PENYELESAIAN MODEL MATEMATIS PENGECORAN LOGAM DENGAN TRANSFORMASI BOLTZMANN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Matematika
Program Studi Matematika
Oleh:
Cicilia Yunita Nugraeni NIM: 163114042
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2020
i
PENYELESAIAN MODEL MATEMATIS PENGECORAN LOGAM DENGAN TRANSFORMASI BOLTZMANN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Matematika
Program Studi Matematika
Oleh:
Cicilia Yunita Nugraeni NIM: 163114042
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2020
ii
SOLUTION TO THE CONTINUOUS CASTING MATHEMATICAL MODEL USING BOLTZMANN’S TRANSFORMATION
THESIS
Presented as Partial Fulfillment of the
Reguirements to Obtain the degree of Sarjana Matematika Mathematics Study Program
Written By:
Cicilia Yunita Nugraeni Student ID: 163114042
MATHEMATICS STUDY PROGRAM DEPARTMENT OF MATHEMATICS FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY 2020
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Nothing Impossible”
“Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah
dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.
Filipi 4:6”
Karya ini ku persembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan berkat dan penyertaan-Nya disetiap langkah saya dan kedua orang tua tercinta, Yakobus Suwardi dan
Lucia Sartilah, yang selalu mendoakan saya.
viii ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang penyelesaian suatu masalah dalam pengecoran logam khususnya masalah penentuan panjang genangan yang dimodelkan secara matematis dengan menggunakan persamaan panas satu dimensi.
Masalah tersebut diselesaikan dengan menggunakan metode transformasi Boltzmann. Transformasi Boltzmann adalah suatu metode yang memperkenalkan variabel similaritas dengan mengubah persamaan diferensial parsial nonlinear ke persamaan diferensial biasa nonlinear.
Transformasi Boltzmann merupakan suatu metode yang hanya berlaku untuk memecahkan masalah konduksi pada daerah semi tak terbatas dan dapat diselesaikan secara eksak. Dengan demikian, dari hasil yang diperoleh dalam skripsi ini dapat digunakan untuk memeriksa suatu kelayakan dalam proses pengecoran logam.
Kata kunci: Persamaan panas, persamaan diferensial, transformasi Boltzmann.
ix ABSTRACT
This thesis discusses the solution of a continuous casting problem especially the problem of determination the puddle length which are mathematically modeled using a one-dimensional heat equation. This problem is solved using the Boltzmann similarity transformation method. Boltzmann similarity transformation is a method which introduce a similarity variable which combines two independent variables and transforms the nonlinear partial differential equation to nonlinear ordinary differential equation.
Boltzmann similarity transformation is a method that only applies to solving conduction problem in semi-infinite regions and can be solved exactly. Therefore, results in this thesis can be used to check for feasibility in the continuous casting process.
Keyword: Heat equation, differential equation, Boltzmann similarity transformation
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Skripsi yang berjudul “Penyelesaian Model Matematis Pengecoran Logam dengan Transformasi Boltzmann” merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Matematika (S.Mat) pada Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Banyak kesulitan dan tantangan yang penulis hadapi dalam proses penulisan skripsi ini. Berkat penyertaan Tuhan dan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Dengan demikian, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas sains dan Teknologi sekaligus dosen pembimbing skripsi yang penuh kesabaran dan telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta selalu memberikan arahan dan masukan kepada penulis.
2. Bapak Ir. Ig. Aris Dwiatmoko, M.Sc., selaku dosen pembimbing akademik.
3. Romo Prof. Dr. Frans Susilo, S.J., Bapak Y.G. Hartono, S.Si., M.Sc., Ph.D., Bapak Dr. rer. nat. Herry P. Suryawan, S.Si., M.Si., dan Ibu M. V. Any Herawati, S.Si., M.Si., Bapak Ricky Aditya, M.Sc., selaku dosen Program Studi Matematika yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama masa perkuliahan.
4. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma dan staf sekretariat Fakultas Sains dan Teknologi yang telah membantu dalam proses administrasi dan akademik.
5. Kedua orang tua, Bapak Yakobus Suwardi dan Ibu Lucia Sartilah atas segala kasih dan sayang yang telah penulis terima, dan kepada kakakku Sari dan Retta dan adikku Risti, terima kasih atas dukungan, semangat serta doa dalam setiap langkah penulis.
6. Lukas Krisnanto yang selalu sabar, memberikan motivasi, dan nasehat yang luar biasa.
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INGGRIS ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN. ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Batasan Masalah ... 4
D. Tujuan Penulisan ... 4
E. Manfaat Penulisan ... 4
F. Metode Penulisan ... 5
G. Sistematika Penulisan ... 5
BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN TOPIK TERKAIT ... 7
A. Turunan... 7
B. Integral ... 11
C. Persamaan Diferensial ... 13
D. Persamaan Panas ... 15
E. Kondisi Stefan ... 17
F. Transformasi Boltzmann ... 18
G. Fungsi Galat... 20
H. Hukum Fourier ... 23
I. Metode Newton ... 25
xiii
J. Metode Biseksi ... 27
BAB III MODEL UNTUK PENYELESAIAN PENGECORAN LOGAM . 31 A. Model Matematis pada Pengecoran Logam ... ... 31 B. Penyelesaian Model Matematis Pengecoran Logam dengan Transformasi Boltzmann ... ... 37 BAB IV DISKUSI HASIL PENYELESAIAN ... 59
A. Diskusi Hasil Penyelesaian ... 59
B. Review Fungsi Galat ... 62
BAB V PENUTUP ... 64
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
LAMPIRAN ... 67
1 BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
A. Latar Belakang
Model matematis adalah suatu tahap dari pemecahan masalah nyata dengan menyederhanakan fenomena-fenomena yang ada ke dalam matematika. Model matematis yang dihasilkan dapat berupa bentuk persamaan, pertidaksamaan, sistem persamaan baik linear maupun nonlinear. Penyusunan model matematis dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut pertama dengan membuat asumsi-asumsi yang berkaitan dengan masalah, kedua penyelesaian masalah yang realistis dan ketiga intepretasi hasil matematis dalam konteks masalah non matematis (Haberman, 1977).
Pemodelan matematis dapat digunakan dalam berbagai bidang seperti sains, teknologi, industri dan lain-lain. Pada saat ini, pemodelan matematis belum digunakan secara luas, tetapi masih ada sebagian banyak orang melakukan eksperimen langsung terhadap suatu permasalahan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan adanya model matematis diharapkan bahwa suatu permasalahan dapat diselesaikan tanpa eksperimen secara langsung. Beberapa contoh model matematika antara lain model gelombang air dangkal, model arus lalu lintas dan model pengecoran logam.
Pengecoran logam adalah suatu proses pembuatan benda dengan menuangkan cairan logam ke dalam rongga cetakan. Proses tersebut digunakan untuk membentuk benda-benda yang rumit atau membentuk benda-benda yang diinginkan. Prinsip dasar pengecoran logam didasarkan pada logam cair menjadi logam padat yang didinginkan pada drum pendingin yang berputar (Zhu, et al, 2006).
Dalam bidang industri terdapat banyak masalah yang melibatkan perubahan fase dari padat ke cair maupun dari cair ke padat. Misalnya dalam industri pengecoran logam melibatkan perubahan fase dari cair ke padat. Hal tersebut menarik secara matematis, karena solusinya belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, penulis akan mengembangkan model matematis untuk memeriksa kelayakan pengecoran. Pada industri pengecoran logam, jika menggunakan metode konvensional dalam memproduksi lembaran logam dengan ketebalan tertentu, maka membutuhkan waktu yang lama dan biaya operasional yang mahal. Selain itu juga sulit menghasilkan lembaran logam yang sangat panjang.
Skripsi ini akan membahas mengenai model matematis untuk penentuan panjang genangan logam cair, yaitu jarak antara titik di mana logam cair berada dengan logam cair yang telah memadat, dengan tujuan agar logam cair tidak mengalir pada saat drum pendingin berputar. Dengan demikian, logam cair harus memadat sebelum bergerak terlalu jauh di sekitar drum. Pengecoran logam diilustrasikan dalam Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Ilustrasi pengecoran logam
Drum pendingin berputar dengan kecepatan 𝑉 dan panjang genangan 𝑙 dengan formula (Fulford dan Broadbrigde, 2002):
𝑙 = 𝑉𝑡ℎ
dimana 𝑡ℎ adalah waktu yang dibutuhkan untuk logam mengeras saat ketebalan ℎ.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut digunakan model matematis dengan menggunakan transformasi Boltzmann.
