))/𝑛! (𝑎 ∈ ℝ) log(1 + 𝑥) = 𝑥 −𝑥2

2 +𝑥3

3 − ⋯ = ∑(−1)𝑛+1𝑥𝑛

𝑛

𝑛=0

(|𝑥| ∈ ℝ)

−log(1 − 𝑥) = 𝑥 +𝑥2 2 +𝑥3

3 + ⋯ = ∑𝑥𝑛

𝑛

𝑛=0

(|𝑥| ∈ ℝ)

Contoh 2.18

Untuk mencari deret Maclaurin dari fungsi sinus, akan dicari terlebih dahulu turunan dari orde 𝑛.

𝑓(𝑥) = sin 𝑥 𝑓(𝑥) = cos 𝑥 𝑓′′(𝑥) = −sin 𝑥 𝑓′′′(𝑥) = −cos 𝑥

𝑓(4)(𝑥) = sin 𝑥

𝑓(0) = 0 𝑓(0) = 1 𝑓′′(0) = 0 𝑓′′′(0) = −1

𝑓(4)(0) = 0

Maka dari itu jika 𝑛 genap maka 𝑓(𝑛)(0) = 0 dan jika 𝑛 = 1,3,5,7, … maka nilai 𝑓(𝑛)(0) bergantian seperti 1, −1,1, −1, …. Akibatnya perluasan deret Maclaurin sinus menjadi

sin 𝑥 = 𝑥 −𝑥3 3! +𝑥5

5! + ⋯ atau

(36)

sin 𝑥 = ∑(−1)𝑛𝑥2𝑛+1 (2𝑛 + 1)!

𝑛=0

Untuk menemukan nilai 𝑥 yang valid, dibutuhkan pertimbangan suku akhirnya (atau menggunakan uji rasio) yang diberikan oleh

𝑅𝑛+1 = 1

(𝑛 + 1)!𝑥𝑛+1𝑓(𝑛+1)(𝜂).

Sekarang, untuk setiap 𝑛, 𝑓(𝑛+1)(𝜂) diberikan oleh ± sin 𝑐 atau ± cos 𝑐. Nilai fungsi sinus dan cosinus selalu terletak di antara −1 dan 1. Jadi,

− 𝑥𝑛+1

(𝑛 + 1)!≤ 𝑅𝑛(𝑥) ≤ 𝑥𝑛+1 (𝑛 + 1)!

dan karena 𝑥𝑛+1/(𝑛 + 1)! → 0, didapatkan 𝑅𝑛+1→ 0 dengan aturan Squeeze.

Hal ini menunjukkan bahwa perluasan deret Maclaurin valid untuk setiap 𝑥 ∈ ℝ.

2. Deret Taylor dua variabel

Untuk dua variabel, persamaan deret Taylor didapatkan dari perluasan (2.21), yaitu

𝑓(𝑥 + ℎ, 𝑡 + 𝑘) = 𝑓(𝑥, 𝑡) + 𝐷𝑓(𝑥, 𝑡) +1

2𝐷2𝑓(𝑥, 𝑡) + ⋯ + 1

𝑛!𝐷𝑛𝑓(𝑥, 𝑡) + 𝑅𝑛+1

(2.22)

dimana,

𝐷 = ℎ 𝜕

𝜕𝑥+ 𝑘 𝜕

𝜕𝑡.

Dengan mensubstitusi 𝐷 ke persamaan (2.22), didapat suku kuadratik yang berbentuk

𝑓(𝑥 + ℎ, 𝑡 + 𝑘) = 𝑓(𝑥, 𝑡) + ℎ𝑓𝑥(𝑥, 𝑡) + 𝑘𝑓𝑡(𝑥, 𝑡) +1

2ℎ2𝑓𝑥𝑥(𝑥, 𝑡) +ℎ𝑥𝑓𝑥𝑡(𝑥, 𝑡) +1

2𝑘2𝑓𝑡𝑡(𝑥, 𝑡) + ⋯.

