• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salt water intrusion study in Jakarta aquifer system

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Salt water intrusion study in Jakarta aquifer system"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN INTRUSI AIR ASIN

PADA SISTEM AKUIFER JAKARTA

Robertus Haryoto Indriatmoko

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI

TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul:

KAJIAN INTRUSI

AIR ASIN PADA SISTEM AKUIFER JAKARTA

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, 28 Agustus 2012

(4)
(5)

ABSTRACT

ROBERTUS HARYOTO INDRIATMOKO. Salt Water Intrusion Study In Jakarta aquifer system. Under supervision of NAIK SINUKABAN and SURIA DARMA TARIGAN

Saltwater intrusion in the aquifer system of Jakarta area, is a study of ground-water in conjunction with hydrostatic equilibrium between freshwater and saltwater flows in aquifer system at border of coastal. There are two main objectives of this study, namely: (i). To analyze the rate of saltwater instrusion in Jakarta aquifer system and (ii) To analyze the impact of recharge of rainwater to control the rate of saltwater intrusion in Jakarta aquifer system. To achieve that objectives, research methodology and material use are as follows: (i). Method use are descriptive, analysis and modelling; (ii) System and technique of data required use secondary and primary data which are grouped in three area of transected zones. (iii). Material use are: Salinity data (EC, Cl- and TDS) were collected over period of 1995 - 2010 with inverval per 3 km at zone transected, hydrogeology, water consumption and recharge; and (iv) Mathematic model use is SHARP model with block-centered finite-difference grid at scale 3 km x 3 km area. Conclusion of this study are: (1). The average rate of saltwater instrusion during period of 1982 – 2010 at transection zone I was 0,1 km/year, at transection zone II was 0,06 km/year and at transection zone III was 0,11km/year. (2). Based on prediction in 2025 ground water consumption amount of 8,02 m3/second will impacted saltwater intrusion at transection zone I at distance of 9 km, at transection zone II at distance of 9 km and at transection zone III at distance of 13,5 km from coastal border. (3). Based on prediction for 2025, increase of ground-water recharge with amount of 3,95 m3/second by applied 100% artificial-recharge based on requirement government regulations, will decrease the saltwater instrusion at all transection zones which are transection zone I will decrease with amount of 1,5 km, transection zone II will decrease with amount of 3 km and at transection zone III will decrease with amount of 4,5 km compare with without artificial recharge, or decrease of saltwater intrusion as of conclusion item (2) above and (4). Based on prediction for 2025, increase of ground water recharge with amount of 0,99 m3

/second by applied 25% artificial recharge based on requirement of government regulations, will decrease the saltwater instrusion at 2 transection zones which are transection zone II will decrease with amount of 1,5 km and at transection zone III will decrease with amount of 1,5 km compare with without artificial recharge, or decrease of saltwater intrusion as of conclusion item (2) above.

(6)
(7)

RINGKASAN

ROBERTUS HARYOTO INDRIATMOKO. Kajian Intrusi Air Asin Pada Sistem Akuifer Jakarta. Dibimbing oleh: NAIK SINUKABAN dan SURIA DARMA TARIGAN

Kajian Intrusi Air Asin Pada Sistem Akuifer Jakarta adalah studi air tanah, dalam hubungannya dengan kesetimbangan hidrostatis antara aliran air tanah tawar dan aliran air tanah asin pada sistem akuifer berbatasan dengan pantai. Penelitian ini dilakukan pada wilayah yang secara hidrogeologi dikenal sebagai cekungan air tanah Jakarta. Secara geografi terletak pada koordinat 6o 01’00” LS - 6o 41’54” LS dan 106o32’25” - BT-107o

Ada dua tujuan utama dalam studi ini yaitu 1. Menganalisis laju intrusi air asin pada sistem akuifer taktertekan. 2. Menganalisis pengaruh resapan air hujan untuk mencegah intrusi air asin pada sistem akuifer taktertekan. Identifikasi terhadap laju intrusi air asin perlu dilakukan untuk: (a). mengetahui kecepatan intrusi air asin di zone transeksi I (wilayah barat), zona transeksi II (tengah) dan zona transeksi III (timur), (b) pada wilayah mana intrusi air asin mengalami kecepatan laju paling cepat dan (c) faktor yang mempengaruhi intrusi air asin bergerak dengan cepat. Analisis pengaruh resapan air hujan dalam rangka mencegah intrusi air asin dilakukan dengan menggunakan model SHARP.

41’54” BT, meliputi wilayah administratif Jakarta, sebagian Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor serta dengan luas area sebesar 60 Km x 75 Km.

