• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI FISIK WILAYAH

Batasan Wilayah

Secara administrasi wilayah penelitian meliputi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (43 kecamatan, 265 kelurahan), sebagian masuk wilayah Bekasi, Tangerang, Depok, Banten dan Bogor. Secara geografi wilayah ini berada pada koordinat koordinat 106o 32’ 25” – 107o 05’ 08” BT dan 06o 01’ 00” – 06o

Menurut Soekardi (1986) dan Herlambang (1990) dasar penetapan batas cekungan akuifer Jakarta disebelah barat dan timur adalah tidak adanya pengaruh pengambilan air tanah, diwilayah barat dan timur terhadap sistem akuifer Jakarta, sedangkan untuk wilayah selatan ditentukan oleh kondisi hidrogeologi Jakarta dan untuk wilayah sebelah utara didasarkan oleh tinggi muka air tanah konstan yang terjadi karena pengaruh masuknya air laut kedalam sistem akuifer. Untuk menentukan batas sistem akuifer Jakarta ideal, maka batas dari sistem akuifer tersebut tidak dipengaruhi oleh pengambilan air tanah pada wilayah batas. Kondisi ideal seperti itu sangat sulit dijumpai di lapangan.

41’ 54” LS atau pada UTM pada koordinat X: 670000-730000 dan koordinat Y: 9260000- 9335000. Batas sebelah utara adalah Laut Jakarta (Teluk Jakarta), barat adalah sungai Cisadane, timur Kali Bekasi dan selatan adalah Bogor bagian utara. Luas areal secara keseluruhan adalah 60 km x 75 km. Wilayah penelitian seperti dapat dilihat pada Gambar 7.

Iklim

Secara umum iklim di wilayah penelitian adalah Tropis-lembab, dengan kelembaban relatif tinggi berkisar antara 73-78 %. Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson wilayah penelitian termasuk iklim Tipe D dengan nilai Q sebesar 0,144< Q <0,333, dengan kisaran suhu udara antara 23,8o - 34o C. Musim hujan dimulai dari bulan Nopember sampai Mei sedangkan musim kemarau dari bulan Juni sampai Oktober. Wilayah pantai pada umumnya mendapat curah hujan yang lebih sedikit jika dibanding dengan wilayah pegunungan. Curah hujan tahunan adalah 3009 mm/tahun, dengan rata-rata curah hujan bulanan di wilayah penelitian adalah 200 mm/bln.

Geologi Permukaan

Satuan batuan yang mengontrol bentang alam pada sistem akuifer cekungan air tanah Jakarta adalah endapan Kuarter. Endapan Kuarter ini terdiri dari bahan-bahan berbutir halus seperti lanau sampai pasir halus, dan dialasi oleh satuan batuan yang berumur Tersier. Endapan Kuarter tersebut terdiri atas endapan aluvium dan endapan kipas aluvium (BG-PLG 2009).

Batuan sedimen yang dapat dijumpai di daerah penelitian berumur Oligosen, Eosen, Miosen dan Pliosen. Batuan sedimen tersebut berfungsi sebagai batuan dasar untuk cekungan air tanah Jakarta. Formasi batuan yang berumur Oligosen-Eosen dapat dijumpai di daerah pegunungan, tersebar secara sporadis dan muncul dan di laut Jawa. Deposit vulkanik Kuarter banyak dijumpai dikaki Gunung Salak dan Pangrango. Dataran pantai, kipas aluvial dan endapan teras menempati sebagian besar daerah penelitian dengan umur antara Pleistosen dan Holosen (Herlambang, 1990).

Sistem geologi permukaan wilayah dapat dikelompokkan menjadi 6 sistem yaitu (Herlambang, 1990):

1. Formasi Jatiluhur (Miosen) Formasi Jatiluhur tersingkap di pegunungan sebelah tenggara wilayah studi, tersusun oleh batulempung berlapis, batupasir kuarsa, dan napal. Formasi Jatiluhur ini mengalami pemadatan sehingga bersifat impermeabel.

2. Formasi Bojongmanik. Formasi Bojongmanik tersusun dari batugamping berselang-seling antara lempung dan batu pasir. Batuan ini pada umumnya keras dan dengan permeabilitas rendah, tetapi mengandung retakan dan lubang- lubang hasil pelarutan (proses solusi), sehingga memungkinkan dijumpai air tanah meskipun dalam jumlah yang kecil.