Subskrip yang digunakan pada persamaan diatas menunjukkan diferensial parsial. Jadi, sebagai contoh

(37)

𝑓𝑥𝑡 = 𝜕2𝑓

𝜕𝑥𝜕𝑡

Dimisalkan fungsi 𝑓 memiliki turunan parsial yang kontinu naik terhadap orde 𝑛 + 1. Persamaan diatas dapat ditunjukkan dalam bentuk yang sama dengan persamaan (2.19), yaitu

𝑓(𝑥, 𝑡) = 𝑓(𝑎, 𝑏) + (𝑥 − 𝑎)𝑓𝑥(𝑎, 𝑏) + (𝑡 − 𝑏)𝑓𝑡(𝑎, 𝑏) +1

2(𝑥 − 𝑎)2𝑓𝑥𝑥(𝑎, 𝑏) +(𝑥 − 𝑎)(𝑡 − 𝑏)𝑓𝑥𝑡(𝑎, 𝑏) +1

2(𝑡 − 𝑏)2𝑓𝑡𝑡(𝑎, 𝑏) + ⋯.

I. Pemodelan Matematis

Pada subbab ini akan dibahas mengenai pemodelan matematis. Diketahui sebuah masalah nyata yang akan dicari solusi penyelesaiannya. Namun demikian, solusi yang benar-benar memenuhi masalah nyata tersebut sering kali sulit ditemukan. Oleh sebab itu, diperlukan penyederhanaan masalah menggunakan model matematika.

Model matematika merupakan sebuah penyederhanaan secara matematis dari masalah nyata. Model matematika dapat berbentuk persamaan aljabar, persamaan diferensial, persamaan integral, sistem persamaan, sistem pertidaksamaan dan lain sebagainya. Langkah-langkah untuk pemodelan matematika, yaitu:

1. Diketahui suatu masalah nyata.

2. Dikumpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah nyata tersebut.

3. Dipilih faktor-faktor yang mempengaruhi masalah nyata tersebut secara signifikan.

4. Dari aturan (hukum) bidang terkait (fisika/biologi/kimia/dll) dicari hubungan matematisnya. Rumusan matematis yang diperoleh ini merupakan model matematika dari masalah nyata tersebut.

5. Dicari solusi model matematika tersebut, kemudian selidiki sifat-sifat solusi model matematika tersebut.

6. Dianalisis apakah solusi yang diperoleh bersifat realistis atau tidak.

(38)

7. Jika solusi sudah cukup realistis, maka langkah pemodelan matematika dihentikan. Namun, jika solusi belum realistis, maka model matematika harus diperbaiki dengan mengulang langkah 3 sampai dengan 7 sampai diperoleh model dengan solusi realistis.

(39)

31 BAB III

MODEL UNTUK PENYELESAIAN PENGEBORAN LASER

Dalam bab ini akan dibahas mengenai proses pengeboran laser pada logam dan metode perturbasi. Metode tersebut digunakan untuk menyelesaikan model pada pengeboran laser. Dalam memodelkan kecepatan pengeboran laser terbagi menjadi dua kasus, yaitu:

1. Jika konduksi panas pada logam diabaikan, maka rumus untuk kecepatan pengeboran laser akan mudah ditemukan.

2. Jika konduksi panas diperhatikan, maka rumus untuk pengeboran laser akan sulit ditentukan untuk itu perlu digunakan metode perturbasi.

Pada bab ini buku acuan utama yang digunakan adalah Industrial Mathematics (Fulford and Broadbridge, 2002).

A. Pengenalan Masalah

Banyak industri yang tertarik menggunakan energi laser berdaya tinggi dan sinar elektron untuk memotong atau mengelas plat logam. Proses pemotongan logam ini dilakukan dengan memfokuskan sejumlah energi ke permukaan kecil pada logam. Akibat dari proses tersebut, akan terjadi penguapan sehingga membentuk lubang pada logam.

1. Masalah

Masalah yang harus diselesaikan pada kasus ini adalah menentukan seberapa cepat lubang terbentuk dari daya yang ditentukan dan sinar yang menyinari per satuan luas logam. Pada masalah ini akan dilibatkan perubahan wujud padat menjadi gas dan perubahan batas gerak.