Model matematis pengecoran logam diperoleh dari persamaan panas, yaitu:
𝜕𝑢1
𝜕𝑡 = 𝛼1𝜕2𝑢1
𝜕𝑥2,
𝜕𝑢2
𝜕𝑡 = 𝛼2𝜕2𝑢2
𝜕𝑥2 dengan kondisi:
𝑢1(−∞, 𝑡) = 𝑢𝑑, 𝑢1(0, 𝑡) = 𝑢2(0, 𝑡),
−𝑘1𝜕𝑢1
𝜕𝑥 (0, 𝑡) = −𝑘2𝜕𝑢2
𝜕𝑥 (0, 𝑡), 𝑢2(𝑠(𝑡), 𝑡) = 𝑢𝑓
dengan 𝑢𝑓 adalah suhu pemadatan logam cair, 𝑢2 merupakan suhu logam padat serta 𝑢1 adalah suhu drum pendingin, 𝑢𝑑 adalah suhu inti drum, 𝑘1 dan 𝑘2 adalah konduktivitas drum dan logam padat, 𝛼1 dan 𝛼2 adalah konstanta serta 𝑠(𝑡) adalah posisi perpindahan dari cair ke padat. Model satu dimensi untuk proses pemadatan logam diilustrasikan dalam Gambar 1.2.
drum padat cair
𝑥
𝑢1(𝑥, 𝑡) 𝑢2(𝑥, 𝑡) 𝑢𝑓
𝑥 = 0 𝑥 = 𝑠(𝑡)
Gambar 1.2. Model satu dimensi untuk proses pemadatan
Menurut Jiji (2009), transformasi Boltzmann adalah metode yang memperkenalkan variabel similaritas dengan menggabungkan dua variabel bebas
dan mentransformasikan persamaan diferensial parsial ke persamaan diferensial biasa. Transformasi tersebut berbentuk (Fulford and Broadbrigde, 2002):
𝑢(𝑥, 𝑡) = 𝑓(𝜂) dimana 𝜂 = 𝑥
√𝛼𝑡
dengan 𝑓 adalah fungsi satu variabel dan 𝑥
√𝛼𝑡 adalah temperatur, 𝑥 adalah variabel ruang, 𝑡 adalah variabel waktu dan 𝛼 adalah konstanta.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah yang akan dibicarakan pada skripsi ini adalah:
1. Bagaimana menyusun transformasi Boltzmann?
2. Bagaimana menyelesaikan model matematis pada pengecoran logam dengan transformasi Boltzmann?
C. Batasan Masalah
Pembahasan skripsi ini dibatasi pada masalah satu dimensi dan penyelesaian model matematis pada pengecoran logam dengan menggunakan transformasi Boltzmann.
D. Tujuan penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Memahami transformasi Boltzmann
2. Menyusun model matematis dan penyelesaiannya dalam penentuan panjang genangan pada pengecoran logam.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah penulis akan memperoleh penyelesaian model matematika dengan transformasi Boltzmann.
Penyelesaian tersebut diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam bidang industri terutama pada industri pengecoran logam. Hal ini dapat membantu
perusahaan untuk meningkatkan efisiensi waktu dan mengurangi biaya operasional/
biaya produksi.
F. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode studi pustaka, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan model matematis pada pengecoran logam menggunakan transformasi Boltzmann, serta praktik simulasi dengan komputer menggunakan perangkat lunak MATLAB.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang B. Rumusan masalah C. Batasan masalah D. Tujuan penulisan E. Manfaat penulisan F. Metode penulisan G. Sistematika penulisan
BAB II PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN TOPIK TERKAIT A. Turunan
B. Integral
C. Pengertian diferensial D. Persamaan panas E. Kondisi Stefan
F. Transformasi Boltzmann G. Fungsi galat
H. Hukum Fourier I. Metode Newton J. Metode biseksi
BAB III MODEL UNTUK PENYELESAIAN PENGECORAN LOGAM A. Model matematis pada pengecoran logam
B. Penyelesaian model matematis pengecoran logam dengan transformasi Boltzmann
BAB IV DISKUSI HASIL PENYELESAIAN A. Diskusi hasil penyelesaian
B. Review fungsi galat BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
7 BAB II
PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN TOPIK TERKAIT
Dalam bab ini akan dibahas mengenai landasan teori dari skripsi ini.
Landasan teori yang digunakan adalah turunan, integral, persamaan diferensial, persamaan panas, kondisi Stefan, transformasi Boltzmann.
A. Turunan
Dalam subab ini akan dibahas mengenai turunan dengan menggunakan referensi dari buku karangan Stewart (1999).
Definisi 2.1
Turunan fungsi 𝑓 pada titik 𝑎, dinotasikan dengan 𝑓′(𝑎) yaitu 𝑓′(𝑎) = lim
ℎ→0
𝑓(𝑎 + ℎ) − 𝑓(𝑎) ℎ
jika nilai limitnya ada.
Contoh 2.1
Contoh ini diambil dari buku Stewart (1999).
Tentukan turunan dari 𝑓(𝑥) = 𝑥2− 8𝑥 + 9!
Penyelesaian:
𝑓′(𝑎) = lim
ℎ→0
𝑓(𝑎 + ℎ) − 𝑓(𝑎) ℎ
= lim
ℎ→0
𝑓[(𝑎 + ℎ)2− 8(𝑎 + ℎ) + 9] − [𝑎2− 8𝑎 + 9]
ℎ
= lim
ℎ→0
𝑎2+ 3𝑎ℎ + ℎ2 − 8𝑎 − 8ℎ + 9 − 𝑎2− 8𝑎 − 9 ℎ
= lim
ℎ→0
2𝑎ℎ + ℎ2 − 8ℎ ℎ
= lim
ℎ→0(2𝑎 + ℎ − 8)
= 2𝑎 − 8
Jadi, nilai turunan dari fungsi 𝑓(𝑥) = 𝑥2 − 8𝑥 + 9 di 𝑥 = 𝑎 adalah 2𝑎 − 8.
Definisi 2.2
Definisi turunan di atas dapat ditulis sebagai berikut (Stewart, 1999):
Jika ditulis 𝑥 = 𝑎 + ℎ, maka ℎ = 𝑥 − 𝑎 dan ℎ mendekati 0 jika dan hanya jika 𝑥 mendekati 𝑎. Jadi didapat
𝑓′(𝑎) = lim
𝑥→𝑎
𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎) 𝑥 − 𝑎
jika nilai limitnya ada.
Contoh 2.2
Contoh ini diambil dari buku Stewart (1999).
Gunakan definisi 2.2 untuk mencari 𝑓′(𝑎) jika 𝑓(𝑥) =2𝑥−1𝑥 . Penyelesaian:
𝑓′(𝑎) = lim
𝑥→𝑎
𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎) 𝑥 − 𝑎 = lim
𝑥→𝑎
( 𝑥
2𝑥 − 1) − ( 𝑎 2𝑎 − 1) 𝑥 − 𝑎
= lim
𝑥→𝑎[𝑥(2𝑎 − 1) − 𝑎(2𝑥 − 1) (2𝑥 − 1)(2𝑎 − 1) . 1
𝑥 − 𝑎] = lim
𝑥→𝑎[ −𝑥 + 𝑎
(2𝑥 − 1)(2𝑎 − 1). 1 𝑥 − 𝑎] = lim
𝑥→𝑎[ −1
(2𝑥 − 1)(2𝑎 − 1)] = −1
(2𝑎 − 1)(2𝑎 − 1) = −∞
Teorema 2.1
Jika 𝑓 terdiferensialkan di 𝑎, maka 𝑓 kontinyu di 𝑎 (Stewart, 1999).
Bukti:
Untuk membuktikan 𝑓 kontinyu di 𝑎 akan ditunjukkan bahwa lim
𝑥→𝑎𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑎). Hal tersebut dilakukan dengan menunjukan perbedaan 𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎) mendekati 0.
Diketahui 𝑓 terdiferensialkan di 𝑎, sehingga 𝑓′(𝑎) = lim
𝑥→𝑎
𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎) 𝑥 − 𝑎
ada (berdasarkan definisi 2.2). Selanjutnya, membagi dan mengalikan 𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎) dengan 𝑥 − 𝑎 (dengan 𝑥 ≠ 𝑎) sehingga diperoleh
𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎) = 𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎)
𝑥 − 𝑎 (𝑥 − 𝑎)
Kemudian, dengan menggunakan Hukum Perkalian dan definisi 2.2 dapat ditulis
𝑥→𝑎lim[𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎)] = lim
𝑥→𝑎
𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎)
𝑥 − 𝑎 (𝑥 − 𝑎) = lim
𝑥→𝑎
𝑓(𝑥)−𝑓(𝑎) 𝑥−𝑎 lim
𝑥→𝑎(𝑥 − 𝑎)
= 𝑓′(𝑎). 0
= 0
Bukti di atas dapat digunakan, dimulai dengan 𝑓(𝑥) dan tambahkan serta kurangi dengan 𝑓(𝑎):
𝑥→𝑎lim𝑓(𝑥) = lim
𝑥→𝑎[𝑓(𝑎) + (𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎))]
= lim
𝑥→𝑎𝑓(𝑎) + lim
𝑥→𝑎[𝑓(𝑥) − 𝑓(𝑎)]
= 𝑓(𝑎) + 0 = 𝑓(𝑎) Jadi, terbukti 𝑓 kontinyu di 𝑎.
