• Tidak ada hasil yang ditemukan

UCAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR LAMPIRAN

5 Amonia mg/l Laboratorium Spektrofotometer

4.1. Kondisi Wilayah Penelitian

4.1.1. Kondisi Fisik Perairan Wilayah Penelitian

Pasang surut mengakibatkan adanya fluktuasi kedalaman perairan yang mengakibatkan perbedaan penetrasi cahaya matahari bagi karang. Pasang surut di perairan ini tidak mengalami anomali selama 5 tahun terakhir (Lampiran 2) dengan kisaran pasang tertingginya adalah 57 cm di atas mean sea level (tinggi muka air rata-rata) dan surut terendahnya adalah 50,5 cm di bawah mean sea level.

Nilai kecerahan di seluruh stasiun penelitian memiliki nilai yang sama yaitu 100%. Hal tersebut terlihat dari substrat dasar perairan yang terlihat jelas. Nilai kecerahan 100% dapat diakibatkan kedalaman yang relatif dangkal yaitu antara 70 – 99 cm sehingga penetrasi cahaya matahari masih dapat menembus hingga dasar perairan. Kecerahan dapat mempengaruhi masuknya cahaya pada

21   

fotosintesis bagi karang. Semakin rendah intensitas cahaya yang masuk dalam kolom perairan mengakibatan semakin rendah laju fotosintesis.

Kondisi arus di stasiun terlindung cenderung stagnan atau statis, kondisi tersebut biasanya kurang disukai oleh karang yang membutuhkan arus yang cukup untuk distribusi nutrien, larva dan sedimen, juga untuk membersihkan kotoran dan sampah (Veron 1995).

Tabel 3. Kondisi fisik perairan Gosong Pramuka 22 dan 24 September 2011

22-Sep 24-Sep 22-Sep 24-Sep 22-Sep 24-Sep

STP 1 30 30 80 - 99 80 - 99 100% 100%

STL 1 31 31 88 88 100% 100%

STP 2 30 30 70 - 88 70 - 88 100% 100%

STL 2 32 32 85 85 100% 100%

Stasiun Suhu (°C) Kedalaman (cm) Kecerahan (%)

 

Keterangan : STP = Stasiun Terpapar ; STL = Stasiun Terlindung

Suhu di keempat stasiun berkisar antara 30– 32oC dimana suhu pada bagian terlindung I dan II memiliki suhu lebih tinggi dari kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan karang yaitu 28 - 30 oC (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 2004). Suhu perairan sangat penting bagi pertumbuhan karang, efek perubahan suhu pada karang dapat menyebabkan turunnya respon makan, mengurangi rata- rata reproduksi, dan proses fotosintesis atau respirasi berkurang (Dubinsky 1990).

4.1.2. Kondisi Kimia Perairan Wilayah Penelitian

Parameter pH menunjukkan nilai yang berada pada kisaran yang masih cukup aman untuk kelangsungan hidup biota. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tahun 2004, kisaran pH yang optimal adalah 7 – 8,5.

Kandungan nitrat pada stasiun penelitian berkisar antara 0,112 – 0,440 mg/l, nilai tersebut berada di atas kisaran baku mutu yaitu 0,008 mg/l. Nilai orthofosfat yang diperoleh adalah berkisar antara 0,020 – 0,856 mg/l, nilai tersebut berada di atas

kisaran baku mutu. Kadar amonia yang optimal bagi pertumbuhan karang adalah 0,3 mg/l, hal ini berarti kadar amonia yang di stasiun penelitian masih berada dibawah kisaran baku mutu. Salinitas di lokasi penelitian berkisar dari 30 – 33 ppt , hali ini berarti nilai tersebut masih berada dalam batas toleransi karang untuk

hidup.

Tabel 4. Kondisi Kimia Perairan Gosong Pramuka 22 dan 24 September 2011

22-Sep 24-Sep 22-Sep 24-Sep 22-Sep 24-Sep 22-Sep 24-Sep 22-Sep 24-Sep STP 1 0,2321 0,3551 0,229 0,0215 0,1261 0,1950 7,92 8,13 33 30 STL 1 0,2948 0,1767 0,035 0,0363 0,2144 0,1583 8,07 8,13 32 30 STP 2 0,4395 0,1911 0,081 0,1502 0,0768 0,1055 8,01 8,11 32 30 STL 2 0,1116 0,3141 0,856 0,0198 0,0894 0,1697 8,07 8,11 32 30 Salinitas (ppt) Nitrat (mg/l) Orthofosfat (mg/l) Amonia (mg/l) pH

Stasiun

   

4.2. Karang Rekrut

Karang rekrut ditemukan di empat stasiun dengan total 260 koloni karang. Ditemukan 210 koloni karang pada Stasiun Terpapar I (STP I) yang merupakan stasiun dengan koloni karang terbanyak yang ditemukan. Stasiun terlindung I (STL I) memiliki 37 koloni karang rekrut, pada Stasiun Terpapar II (STP II) ditemukan 9 koloni karang rekrut dan Stasiun Terlindung II (STL II) memiliki 4 koloni karang rekrut. Jumlah koloni karang rekrut secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 7.

Rekrutmen karang dalam arti penempelan larva dan pertumbuhan ukuran koloni adalah proses penting dari dinamika populasi yang mendasari

keberlanjutan eksistensi terumbu karang (Moulding 2005). Pendataan rekrutmen karang untuk melihat karang yang dapat tumbuh secara alami beserta distribusi dan kelimpahan dari spesies terumbu karang yang ada (Connel et al. 1997, dalam Sorong et al. 2003).

23   

Gambar 7. Histogram populasi koloni karang rekrut

4.2.1 Rekrutmen Berdasarkan Genus

Tahap identifikasi karang dilakukan hingga tahap genus. Identifikasi karang dilakukan dengan mengacu pada buku identifikasi Veron. Genus yang ditemukan adalah Acropora, Montipora, Porites, Pavona, Favia, dan Goniastrea

dari keempat stasiun yang ada. Grafik sebaran karang berdasarkan genus secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 8.

Karang dengan genus Acropora merupakan yang paling banyak ditemukan dan tersebar di seluruh stasiun penelitian yang ada. Genus ini dicirikan dengan adanya koralit yang terbagi menjadi axial dan radial. Sebanyak 179 koloni karang

Acropora ditemukan di STP I dimana jumlah ini merupakan jumlah terbesar dibandingkan dengan stasiun yang lain dimana di STL I ditemukan 30 koloni karang, STP II ditemukan 4 koloni karang dan STL II hanya 1 koloni karang.

Karang genus Porites merupakan kedua terbanyak yang ditemukan di

seluruh stasiun setelah Acropora. Stasiun Terpapar I memiliki 23 koloni karang genus ini dimana jumlah ini merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan stasiun yang lainnya yaitu 2 koloni karang Porites pada STL I, pada STP II ditemukan 3 koloni karang dan pada STP II ditemukan sebanyak 2 koloni karang. Terdapat perbedaan jumlah yang besar antara karang genus Porites di STP I dengan stasiun lainnya.

Karang genus Montipora hanya ditemukan di tiga stasiun yaitu pada STP I

ditemukan sebanyak 5 koloni karang, pada STL I ditemukan sebanyak 1 koloni karang, dan pada STP II ditemukan 1 koloni karang. Tidak ditemukan karang genus Montipora di STL II.

Karang genus Pavona hanya ditemukan di STP I yaitu sebanyak 3 koloni

karang. Selain genus Pavona, terdapat karang genus Favia dan Goniastrea yang masing-masing juga hanya ditemukan pada salah satu stasiun penelitian. Karang genus Favia hanya ditemukan di STP II yaitu 1 koloni karang, sedangkan karang dengan genus Goniastrea hanya ditemukan pada STL II dengan jumlah 1 koloni karang.

25   

4.2.2. Rekrutmen Berdasarkan Bentuk Pertumbuhan

Rangka karang hampir membentuk seluruh koloni dan dapat terdiri atas berbagai bentuk. Jaringan hidup karang yang sebenarnya hanyalah lapisan tipis di permukaan rangka (Castro dan Huber 2005). Adapun bentuk pertumbuhan karang menurut English et al. (1997) yaitu terbagi atas karang Acropora dan non

Acropora. Untuk karang non Acropora dibagi menjadi digitate, branching, encrusting, submassive, massive, foliose, mushroom, karang api, dan karang biru. Khusus untuk Acropora, bentuk pertumbuhannya dibagi menjadi digitate,

branching, encrusting, tabulate dan submassive (Veron 1995).

4.2.2.1. Acropora

Bentuk pertumbuhan pada karang genus Acropora yang ditemukan di stasiun penelitian diantaranya adalah tabulate, branching, encrusting, dan

digitate. Grafik sebaran bentuk pertumbuhan karang Acropora dapat dilihat pada Gambar 9. Karang dengan bentuk pertumbuhan tabulate ditemukan dengan jumlah total 56 koloni. Sebanyak 45 koloni karang ditemukan di STP I, di STL I ditemukan 6 koloni karang, 4 koloni pada STP II, dan STL II ditemukan 1 koloni karang.

Acroporadigitate ditemukan di STP I sebanyak 2 koloni, sedangkan di ketiga stasiun lainnya tidak ditemukan. Bentuk tersebut merupakan bentuk pertumbuhan yang yang paling sedikit dan juga hanya ditemukan di stasiun terpapar I.

Gambar 9. Histogram sebaran bentuk pertumbuhan karang Acropora di seluruh stasiun

Bentuk pertumbuhan branching ditemukan di STP I dan STL I. Stasiun Terpapar I memiliki 98 koloni karang Acropora yang berbentuk branching, sedangkan pada STL I terdapat 25 koloni karang.

Karang encrusting merupakan bentuk awal pertumbuhan karang Acropora

dimana nantinya bentuk tersebut dapat berubah. Ditemukan 36 koloni karang dengan bentuk ini STP I dan 3 koloni karang di STL I sedangkan pada STP II dan STL II tidak ditemukan.

Bentuk pertumbuhan yang dapat ditemui di seluruh stasiun adalah tabulate

dimana jumlah terbanyak terdapat pada stasiun terpapar I yatu 45 koloni karang. Sementara itu, bentuk pertumbuhan yang jumlahnya paling banyak adalah

branching dengan total 123 koloni karang walaupun tidak ditemukan diseluruh stasiun.

27   

4.2.2.2. Non Acropora

Bentuk pertumbuhan pada karang non Acropora yang ditemukan adalah

massive, encrusting dan sub massive, namun yang ditemukan di seluruh stasiun hanya bentuk massive dan encrusting. Grafik sebaran bentuk pertumbuhan karang non Acropora dapat dilihat pada Gambar 10. Bentuk pertumbuhan massive pada STP I adalah 11 koloni karang, pada STL I terdapat 2 koloni karang, di STP II terdapat 1 koloni karang, dan di STL II terdapat 1 koloni karang. Total jumlah karang non Acropora dengan bentuk massive dari seluruh stasiun adalah 14 koloni.

Gambar 10. Histogram sebaran bentuk pertumbuhan karang Non Acropora di seluruh stasiun

Bentuk pertumbuhan encrusting merupakan yang paling banyak bagi

karang non Acropora. Total jumlah karang berbentuk encrusting adalah 22 koloni karang. Pada STP I ditemukan 17 koloni karang, di STL I ditemukan 1 koloni karang, di STP II ditemukan 2 koloni karang dan di STL I ditemukan 2 koloni karang.

Bentuk pertumbuhan sub massive hanya ditemukan di 2 stasiun yaitu STP I dan II. Stasiun terpapar I memiliki 1 koloni karang dengan bentuk tersebut, dan STP II memliki 2 koloni karang. Bentuk ini merupakan yang paling sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan bentuk lainnya.