(40)

Gambar 3.1 Skematik diagram pengeboran laser. Sebuah laser berdaya 𝑄0 mengebor logam dengan menguapkan logam.

Pada saat energi laser diserap oleh permukaan logam, panas akan mengalir pada logam sehingga suhu logam akan naik. Pada suhu tertentu (suhu penguapan 𝑢𝑣) energi yang diserap mengakibatkan logam berubah wujud dari padat menjadi uap (wujud cair diabaikan karena panas yang dihasilkan oleh laser sangat kuat sehingga logam akan tampak mendidih sekaligus). Pada bab ini efek hidrodinamik dan ekspansi termal pada logam diabaikan. Asumsikan uap logam langsung menghilang sebelum menjadi cair kembali.

2. Model satu dimensi

Diasumsikan bahwa batas bergerak maju sebuah jarak 𝛿𝑠 adalah berada pada interval waktu 𝑡 sampai 𝑡 + 𝛿𝑡 (lihat Gambar 3.2). Beberapa energi dari laser digunakan untuk mengubah logam dari padat menjadi uap. Energi panas apapun yang digunakan untuk menaikkan suhu massa logam 𝜌𝐴𝛿𝑠 ke suhu penguapan akan diabaikan. Hal itu dilakukan supaya energi panas menjadi lebih kecil jika dibandingkan dengan panas yang dibutuhkan untuk menguapkan massa logam 𝜌𝐴𝛿𝑠. Dengan demikian energi panas yang tidak menguapkan logam diasumsikan terkonduksi.

laser plat baja 𝑥 = 0

𝑥 = 𝑠(𝑡) 𝑥 = 𝑥0

(41)

Gambar 3.2 Model satu dimensi, setengah tak hingga dari proses pembentukan lubang.

Secara keseluruhan akan dilakukan penyeimbangan panas. Pada saat waktu 𝛿𝑡 dibutuhkan konservasi energi

{

panas laten yang digunakan

untuk menguapkan logam

} + {

besar panas yang terkonduksi

} = {

panas yang diberikan laser pada permukaan

} (3.1)

Misalkan λ adalah panas laten per satuan massa logam yang dibutuhkan untuk menguapkan logam. Kemudian

{

panas laten yang digunakan untuk menguapkan logam

} ≃ 𝜆𝜌𝐴𝛿𝑠,

dimana 𝜌 adalah massa jenis logam dan 𝐴 adalah daerah yang difokuskan laser.

Besar panas yang terkonduksi akan diketahui dalam suku fluk panas J, yaitu { besar panas

yang terkonduksi} = 𝐴𝐽(𝑠(𝑡 + 𝛿𝑡), 𝑡)𝛿𝑡.

Jika daya yang disediakan laser adalah 𝑄0 watt, maka

{

panas yang diberikan laser pada permukaan

} ≃ 𝑄0𝛿𝑡.

Jika disatukan akan menjadi

𝜆𝜌𝐴𝛿𝑠 + 𝐴𝐽(𝑠(𝑡 + 𝛿𝑡), 𝑡)𝛿𝑡 = 𝑄0𝛿𝑡.

𝑄0

𝑥 = 0 𝑥 = 𝑠(𝑡)

𝑥

(42)

Kedua ruas dibagi dengan 𝛿𝑡 dan 𝐴, dimisalkan 𝛿𝑡 → 0, sehingga didapat 𝜌𝜆𝑑𝑠

𝑑𝑡 =𝑄0

𝐴 − 𝐽(𝑠(𝑡), 𝑡).

Dengan menggunakan hukum Fourier dari konduksi panas, didapat 𝜌𝜆𝑑𝑠

𝑑𝑡 =𝑄0

𝐴 + 𝑘𝜕𝑢

𝜕𝑥(𝑠(𝑡), 𝑡) (3.2)

Persamaan diatas merupakan persamaan untuk kecepatan pengeboran 𝑑𝑠 𝑑𝑡⁄ . Dibutuhkan persamaan untuk suhu 𝑢(𝑥, 𝑡) pada logam. Asumsikan bahwa suhu logam memenuhi persamaan panas klasik