Aturan rantai Teorema 2.2
Jika 𝑔 dan 𝑓 keduanya terdiferensial dan 𝐹 = 𝑓 𝜊 𝑔 adalah fungsi komposisi yang didefinisikan dengan 𝐹(𝑥) = 𝑓(𝑔(𝑥)), maka 𝐹 terdiferensialkan dan 𝐹′
adalah
𝐹′(𝑥) = 𝑓′(𝑔(𝑥))𝑔′(𝑥)
Jika 𝑦 = 𝑓(𝑢) dan 𝑢 = 𝑔(𝑥) keduanya fungsi terdiferensial, maka 𝑑𝑦
𝑑𝑥 =𝑑𝑦 𝑑𝑢.𝑑𝑢
𝑑𝑥. Bukti:
Misalkan 𝑢 = 𝑔(𝑥) terdiferensial di 𝑎 dan 𝑦 = 𝑓(𝑢) terdiferensial di 𝑏 = 𝑔(𝑎). Diberikan suatu fungsi terdiferensial 𝑓 yaitu
∆𝑦 = 𝑓′(𝑎)∆𝑥 + 𝜀∆𝑥 dimana 𝜀 → 0 dan ∆𝑥 → 0.
Jika ∆𝑥 adalah kenaikan di 𝑥 dan ∆𝑢 dan ∆𝑦 adalah kenaikan yang sesuai di 𝑢 dan 𝑦, maka dapat ditulis
∆𝑢 = 𝑔′(𝑎)∆𝑥 + 𝜀1∆𝑥 = [𝑔′(𝑎) + 𝜀1]∆𝑥 (2.1) dimana 𝜀1 → 0 dan ∆𝑥 → 0. Demikian pula
∆𝑦 = 𝑓′(𝑏)∆𝑢 + 𝜀2∆𝑢 = [𝑓′(𝑏) + 𝜀2]∆𝑢 (2.2) dimana 𝜀2 → 0 dan ∆𝑢 → 0.
Substitusi persamaan (2.1) ke persamaan (2.2), sehingga diperoleh
∆𝑦 = [𝑓′(𝑏) + 𝜀2][𝑔′(𝑎) + 𝜀1]∆𝑥 Jadi,
∆𝑦
∆𝑥 = [𝑓′(𝑏) + 𝜀2][𝑔′(𝑎) + 𝜀1]
Ketika ∆𝑥 → 0, persamaan (2.1) menunjukkan bahwa ∆𝑢 → 0. Jadi keduanya 𝜀1 → 0 dan 𝜀2 → 0 ketika ∆𝑥 → 0.
Oleh karena itu, 𝑑𝑦
𝑑𝑥 = lim
∆𝑥→0
∆𝑦
∆𝑥 = lim
∆𝑥→0[𝑓′(𝑏) + 𝜀2][𝑔′(𝑎) + 𝜀1]
= 𝑓′(𝑏)𝑔′(𝑎) = 𝑓′(𝑔(𝑎))𝑔′(𝑎) Terbukti.
Contoh 2.3
Tentukan 𝑑𝑦𝑑𝑥 jika 𝑦 = cos (𝑥3) Penyelesaian:
Misalkan 𝑢 = 𝑥3 dan 𝑦 = cos 𝑢. Dengan menggunakan Teorema 2.2 diperoleh 𝑑𝑦
𝑑𝑥 = 𝑑𝑦 𝑑𝑢.𝑑𝑢
𝑑𝑥 = 𝑑
𝑑𝑢[cos 𝑢]. 𝑑 𝑑𝑥[𝑥3] = (− sin 𝑢). (3𝑥2)
= (−sin (𝑥3) ). (3𝑥2) = −3𝑥2sin (𝑥3).
Contoh 2.4
Tentukan 𝑑𝑤𝑑𝑡 jika 𝑤 = tan 𝑥 dan 𝑥 = 4𝑡3 + 𝑡 Penyelesaian:
Pada contoh ini perhitungan aturan rantai berbentuk 𝑑𝑤
𝑑𝑡 = 𝑑𝑤 𝑑𝑥.𝑑𝑥
𝑑𝑡 = 𝑑
𝑑𝑥[𝑡𝑎𝑛 𝑥]. 𝑑
𝑑𝑡[4𝑡3 + 𝑡]
= (𝑠𝑒𝑐2𝑥). (12𝑡2+ 1)
= [𝑠𝑒𝑐2(4𝑡3+ 𝑡)]. (12𝑡2+ 1) = (12𝑡2+ 1)𝑠𝑒𝑐2(4𝑡3+ 𝑡).
B. Integral
Dalam subbab ini akan dibahas mengenai definisi dan contoh integral yang menggunakan referensi dari buku karangan Larson dan Bruce (2010), dan Anton, dkk (2012).
Definisi 2.3
Suatu fungsi 𝐹 disebut anti-turunan dari fungsi 𝑓 pada interval 𝐼 jika 𝐹′(𝑥) = 𝑓(𝑥) untuk setiap 𝑥 di 𝐼.
Contoh 2.5
Contoh ini diambil dari buku Larson dan Bruce (2010).
Carilah anti-turunan dari fungsi 𝑓(𝑥) = 3𝑥2. Penyelesaian:
Fungsi 𝐹(𝑥) = 𝑥3 − 5 memenuhi anti-turunan dari 𝑓(𝑥) = 3𝑥2. Pada kenyataannya,
𝐹(𝑥) = 𝑥3+ 𝐶 adalah anti-turuan dari 𝑓, untuk suatu konstanta 𝐶.
Teorema 2.3
Jika 𝐹 adalah anti-turunan dari 𝑓 pada sebuah interval 𝐼 maka 𝐺 adalah anti- turunan dari 𝑓 pada interval 𝐼 jika dan hanya jika 𝐺 berbentuk 𝐺(𝑥) = 𝐹(𝑥) + 𝐶, untuk setiap 𝑥 di 𝐼 dimana 𝐶 adalah konstanta.
Bukti:
Jika 𝐺(𝑥) = 𝐹(𝑥) + 𝐶, 𝐹′(𝑥) = 𝑓(𝑥), dan 𝐶 adalah konstanta, maka 𝐺′(𝑥) = 𝑑
𝑑𝑥[𝐹(𝑥) + 𝐶] = 𝑓(𝑥).
Asumsikan 𝐺 adalah anti-turunan dari 𝑓.
Didefinisikan suatu fungsi 𝐻 sedemikian sehingga 𝐻(𝑥) = 𝐺(𝑥) − 𝐹(𝑥).
Untuk dua titik 𝑎 dan 𝑏 (𝑎 < 𝑏) pada interval, 𝐻 adalah kontinu pada [𝑎, 𝑏] dan terdiferensialkan di (𝑎, 𝑏). Dengan menggunakan teorema nilai rata-rata didapat
𝐻′(𝑥) =𝐻(𝑏) − 𝐻(𝑎) 𝑏 − 𝑎
untuk beberapa 𝑐 di (𝑎, 𝑏). Namun, 𝐻′(𝑐) = 0, jadi 𝐻(𝑎) = 𝐻(𝑏). Karena 𝑎 dan 𝑏 adalah sebarang titik pada interval dan 𝐻 adalah suatu fungsi konstan 𝐶. Jadi 𝐺(𝑥) − 𝐹(𝑥) = 𝐶 sehingga 𝐺(𝑥) = 𝐹(𝑥) + 𝐶.
Terbukti.
Teorema 2.4
Andaikan 𝐹(𝑥) dan 𝐺(𝑥) adalah anti-turunan dari 𝑓(𝑥) dan 𝑔(𝑥), berturut- turut, dan 𝑐 adalah konstanta. Maka
i. ∫ 𝑐𝑓(𝑥)𝑑𝑥 = 𝑐𝐹(𝑥) + 𝐶
ii. ∫[𝑓(𝑥) + 𝑔(𝑥)]𝑑𝑥 = 𝐹(𝑥) + 𝐺(𝑥) + 𝐶 iii. ∫[𝑓(𝑥) − 𝑔(𝑥)]𝑑𝑥 = 𝐹(𝑥) − 𝐺(𝑥) + 𝐶
Bukti dapat dilihat di buku Anton (2012) yang berjudul Calculus.
C. Persamaan diferensial
Dalam subbab ini akan dibahas mengenai definisi dan contoh persamaan diferensial, persamaan diferensial biasa, persamaan diferensial parsial, tingkatan (orde) persamaan diferensial, dan persamaan diferensial linear/taklinear yang menggunakan referensi dari buku karangan William dan Richard (1986).
Definisi 2.4
Persamaan diferensial adalah sebuah persamaan yang memuat satu atau lebih turunan dari fungsi yang tidak diketahui (William dan Richard, 1986).