Untuk mencapai tujuan tersebut metodologi penelitian dan bahan yang digunakan adalah: (i) metode yang digunakan terdiri dari diskripsi, analisis dan modeling; (ii) Teknis dan sistimatika data yang dibutuhkan adalah menggunakan data sekunder dan primer yang dikelompokkan menjadi 3 zona transeksi; (iii) Bahan yang digunakan terdiri dari data salinitas (DHL, Cl

-Perencanaan resapan air dirancang menggunakan sumur resapan yang dilatar belakangi oleh Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 68 tahun 2005, dimana setiap perorangan atau pemangku kepentingan diharuskan menyediakan sumur resapan, dimana setiap 1 m

dan TDS) yang dikumpulkan selama periode 1995 – 2010 dengan interval per 3 km pada zona transeksi, hidrogeologi, konsumsi air tanah serta imbuhan dan (iv) model matematis yang digunakan adalah SHARP model dengan pusat grid finite-difference pada skala wilayah 3 km x 3 km.

2

lahan tertutup bangunan, wajib menyediakan sumur resapan 40 liter. Jika keputusan ini dilaksanakan maka akan ada ruang tampung yang berupa sumur resapan sebesar dengan volume 31,1 juta m3. Volume ruang tampung yang berupa sumur resapan tersebut dapat menampung air hujan tahunan dengan jumlah resapan mencapai 3,95 m3/dt. Jumlah resapan sebesar 3,95 m3

Hasil penelitian ini adalah bahwa: (1) Laju intrusi air asin yang dihitung sejak tahun 1982 sampai dengan periode (1995 – 2010) atau selama 28 tahun di ketiga wilayah zone transeksi adalah sebagai berikut: di zone transeksi I sebesar 0,1 km/th, di zone transeksi II sebesar 0,06 km/th dan di zone transeksi III sebesar 0,11 km/th. (2) Pada penggunaan air tanah sebesar 8,02 m

/dt ini ditambahkan sebagai input dalam model untuk mengetahui pengaruh dari penambahan resapan dalam mengurangi intrusi air asin dibandingkan dengan tanpa dilakukan tambahan resapan air tanah.

3

(8)

air tanah pada tahun 2025, akan menyebabkan terjadinya intrusi air asin di zone transeksi I mencapai jarak 9 km, di zone transeksi II mencapai 9 km dan di zone transeksi III mencapai 13,5 km. (3) Peningkatan resapan sebesar 3,95 m3/dt, yang dilakukan dengan pembangunan sumur resapan mencapai 100 % dari target dalam peraturan pemerintah atau dengan total volume sumur resapan mencapai 31,2 juta m3, dapat mengurangi intrusi air asin di zona transeksi I sejauh 1,5 km, di zone transeksi II sejauh 3 km dan di zona transeksi III sejauh 4,5 km, dibanding dengan tanpa tambahan resapan (4) Peningkatan resapan sebesar 2,96 m3/dt, yang dilakukan dengan pembangunan sumur resapan mencapai 75 % dari target dalam peraturan pemerintah atau dengan total volume sumur resapan mencapai 23,4 juta m3, dapat mengurangi intrusi air asin di zona transeksi I sejauh 1,5 km, di zone transeksi II sejauh 3 km dan di zona transeksi III sejauh 3,5 km, dibanding dengan tanpa tambahan resapan. (5) Peningkatan resapan sebesar 1,98 m3/dt, yang dilakukan dengan pembangunan sumur resapan mencapai 50 % dari target dalam peraturan pemerintah atau dengan total volume sumur resapan mencapai 15,6 juta m3, dapat mengurangi intrusi air asin di zona transeksi I sejauh 1,5 km, di zone transeksi II sejauh 1,3 km dan di zona transeksi III sejauh 3 km, dibanding dengan tanpa tambahan resapan. (6) Peningkatan resapan sebesar 0,99 m3/dt, yang dilakukan dengan pembangunan sumur resapan mencapai 25 % dari target dalam peraturan pemerintah atau dengan total volume sumur resapan 7,8 juta m3, dapat mengurangi intrusi air asin di zone transeksi II dan III sejauh 1,5 km, dibandingkan tanpa resapan.

(9)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmia, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

(10)
(11)

KAJIAN INTRUSI AIR ASIN

PADA SISTEM AKUIFER JAKARTA

Robertus Haryoto Indriatmoko

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Kajian Intrusi Air Asin Pada Sistem Akuifer Jakarta Nama : Robertus Haryoto Indriatmoko

NRP : A155080021

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Naik Sinukaban, M.Sc

Ketua Anggota

Dr Ir Suria Darma Tarigan, M.Sc

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Dr Ir Suria Darma Tarigan, M.Sc Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc. Agr

NIP.196203051987031002 NIP. 19650814199021001

(14)
(15)

KATA PENGANTAR

Masyarakat yang tinggal di wilayah pantai utara Jakarta saat ini semakin merasakan kesulitan untuk memanfaatkan air tanah bagi keperluan sehari-hari, terlebih-lebih setelah intrusi air asin masuk kedalam sistem akuifer tersebut. “Kajian Intrusi Air Asin Pada Sistem Akuifer Jakarta” adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui berapa kecepatan atau laju intrusi dalam sistem akuifer taktertekan, bagaimana mekanismenya dan bagaimana mengontrol intruasi air asin. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu jawaban dalam mengelola air tanah Jakarta dimasa mendatang.

Terima kasih, penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr Ir Naik Sinukaban, M.Sc, Dr Ir Suria Darma Tarigan, M.Sc, atas, saran, suport serta bimbingan yang telah diberikan untuk penulis. Kepada Teman-teman di Pusat Pengendalian dan Pencemaran Lingkungan BPP Teknologi: Heru Dwi Wahyono, Arie Herlambang, Nusa Idaman Said, Rudi Nugroho, Wahyu Widayat, Satmoko Yudo, Setiyono, Petrus Nugro Rahardjo dan Taty Hernaningsih, Bapak Ajad (DGTL), Bapak Wasis, Ibu Dian Wiwekowati dari BPLHD Jakarta, istriku tercinta Heleria Darlina Hutauruk atas dukungan, kesabaran, saran dan koreksinya.

Harapan saya semoga karya ini bermanfaat untuk pembangunan di Jakarta dan ilmu pengetahuan.

Bekasi, 28 Agustus 2012

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 8 Juni 1962, anak sulung dari pasangan Bapak Mateus Suyoto(

) dan Ibu Christina Kusmiwardani(

). Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada Program Studi Hidrologi, Fakultas Geografi, lulus pada tahun 1988. Penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, dengan mengambil Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, lulus pada tahun 2012.

Sejak tahun 1990, penulis bekerja di Kedeputian Bidang Analisis Sistem, kemudian pindah ke Kedeputian Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam pada Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sampai sekarang.

Aktivitas selama bekerja peneliti melakukan berbagai kegiatan penelitian pada bidang Pengendalian dan Pencemaran lingkungan, Pengelolaan Sumberdaya Air, Pengolahan Limbah dan Pengolahan air untuk air minum dan air bersih. Menjadi pemerhati masalah lingkungan, banjir dan pemasyarakatan sumur resapan

=12495), anggota dewan

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan 3

Hipotesa 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 5

Salinitas Air 5

Konduktivitas dan Porositas Batuan 5

Resapan Air Tanah 7

Intrusi Air Asin 8

Model SHARP 9

Kalibrasi dan Validasi Data 17

Dasar-dasar Perencanaan 19

METODOLOGI 23

Lokasi, waktu penelitian dan peralatan 23

Metode Penelitian 24

Sistematik Data 25

Analisa dan Uji Data 27

(20)

KONDISI FISIK WILAYAH 31

Batasan Wilayah 31

Iklim 31

Geologi Permukaan 33

Stratigrafi 35

Geomorfologi 36

Hidrogeologi 37

Potensi Air tanah 40

Penduduk 41

Pengambilan air tanah 42

Penggunaan lahan 43

DHL tahun 2009 45

Tinggi Muka air tanah 46

HASIL DAN PEMBAHASAN 49

Indikator Intrusi 51

Laju intrusi air asin 54

Pengaruh tinggi muka air tawar terhadap intrusi 57

Resapan Air Tanah 59

Prediksi Penggunaan Air Tanah 61

Hasil Kalibrasi dan Validasi Data 63

Pengaruh Penambahan Resapan Terhadap Intrusi Air Asin 65

SIMPULAN 69

SARAN 69

DAFTAR PUSTAKA 71

LAMPIRAN 75

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Klasifikasi sifat air 5

2 Konduktivitas hidrolis berbagai jenis batuan 6

3 Porositas berbagai jenis batuan 7

4 Berbagai jenis data yang digunakan, sumber dan cara perolehanya 23

5 Jumlah dan kepadatan penduduk Tahun 2011 42

6 Jumlah sumur bor dan pengambilan air tanah di DKI Jakarta 42 7 Penggunaan lahan pada grid aktif di wilayah penelitian 43 8 Hasil analisa regresi antara DHL dengan Cl- dan DHL dengan TDS

pada sistem akuifer tak tertekan cekungan air tanah Jakarta

50

9 Perubahan DHL air tanah pada zone transeksi I tahun 2010 52 10 Perubahan DHL air tanah pada zone transeksi II tahun 2010 52 11 Perubahan DHL air tanah pada zone transeksi III tahun 2010 52 12 Perkembangan jarak dari pantai batas intrusi air asin pada zone

transeksi I tahun 1982-2101

55

13 Perkembangan jarak dari pantai batas intrusi air asin pada zone transeksi II tahun 1982-2101

55

14 Perkembangan jarak dari pantai batas intrusi air asin pada zone transeksi III tahun 1982-2101

56

15 Proyeksi pertumbuhan penduduk dan kebutuhan air tanah 62 16 Hasil uji korelasi variabel tinggi muka air tanah tawar antara data

terukur dengan hasil simulasi

63

17 Pengaruh tambahan resapan terhadap jarak dari pantai batas intrusi air asin pada zona transeksi I

67

18 Pengaruh tambahan resapan terhadap jarak dari pantai batas intrusi air asin pada zona transeksi I

67

19 Pengaruh tambahan resapan terhadap jarak dari pantai batas intrusi air asin pada zona transeksi I

67

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Ilustrasi sistem akuifer pantai 10

2 Potongan melintang kondisi ideal sistem akuifer pantai 10 3 Sirkulasi air asin dari laut menuju daerah transisi dan

kembali ke laut oleh percampuran pada daerah interface 11

4 Model interface Ghyben-Herzberk 13

5 Pola zone transeksi dan titik-titik sampling 26

6 Diagram alir penelitian data 30

7 Peta wilayah penelitian 32

8 Peta hidrogeologi sistem akuifer Jakarta dan sekitarnya 38 9 Potongan melintang sistem akuifer Jakarta 39 10 Ilustrasi ketersediaan dan pengambilan air tanah Jakarta 40 11 Peta tataguna lahan di daerah penelitian 44

12 Hubungan regresi antara DHL dengan Cl- 50

13 Hubungan regresi antara TDS dengan DHL 50

14 Grafik hubungan DHL dengan jarak dari pantai periode 1995-2010 53 15 Hubungan regresi antara variabel jarak dari pantai batas intrusi air

asin dengan jarak dari pantai muka air tanah pada elevasi 0 m periode 1995-2010

59

16 Grafik tren perkembangan penduduk dari tahun 1971 - 2011 61 17 Grafik tinggi muka air tanah di tiga zona transeksi antara data

terukur dengan hasil simulasi

64

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ada tiga masalah pokok berkitan dengan pengelolaan sumber daya air tanah di Jakarta, yaitu (1) jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan industri, bisnis atau komersiil yang pesat, (2) ketersediaan sumberdaya air tanah dan kemampuan Perusahaan Air Minum (PAM) yang terbatas, dan (3) posisi Jakarta dengan sistem akuifer berbatasan dengan pantai.

Perkembangan penduduk dan pertumbuhan industri, bisnis atau komersial serta pemukiman yang pesat akan meningkatkan jumlah kebutuhan air bersih sedangkan perubahan lahan akan mengurangi wilayah resapan air. Kemampuan PAM yang masih rendah (54 %) dalam menyediakan air bersih menyebabkan penduduk dan masyarakat komersial mengambil sumber air tanah. Sistem akuifer Jakarta dengan struktur lapisan akuifer relatif datar dan berbatasan dengan pantai menyebabkan wilayah Jakarta merupakan wilayah yang rawan untuk terjadinya intrusi air laut.

Intrusi air asin ini telah dirasakan oleh masyarakat di wilayah pesisir Jakarta Utara, terlebih-lebih pada waktu musim kemarau. Jika musim kemarau tiba, maka curah hujan semakin berkurang, muka air tanah turun, dan aliran air tanah tawar berkurang. Intrusi air asin pada musim kemarau telah mencapai wilayah Kuningan dan Cipinang, namun sebaliknya, pada waktu musim penghujan intrusi air asin bergerak kembali ke arah laut dengan batas intrusi mencapai daerah Pulaugadung dan Cengkareng (Herlambang, 1990).

Intrusi air asin telah terjadi tidak hanya pada lapisan akuifer taktertekan tetapi pada akuifer tertekan pada lapisan akuifer tertekan I dan II. Intrusi pada lapisan akuifer tertekan I terjadi pada wilayah Cengkareng, Tambora, Grogol, Kemayoran Utara, Sunter dan Marunda dengan jarak dari pantai berkisar antara 2 sampai 5,5 Km, sedangkan pada lapisan akuifer tertekan II dengan penyebaran yang tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan akuifer tertekan I, meliputi wilayah Cengkareng sampai Grogol Utara (Herlambang, 1990).

(24)

dalam menegakkan hukum lingkungan guna menjaga agar kualitas dan kuantitas air tanah Jakarta dapat dijaga dengan baik.

Perumusan Masalah

Sistem akuifer cekungan air tanah Jakarta mempunyai struktur lapisan datar, kondisi struktur lapisan semacam ini sangat berpengaruh pada kesetimbangan hidrostatis antara aliran air tanah tawar dengan aliran air tanah asin. Perubahan tekanan hidrostatis aliran air tanah tawar kecil akan berpengaruh pada kesetimbangan hidrostatis aliran air tanah asin. Jika tekanan hidrostatis yang berasal dari aliran air tanah tawar berkurang maka kedudukan lapisan interface

(antar muka) akan bergeser ke arah daratan, sebaliknya jika tekanan hidrostatis dari aliran air tanah tawar meningkat maka lapisan interface akan bergeser ke arah laut.

Proses terjadinya pergeseran lapisan interface dimulai ketika tekanan hidrostatis yang berasal dari aliran air tanah tawar turun, sehingga gradien hidrolis dari lapisan interface semakin tegak ke arah daratan, mula-mula dimulai pada bagian atas dari lapisan interface kemudian diikuti dengan bagian kaki dari lapisan interface bergerak kearah daratan sambil menuju pada kesetimbangan hidrostatis kembali. Sebaliknya ketika tekanan hidrostatis dari aliran air tanah tawar meningkat gradien hidrolis dari lapisan interface bagian bawah bergerak ke arah laut kemudian diikuti dengan bagian atas sambil menuju kesetimbangan hidrostatis kembali.

(25)

Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Menganalisis laju intrusi air asin pada sistem akuifer taktertekan.

2. Menganalisis resapan air, untuk memperlambat laju intrusi air asin pada sistem akuifer taktertekan.

Hipotesa

Hipotesa yang dibangun dalam penelitian ini adalah:

1. Intrusi air asin semakin lama semakin masuk ke dalam sistem akuifer taktertekan.

2. Peningkatan resapan air tanah, dapat mengendalikan intrusi air asin.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk berbagai kepentingan seperti:

1. Bahan masukan untuk strategi pengelolaan air tanah Jakarta dimasa mendatang.

2. Dasar bagi perencanaan program sumur resapan di Jakarta. 3. Sosialisasi atas program konservasi air tanah Jakarta.

4. Pengawasan dan Penertiban dalam kaitannya dengan ijin mendirikan bangunan (IMB).

5. Program monitoring air tanah yang lebih terpola, terutama terhadap penyediaan sumur monitoring baru.

(26)
(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Salinitas Air Asin

Salinitas pada mulanya didefinisikan total garam organik dan anorganik terlarut dalam satu kilogram air laut jika semua karbonat dan organik teroksidasi bromin dan iodin diganti klorin (Robert, 2008). Fraksi yang paling besar dari zat-zat terlarut ini adalah garam-garam anorganik yang berbentuk ion-ion. Garam-garam anorganik tersebut terdiri dari ion-ion klor, natrium, sulfat, magnesium, kalsium, kalium dengan total 99,28% dari barat bahan anorgaik padat, sedangkan lainnya yaitu bikarbonat, bromida, asam borat, dan stronsium dengan total 0,71 % berat. Kesebelas ion tersebut membentuk 99,99% berat terlarut.

Ada tiga cara untuk menyatakan sifat air berdasarkan salinitasnya yaitu berdasarkan kadar prosentase kadar garam, kimia dan fisika. Berdasarkan kadar garam salinitas air di klasifikasikan dalam tiga sifat air yaitu air tawar dengan kadar garam 0-0,5‰, air payau 0,5-17 ‰, dan air laut lebih dari 17 ‰. Sifat air secara kimia dan fisika diklasifikasikan menjadi 5 (lima) sifat yaitu tawar, agak payau, payau, asin dan sangat asin. Untuk mengklasifikasikan sifat air secara fisika dan kimia dilakukan dengan mengukur parameter Daya Hantar Listrik (DHL), Total Disolve Solid (TDS), dan kadar Cl- dalam air (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi sifat air

Sifat Air TDS (mg/l) DHL µmhos/cm Cl mg/l

Tawar < 1000 <1500 <500

Agak Payau >1000 - <3000 >1500 - <5000 >500 - <2000 Payau >3000 - <10000 >5000 - <15000 >2000 - <5000 Asin 10000 - <35000 >15000 - <50000 >5000 - <19000 Sangat Asin >35000 >50000 >19000

Sumber: DGTL dan PAM Jaya, 1991

Konduktivitas dan Porositas Batuan

(28)

dilakukan dengan menggunakan pendekatan jenis batuan. Konduktivitas hidrolis dari berbagai jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Konduktivitas hidrolis berbagai jenis batuan

Jenis Batuan K (m/hari)

Campuran Lempung, pasir, kerikil 10-3-100x10 Batu pasir

Porositas batuan dapat didefinisikan perbandingan rongga pori terhadap volume total seluruh batuan atau bagian dari volume total tanah atau batuan yang ditempati pori-pori. Besarnya porositas berbagai batuan seperti dapat dilihat pada Tabel 3. Ukuran untuk menyatakan porositas batuan adalah persen (%).

(29)

Tabel 3. Porositas berbagai jenis batuan

Jenis batuan Porositas %

Lanau dan lempung 50-60

Pasir halus 50-50

Pasir sedang 35-40

Pasir kasar 25-35

Kerikil 20-30

Campuran pasir dan kerikil 10-30

Batuan padat dan keras < 1

Batuan beku lapuk dan pecah-pecah 2-10

Basalt resen dan permeabel 2-5

Lava vesikuler 10-50

Tufa 30

Batu pasir 5-30

Batu karbonat 10-20

Resapan air tanah

Untuk perhitungan resapan air hujan dilakukan dengan menggunakan pendekatan fluktuasi muka air tanah tahunan dan porositas batuan, yang dihitung dengan rumus sebagai berikut (Herlambang, 1990):

R = Fl x S (1)

Keterangan

R= Besarnya resapan,

Fl= Fluktuasi rata-rata (m/hari), S= Porositas (%)

Air tanah di wilayah cekungan Jakarta mendapat sumber terutama dari air hujan, sungai, saluran, sawah, kolam, danau yang berada dalam wilayah tersebut. Hujan merupakan sumber air yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap air tanah, hal ini dapat dilihat dari data fluktuasi air pada sumur pantau antara musim kemarau dan musim hujan. Rata-rata perbedaan fluktuasi muka air tanah antara musim hujan dengan musim kemarau berkisar antara 1-5 meter (Herlambang, 1990).

(30)

cekungan air tanah Jakarta, sebagian masuk kedalam sistem akuifer dangkal dan sebagian lagi masuk kedalam sistem akuifer tidak tertekan.

Intrusi Air Asin

Menurut Essaid (1990), akuifer pantai merupakan sumber air tanah yang sangat penting baik untuk kebutuhan domestik, komersial atau untuk keperluan pertanian dari wilayah berbatasan pantai. Secara individual sistem akuifer pantai dapat diilustrasikan sebagai suatu wilayah dengan lapisan akuifer taktertekan, sistem akuifer kepulauan atau wilayah dengan sistem akuifer tertekan seperti yang disajikan pada Gambar 1. Susunan lapisan akuifer pada sistem akuifer pantai, tersusun atas satu lapisan akuifer atau banyak lapisan dengan berbagai kombinasi lapisan akuifer tertekan maupun taktertekan.

Sesunan lapisan akuifer pantai umumnya tidak seideal dalam teori, yaitu terdiri dari satu lapisan akuifer tunggal saja, melainkan terdiri dari lapisan yang amatlah kompleks. Lapisan akuifer yang paling atas dapat bertindak sebagai lapisan akuifer tertekan atau lapisan taktertekan.

Sistem akuifer pantai dengan penampang hidrogeologi ideal, digambarkan sebagai suatu sistem akuifer pantai dengan lapisan akuifer berulang dimana lepas pantainya dapat diperluas hingga ke dasar tebing, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2. Pada kondisi alami, dimana tekanan aliran air tanah pada lapisan akuifer ini tidak terganggu, maka akan terdapat gradien hidrolika atau interface

yang mengarah kelaut, dari setiap akuifer dengan air tawar yang mengalir kelaut (Gambar 2.a).

(31)

tawar kedalam air asin, maka air tanah akan bercampur sehingga menjadi tidak statis.

Pada kenyataannya, daerah pada lapisan antarmuka dalam air tawar dan air asin merupakan wilayah transisi yang terbentuk oleh campuran air tawar dan air asin yang terjadi karena efek difusi serta penyebaran secara mekanik. Cooper (1959) dan Kohout (1964) dalam Essaid (1990) telah menjelaskan bahwa dalam wilayah transisi tersebut, air asin bercampur air tawar menyebabkan larutan menjadi kurang pekat jika dibandingkan dengan air laut mula-mula, sehingga akan menyebabkan terjadinya aliran naik dan bergerak kelaut disepanjang lapisan antarmuka (Gambar 3). Ini akan menghasilkan suatu siklus aliran air asin dari laut, dasar samudra, ke daerah campuran dan kembali ke laut. Siklus aliran ini terjadi dibawah kondisi steady-state.

Essaid (1990), perubahan di dalam tanah oleh resapan atau perubahan luah aliran dalam daerah air tawar, menyebabkan perubahan lapisan antar muka. Penurunan aliran air tawar yang masuk ke laut menyebabkan lapisan antar muka bergerak ke dalam tanah dan menghasilkan intrusi air asin ke dalam akuifer. Sebaliknya suatu peningkatan aliran air tawar mendorong lapisan antar muka ke arah laut. Laju gerakan lapisan antar muka dan respon tekanan akuifer tergantung kondisi batas dan sifat akuifer pada kedua sisi lapisan antar muka. Pada sisi dengan air asin dapat bergerak kedalam atau keluar, pada sistem akuifer efek dari gerakan interface mempengaruhi perubahan debit air tawar di lepas pantai. Dalam suatu sistem akifer berlapis, air asin dapat masuk ke sistem akuifer melalui bocoran antar lapisan (Gambar 2b).

Model SHARP

(32)

Gambar 1. Ilustrasi sistem akuifer pantai (Essaid 1990)

Gambar 2. Potongan melintang sistem akuifer pantai (Essaid 1990)

Model ini dibangun karena adanya alasan bahwa sistem akuifer pada umumnya sangat komplek meliputi berbagai variasi keruangan dan waktu, oleh karena itu perlu dibangun sebuah model intrusi air asin yang secara numeris dapat menggambarkan kondisi fisik wilayah secara kompleks.

Model intrusi air asin dibangun dengan menggunakan pendekatan

(33)

efek penguraian secara hidrodinamis (penggabungan secara molekul dan penguraian secara mekanik). Pendekatan interface tegas memudahkan dalam menganalisis melalui suatu asumsi bahwa air tawar dan air asin tidak bercampur dan dipisahkan oleh suatu interface. Kedua pendekatan telah digunakan untuk membangun model numeris untuk studi dan meramal aliran air tanah dalam sistem akuifer pantai.

Gambar 3 Sirkulasi air asin dari laut menuju daerah transisi dan kembali ke laut karena percampuran pada daerah interface.

Essaid (1990), pendekatan lapisan antarmuka pendar hanya dilakukan dalam daerah dimana daerah transisinya lebar. Pengaruh kepadatan dapat diabaikan ketika konsentrasi klorida rendah dan persamaan yang mempengaruhi dapat memecahkan secara kesatuan dalam skala cekungan yang lebar. Biasanya ketika aliran dipengaruhi oleh kepadatan, dimensi vertikal harus dimasukkan. Studi yang memanfaatkan pendekatan ini pada umumnya telah membatasi pada dua dimensi potongan vertikal untuk penekanan dalam perhitungan.

(34)

system secara keseluruhan dan akan menghasilkan respon umum dari interface. Volker dan Rushton (1982) dalam Essaid (1990) membandingkan cairan dalam kondisi steady-state untuk pendekatan kedua-duanya baik pendekatan interface pendar dan dengan interface tegas dan menunjukkan bahwa ketika koefisien hidrodinamis pendar menurun, kedua cairan tersebut saling mendekati.

Model pendekatan interface tegas yang mensimulasikan aliran dalam daerah air tawar saja dengan memasukkan persamaan Ghyben-Herzberg dengan asumsi bahwa daerah air asin diatur secara cepat untuk aplikasi. Ini merupakan asumsi yang masuk akal dari studi jangka panjang jika interface mendapat tanggapan secara cepat terhadap tekanan yang digunakan. Bagaimanapun juga untuk mendapatkan respon jangka pendek dari suatu akuifer pantai, hal ini penting untuk memasukkan pengaruh dari aliran air asin (Essaid, 1990)

Secara sendiri-sendiri, tak ada satupun dari pendekatan tersebut dapat menggambarkan karakteristik fisik secara menyeluruh dari sistem akuifer pantai yang komplek. Pilihan pada model pendekatan yang yang ditetapkan, secara khusus tergantung dari sifat sistem akuifer yang diwakili, hasilnya akan sama-sama baik untuk setiap upaya pemodelan. Pendekatan interface tegas, dapat menggambarkan secara menyeluruh karakteristik aliran dari sistem, akan tetapi tidak dapat memberikan hasil secara detail yang menyangkut sifat alami dari daerah transisi. Ketika mempelajari suatu sistem akuifer yang penting adalah pertama-tama mengerti sifat keseluruhan sebelum menguji efek-efek dalam skala lebih kecil. Oleh karena itu karakteristik yang idial dari sistem yang demikian dapat melibatkan proses yang terdiri dari dua langkah yang memadukan model pendekatan dengan interface tegas dan interface pendar.