3. Formasi Genteng (Pliosen). Formasi Genteng tersusun oleh batupasir kasar tufaan dan lempung, kadang-kandang bergabung dengan fragmen pumis. Batuan ini mempunyai permeabilitas rendah hingga sedang. Wilayah singkapan Formasi Genteng wilayah Tangerang dijumpai sebagai batuan dasar sungai Cisadane.

4. Formasi Vulkanik Tua (Pleistosen). Formasi Vulkanik tua terdiri dari Breksi Lahar (Vb), Aliran Lava Vulkanik Tua (Vp) dan Batuan Vulkanik tua yang

sukar dibedakan (Vu). Wilayah penyebaran terutama di daerah selatan, wilayah pengunungan barat dan timur.

5. Formasi Vulkanik Muda (Pleistosen) Formasi Vulkanik Muda terdiri dari aliran vulkanik muda (V1), Batuan vulkanik yang mengandung Pumis (Va) dan batuan Vulkanik Muda (V). Bagian bawah dari formasi vulkanik ini merupakan batuan hasil aliran vulkanik dengan tekstur porfiritik yang membentuk lapisan yang bersifat impermeabel. Anggota bagian tengah (Va) terdiri dari batu pasir tufaan ukuran halus sampai dengan menengah dan bersifat impermeabel menengah. Bagian yang paling atas V, terdistribusi secara luas, tersusun lempung tufaan, pasir,konglomerat, endapan lahar, dan material lapukan. Lapisan bagian atas ini mempunyai tingkat permeabilitas tinggi dan membentuk akuifer tertekan.

6. Sedimen Aluvial (Holosen). Sedimen ini terdiri dari tiga anggota yaitu aluvial sungai di daerah pantai (As) Pematang pantai (Ap) dan Aluvium (A1). Aluvium pantai di daerah sungai merupakan endapan paling tua, yang tersebar sepanjang pantai. Sedimen ini mengandung konglomerat dengan sortasi yang baik. Komposisi antara andesit dan basaltik ini merupakan akuifer tidak tertekan yang baik. Aluvial pematang pantai ini terdiri dari endapan pasir lepas, ukuran halus, mengandung cangkang fosil. Komposisi pasir merupakan fragmen andesitik, tersingkap secara sejajar dengan garis pantai. Lapisan aluvial pematang pantai ini merupakan suatu lapisan yang bersifat taktertekan yang permeabel dengan muka air tanah rendah. Sedimen aluvium (A1) ini dibedakan menjadi tiga jenis yaitu aluvial pantai, sungai dan lembah aluvial. Sedimen aluvial ini banyak mengandung organik, dan mempunyai tingkat permeabilitas rendah. Sedimen aluvial sungai terdiri dari lempung, pasir dan gravel dan boulder andesit atau basalt. Sedimen aluvial sungai ini mempunyai tingkat permeabilitas tinggi sedangkan sedimen aluvial lembah mengandung material yang terdiri dari lempung tufaan dan pasir. Sedimen aluvial lembah ini mempunyai tingkat permeabilitas tinggi.

Stratigrafi

Secara stratigrafi di wilayah penelitian terdiri dari tiga mandala sedimentasi yaitu (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1992): Mandala Paparan Benua, Mandala Sedimentasi Cekungan bogor, Mandala Sedimentasi Banten. Cici-ciri dari ketiga mandala sedimentasi adalah sebagai berikut: Untuk Mandala Paparan Benua, dicirikan oleh paparan batu pasir kuarsa, batu gamping dan batu lempung yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Mandala Sedimentasi Cekungan Bogor dicirikan oleh endapan aliran gravitasi yang terdiri dari komponen batuan andesit, basalan, tuf dan batu gamping. Mandala ini meliput zona Bandung, Bogor dan Pegunungan Selatan. Mandala sedimentasi Banten pada awal Miosen, endapan sedimennya menyerupai endapan cekungan Bogor, sedangkan pada akhir tersier mendekati paparan benua. Satuan tertua yang tersingkap adalah Formasi Rengganis (Tmrs) yang terdiri dari batu pasir halus kasar, konglomerat dan batu lempung,yang berumur Miosen Awal. Formasi ini ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Bojongmanik (tmb) yang berumur Miosen Tengah, bagian timur berkembang Formasi Klapanunggal (Tmk) terdiri dari batugamping koral, batugamping pasiran, batupasir kuarsa glokonitan dan batu pasir hijau. Formasi ini berhubungan dengan Formasi Jatiluhur (Tmj) yang terdiri dari napal, batulempung dengan sisipan batupasir gampingan. Formasi- formasi tersebut diatas ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Genteng (Tpg), yang berumur Pliosen Awal. Formasi Genteng ditindih oleh Formasi Serpong (Tpss) yang berumur Pliosen Akhir, dan tersusun oleh konglomerat batu pasir, batulanau batu lempung, tuf halus, tuf batuapung dan fosil tanaman. Formasi Serpong ditindih secara tidak selaras oleh Tuf Banten (QTvb) yang berumur Plio- Plestosen, tersusun oleh tuf, breksi batuapung dan Batupasir tufaan.

Geologi bawah permukaan pada wilayah penelitian direkonstruksi oleh para ahli dengan menggunakan sayatan tegak yang diperoleh dari sumur bor. Rekonstruksi tersebut telah dimulai oleh Marks (1956), GSI (1973) dan Soekardi (1973). Rekonstruksi yang dikembangkan oleh Soekardi dalam Herlambang (1990) disebutkan bahwa sedimen kuarter ini dibagi menjadi 9 unit stratigrafi.

Unit stratigrafi I, unit ini mempunyai ketebalan lapisan berkisar antara 20- 50 m. Unit ini mengandung fase darat pada bagian bawahnya yang terdiri dari

pasir tufaan yang belum terkonsolidasi, lempung dan gravel. Bagian atas dari unit ini merupakan fase laut, tersusun oleh lempung, pasir lempungan dan pasir. Unit stratigrafi II, merupakan fase laut yang tersusun oleh lempung, ketebalan lapisan berkisar antara 4-12 m. Unit stratigrafi III, merupakan fase darat, terdiri dari lempung dan gravel dengan ketebalan berkisar antara 30-65 m. Unit stratigrafi IV, lapisan dengan dua fase darat dan laut, bagian atas fase laut sedangkan bawah fase darat, tersusun oleh pasir dan lempung darat. Unit stratigrafi V-VIII mengandung sedimen Pleistosen Tengah endapan laut, kecuali pada unit VI, yang tersusun oleh lempung, lempung pasiran, pasir dan gravel dengan didominasi oleh lempung. Ketebalan unit stratigrafi V-VIII ini berkisar antara 100-230 m. Unit stratigrafi IX tersusun oleh lempung dengan lempung pasiran.

Geomorfologi

Secara geomorfologi wilayah penelitian dibagi menjadi 4 satuan morfologi. Keempat satuan morfologi tersebut adalah (DGTL 1996):

1. Daerah Dataran, wilayah ini mempunyai kemiringan lereng antara 0-0,5%, dengan ketinggian permukaan tanah antara 0-25 m diatas permukaan air laut. Luas wilayah dataran ini kira-kira 42% dari wilayah penelitian, dengan bentuk lahan dataran rawa, sungai, pantai, pematang pantai dan delta. Tanah dan batuan penyusun wilayah berupa aluvium rawa, pantai dan sungai, endapan undak sungai serta aluvium gunung api kuarter.

2. Wilayah dengan kelerengan sedang antara merupakan wilayah dengan topografi hampir datar hingga bergelombang serta mempunyai kemiringan lereng berkisar antara 0,5-1,5%, dengan luas wilayah mencapai 50 % dari tital wilayah. Ketinggian wilayah ini diukur dari permukaan laut berkisar antara 25- 144 m. Tanah dan batuan penyusun wilayah ini merupakan pelapukan aluvium volkanik, kolovium dan batuan gunung api kuarter.

3. Daerah dengan kelerengan curam, wilayah ini mempunyai kemiringan lereng antara 1,5%-3% dengan ketinggian antara 75-138 m di atas permukaan laut. Morfologi wilayah ini pada umumnya banyak dipengaruhi oleh torehan- torehan alur sungai, membentuk lembah-lembah sungai yang cukup lebar. Batuan penyusun di wilayah ini terdiri dari gunung api kuarter, batu gamping

dan batuan sedimen tersier. Wilayah dengan topografi lereng curam ini kira- kiran 4,86% dari wilayah penelitian.

4. Wilayah dengan kelerengan terjal, wilayah ini mempunyai topografi perbukitan relief terjal dengan kemiringan lereng antara >3%, luas wilayah mencapai 3,14 % dari total wilayah. Ketinggian wilayah ini berkisar antara 100-340 m dari permukaan laut. Morfologi wilayah pada umumnya membentuk morfologi kars.

Hidrogeologi

Menurut Soekardi (1986), sistem akuifer Jakarta dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok akuifer bagian atas (I) dengan kedalaman kurang dari 40 m dibawah muka air laut, kelompok akuifer menengah (II) dengan kedalaman antara 40-140 m dan kelompok akuifer bawah (III) dengan kedalaman antara 140-250 m. Lapisan akuifer bagian atas (I) merupakan lapisan akuifer taktertekan (unconfined aquifer) atau akuifer bebas. Lapisan akuifer taktertekan adalah suatu lapisan batuan yang mengandung air yang terletak diatas lapisan kedap air, sedangkan bagian atas dari lapisan tersebut adalah bebas atau tidak tertutup oleh lapisan kedap. Lapisan akuifer II dan III merupakan lapisan akuifer tertekan (confined aquifer) dimana dibagian atas dan bawah lapisan akuifer tersebut terdapat lapisan akuitar.

Tingkat produktivitas akuifer Jakarta dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: (1) Akuifer produktivitas baik menghasilkan air tanah dengan debit lebih dari 5 lt/dt, pada umumnya berada di wilayah tengah dari daerah penelitian, (2) akuifer produktivitas sedang dengan debit air tanah 5 lt/dt, pada umumnya berada di wilayah utara dan selatan daerah penelitian dan (3) akuifer produktivitas rendah dengan debit air tanah kurang dari 5 lt/dt, pada umumnya berada pada wilayah dengan sistem hidrogeologi rekahan, kekar dan rongga berada di selatan. Untuk mengetahui penyebaran tingkat produktivitas akuifer di masing-masing wilayah dapat dilihat pada Peta Hidrogeologi Jakarta dan sekitarnya (Gambar 8 dan 9).

Gambar 10. Ilustrasi ketersediaan serta pengambilan air tanah (BG-PLG, 2009)

Potensi Air Tanah

Air tanah pada sistem akuifer Jakarta ini mendapat resapan air tanah yang berasal dari resapan vertikal yang berasal dari bagian utara dan dari aliran horisontal yang berasal dari bagian selatan dari sistem akuifer cekungan air tanah Jakarta. Resapan air tanah yang berasal dari air hujan sangat berpengaruh terhadap fluktuasi air tanah. Fluktuasi air tanah di wilayah utara pada musim kemarau dan musim hujan berkisar antara 1-1,9 m, akan tetapi di wilayah selatan mencapai 3- 3,3 m.

Menurut Badan Geologi Pusat Lingkungan Geologi (BP-PLG), bahwa ketersediaan air pada sistem akuifer cekungan Jakarta ini mendapat input atau masukan dari curah hujan tahunan sebesar 3 x 109 m3/tahun. Jumlah cadangan air tanah di wilayah pantai mencapai 7,5 m3/dt dan dibagian selatan mencapai 17,8 m3/dt, sehingga total ketersediaan air tanah pada sistem akuifer tidak tertekan adalah 25,3 m3/dt atau sekitar 800 x 106 m3/tahun. aliran air tanah (ground water inflow) dari arah selatan yang masuk kedalam sistem air tanah sebesar 15 x 106 m3/tahun dan aliran air tanah dari sistem akuifer tidak tertekan yang terjadi secara alamiah yaitu sebesar 37 x 106 m3/tahun (BG-PLG, 2009). Ketersediaan Air tanah pada sistem akuifer tertekan pada kedalaman 40-250 m berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Badan Geologi Pusat Lingkungan Geologi adalah 52 juta m3/tahun (BG-PLG, 2009). Secara ilustrasi, ketersediaan dan cadangan air tanah di cekungan Jakarta menurut dapat dilihat pada Gambar 10.

Penduduk

Seperti telah dijelaskan dalam pendahuluan bahwa dalam kurun waktu tujuh tahun (2000-2007) perkembangan penduduk di wilayah penelitian mengalami peningkatan hampir satu juta orang. Tingkat perkembangan penduduk di DKI Jakarta di kelima wilayah DKI Jakarta ini berbeda-beda, wilayah Jakarta Selatan (+0,5%/th), Jakarta Pusat (+12,24%/th) dan Jakarta Barat (+5,8 %/th) mengalami perkembangan penduduk positif sedangkan wilayah Jakarta Timur (-9,8%/th) dan Jakarta Utara (-10,68%/th) mengalami pertumbuhan negatif (BPS DKI, 2008). Data penduduk DKI tahun 2008 adalah 8.489.910 jiwa sedangkan pada 2011 adalah 8.525.243 jiwa. Wilayah dengan jumlah penduduk tertinggi adalah Jakarta Timur mencapai 2.634.779 jiwa, Jakarta Selatan 1.892.610 jiwa, Jakarta Barat 1.635.887 jiwa, Jakarta Pusat 916.717 jiwa dan Pulau Seribu berjumlah 22.074 jiwa. Jumlah penduduk untuk tiap-tiap wilayah di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah dan kepadatan penduduk tahun 2011 di wilayah DKI Jakarta (Sampai dengan Januari 2011)

No Wilayah Penduduk WNI Jiwa Penduduk WNA (Jiwa) Total 1 Jakarta Pusat 916.381 336 916.717 2 Jakarta Utara 1.422.677 509 1.423.186 3 Jakarta Barat 1.635.251 636 1.635.887 4 Jakarta Selatan 1.891.543 675 1.892.610 5 Jakarta Timur 2.634.543 236 2.634,779 6 Kepulauan Seribu 22.064 0 22.074 Jumlah 8.522.851 2.392 8.525.243

Sumber: Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI

Tabel 6. Jumlah sumur bor dan pengambilan air tanah di DKI Jakarta. No Tahun Sumur Bor (buah) Pengambilan Air

(juta m3/tahun) 1 1995 3200 32 2 1996 3250 26 3 1997 3500 22,5 4 1998 3600 16 5 1999 3117 16,43 6 2000 3224 17,50 7 2001 3257 17,98 8 2002 3474 21,37 9 2003 3517 22,64 10 2004 3563 20,84 11 2005 3563 20,84 12 2006 3650 20,70 13 2007 3650 22,51 14 2008 2260 19,83 15 2009 2260 19,83

(Sumber: DTLG&KP, 2004 dan BPLHD, 2008) Pengambilan Air

Pengambilan air tanah secara komersial yang dilakukan oleh sektor industri, komersial dan perkantoran di Jakarta pada periode 1995-2009 mengalami fluktuasi. Fluktuasi pengambilan air tanah pada periode tersebut kemungkinan disebabkan oleh pencatatan yang kurang akurat, sebab antara jumlah sumur dengan jumlah pengambilan tercatat tidak ada sinkronisasi.

Berdasarkan data tercatat di Dinas Geologi/BPLHD Jakarta, bahwa Tahun 1995 terjadi pengambilan air tanah sebesar 32 juta m3/tahun yang berasal dari 3200 sumur, sedangkan terendah pada tahun 1998 sebesar 16 juta m3/tahun

berasal dari 3600 sumur, merupakan jumlah sumur terbanyak pada periode 1995- 2009.

Jumlah pengambilan air oleh penduduk diperkirakan sebesar 213,8 juta m3/tahun. Perhitungan ini didasarkan dari asumsi kebutuhan air bersih sebesar 0,15 m3/jiwa/hari dikalikan jumlah penduduk sebesar 8.489.910 jiwa sehingga total kebutuhan adalah 464,8 juta/m3/tahun. Jika PDAM baru mampu memenuhi sebesar 54%, maka jumlah pengambilan air tanah oleh penduduk diperkirakan sebesar 464,8 juta m3/tahun.