4.2.3. Rekrutmen Berdasarkan Luas dan Diameter

Karang rekrut yang telah diketahui nilai luasannya dikelompokkan berdasarkan rentang nilai seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5. Secara

kesuluruhan, rentang nilai luasan yang paling banyak adalah pada kisaran 0 – 25 cm2 dengan jumlah 93 koloni karang sedangkan yang paling sedikit adalah pada kisaran luas 150 – 175 cm2 dengan jumlah 5 koloni karang. Pada STP I kisaran luas yang memiliki jumlah terbanyak adalah 0 – 25 cm2 yang artinya mayoritas karang di stasiun tersebut masih dalam ukuran yang kecil. Kisaran luas yang dominan di STL I adalah 50 – 75 cm2 dengan jumlah karang 12 koloni. Kisaran luas yang dominan di STP II adalah 50 – 75 cm2 dengan jumlah 3 koloni karang. Stasiun terlindung II didominasi oleh karang berukuran 50 – 75 cm2 dengan jumlah 2 koloni karang.

Karang rekrut juga dikelompokkan berdasarkan tiap genusnya agar terlihat perbandingan rataan luasan koloni karang (Gambar 11). Untuk genus Acropora, rataan luas koloni yang terbesar terdapat pada STP I, untuk genus Montipora dan

Porites rataan luasan terbesarnya terdapat di STL I dan STP II.

Selain luasan, diukur pula diameter karang sebagai pembanding. Karang rekrut yang telah diukur diameternya dikelompokkan berdasarkan rentang nilai seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6. Adapun pengkelasan diameter karang rekrut menurut Loch (2002) adalah 0 – 1 cm, >1 – 2 cm, >2 – 4 cm, dan lebih dari

29   

4 – 8 cm. Kisaran diameter yang dominan pada STP I adalah 6 – 9 cm, kisaran ini masuk kedalam ukuran karang rekrut yang kecil (Engelhardt 2000). Stasiun Terlindung I didominasi oleh karang berdiameter 6 – 9 cm dan 12 – 15 cm, masing-masing memiliki 8 koloni karang. Kisaran diameter yang dominan pada STP II adalah 9 -12 cm dengan jumlah 3 koloni karang. Pada STP II, kisaran yang dominan adalah 9 - 12 cm dengan jumlah 3 koloni karang.

Tabel 5. Tabel luasan karang rekrut di seluruh stasiun

Acropora Montipora Porites Pavona Acropora Montipora Porites Acropora Montipora Porites Favia Acropora Porites Goniastrea

0 - 25

76

0

4

1

10

0

1

0

0

0

0

0

0

1

93

25 - 50

49

1

5

0

2

0

0

0

0

0

0

0

0

0

57

50 - 75

17

0

2

1

12

0

0

0

0

2

1

0

2

0

37

75- 100

10

0

1

0

4

0

0

2

0

0

0

1

0

0

18

100 - 125

12

0

3

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

15

125 - 150

1

1

3

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

6

150 - 175

2

0

3

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

5

175 - 200

0

0

1

0

2

0

1

1

0

1

0

0

0

0

6

>200

12

3

1

0

4

1

0

1

1

0

0

0

0

0

23

Jumlah

Luas (cm²)

Terpapar I

Terlindung I

Terpapar II

Terlindung II

 

Tabel 6. Tabel diameter karang rekrut di seluruh stasiun

Acropora Pavona Montipora Porites Acropora Montipora Porites Acropora Favia Montipora Porites Acropora Goniastrea Porites

0 - 3 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 3 6 53 1 0 2 6 0 0 0 0 0 0 0 1 0 63 6 9 69 1 0 9 7 0 1 0 0 0 0 0 0 0 87 9 – 12 17 0 0 0 5 0 0 0 1 0 2 1 0 2 28 12 15 18 0 1 5 8 0 0 2 0 0 0 0 0 0 34 15 - 18 7 1 0 6 4 0 1 1 0 0 1 0 0 0 21 18 - 21 4 0 0 1 4 1 0 1 0 1 0 0 0 0 12 >21 9 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 Jumlah Diameter (cm)

Terpapar I Terlindung I Terpapar II Terlindung II

 

Gambar 11. Histogram luasan karang rekrut

Secara keseluruhan, kisaran diameter yang paling dominan dari semua stasiun adalah 6 – 9 cm dengan jumlah 87 koloni karang. Kisaran diameter tersebut merupakan ukuran karang yang terbilang kecil dan dapat disimpulkan bahwa karang tersebut didominasi oleh karang yang masih terbilang muda.

4.3. Kesehatan Karang

Rata-rata kesehatan fragmen karang beraada di nilai lima. Nilai maksimum hasil pengukuran kesehatan karang adalah enam dan nilai minimumnya dua dari skala nol sampai enam. Nilai enam dan lima dari pengukuran menggunakan skala warna menunjukan bahwa fragmen karang tersebut dalam kondisi sehat. Nilai empat dan tiga menunjukan kondisi karang yang kurang sehat, sedangkan nilai dua hingga nol berarti kritis dan mulai terjadi bleaching (Seabeck et al 2006).

Kondisi kesehatan karang di stasiun terpapar I terbilang baik karena rata- rata berada dalam kisaran 5-6, namun adapula karang yang berada pada kisaran 2 dan 3 dengan total jumlah 17 koloni yang berarti terdapat karang yang kurang

31   

sehat dan berpotensi terjadi bleaching di stasiun ini. Data kesehatan karang seluruh stasiun dapat dilihat pada Lampiran 1.

Kondisi kesehatan pada stasiun terlindung I berada pada kisaran 5-6 yang berarti berada dalam kondisi sehat. Karang yang berada di stasiun terpapar II berada dalam kisaran 5-6, hal ini berarti karang berada dalam kondisi yang sehat. Kondisi karang pada stasiun terlindung II berada dalam kisaran 5-6 yang berarti berada dalam kondisi sehat, namun ada satu karang dengan warna yang berada di angka 3.

4.4. Kepadatan Karang

Kepadatan koloni karang muda dapat digunakan sebagai standar untuk mengukur tingkat rekrutmen karang pada suatu tempat. Nilai kepadatan pada STP I adalah 1,3697 koloni/m2, di STP I nilainya 0,2266 koloni /m2, di STP II nilainya 0,0513 koloni /m2, dan di STL II nilainya adalah 0,0251 koloni /m2 (Tabel 7). Nilai kepadatan karang di stasiun terpapar I adalah yang paling besar

dibandingkan ketiga stasiun lainnya, namun nilai tersebut masih terbilang rendah untuk kepadatan karang (Engelhardt 2000), sedangkan kepadatan yang paling rendah adalah pada stasiun terlindung II. Adapun penelitian tentang kepadatan karang yang dilakukan oleh Abrar (2011) di Pulau Pari menyatakan bahwa kepadatan karang yang didapat sebesar 7,3 koloni/m2. Nilai kepadatan yang rendah tersebut mengindikasikan rendahnya tingkat rekrutmen diseluruh stasiun, namun permukaan substrat yang masih luas dapat membuat tingkat rekrutmen naik. Terdapat korelasi positif antara jumlah karang rekrut dengan luas permukaan substrat yang kosong dan tersedia (Connel, Hughes dan Wallace 1997).