Contoh 2.6
Persamaan dibawah ini beberapa contoh dari persamaan diferensial (William dan Richard, 1986):
𝑑𝑦
𝑑𝑥+ 𝑥𝑦2 = 0 (2.3)
𝐿𝑑2𝑄
𝑑𝑡2 + 𝑅𝑑𝑄 𝑑𝑡 +1
𝐶𝑄 = 𝐸(𝑡) (2.4)
𝜕2𝑢
𝜕𝑥2 +𝜕2𝑢
𝜕𝑦2 = 0 (2.5)
𝛼2𝜕2𝑢
𝜕𝑥2 = 𝜕𝑢
𝜕𝑡 (2.6)
Definisi 2.5
Persamaan diferensial biasa adalah suatu persamaan diferensial yang melibatkan turunan biasa dimana fungsi yang tidak diketahui bergantung pada satu variabel bebas.
Contoh 2.7
Contoh dari persamaan diferensial biasa ditunjukkan pada persamaan (2.3) dan (2.4). Persamaan (2.3) adalah persamaan diferensial biasa dengan variabel 𝑥 adalah suatu variabel bebas dan 𝑦 adalah variabel tak bebas. Pada persamaan (2.4)
adalah persamaan diferensial biasa dengan variabel 𝑡 adalah variabel bebas dan 𝑄 adalah variabel tak bebas
Definisi 2.6
Persamaan diferensial parsial adalah suatu persamaan diferensial yang melibatkan turunan parsial dimana fungsi yang tidak diketahui bergantung pada satu atau lebih variabel bebas.
Contoh 2.8
Contoh dari persamaan diferensial parsial ditunjukkan pada persamaan (2.5) dan (2.6). Persamaan (2.5) adalah persamaan diferensial parsial dengan variabel 𝑥 dan 𝑦 adalah suatu variabel bebas dan 𝑢 adalah variabel tak bebas. Persamaan (2.6) adalah persamaan diferensial biasa dengan variabel 𝑥 dan 𝑡 adalah variabel bebas dan 𝑢 adalah variabel tak bebas.
Definisi 2.7
Orde dari persamaan diferensial adalah tingkat tertinggi dari turunan yang muncul pada persamaan diferensial. Persamaan umum dari orde 𝑛 berbentuk
𝐹(𝑥, 𝑦, 𝑦′, . . . , 𝑦(𝑛)) = 0 (2.7) disebut persamaan diferensial biasa orde ke-𝑛.
Contoh 2.9
Persamaan (2.3) adalah contoh persamaan diferensial biasa orde satu dan persamaan (2.4) adalah contoh persamaan diferensial orde dua. Persamaan (2.5) dan (2.6) adalah contoh persamaan diferensial parsial orde dua.
Definisi 2.8
Persamaan (2.7) disebut linear jika 𝐹 adalah fungsi linear dari variabel 𝑦, 𝑦′, … , 𝑦𝑛. Bentuk umum persamaan diferensial biasa linear dari orde 𝑛 adalah
𝑎0(𝑥)𝑦(𝑛)+ 𝑎1(𝑥)𝑦(𝑛−1)+ ⋯ + 𝑎𝑛(𝑥)𝑦 = 𝑔(𝑥) (2.8) dengan 𝑎0 tidak sama dengan 0.
Contoh 2.10
Contoh persamaan diferensial biasa linear (William dan Richard, 1986).
𝑑2𝑦
𝑑𝑥2 + (𝑥 + 𝑦) = 𝑥 (2.9)
𝑦′′+ 𝑦 = 0 (2.10)
Persamaan (2.9) dan (2.10) adalah persamaan diferensial biasa linear orde dua. Dalam persamaan (2.9) dan (2.10) variabel 𝑦 adalah variabel tak bebas.
Definisi 2.9
Suatu persamaan diferensial biasa yang tidak berbentuk (2.8) disebut persamaan diferensial tak linear (William dan Richard, 1986).
Contoh 2.11
Contoh persamaan diferensial biasa tak linear 𝑑3𝑦
𝑑𝑥3+ 𝑦𝑑𝑦
𝑑𝑥+ (𝑐𝑜𝑠2𝑥)𝑦 = 𝑥3 (2.11) 𝑦′′′+ 2𝑒𝑥𝑦′′+ 𝑦𝑦′ = 𝑥4 (2.12) Persamaan (2.11) adalah persamaan diferensial biasa tak linear karena terdapat bentuk 𝑦𝑦′. Persamaan (2.12) bukan persamaan diferensial biasa linear karena terdapat bentuk 𝑦𝑑𝑦𝑑𝑥 yang melibatkan perkalian terhadap variabel tak bebas dengan turunannya.
D. Persamaan Panas
Pada subab ini akan dibahas mengenai persamaan panas dengan menggunakan referensi dari buku karangan O’Neil (2014) dan Santos (2003).
Misalkan 𝑐 adalah panas spesifik dari suatu bahan batang. Jumlah energi panas harus disuplai ke satuan massa dari material untuk menaikan suhunya satu derajat.
𝑥 + ∆𝑥 𝐹(𝑥, 𝑡)
𝑥
Gambar 2.1. Ilustrasi persamaan panas
Segmen dari batang antara 𝑥 dan 𝑥 + ∆𝑥 mempunyai massa 𝜌𝐴∆𝑥, dan akan diambil pendekatannya 𝜌𝑐𝐴𝑢(𝑥, 𝑡)∆𝑥 satuan dari energi panas untuk perubahan suhu segmen dari nol sampai 𝑢(𝑥, 𝑡), suhu tersebut dalam waktu 𝑡. Hal ini diilustrasikan dalam Gambar 2.1.
Total energi panas pada segmen dalam waktu 𝑡 > 0 (O’Neil, 2014) 𝐸(𝑥, ∆𝑥, 𝑡) = ∫𝑥𝑥+∆𝑥𝜌𝑐𝐴𝑢(𝜉, 𝑡)𝑑𝜉.
Jumlah energi panas dalam segman pada waktu 𝑡 dapat meningkat dalam dua cara. Pertama, energi panas dalam segmen dapat mengalir ke ujung-ujungnya.
Kedua, adanya sumber atau hilangnya energi panas dalam segmen tersebut.
Kejadian itu disebut suatu reaksi kimia atau bahan bersifat radioaktif.
Tingkat perubahan suhu dalam segmen bergantung terhadap waktu (O’Neil, 2014)
𝜕𝐸
𝜕𝑡 = ∫ 𝜌𝑐𝐴𝜕𝑢
𝜕𝑡(𝜉, 𝑡)𝑑𝜉.
𝑥+∆𝑥
𝑥
Energi panas yang mengalir dari daerah panas ke daerah dingin dan jumlah energi panasnya sebanding dengan perbedaan suhu disebut Hukum pendingin Newton. Formulanya berbentuk (Wiley dan Sons, 2014):
𝐹(𝑥, 𝑡) = −𝐾𝜕𝑢
𝜕𝑥(𝑥, 𝑡)
dimana 𝐾 adalah konduktivitas panas. Tanda negatif menunjukan bahwa energi mengalir dari yang lebih hangat ke segmen yang lebih dingin.
Persamaan panas satu dimensi berbentuk (O’Neil, 2014):
𝑢𝑡 = 𝑘𝑢𝑥𝑥 (2.13)
dimana 𝑘 = 𝐾/𝑐𝜌 adalah difusi dari bahan.
𝐹(𝑥 + ∆𝑥, 𝑡)
𝑥
Jika persamaan (2.13) ditambah dengan suatu fungsi 𝑄(𝑥, 𝑡), maka bentuk persamaan panasnya adalah
𝑢𝑡 = 𝑘𝑢𝑥𝑥 + Q(x, t). (2.14) Persamaan (2.13) disebut persamaan homogen dan persamaan (2.14) adalah persamaan non homogen. Persamaan (2.13) dan (2.14) adalah persamaan diferensial orde dua karena tingkat tertinggi dari persamaan itu adalah dua.
Persamaan (2.13) dan (2.14) adalah persamaan diferensial linear.
Kondisi awal pada persamaan panas berbentuk (Wiley dan Sons, 2014) 𝑢(𝑥, 0) = 𝑓(𝑥), 0 < 𝑥 < 𝐿
dimana 𝑓(𝑥) adalah suatu fungsi.
Kondisi batas pada persamaan panas berbentuk (Wiley dan Sons, 2014) 𝑢(𝑥, 0) = 𝛼(𝑡), 𝑢(𝐿, 𝑡) = 𝛽(𝑡), 0 < 𝑥 < 𝐿
dimana 𝛼(𝑡) dan 𝛽(𝑡) adalah fungsi.
E. Kondisi Stefan
Pada subab ini akan dibahas mengenai kondisi Stefan menurut (Jiji, 2003).