Penggunaan Lahan

Data penggunaan lahan diwilayah penelitian dianalisis dari peta rupa bumi digital tahun 2006. Penggunaan lahan di wilayah penelitian terdiri dari 15 jenis penggunaan lahan, dengan prosentase penggunaan lahan paling besar adalah pemukiman dan gedung yang mencapai 53,04%, untuk rumput/tanah kosong mencapai 12,18 % dan tegalan atau ladang mencapai 11,46% dan sisanya dengan total prosentase 22,96 % terdiri dari lahan perairan, semak belukar, hutan, hutan rawa, rawa, empang, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tanah berbatu dan pasir pantai dengan prosentase masing-masing kurang dari 2 %. Alokasi penggunaan lahan di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Penggunaan lahan pada grid aktif di wilayah penelitian

No Penggunaan Lahan Luas (Km2) % Luas Lahan 1 Air Tawar (Sungai, Badan Air) 42,57 1,45

2 Belukar/Semak 33,29 1,13 3 Empang 16,25 0,55 4 Gedung 82,28 2,80 5 Pemukiman 1.476,65 50,24 6 Hutan 6,42 0,22 7 Hutan Rawa 2,14 0,07 8 Kebun/Perkebunan 288,97 9,83 9 Pasir Pantai 30,67 1,04 10 Rawa 15,28 0,52 11 Rumput/Tanah kosong 357,96 12,18 12 Sawah Irigasi 216,10 7,35

13 Sawah Tadah Hujan 27,04 0,92

14 Tanah Berbatu 6,85 0,23

15 Tegalan/Ladang 336,91 11,46

DHL Tahun 2009

Batas salinitas yang menunjukkan indikasi payau disemua kelompok akuifer diindikasikan dengan kriteria DHL>1.500 µmhos/cm, kadar Cl- >500 ppm dan TDS > 1000 ppm. Wilayah yang sudah mengalami tingkat salinitas payau dapat dijelaskan sebagai berikut (BG-PLG, 2009):

1. Pada kelompok akuifer <40 m bmt. Garis batas antara air tanah asin dan air tanah payau pada kelompok akuifer ini adalah daerah Jurumudi dan Porisgaga (Tangerang) Kebonjeruk, Kemanggisan, Matraman, Pulogadung dan Ujung Menteng dan Tarumjaya serta Babelan (Bekasi). Di wilayah barat mulai dari Rawa Bokor, Benda dan Jurumudi Tangerang, terjadi kenaikan DHL, menjadi 697 µmhos/cm dan untuk wilayah Bintaro Jaya terjadi penurunan, menjadi 205 µmhos/cm. Kapuk, Kamal Muara, Kamal Pluit, Pasar Ikan dan Penjagalan terjadi kenaikan DHL air tanah, kisaran DHL mulai dari 107 µmhos/cm sampai 697 µmhos/cm dan 520 µmhos/cm sampai 4920 µmhos/cm dan 1385 µmhos/cm sampai 2400 µmhos/cm. Penurunan DHL air tanah terjadi di daerah Tebet dan Pasar Minggu, Tanah Abang dan Pondok Aren masing-masing antara 79 µmhos/cm-239 µmhos/cm, 100 µmhos/cm dan 205 µmhos/cm, di wilayah Tangerang terjadi kenaikan antara 107 µmhos/cm sampai 697 µmhos/cm, sedangkan untuk wilayah dengan morfologi perbukitan bergelombang, terjadi di Ciracas, Pondok Cina.

2. Kelompok akuifer (40-140 m). Wilayah batas air tanah asin dan air tanah payau adalah: Jurumudi, Porisgaga, Kebonjeruk, Tanah Abang, Cempaka Putih, Kelapa Gading dan Cilincing, Bagorsora, Tambun dan Babelan. Wilayah bagian barat, kenaikan DHL Wilayah Tangerang meliputi Benda, Jurumudi, Cikokol, Serpong dan Pondok Aren. Kenaikan DHL di Jakarta Utara meliputi Kamal Muara, Kamal dan Pejagalan. Untuk Jakarta Barat meliputi wilayah Kapuk. Jakarta Selatan meliputi wilayah Tebet dan jakarta Pusat meliputi Tanah Abang. Untuk wilayah bagian timur meliputi wilayah Jatinegara, Durensawit, Kranji dan Medan Satria, sedangkan wilayah yang mengalami penurunan DHL terjadi di Narogong dan wilayah yang mengalami kenaikan DHL adalah Cimanggis.

Tinggi Muka Air Tanah

Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Badan Geologi Pusat Lingkungan Geologi (BG-PLG, 2009) terhadap 57 sumur pantau serta 48 sumur produksi yang dipilih (22 sumur bor dan 26 sumur bor dan gali) maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perubahan baik kualitas maupun kedudukan muka air di beberapa wilayah tersebut telah terindikasi adanya penurunan tanah. Penurunan kualitas dan kedudukan muka air tanah ini banyak dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah pengambilan air tanah yang dilakukan oleh berbagai perusahaan. Berdasarkan laporan yang dilakukan oleh berbagai perusahaan pengguna air bawah tanah terdapat juga data penggunaan air tanah yang mengalami penurunan. Perusahaan yang telah mengalami penurunan penggunaan air bawah tanah tersebut pada umumnya telah memanfaatkan teknologi daur ulang dengan memanfaatkan air limbah yang telah diolah kembali menjadi air bersih (BG-PLG, 2009).