𝜕𝑢

𝜕𝑡 = 𝛼𝜕2𝑢

𝜕𝑥2, untuk 𝑥 > 𝑠(𝑡). (3.3) Diasumsikan suhu awal adalah nol tetapi permukaan dari batas sudah dipanaskan terlebih dahulu ke suhu penguapan, atau suhu awal ditulis, sebagai berikut

𝑢(𝑥, 0) = 0 (3.4)

dengan kondisi batas

𝑢(𝑠(𝑡), 𝑡) = 𝑢𝑣 (3.5)

dan

𝑢(∞, 𝑡) → 0. (3.6)

3. Pendekatan pertama untuk kecepatan pengeboran

Satu kemungkinan untuk menyederhanakan model yaitu mengabaikan konduksi panas. Alasan untuk mencoba mengabaikan konduksi panas adalah berharap sebagian besar panas digunakan untuk penguapan logam. Jika konduksi panas pada logam diabaikan akan mudah untuk mendapatkan rumus kecepatan pengeboran. Misalkan 𝑘 = 0 berikut pendekatan kecepatan pengeboran 𝑣0,

𝑣0 =𝑑𝑠 𝑑𝑡 = 𝑄0

𝜌𝜆𝐴. (3.7)

(43)

Ditinjau sebuah 1 kW laser difokuskan pada daerah 1 mm2, pengeboran dilakukan pada lempengan aluminium. Untuk aluminium 𝜌 = 2.7 × 103 kg m-3 , λ = 1.08 × 107 J kg-1. Pendekatan kecepatan pengeboran adalah

𝑣0 =𝑑𝑠 𝑑𝑡= 𝑄0

𝜌𝜆𝐴= 1 kW

2.7 × 103 kg × 1.08 × 107 J kg−1× 1 mm2

= 1000 J/s

2.7 × 10−6 kg mm−3 × 1.08 × 107 J kg−1× 1 mm2

= 34,3 mm/s 4. Persamaan skala

Akan dibuat model matematika untuk model konduksi satu dimensi menjadi tanpa dimensi. Pertama perlu dipilih skala yang sesuai untuk variabel.

Variabel yang harus diskalakan adalah x, t, s dan u. Pada masalah ini, konstanta yang diketahui adalah 𝑢𝑣, 𝑘, 𝛼, 𝜌, 𝜆, 𝑄0, dan 𝐴.

Jelas bahwa suhu u dapat diukur terhadap suhu penguapan 𝑢𝑣. Namun, tidak ada skala panjang yang jelas atau skala waktu, sehingga harus dibuat dari variabel yang tersedia. Hal ini diperbolehkan jika menggunakan pendekatan sebelumnya untuk kecepatan pengeboran 𝑣0.

Perkenalkan simbol 𝑥0 dan 𝑡0 untuk panjang dan skala waktu yang belum ditentukan. Karena 𝑣0 adalah kecepatan, panjang skala yang diberikan oleh 𝑥0 = 𝑣0𝑡0. Skala waktu untuk konduksi panas adalah 𝑡0 = 𝑥02/𝛼. Substitusi 𝑡0 ke pernyataan 𝑥0, sehingga didapat

𝑥0 = 𝛼

𝑣0 dan 𝑡0 = 𝛼 𝑣02.

Perhatikan bahwa ini memiliki dimensi yang benar dari panjang dan waktu.

Didefinisikan variabel tanpa dimensi U, S, X dan T berkorespondensi terhadap u, s, x dan t dengan

𝑈 = 𝑢

𝑢𝑣, 𝑆 = 𝑠 𝑥0 = 𝑣0

𝛼 𝑠, 𝑋 = 𝑥 𝑥0 =𝑣0

𝛼 𝑥 dan 𝑇 = 𝑡

𝑡0 = 𝑣02 𝛼 𝑡.

Gambar

Gambar 1.1 Skematik diagram pada pengeboran laser
Tabel 2.1 Klasifikasi persamaan diferensial parsial orde dua
Gambar 2.1 Konduksi panas pada batang
Gambar  3.1  Skematik  diagram  pengeboran  laser.  Sebuah  laser  berdaya
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait