• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Koefisien Determinasi

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Kondisi Budidaya Komoditas Kakao Dalam Negeri

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan yang peranannya penting bagi perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari sumbangsih nyata komoditas kakao dalam bentuk nilai devisa dari ekspor biji kakao serta produk olahan kakao, penyedia bahan baku untuk industri dalam negeri, dan tersedianya lapanan pekerjaan bagi jutaan penduduk Indonesia. Pada masa yang akan datang, komoditas kakao Indonesia diharapkan memperoleh posisi yang sejajar dengan komoditas perkebunan lainnya, seperti kelapa sawit, karet, dan kopi, baik dalam hal luas areal maupun tingkat produksinya.

Istilah “kakao” sebenarnya merujuk pada bahan tanam, tanaman, buah, dan biji kakao. Tanaman kakao akan menghasilkan buah kakao yang di dalamnya terdapat biji-biji kakao dan melalui proses pascapanen yang meliputi proses pengolahan dan pengeringan, akan dihasilkan biji-biji kakao kering yang siap dikirim ke pabrik pengolah/prosesor.

Selama periode tahun 2002-2010, luas panen dari komoditas kakao Indonesia mengalami tren yang terus meningkat, sedangkan total produksi komoditas kakao Indonesia cenderung stabil. Grafik luas panen dan total produksi komoditas kakao pada tahun 2002-2010 dapat dilihat pada Gambar 4.1. Luas panen komoditas kakao cenderung semakin bertambah dari tahun 2002 sampai tahun 2010 dengan rata-rata peningkatannya sebesar 0,12 persen per tahun. Sementara itu, total produksi kakao dari tahun 2002 sampai tahun 2010 cenderung stabil rata-rata peningkatan sebesar 0,05 persen per tahun, dimana tingkat produksi paling tinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 844.625 ton.

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2012)

Gambar 4.1. Perkembangan Luas Panen dan Total Produksi Komodi Indonesia Tahun 2002

Menurut usahanya, perkebunan kakao Indonesia dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu: perkebunan rakyat, perkebunan negara, dan perkebunan swasta. Perkebunan kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat yang dimilik

Kepemilikan perkebunan ini rata

perkebunan kakao yang dimiliki masyarakat sekitar 92,7 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia yang pada tahun 2010 mencapai 1.651.539

tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, luas perkebunan ini sekitar 60 persen dari keseluruhan perkebunan kakao di Indonesia. Disamping itu, juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar milik negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Sebagian besar produksi kakao dari Indonesia diekspor. Kondisi ini terjadi berkenaan dengan kurang berkembangnya industri

Petani kakao yang sebagian besar merupakan petani rakyat juga lebih memilih menjual hasil perkebunannya kepada pihak eksportir karena pemberian pembayaran yang lebih cepat. Biji kakao yang diekspor sebagian besar merupakan ka

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2012)

Gambar 4.1. Perkembangan Luas Panen dan Total Produksi Komodi Indonesia Tahun 2002-2010

Menurut usahanya, perkebunan kakao Indonesia dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu: perkebunan rakyat, perkebunan negara, dan perkebunan swasta. Perkebunan kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat. Kepemilikan perkebunan ini rata-rata per petani sangat kecil yakni 1 Ha per petani. Luas perkebunan kakao yang dimiliki masyarakat sekitar 92,7 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia yang pada tahun 2010 mencapai 1.651.539

tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, luas perkebunan ini sekitar 60 persen dari keseluruhan perkebunan kao di Indonesia. Disamping itu, juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar milik negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Sebagian besar produksi kakao dari Indonesia diekspor. Kondisi ini terjadi berkenaan dengan kurang berkembangnya industri pengolahan kakao di Indonesia. Petani kakao yang sebagian besar merupakan petani rakyat juga lebih memilih menjual hasil perkebunannya kepada pihak eksportir karena pemberian pembayaran yang lebih cepat. Biji kakao yang diekspor sebagian besar merupakan kakao yang diolah tanpa Gambar 4.1. Perkembangan Luas Panen dan Total Produksi Komoditas Kakao

Menurut usahanya, perkebunan kakao Indonesia dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu: perkebunan rakyat, perkebunan negara, dan perkebunan swasta. Perkebunan i oleh masyarakat. rata per petani sangat kecil yakni 1 Ha per petani. Luas perkebunan kakao yang dimiliki masyarakat sekitar 92,7 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia yang pada tahun 2010 mencapai 1.651.539 Ha. Jenis tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, luas perkebunan ini sekitar 60 persen dari keseluruhan perkebunan kao di Indonesia. Disamping itu, juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan

Sebagian besar produksi kakao dari Indonesia diekspor. Kondisi ini terjadi pengolahan kakao di Indonesia. Petani kakao yang sebagian besar merupakan petani rakyat juga lebih memilih menjual hasil perkebunannya kepada pihak eksportir karena pemberian pembayaran yang lebih kao yang diolah tanpa

fermentasi. Hal ini mengakibatkan harga biji kakao tanpa fermentasi di pasar internasional jauh lebih rendah dari harga biji kakao yang difermentasikan, selisih harga antara keduanya sekitar Rp 2000 – Rp 2.900 per kg. Tujuan fermentasi biji kakao adalah untuk mematikan lembaga biji agar tidak tumbuh sehingga perubahan-perubahan di dalam biji akan mudah terjadi, seperti warna keping biji, peningkatan aroma dan rasa, perbaikan konsistensi keping biji, untuk melepaskan selaput lendir, serta untuk menghasilkan biji kakao yang tahan terhadap hama dan jamur. Baru sekitar 10 persen saja jumlah produksi kakao yang melalui proses fermentasi.