Kedudukan muka air tanah dibawah muka air laut pada sistem akuifer dangkal < 40 m pada periode 2009, meliputi Kamal Muara, Kamal Muara Angke, Pluit, Ancol, Sunter, Walang, Cilincing dan Marunda (Jakarta Utara), Pejagalan (Jakarta Barat), Tanah Abang dan Grogol (Jakarta Pusat).

Kedudukan muka air tanah di daerah tersebut antara 0,07 m-5,90 m bawah muka laut, di daerah Cilincing (Jakarta Utara) serta Grogol dan Kebayoran Lama. Pada periode yang sama BG-PLG melaporkan bahwa telah terjadi perubahan muka air tanah baik yang mengalami kenaikan maupun penurunan muka air tanah. Wilayah yang mengalami kenaikan air tanah antara lain:

1. Wilayah Jakarta Utara meliputi Kamal Muara dan Pluit (0,10-0,48 m). Wilayah Jakarta Barat meliputi Kapuk kamal, Kapuk dan Cengkareng (0,08-0,28 m) dan Kota Tangerang meliputi daerah Jurumudi, Rawa Bokor serta Benda (0,30- 1,10m).

2. Wilayah yang mengalami penurunan air tanah: Wilayah Jakarta Utara meliputi wilayah Tongkol, dan Pasar Ikan (0,08-0,16 m), Penjagalan (0,03 m) dan di Jakarta Selatan meliputi daerah Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Cilandak serta Pasar Minggu (0,25-4,25 m). Wilayah Jakarta Timur meliputi Tebet, Jatinegara, Duren Sawit dan Ciracas (0,23-3,5 m). Wilayah

Jakarta Selatan meliputi daerah Pasar Minggu dan Pasar Rebo (0,25-3,75 m). Untuk wilayah perbukitan bergelombang di wilayah Jakarta Timur meliputi daerah Jagakarsa (0,29 m) dan Ciracas 1,00-2,27 m.

3. Kedudukan muka air tanah pada kedalaman antara 40-140 m, dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh BG-PLG (2009), menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kedudukan muka air tanah, perubahan kedudukan muka air tanah ini banyak dipengaruhi oleh pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Kedudukan muka air tanah pada tahun sebelum 1960 berada di atas permukaan tanah sehingga air tanah mengalir ke permukaan tanah tanpa dilakukan pemompaan. Hasil pengukuran kedudukan air tanah yang dilakukan oleh BG- PLG tahun 2009 menunjukkan adanya perubahan kedudukan muka air tanah, yaitu di wilayah dataran kedudukan muka air tanah mencapai 3,6-50,6 m, bahkan dibeberapa tempat kedudukan muka air tanah sudah berada di bawah muka air laut.

4. Kedudukan terdalam yaitu 40 m di bawah muka tanah dijumpai di komplek PT Sinar Sosro Jakarta Timur, PT. Mundo, Ujung Menteng, Jakarta Utara, Perumahan Bintaro Jaya, Pondok Aren (Kabupaten Tangerang) dan PT. Aqua, Medan Satria, Kota Bekasi.

Kedudukan muka air tanah di wilayah perbukitan bergelombang berkisar antara 14,2-36,7 m bawah muka tanah, sedangkan yang terdalam adalah 30 m yang dijumpai di kompleks Hotel Bumi Wiyata, Kota Depok, PT.SCTI Ciracas, PT Sari Sedap di wilayah Bekasi, sedangkan kedudukan muka air tanah di wilayah dataran pada umumnya berada di bawah muka laut dan menempati wilayah yang sangat luas mulai dari Kamal Muara, Tegal Alur, Muara Angke, Kapuk, Jelambar, Grogol, Gambir, Kemanggisan, Kemayoran dan Kebayoran, Walang, Cilincing, Marunda, Tambun Cipulir, Kebayoran baru, Mampang

Dokumen terkait