Tabel 7. Tabel kepadatan karang di seluruh stasiun Keterangan STP I STL I STP II STL II Jumlah Batu 262 279 300 272 Luas Permukaan Batu (m2) 0,5852 ±0,05 0,5852±0,05 0,5852±0,05 0,5852±0,05 Luas Permukaan Total (m2) 153,3224 163,2708 175,5600 159,1744 Kepadatan (koloni /m2) 1,3697 0,2266 0,0513 0,0251 4.5. Analisis Statistik 4.5.1. Analisis Korespondensi

Data dari genus, diameter, dan stasiun diplotkan (Gambar 12) sehingga terlihat bahwa genus Goniastrea terdapat pada STL II, sedangkan STP II

didominasi oleh genus Favia dan Montipora. Genus Acropora dan Pavona lebih dekat ke STP I yang dominan oleh karang berdiameter kurang dari 9 cm. Genus

Porites lebih dekat dengan STL I yang dominan oleh karang berdiameter lebih dari 9 cm. Dimensi 1 dapat menjelaskan keragaman data sebesar 52,896% dan dimensi 2 dapat menjelaskan keragaman data sebesar 49,869%. STP I dan STL I memiliki hubungan yang relatif sangat dekat.

33   

Gambar 12. Analisis korespondensi antara stasiun, diameter karang, dan genus karang

4.5.2. Korelasi

Hubungan antara genus dengan stasiun lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antara genus dengan diameter. Korelasi antara stasiun dengan genus sebesar 0,428 . kuatnya hubungan antara genus dengan stasiun lebih besar dari hubungan antara stasiun dengan diameter karena korelasi antara stasiun dengan diameter sebesar 0,259 , sedangkan diameter dengan genus memiliki korelasi paling kecil yaitu sebesar 0,170 (Tabel 8).

Tabel 8. Variabel korelasi antara genus karang, diameter karang, dan stasiun

Stasiun Genus Diameter Stasiun 1,000 0,428 0,259

Genus 0,428 1,000 0,170

Diameter 0,259 0,170 1,000

4.6. Biota Penempel Lainnya

Permukaan batu yang menjadi tempat menempel karang tidak hanya ditempeli oleh karang saja namun terdapat biota lain yang menempel dan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup karang. Biota penempel lain yang ditemukan adalah bulu babi (Diadema sp.), alga Padina sp. dan Caulerpa sp., tunikata, spons, anemon pasir (Heteractis malu), dan Cypraea sp (Gambar 13).

Tutupan alga atau tunikata dapat menghambat penempelan larva karang atau menurunkan kelulusan hidup karang rekrut karena kompetisi ruang. Adanya hewan perumput (grazer) menyebabkan keberadaan alga tidak menjadi pembatas. Penelitian yang menunjukkan bahwa keberadaan hewan-hewan perumput seperti bulu babi dapat memfasilitasi penempelan larva dan mempertinggi kelulusan hidup rekrut (Harrison and Wallace 1990). Namun, perumputan yang intensif dapat menghancurkan karang rekrut yang hidup di antara alga tersebut. Karang rekrut juga mengalami kerusakan dan terluka akibat pemangsaan oleh ikan dan bulu babi (Engelhardt 2000).

35   

Gambar 13. Biota penempel lainnya : A. Caulerpa sp.; B. Cypraea sp.; C. Heteractis malu; D. Tunikata; E. Bulu babi (Diadema sp.); F. Padina sp.; G. Spons Hitam

5.1. Kesimpulan

Banyaknya koloni karang rekrut pada STP I mungkin dikarenakan terjadi perputaran arus pada daerah tersebut. Genus yang paling dominan baik di stasiun terpapar maupun stasiun terlindung adalah Acropora. Ditemukan 5 genera pada stasiun terpapar yaitu Acropora, Porites, Montipora, Pavona, Goniastrea, dan 4 genera pada stasiun terlindung yaitu Acropora, Porites, Montipora, Favia sehingga dapat dikatakan bahwa stok populasi karang rekrut di lokasi penelitian normal. Ukuran dan jumlah koloni karang rekrut di lokasi tersebut dipengaruhi oleh perkembangan usia karang selama kurang lebih 4 tahun sejak substrat diletakkan.

Bentuk pertumbuhan karang Acropora tabulate maupun branching tidak mempengaruhi keberadaan pada dua lokasi terpapar dan terlindung. Bentuk pertumbuhan untuk karang non Acropora yang dominan di STL adalah encrusting dan massive, sedangkan untuk STP hanya encrusting saja. Bentuk encrusting dapat tumbuh baik di STP maupun STL sedangkan bentuk massive tumbuh lebih baik di STL.