Kondisi Stefan adalah suatu proses pembekuan pada daerah cairan semi tak terbatas. Cairan awalnya adalah pada suhu fusi 𝑇𝑓. Pada permukaan 𝑥 = 0 suhunya 𝑇0 < 𝑇𝑓. Proses pemadatan dimulai secara langsung pada 𝑥 = 0. Karena tidak ada panas yang ditransfer ke fase cair maka suhunya tetap, sehingga
𝑇𝐿(𝑥, 𝑡) = 𝑇𝑓 (2.15)
Persamaan umum fase padat berbentuk (Jiji, 2003)
𝜕2𝑇𝑠
𝜕𝑥2 = 1 𝛼𝑠
𝜕𝑇𝑠
𝜕𝑡 (2.16) dengan kondisi batas:
(1) 𝑇𝑠(0, 𝑡) = 𝑇0 (2) 𝑇𝑠(𝑥𝑖) = 𝑇𝑓
(3) 𝑘𝑠𝜕𝑇𝑠𝜕𝑥(𝑥,𝑡)= 𝜌𝑠𝜆𝑑𝑥𝑑𝑡1
kondisi awalnya:
(4) 𝑥𝑖(0) = 0
Persamaan (2.16) dapat diselesaikan dengan menggunakan transformasi similaritas. Andaikan dua variabel bebas 𝑥 dan 𝑡 dapat dikombinasi dengan variabel tunggal 𝜂 = 𝜂(𝑥, 𝑡). Konduksi sementara dalam variabel semi tak terbatas berbentuk (Jiji, 2003) :
𝜂 = 𝑥
√4𝛼𝑠𝑡 (2.17) Dari persamaan (2.16) dapat dinyatakan sebagai
𝑇𝑠 = 𝑇𝑠(𝜂) (2.18)
Menggunakan persamaan (2.17) dan (2.18), persamaan (2.16) ditransformasikan menjadi
𝑑2𝑇𝑠
𝑑𝜂2 + 2𝜂𝑑𝑇𝑠 𝑑𝜂 = 0
F. Transformasi Boltzmann
Pada subab ini akan dibahas mengenai Transformasi Boltzmann menurut Jiji (2003) dan Fulford dan Broadbrigde (2002).
Tranformasi Boltzmann adalah metode yang memperkenalkan variabel similaritas dengan menggabungkan dua variabel bebas dan mengubah persamaan diferensial parsial ke persamaan diferensial biasa (Jiji, 2003). Namun, ketika menerapkan metode ini untuk variabel konduktivitas termal persamaan diferensial parsial nonlinear ditransformasikan menjadi persamaan diferensial biasa nonlinear.
Transformasi Boltzmann merupakan pendekatan yang didasarkan pada metode yang terdapat pada penyelesaian konduksi sementara di daerah semi tak terbatas dan dalam masalah perubahan fase.
Transformasi Boltzmann berbentuk (Fulford dan Broadbrigde, 2002):
𝑢(𝑥, 𝑡) = 𝑓(𝜂) dimana 𝜂 = 𝑥
√𝛼𝑡 ,
𝑇0 0
dengan 𝑓 adalah fungsi satu variabel dan 𝑥
√𝛼𝑡 adalah temperatur, 𝑥 adalah variabel ruang, 𝑡 adalah variabel waktu dan 𝛼 adalah konstanta.
Contoh: Konduksi sementara di daerah semi tak terbatas dengan konduktivitas variabel.
Diketahui daerah semi tak terbatas dengan suhu awal seragam 𝑇𝑖. Permukaan di 𝑥 = 0 tiba-tiba dipertahankan pada suhu konstan 𝑇0 dan konduktivitas termalnya bergantung pada suhu. Gunakan transformasi Boltzmann untuk menentukan distribusi temperatur transien.
Penyelesaian:
a. Pengamatan:
i. Karena daerah tersebut adalah daerah semi tak terbatas dan awal suhunya seragam, maka masalah tersebut dapat diselesaikan dengan transformasi .
ii. Karena konduktivitas termalnya bergantung pada suhu maka masalah tersebut bersifat nonlinear,
b. Titik pusat dan koordinat
Gambar 2.2 menunjukkan titik pusat dan sumbu koordinat.
Gambar 2.2. Ilustrasi koordinat terkait suhu c. Formula
i. Asumsi: konduksi transien satu dimensi dan suhu awalnya seragam.
ii. Persamaan umum:
𝜕
𝜕𝑥(𝑘𝜕𝑇
𝜕𝑥) = 𝜌𝑐𝑝𝜕𝑇
𝜕𝑡. (2.19)
iii. Kondisi awal dan kondisi batas:
𝑘(𝑇) 𝑥
𝑇𝑖
∞
1. 𝑇(0, 𝑡) = 𝑇0
2. 𝑇(∞, 𝑡) = 𝑇𝑖 (2.20) 3. 𝑇(𝑥, 0) = 𝑇𝑖
d. Penyelesaian
Mengikuti metode yang digunakan untuk menyelesaikan konduksi sementara pada daerah semi tak terbatas dengan sifat konstan maka diperkenalkan variabel 𝜂(𝑥, 𝑡) yang didefinisikan
𝜂(𝑥, 𝑡) = 𝑥
√𝑡. (2.21)
Kemudian, terapkan persamaan (2.17), sehingga diperoleh:
𝑑
𝑑𝜂(𝑘𝑑𝑇
𝑑𝜂) +𝜌𝑐𝑝 2 𝜂𝑑𝑇
𝑑𝜂 = 0. (2.22)
dengan kondisi 1. 𝑇(0) = 𝑇0 2. 𝑇(∞) = 𝑇𝑖 3. 𝑇(∞) = 𝑇𝑖 Kesimpulan:
1. Masalah tersebut berhasil ditransformasikkan ke persamaan diferensial biasa dengan mengubah variabel 𝑥 dan 𝑡 menjadi 𝜂.
2. Persamaan (2.21) adalah orde kedua yang memenuhi dua kondisi batas.
Karena dua dari tiga kondisi menjadi identik dalam masalah tranformasi, persamaan (2.21) memiliki jumlah yang diperlukan kondisi.
3. Persamaan (2.22) adalah persamaan non linear karena 𝑘, 𝜌 dan 𝑐𝑝 bergantung pada suhu.
4. Untuk kasus khusus dari konstanta 𝜌 dsan 𝑐𝑝 pada persamaan (2.21) dapat diselesaikan dengan pendekatan berturut-turut.
G. Fungsi galat
Pada subab ini akan dibahas mengenai fungsi galat menurut Jiji (2003).
Dalam pemecahan masalah konduksi semi tak terbatas dengan menggunakan transformasi Boltzmann terdapat tiga kondisi (2.20). Dengan mendefinisikan variabel suhu tidak berdimensi 𝜃 adalah
𝜃 = 𝑇 − 𝑇𝑖 𝑇0− 𝑇𝑖, sehingga kondisi awal dan kondisi batasnya menjadi
1. 𝜃(0, 𝑡) = 1 2. 𝜃(∞, 𝑡) = 0 3. 𝜃(𝑥, 0) = 0
Diberikan persamaan panas untuk konduksi satu dimensi transien adalah
𝜕2𝑇
𝜕𝑥2 = 1 𝛼
𝜕𝑇
𝜕𝑡. (2.23)
sehingga kondisi awal dan kondisi batasnya menjadi 1. 𝜃(0, 𝑡) = 1
2. 𝜃(∞, 𝑡) = 0 3. 𝜃(𝑥, 0) = 0
Asumsikan bahwa dua variabel bebas 𝑥 dan 𝑡 dapat digabung menjadi satu variabel 𝜂 = 𝜂(𝑥, 𝑡), sehingga dapat ditulis
𝜃(𝑥, 𝑡) = 𝜃(𝜂). (2.24) dimana,
𝜂 = 𝑥
√4𝛼𝑡. (2.25) Dengan menggunakan persamaan (2.25) untuk membentuk turunan dari persamaan (2.23), sehingga diperoleh
𝜕𝜃
𝜕𝑥 =𝑑𝜃 𝑑𝜂
𝜕𝜂
𝜕𝑥= 𝑑𝜃 𝑑𝜂
1
√4𝛼𝑡,
𝜕2𝜃
𝜕𝑥2 = 𝑑 𝑑𝜂[𝑑𝜃
𝑑𝜂 1
√4𝛼𝑡]𝜕𝜂
𝜕𝑥= 1 4𝛼𝑡
𝑑2𝜃 𝑑𝜂2,
𝜕𝜃
𝜕𝑡 =𝑑𝜃 𝑑𝜂
𝜕𝜂
𝜕𝑡 = 𝑑𝜃
𝑑𝜂[− 𝑥
2√4𝛼𝑡−32]
= − 𝑥
2√4𝛼𝑡 1 𝑡
𝑑𝜃
𝑑𝜂= − 𝜂 2𝑡
𝑑𝜃 𝑑𝜂.
Kemudian, substitusi ke persamaan (2.23), sehingga 𝑑2𝜃
𝑑𝜂2 + 2𝜂𝑑𝜃
𝑑𝜂 = 0. (2.26)
Tiga kondisi akan diubah kedalam bentuk 𝜂. Dari persamaan (2.25), diperoleh 1. 𝑥 = 0, 𝑡 = 𝑡 menjadi 𝜂 = 0
2. 𝑥 = ∞, 𝑡 = 𝑡 menjadi 𝜂 = ∞ 3. 𝑥 = 𝑥, 𝑡 = 0 menjadi 𝜂 = ∞
Jadi kondisi awal dan kondisi batasnya berubah menjadi 1. 𝜃(0, 𝑡) = 𝜃(0) = 1
2. 𝜃(∞) = 0 3. 𝜃(∞) = 0
Penyelesaian untuk persamaan (2.26) menggunakan variabel terpisah yaitu 𝑑(𝑑𝜃 𝑑𝜂⁄ )
𝑑𝜃/𝑑𝜂 = −2𝜂𝑑𝜂 Kemudian diintegralkan, menjadi
𝑙𝑛𝑑𝜃
𝑑𝜂 = −𝜂2+ ln 𝐴, atau
𝑑𝜃 = 𝐴𝑒−𝜂2𝑑𝜂,
dimana 𝐴 adalah konstanta, integralkan dengan batas atas 𝜂 dan batas bawah 0
∫ 𝑑𝜃 = 𝐴 ∫ 𝑒−𝜂2
𝜂 0 𝜃
0
𝑑𝜂 atau
𝜃 − 𝜃(0) = 𝐴 ∫ 𝑒−𝜂2
𝜂 0
𝑑𝜂.
Menggunakan kondisi batas (1) diperoleh 𝜃 = 1 + 𝐴√𝜋
2 [2
𝜋∫ 𝑒𝜂 −𝜂2
0
𝑑𝜂] (2.27)
Pada persamaan (2.27) formula yg ada didalam kurung siku disebut dengan fungsi galat, sehingga didefinisikan sebagai berikut
erf 𝜂 = 𝜃 − 𝜃(0) = 𝐴 ∫ 𝑒0𝜂 −𝜂2𝑑𝜂.
Contoh nilai dari fungsi galat diberikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Nilai erf 𝜂
𝜼 𝐞𝐫𝐟 𝜼
0 0
0.1 0.11246292
0.2 0.22270259
0.3 0.32862676
0.4 0.42839236
0.5 0.52049988
0.6 0.60385609
0.7 0.67780119
0.8 0.74210096
0.9 0.79690821
1 0.84270079
Catatan: nilai erf ∞ = 1.
H. Hukum Fourier
Pada subab ini akan dibahas mengenai Hukum Fourier menurut Jiji (2003).
Misalkan jika salah satu ujung batang logam dipanaskan maka suhu diujung batang yang lain akan naik. Hal tersebut dikarenakan adanya aktivitas molekuler.
Molekul pada ujung panas saling bertukar energi kinetik dan getaran dengan lapisan tetangga melalui gerak acak dan tabrakan. Gradien suhu atau kemiringan ditetapkan dengan energi yang diangkut ke arah penurunan suhu. Mode transfer energi ini disebut konduksi.
Misalkan suhu dari suatu dinding yang salah satu permukaan (𝑥 = 0) adalah 𝑇𝑠𝑖 dan suhu dari permukaan lainnya (𝑥 = 𝐿) adalah 𝑇𝑠𝑜. Ketebalannya adalah 𝐿 dan luas daerah permukaan 𝐴. Empat permukaan yang tersisa terisolasi dengan baik sehingga panas ditransfer dalam arah 𝑥 saja. Asumsikan panasnya stabil dan dibiarkan menjadi laju perpindahan panas dalam arah 𝑥. Hal tersebut menunjukkan
bahwa 𝑞𝑥 berbanding lurus dengan 𝐴 dan (𝑇𝑠𝑖− 𝑇𝑠𝑜) tetapi berbanding terbalik dengan 𝐿, sehingga diperoleh persamaan
𝑞𝑥𝐴(𝑇𝑠𝑖− 𝑇𝑠𝑜)
𝐿 (2.28)
Memperkenalkan suatu konstanta proporsionalitas 𝑘, maka diperoleh 𝑞𝑥 = 𝑘𝐴(𝑇𝑠𝑖− 𝑇𝑠𝑜)
𝐿 (2.29)
dimana 𝑘 adalah sifat dari material/bahan (konduktivitas termal) dan 𝑞𝑥 adalah laju perpindahan panas dalam arah 𝑥.
Persamaan (2.29) berlaku untuk kondisi stabil, konstanta 𝑘 dan konduksi satu dimensi. Menerapkan persamaan (2.29) ke elemen 𝑑𝑥 dan mengubah 𝑇𝑠𝑖 menjadi 𝑇(𝑥), 𝑇𝑠𝑜 menjadi 𝑇(𝑥 + 𝑑𝑥) dan 𝐿 menjadi 𝑑𝑥, sehingga diperoleh
𝑞𝑥 = 𝑘𝐴𝑇(𝑥) − 𝑇(𝑥 + 𝑑𝑥) 𝑑𝑥
= −𝑘𝐴𝑇(𝑥 + 𝑑𝑥) − 𝑇(𝑥)
𝑑𝑥 .
Karena 𝑇(𝑥 + 𝑑𝑥) − 𝑇(𝑥) = 𝑑𝑇, sehingga persamaannya menjadi 𝑞𝑥 = 𝑘𝐴𝑑𝑇
𝐿 . (2.30)
Dari persamaan (2.30) diperkenalkan aliran panas 𝑞𝑥, yang didefinisikan sebagai laju aliran panas per satuan luas permukaan normal ke 𝑥, dengan demikian
𝑞𝑥′′ =𝑞𝑥
𝐴. (2.31)
Dari persamaan (2.31) dapat didefinisikan hukum Fourier. Hukum Fourier (Hukum konduksi panas) menyatakan bahwa tingkat perpindahan panas yang melalui sebuah material/ bahan adalah berbanding lurus dengan gradien negatif pada suhu dan luas, pada sudut siku pada gradien tersebut, melalui dimana panas mengalir.
Rumus Hukum Fourier (Jiji,2003) adalah 𝑞𝑥 = −𝑘𝜕𝑇
𝜕𝑥
dimana tanda negatif menunjukan bahwa gradien negatif dan 𝑘 adalah konduktivitas panas dan 𝑇 adalah suhu permukaan bahan serta 𝑥 adalah arah perpindahan panas.
I. Metode Newton
Pada subab ini akan dibahas mengenai metode Newton menurut Burden (2010).
Metode Newton adalah salah satu metode yang paling kuat dan terkenal pada metode numerik dalam memecahkan masalah pencarian akar. Misalkan suatu fungsi 𝑓𝜖𝐶2[𝑎, 𝑏]. Andaikan 𝑝0[𝑎, 𝑏] suatu pendekatan untuk 𝑝 sedemikian sehingga 𝑓′(𝑝0) ≠ 0 dan |𝑝 − 𝑝0| kecil. Pertimbangkan dengan menggunakan deret Taylor polynomial pertama untuk 𝑓(𝑥) diperluas sekitar 𝑝0 dan dievaluasi di 𝑥 = 𝑝.
𝑓(𝑝) = 𝑓(𝑝0) + (𝑝 − 𝑝0)𝑓′(𝑝0) +(𝑝 − 𝑝0)2
2 𝑓′′(𝜉(𝑝)),
dimana 𝜉(𝑝) berada diantara 𝑝 dan 𝑝0. Karena 𝑓(𝑝) = 0, sehingga persamaannya menjadi
0 = 𝑓(𝑝0) + (𝑝 − 𝑝0)𝑓′(𝑝0) +(𝑝 − 𝑝0)2
2 𝑓′′(𝜉(𝑝)).
Metode Newton diturunkan dengan menggunakan asumsi bahwa karena
|𝑝 − 𝑝0| kecil, sehingga (𝑝 − 𝑝0) sangat kecil, jadi 0 ≈ 𝑓(𝑝0) = (𝑝 − 𝑝0)𝑓′(𝑝0).
Sehingga diperoleh persamaan
𝑝 ≈ 𝑝0− 𝑓(𝑝0)
𝑓′(𝑝0)≡ 𝑝1.
Selanjutnya, menetapkan tahapan untuk metode Newton yang dimulai dengan perkiraan awal dan menghasilkan urutan {𝑝𝑛}𝑛=0∞ , sehingga
𝑝𝑛 = 𝑝𝑛−1−𝑓′(𝑝𝑓(𝑝𝑛−1)
𝑛−1), for 𝑛 ≥ 1.
Perkiraan metode Newton yang diperoleh dengan menggunakan garis singgung diilustrasikan pada Gambar 2.3. Dimulai dengan pendekatan awal 𝑝0, 𝑝1 adalah titik potong antara garis tangen dengan fungsi 𝑓 pada titik (𝑝0, 𝑓(𝑝0)).