Dari segi kualitas, komoditas kakao Indonesia seyogyanya tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dapat mencapai cita rasa yang setara dengan kakao yang berasal dari Ghana. Kakao Indonesia memiliki kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending, sehingga pasar kakao Indonesia memiliki peluang yang cukup terbuka bagi ekspor maupun pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Namun, masih terdapat berbagai masalah kompleks yang dihadapi oleh perkebunan kakao Indonesia, diantaranya mutu produk masih rendah, produktivitas kebun masih termasuk rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao.

Salah satu akibat dari rendahnya mutu biji kakao Indonesia yakni pengenaan penahanan secara otomatis (automatic detension) di negara Amerika Serikat yang berakibat pada terjadinya pemotongan harga dan biaya penanganan kembali (reconditioning). Hal ini tidak dapat dihindari karena 80 persen lebih biji kakao kering yang dihasilkan hanya dijemur dengan sinar matahari tanpa melalui proses fermentasi terlebih dahulu. Bahkan, lembaga pengawas makanan dan obat Amerika (USFDA) mengkategorikan biji kakao Indonesia sebagai produk makanan yang mutu dan kesehatannya perlu diawasi secara ketat (Kedutaan Besar Republik Indonesia, 2005).

Beberapa kebijakan terkait dengan komoditas kakao telah dibuat oleh pemerintah serta diimplementasikan oleh para pelaku usaha dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam industri kakao, diantaranya kegiatan pengawasan mutu secara wajib untuk produk ekspor tertentu yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 157/M-IND/PER/11/2009 tentang Pemberlakuan SNI Kakao Bubuk secara Wajib yang

mengatur agar importir dan produsen kakao menerapkan SNI dan memiliki sertifikat penggunaan produk tanda (SPPT) SNI sesuai dengan ketentuan standar wajib komoditas tersebut, dan diberlakukan mulai 4 Mei 2010 (Badan Standardisasi Nasional, 2010). Selain itu terdapat pula ketentuan SNI untuk biji kakao, yang tercantum dalam peraturan Badan Standardisasi Nasional (BSN) No 86/KEP/BSN/9/2008 dengan persyaratan umum yang tertera pada SNI 2323-2008, sebagai berikut:

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Serangga hidup - tidak ada

2 Kadar air % fraksi massa maks. 7,5

3 Biji berbau asap dan atau hammy dan atau berbau asing

% tidak ada

4 Kadar benda asing - tidak ada

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2010)

Tabel 4.1. Persyaratan Umum Mutu Biji Kakao

Sebelumnya, atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF) pada tahun 2001, pemerintah menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk setiap kakao yang dibeli pabrik dalam negeri. Sebaliknya, apabila petani mengekspor produknya ke luar negeri, PPN itu tidak dikenakan. Hal ini menyebabkan petani lebih suka melakukan ekspor. Kemudian pemerintah menetapkan kebijakan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai, diakui mampu mendongkrak kinerja industri pengolahan kakao di dalam negeri.

Kementerian Perdagangan menurunkan Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010 tertanggal 22 Maret 2010 yang memasukkan biji kakao sebagai barang ekspor yang dikenakan Bea Keluar. Penerapan Bea Keluar bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri dan menyeimbangkan dukungan terhadap daya saing industri kakao di dalam negeri yang pada akhirnya berdampak kepada nilai tambah yang diterima petani kakao. Pemerintah menerapkan kebijakan ini karena sebagai negara produsen kakao terbesar ketiga di

dunia, Indonesia masih mengekspor biji kakao yang belum difermentasi sehingga bernilai tambah rendah. Sejak diberlakukannya bea keluar kakao sejak tahun 2010, minat investor asing akan komoditas kakao meningkat.

Hingga saat ini industri pengolahan kakao Indonesia masih mendapatkan proteksi dengan adanya instrumen tarif bea masuk bagi input (bahan baku) berupa biji kakao dan output (hasil olahan) berupa cocoa butter, cocoa powder, dan cocoa cake sebesar 5 persen. Di sisi lain, negara tujuan ekspor Indonesia melakukan diskriminasi terhadap biji kakao yang berasal dari Indonesia sehingga mereka menetapkan bea masuk yang cukup besar. Malaysia mengenakan tarif bea masuk sebesar 25 persen, China sebesar 10 persen, Uni Eropa sebesar 20 persen, dan India sebesar 38 persen. Padahal terhadap komoditas kakao dari negara lain mendapatkan previlege atau dikenakan tarif bea masuk yang rendah, bahkan nol persen, misalnya Uni Eropa membebaskan bea masuk atas komoditas kakao dari negara Pantai Gading, Ghana, Nigeria, dan Kamerun.

Dokumen terkait