Karang berdiameter kurang dari 9 cm dominan pada STP, sedangkan yang berdiameter lebih dari 9 cm dominan pada STL. Seluruh nilai kepadatan yang didapat termasuk dalam kategori rendah, kecuali pada STP I lebih tinggi dari yang lainnya yaitu 1,3697 koloni/m2.

37   

5.2. Saran

  Terkait dengan kondisi kimia fisik lingkungan yang terpengaruh oleh adanya karamba dan industri yang berada di dekatnya, perlu dilakukan pengamatan pertumbuhan, mortalitas, dan karang rekrut baru secara berkala.

Babcok R, Mundy C. 1996. Coral Recruitment: Consequences of Settlement Choice for Early Growth and Survivorship in Two Scleractinians. J Exp Mar Biol Ecol 206:179-200.

Barnes RSK, Hughes RN. 1999. An Introduction to Marine Ecology. 3rd ed. London: Blackwell Science Ltd.

Castro P, Huber ME. 2005. Marine Biology. 5th ed. New York: Mc Graw-Hill Companies, Inc.

Clark, S. and Edwards, A.J. (1995). Coral Transplantation as an Aid to Reef Rehabilitation: Evaluation of a Case Study in the Maldives Islands. Coral Reef 14(4):201-213.

Connell, J.H., Hughes, T.P., Wallace, C.C., 1997. A 30-years Study of Coral Abundance, Recruitment, and Disturbances at Several Scales in Space and Time. Ecol. Monograph. 67(4), 461-488.

Dubinsky, Z. 1990. Ecosystem of the World 25. Coral Reefs. Elseiver. Amsterdam. p 209-252.

Engelhardt, U. 2000. Fine-scale Survey of Selected Ecological Characteristics of Benthic Communities on Seychelles Coral Reefs One Year After the 1998 Mass Coral Bleaching Event. Reefcare International Technical Report to WWF Sweden. p 66.

English S, Wilkinson C, Baker VJ. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science. p 368

Harrison, P.L. and Wallace, C.C. (1990). Reproduction, dispersal and recruitment of scleractinian corals. In : Dubinzky, Z. (ed.) Coral Reefs. Elsevier Science Publishers. Amsterdam. pp. 133-207.

Hawker DW, Connell DW. 1992. Standards and criteria for pollution control in coral reef areas. pp: 169-191. didalam: Connel DW, Hawker DW, ed. Pollution in Tropical Aquatic System. CRC Press Inc.

Loch, K, W Loch, H Scumacher, dan Wolf R. See. 2002. Coral Recruitment and Regeneration on a Maldivian Reef 21 Months After the Coral Bleaching Event of 1998. Marine Ecology. Vol 23(3):219-236.

39   

Moulding AL. 2005. Coral recruitment patterns in the Florida Keys. Revista de Biologia Tropical V. 53 supl. 1 San Jose mayo 2005. ISSN 0034-7744 Nybakken JP. 1982. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan.

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 245 hal

Obura D and G. Grimsditch. 2009. Resilience Assessment of Coral Reefs : Rapid Assessment Protocol for Coral Reefs, Focussing on Coral Bleaching and Thermal Stress. IUCN. Gland. Switzerland. p 70

Paonganan Y. 2008. Analisis Invasi Makroalga ke Koloni Karang Hidup Kaitannya dengan Konsentrasi Nutrien dan Laju Sedimentasi di Pulau Bokor, Pulau Pari, dan Pulau Payung DKI Jakarta [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Retraubun ASW, Atmini S, editor. 2004. Profil pulau-pulau kecil di Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Rudi E. 2006. Rekrutmen Karang (Skleraktinia) di Ekosistem Terumbu Karang Kepulauan Seribu DKI Jakarta [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sammarco, P.W. 1991. Geographically Specific Recruitment and Postsettlement Mortality as Influences on Coral Communities: The cross-continental shelf transplant experiment. Limnol. Oceanogr. 36(3):496-514.