Pendekatan 𝑝2 adalah titik potong antara garis tangen dengan fungsi 𝑓 pada titik (𝑝1, 𝑓(𝑝1)).
𝑝
Gambar 2.3. Ilustrasi pendekatan metode Newton dengan garis singgung.
Contoh 2.11.
Tentukkan akar-akar pendekatan dari fungsi 𝑓(𝑥) = 𝑐𝑜𝑥 𝑥 − 𝑥 dengan menggunakan metode Newton.
Penyelesaian:
Dengan menggunakan metode Newton, pertama dicara turunan pertama dari fungsi 𝑓 = 𝑐𝑜𝑥 𝑥 − 𝑥 diperoleh
𝑓′(𝑥) = − sin 𝑥 − 1, pendekatan awalnya dimulai dengan 𝑝0 = 𝜋/4, sehingga
𝑝𝑛 = 𝑝𝑛−1− 𝑓(𝑝𝑛−1) 𝑓′(𝑝𝑛−1)
= 𝑝𝑛−1−cos 𝑝𝑛−1− 𝑝𝑛−1
− sin 𝑝𝑛−1− 1 . Dengan meggunakan program Excel untuk 𝑛 ≥ 1, diperoleh
𝑥 𝑦
𝑝2
(𝑝1, 𝑓(𝑝1)) Slope 𝑓′(𝑝1)
(𝑝0. 𝑓(𝑝0)) 𝑝0
𝑝1
𝑦 = 𝑓(𝑥)
Slope 𝑓′(𝑝0)
Tabel 2.2. Hasil akar pendekatan dari fungsi 𝑓(𝑥) = cos 𝑥 − 𝑥.
𝒏 𝒑𝒏
1 0.739536134
2 0.739085178
3 0.739085133
4 0.739085133
Dari Tabel 2 diatas diperoleh pendekatan saat 𝑛 = 3 dengan akar pendekatannya 0.739085133.
J. Metode biseksi
Pada subab ini akan dibahas mengenai metode biseksi menurut Burden (2010).
Metode biseksi adalah algoritma pencarian akar dari sebuah fungsi 𝑓: ℝ → ℝ pada interval [𝑎, 𝑏]. Metode ini berlaku jika ingin memecahkan persamaan 𝑓(𝑝) = 0 dengan 𝑓(𝑝) adalah fungsi kontinu. Teorema nilai tengah menyiratkan bahwa 𝑝 berada pada interval [𝑎, 𝑏] dengan 𝑓(𝑝) = 0. Langkah-langkah metode biseksi sebagai berikut:
Misalkan 𝑎 = 𝑎1 dan 𝑏 = 𝑏1, 𝑝1 adalah titik tengah dari interval [𝑎, 𝑏]
𝑝1 = 𝑎1+𝑏1− 𝑎1
2 = 𝑎1+ 𝑏1 2 . 1. Jika 𝑓(𝑝1) = 0, maka 𝑝 = 𝑝1 berarti iterasi selesai.
2. Jika 𝑓(𝑝1) ≠ 0, maka 𝑓(𝑝1) mempunyai tanda yang sama dengan keduanya 𝑓(𝑎1) atau 𝑓(𝑏1).
a. Jika 𝑓(𝑝1) dan 𝑓(𝑎1) mempunyai tanda kurang dari maka 𝑝 ∈ (𝑝1, 𝑏1).
Sehingga didapat interval yang baru yaitu 𝑎2 = 𝑝1 dan 𝑏2 = 𝑏1. b. Jika 𝑓(𝑝1) dan 𝑓(𝑎1) mempunyai tanda lebih dari maka 𝑝 ∈ (𝑎1, 𝑝1).
Sehingga didapat interval yang baru yaitu 𝑎2 = 𝑎1 dan 𝑏2 = 𝑝1.
𝑝
Berdasarkan interval baru yang diperoleh dari hasil perhitungan , proses di atas diulangi sampai menemukan pembuat minimum dari fungsi 𝑓(𝑝). Pendekatan dengan metode biseksi diilustrasikan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Ilustrasi pendekatan metode biseksi. (Sumber: Burden, 2010) Contoh 2.12.
Tentukan akar-akar dari fungsi 𝑓(𝑥) = 𝑥3 + 4𝑥2− 10 pada interval [1,2]
dengan menggunakan metode Biseksi dengan tingkat keakuratan 10−4. Penyelesaian:
Iterasi pertama dari metode biseksi adalah menentukan titik tengah dari interval [1,2], diperoleh
𝑝1 =1 + 2
2 = 1.5, 𝑏3 𝑝3
𝑎1 𝑏 = 𝑏1
𝑎3
𝑏2 𝑝2
𝑎1 𝑏 = 𝑏1
𝑎2
𝑏1
𝑏1 𝑝1
𝑎1 𝑏 = 𝑏1
𝑎1
𝑏 = 𝑏1
𝑥 𝑏 = 𝑏1
𝑝1 𝑝3 𝑝2 𝑎 = 𝑎1 𝑓(𝑝2)
𝑓(𝑝1)
𝑦 = 𝑓(𝑥) 𝑦
𝑓(𝑏)
𝑓(𝑎)
sehingga 𝑓(1,5) = 1.53+ 4(1.5)2− 10 = 2.375 > 0. Kemudian didapat interval baru [1,1.5] yang digunakan untuk iterasi kedua.
𝑝2 =1 + 1.5
2 = 1.25,
Sehingga 𝑓(1,25) = 1.253+ 4(1.25)2− 10 = −1.796875 < 0. Kemudian didapat interval baru [1.25,1.5] yang digunakan untuk iterasi ketiga.
𝑝3 = 1.25 + 1.5
2 = 1.375
sehingga 𝑓(1,375) = 1.3753 + 4(1.375)2− 10 = 0.16211 > 0. Kemudian didapat interval baru yang akan digunakan untuk iterasi selanjutnya sampai mendapatkan tingkat keakuratan 10−4. Untuk iterasi selanjutnya akan di hitung menggunakan bantuan program Excel.
Tabel 2.3. Hasil akar pendekatan dari fungsi 𝑓(𝑥) = 𝑥3+ 4𝑥2− 10.
𝒏 𝒂𝒏 𝒃𝒏 𝒑𝒏 𝒇(𝒑𝒏)
1 1 2 1.5 2.375
2 1 1.5 1.25 -1.796875
3 1.25 1.5 1.375 0.162109375
4 1.25 1.375 1.3125 -0.848388672
5 1.3125 1.375 1.34375 -0.350982666
6 1.34375 1.375 1.359375 -0.096408844
7 1.359375 1.375 1.3671875 0.032355785
8 1.359375 1.3671875 1.36328125 -0.032149971 9 1.36328125 1.3671875 1.365234375 7.20248E-05 10 1.36328125 1.365234375 1.364257813 -0.016046691 11 1.364257813 1.365234375 1.364746094 -0.007989263 12 1.364746094 1.365234375 1.364990234 -0.003959102
13 1.364990234 1.365234375 1.365112305 -0.001943659
Kesimpulan jadi akar pendekatan untuk fungsi 𝑓 = 𝑥3 + 4𝑥2 − 10 pada saat iterasi ke 19 yang mempunyai nilai 𝑝 = 1.365234375 karena nilai 𝑓(𝑝9) sudah memenuhi keakuratan 10−4.
31 BAB III
MODEL UNTUK PENYELESAIAN PENGECORAN LOGAM
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai proses pengecoran logam dan metode transformasi Boltzmann. Metode tersebut digunakan untuk menyelesaikan model pada pengecoran logam.
A. Model matematis pada pengecoran logam
Proses pengecoran logam adalah menuangkan logam cair ke drum pendingin berputar. Proses tersebut akan digunakan untuk membuat lembaran logam dengan ketebalan 1mm sampai 10mm dan drum berputar dengan kecepatan 1m/s. Pengecoran logam diilustrasikan dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Ilustrasi pengecoran logam
Panjang genangan logam cair yaitu jarak antara titik di mana logam cair berada dengan logam cair yang telah memadat, dengan tujuan agar logam cair tidak mengalir pada saat drum pendingin berputar. Dengan demikian, logam cair harus memadat sebelum bergerak terlalu jauh di sekitar drum.
Untuk menentukan panjang genangan dilakukan dengan merumuskan model matematikanya. Drum berputar dengan kecepatan 𝑉, panjang genangan 𝑙 dengan formula
𝑙 = 𝑉𝑡ℎ (3.1) dimana 𝑡ℎ adalah waktu yang dibutuhkan untuk logam mengeras dengan ketebalan ℎ dari lembaran logam. Untuk menentukan waktu 𝑡ℎ dapat dilakukan dengan memodelkan perpindahan panas dan pemadatan logam cair dengan pendekatan satu dimensi. Model matematis untuk perpindahan panas dan proses pemadatan logam diilustrasikan dalam Gambar 3.2.
drum padat cair
𝑥
𝑢1(𝑥, 𝑡) 𝑢2(𝑥, 𝑡) 𝑢𝑓
𝑥 = 0 𝑥 = 𝑠(𝑡)
Gambar 3.2. Model satu dimensi untuk perpindahan panas dan proses pemadatan.