Suharsono. 2008. Jenis-jenis Karang di Indonesia. Jakarta: LIPI Press

Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI.

Sukarno. 1994. Mengenal Ekosistem Terumbu Karang dalam Materi Khusus Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI.

Soong K, Chen M, Chen C, Dai C, Fan T, Li J, Fan H, Kuo K, Hsieh H. 2003. Spatial and temporal variation of coral recruitment in Taiwan. Journal of Coral Reefs Volume 22 No. 3: p224-228

Veron JEN. 1995. Corals in Space and Time: The Biogeography and Evolution of Scleractinian. Townsville: Australian Institut of Marine Science.

Wallace, C.C. (1985). Seasonal peak and annual fluctuations in recruitment of juvenile scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 21:280-298.  

Vertikal Horizontal Darkest Lightest

49 Acropora Branching Tepi 15 Cm 6,24 17,280

Bulu Babi +

Makroalga D4

61 Acropora Encrusting Tengah 16 Cm 8,232 36,126 C6 D5

63 Acropora Encrusting Tengah 17 Cm 5,685 23,162 B5 E4

Acropora Encrusting Tengah 16,5 Cm 6,41 23,442 C6

Acropora Encrusting Tengah 15 Cm 6,262 20,440 C6

Acropora Encrusting Tengah 16,5 Cm 7,343 23,770 C6

67 Acropora Encrusting Tengah 13,5 Cm 7,706 37,394 C6

Acropora Encrusting Tengah 8 Cm 7,906 43,911 C6

68 Acropora Encrusting Tengah 18 Cm 5,482 19,296 C5

Acropora Branching Tengah 16 Cm 8,895 48,339 D6 D5

Acropora Encrusting Tengah 16 Cm 3,446 9,410 D5

69 Acropora Encrusting Tengah 13 Cm 4,1 8,289 D5

Tengah 12 Cm Karang mati

70 Acropora Branching Tengah 13 Cm 7,762 32,749 C6 C4

Acropora Encrusting Tengah 16 Cm 6,352 19,076 E5

Acropora Encrusting Tengah 18 Cm 4,743 11,747 D5

Acropora Encrusting Tengah 15 Cm 7,507 22,561 C6

71 Acropora Branching Tengah 15,5 Cm 6,458 22,857 D6 D3

72 Acropora Encrusting Tengah 28 Cm 6,443 20,965 C6 C5

73 Acropora Encrusting Tengah 22 Cm 5,211 19,905 C6

        Lampiran 1. Lanjutan    No

Batu Genus Lifeform

Tempat Menempel Jarak Dari Dasar (cm) Diameter (cm) Luas (cm2) Keterangan Kesehatan Karang

Vertikal Horizontal Darkest Lightest

74 Acropora Encrusting Tengah 23 Cm 3,728 8,981 D5

Acropora Encrusting Tengah 14 Cm 8,685 44,691 C6

78 Acropora Branching Tengah 9 Cm 9,511 33,684 C6

92 Acropora Encrusting Tengah 24 Cm 4,433 11,738 C6 C5

94 Acropora Encrusting Tepi 6 Cm 9,525 64,19 C6

95 Acropora Encrusting Tengah 26,5 3,916 10,276 D6 D5

Acropora Encrusting Tengah 11,5 6,419 29,91 D6

Tengah 17 Karang mati

99 Acropora Encrusting Tengah 23 Cm 6,084 29,025 C6

100 Porites Encrusting Tepi Kiri 22 Cm 8,122 48,031 C6

Acropora Encrusting Tengah 19 Cm 3,746 8,374 D3 D2

101 Acropora Branching Tengah 20 Cm 7,568 33,807 C6

Porites Submassive Tepi 19 Cm 12,686 114,852 C6

103 Acropora Branching Tepi Kiri 19,5 Cm 5,499 22,457 C6

Acropora Encrusting

Dokumen terkait