Dimana 𝑢𝑓 adalah suhu pemadatan logam cair, 𝑢2 merupakan suhu logam padat serta 𝑢1 adalah suhu drum pendingin. Perpindahan panas radiasi diabaikan dengan mengasumsikan bahwa semua panas mengalir ke arah drum pendingin dan suhu logam cair diasumsikan konstan.
Jari-jari drum lebih besar dibandingkan dengan ketebalan logam. Oleh karena itu, dalam model satu dimensi diasumsikan drum sebagai daerah semi tak terbatas −∞ < 𝑥 < 0. Suhu dari drum pada jarak yang jauh dari permukaaan adalah 𝑈 ≅ 150℃.
Misalkan 𝑢2(𝑥, 𝑡) suhu logam padat pada waktu 𝑡 dan jarak 𝑥 dari permukaan drum. Misalkan juga 𝑥 = 𝑠(𝑡) adalah posisi antarmuka bergerak antara logam cair dan logam padat dan 𝑠 adalah fungsi yang diketahui. Penyelesaian dari 𝑢1 dan 𝑢2 memenuhi persamaan konduksi panas yaitu
𝜕𝑢1
𝜕𝑡 = 𝛼1𝜕2𝑢1
𝜕𝑥2,
(3.2)
𝜕𝑢2
𝜕𝑡 = 𝛼2𝜕2𝑢2
𝜕𝑥2
dimana masing-masing persamaan mempunyai difusivitas termal yang berbeda 𝛼1 dan 𝛼2 karena bahan dari logam padat dan drum berbeda.
Kondisi batas untuk persamaan konduksi panas di atas adalah 𝑥 = −∞, 𝑥 = 0, dan pada batas bergerak antara padat dan cair.
Suhu inti drum pendingin 𝑢𝑑 saat 𝑥 = 0, suhu dan aliran panasnya kontinu.
Suhu pada batas antara padat dan cair juga kontinu. Misalkan 𝑥 = 𝑠(𝑡) adalah posisi batas bergerak maka 𝑥 < 𝑠(𝑡) dinotasikan sebagai logam padat dan 𝑥 > 𝑠(𝑡) sebagai logam cair. Misalkan 𝑢𝑓 adalah suhu pemadatan logam cair. Sehingga kondisi batasnya adalah
𝑢1(−∞, 𝑡) = 𝑢𝑑,
(3.3) 𝑢1(0, 𝑡) = 𝑢2(0, 𝑡),
−𝑘1𝜕𝑢1
𝜕𝑥 (0, 𝑡) = −𝑘2𝜕𝑢2
𝜕𝑥 (0, 𝑡), 𝑢2(𝑠(𝑡), 𝑡) = 𝑢𝑓
dimana 𝑘1dan 𝑘2 adalah konduktivitas drum dan logam padat.
Untuk menyelesaikan 𝑢1 dan 𝑢2 dibutuhkan kondisi batas tambahan dengan mempertimbangkan panas laten yang dilepaskan ketika logam cair memadat.
Penentuan kondisi batas dengan menggunakan kondisi Stefan. Kondisi Stefan dilakukan setelah menyelidiki beberapa konsep fisik dasar mengenai panas laten.
1. Panas laten
Perubahan fase adalah perubahan bentuk suatu zat menjadi bentuk lain.
Penyebab adanya perubahan fase adalah kalor. Pada suhu tertentu, energi panas yang ditambahkan ke suatu material/ bahan dapat mengubah struktur fisik material.
Contoh perubahan fase yaitu es batu yang mencair disebut mencair, air yang dimasukkan ke dalam freezer akan menjadi es batu disebut membeku.
Jumlah panas yang diperlukan pada perubahan fase disebut panas laten.
Panas laten fusi untuk bahan yang diberikan adalah jumlah panas yang diperlukan untuk mengubah massa padat pada suhu leleh menjadi cairan pada suhu yang sama.
Dalam proses perubahan fase dari cair menjadi padat, panas laten fusi adalah jumlah panas yang dilepaskan ketika bahan cair membeku.
Panas laten untuk perubahan fase dinyatakan per satuan massa yang dinotasikan dengan 𝜆 disebut panas laten spesifik dengan satuan joule/kg. Beberapa nilai 𝜆 ditunjukan pada tabel 3.1. Deskripsi yang serupa dapat diberikan untuk proses merebus cairan atau membalikkan kondensasi. Sebagai pembanding terdapat beberapa nilai untuk panas laten spesifik dari proses penguapan cairan yang ditunjukkan pada tabel 3.2.
Tabel 3.1. Suhu leleh 𝑢𝑓 dan panas laten spesifik fusi 𝜆
𝒖𝒇 ℃ 𝛌 𝐉 𝐤𝐠−𝟏
Es Solder Timah Aluminium Tembaga Emas Besi Baja
0 217 327 659 1083 1067 1537 1440
33 × 104 190 × 104 2.6 × 104 38 × 104 21 × 104 7.0 × 104 27 × 104 27 × 104
Tabel 3.2. Suhu mendidih 𝑢𝑣 dan panas laten spesifik dari penguapan 𝜆 𝒖𝒗 ℃ 𝛌 𝐉 𝐤𝐠−𝟏
Air 100 2.26
Etil alkohol 79 8.5 × 10−1
Helium -269 2.5 × 10−2
2. Kondisi Stefan
Kondisi stefan digunakan untuk menentukan kondisi batas pada batas bergerak 𝑥 = 𝑠(𝑡). Diasumsikan batas bergerak dengan jarak 𝛿𝑠 dalam waktu 𝛿𝑡.
Diilustrasikan pada Gambar 3.3.
padat 𝛿𝑠 cair
𝑥 = 𝑠(𝑡)
𝑥 = 𝑠(𝑡 + 𝛿𝑡)
Gambar 3.3. Ilustrasi batas bergerak
Untuk daerah ketebalan 𝛿𝑠, akan dicari pelepasan panas dari proses pemadatan untuk menentukan jumlah panas yang dilepaskan dari proses konduksi.
Contoh berikut akan digunakan untuk menunjukkan bagaimana penggunaan konservasi energi untuk memperoleh tambahan kondisi batas pada 𝑥 = 𝑠(𝑡).
Contoh 3.1
Tentukan kondisi batas yang menyatakan absorsi dari panas laten.
Penyelesaian:
Persamaan berikut menyatakan konservasi panas untuk daerah 𝑠(𝑡) ke 𝑠(𝑡 + 𝛿𝑡) adalah
{
panas laten terlepaskan dengan
massa pemadatan } = {
panas dilakukan kembali melalui penampang di x=s(t)
}
Misalkan 𝜆 adalah panas laten spesifik (per satuan massa) dari logam. Masa total dari bahan yang telah dipadatkan dalam interval waktu yang diberikan adalah 𝜌𝐴𝛿𝑠 = 𝜌𝐴(𝑠(𝑡 + 𝛿𝑡) − 𝑠(𝑡)). Dimana 𝜌 adalah massa jenis dari bahan (diasumsikan sama untuk fase padat dan cair) dan 𝐴 adalah daerah penampang. Jadi diperoleh
{
panas laten terlepaskan dengan
massa pemadatan
} = 𝜆𝜌𝐴𝛿𝑠 (3.4)
Karena logam cair diasumsikan berada pada suhu yang seragam maka tidak ada gradien dalam suhu berarah dari logam cair. Semua aliran panas berada pada batas 𝑥 = 𝑠(𝑡) kembali padat. Jumlah konduksi panas yang melewati 𝑥 = 𝑠(𝑡) diperoleh dengan mengalikan aliran panas dari persilangan daerah 𝐴 dan interval
waktu 𝛿𝑡. Dengan menggunakan hukum Fourier, 𝐽 =−𝑘𝜕𝑢𝜕𝑥 adalah aliran panas pada saat arah 𝑥 positif. Sehingga didapatkan
{
panas dilakukan kembali melalui penampang di x=s(t)
} = −𝐽𝐴𝛿𝑇 = 𝑘𝜕𝑢𝜕𝑥|
𝑥=𝑠(𝑡)𝐴𝛿𝑡 (3.5) (tanda negatif menyatakan bahwa panas dilakukan dalam arah 𝑥 negatif menuju padat).
Dari persamaan (3.4) dan (3.5) masing-masing dibagi dengan 𝐴𝛿𝑡, misalkan 𝛿𝑡 → 0 dan 𝛿𝑠 → 0. Maka diperoleh
𝑘𝜕𝑢
𝜕𝑥(𝑠(𝑡), 𝑡) = 𝜆𝜌𝑑𝑠
𝑑𝑡 (3.6)
Persamaan (3.6) disebut sebagai kondisi Stefan.