Model SHARP adalah suatu tiruan tiga dimensi, model beda hingga

(finite-defference) yang mensimulasikan pasangan aliran air tanah tawar dan

(35)

Gambar 4. Model interface Ghyben-Herzberg (Essair, 1990)

Intrusi air asin adalah masuknya air laut kedalam sistem akuifer yang terjadi karena adanya kesetimbangan dari hubungan dinamis antara aliran air tanah tawar dengan aliran air tanah asin yang dipisahkan oleh lapisan interface pada suatu sistem akuifer pantai. Kedudukan lapisan interface ini menurut Badon-Ghyben (1898) dan Herzberg (1901) dalam Essaid (1990) hubungan tinggi tekan air tawar diatas muka air (φf) terhadap kedalaman interface dibawah muka air laut (hs

h

) untuk suatu sistem dalam kesetimbangan statis adalah: terjadi antara aliran air tanah tawar dan aliran air tanah asin (Gambar 4). Pada interface tekanan pada colom air tawar sama dengan tekanan pada kolom air laut. Persamaam matematis yang terjadi pada wilayah interface tersebut adalah (Essaid, 1990):

sϒs = (hs + φf) ϒf atau hs = δφf

Keterangan: δ= ϒ

(3)

f/( ϒs- ϒf) dan ϒ s, ϒf, adalah berat jenis air tawar dan air laut yang besarnya 1,0 gr/cm3 dan 1,025 gr/cm3

(36)

harus dipertimbangkan, kedua aliran tersebut berbagi batas pada interface. Dalam setiap domain aliran harus mengandung kedua persamaan (Essaid, 1990).

∂φ

Berdasarkan pada persamaan (3) dan (4) tersebut, kemudian dikembangkan dengan mengintegrasikan (a) timbunan elastis pada setiap domain, (b) merepresentasikan perubahan dalam timbunan air tawar akibat pemompaan pada muka air, (c) merepresentasikan perubahan dalam timbunan disetiap domain

dari pergerakan interface, (d) merepresentasikan penyimpangan dari flux pada arah sumbu x dan y, (e) merepresentasikan resapan dan pemompaan dan, (f) kebocoran yang merepresentasikan sumber dan buangan ke dalam akuifer. Persamaan (3) dan (4) merepresentasikan pasangan persamaan diferensial parsial parabolik yang harus diselesaikan secara simultan untuk tinggi tekan air tawar dan air asin. Setelah nilainya tinggi tekan air tawar dan air laut diperoleh maka elevasi

interface dapat dihitung. Pada wilayah yang jauh dari interface, hanya ada satu jenis fluida air tawar atau air asin saja, persamaan yang digunakan hanya satu saja tanpa mempertimbangkan timbunan interface (Essaid, 1990).

(37)

aliran air tawar dan aliran air tanah asin dibangun dengan metode beda hingga. Penyelesaian secara spasial dari persamaan tersebut dibangun dengan menggunakan sebuah bentuk blok sebagai pusat dari grid beda hingga yang memungkinkan sebagai variabel jarak. Skema penyelesaian hitungan dilakukan secara mundur dengan mengadopsi waktu untuk memastikan stabilitas.

Penyelesaian hitungan dari persamaan yang dibangun, dilakukan dengan program komputer, dibuat dengan bahasa program Fortran 77. Model SHARP ini terdiri dari dua bagian file yang terpisah, yang terdiri dari program utama dan file Input. Program utama mengontrol aliran umum dan mengeksekusi model, mulai dari memanggil file input, membaca data input yang disusun secara berderet dan menulis hasil perhitungannya ke dalam file output.

∂φf ∂φf ∂φf ∂φ

= konduktivitas hidrolik air tawar dan air asin, pada arah x. fy, Ksy

Q

= konduktivitas hidrolik air tawar dan air asin, pada arah y. f, Qs

(38)

Untuk bisa mengeksekusi model ini, parameter dalam program utama harus disetel sesuai dengan input. Model SHARP ini disusun dengan sistem operasi Unix yang dilengkapi dengan compiler program fortran 77 ke dalam bahasa C (f to c). Untuk membentuk EXE program dari model yang dibangun hasil convert dari f to c dilakukan dengan bahasa C.

Penggunaan sistem operasi unix untuk mengeksekusi Model SHARP ini dilakukan karena sistem operasi ini mampu dioperasikan secara multitasking dan

multiuser. Kemampuan dari sistem unix secara multitasking, secara operasional dapat digunakan untuk mengesekusi model dengan lebih dari 1 file input secara berbarengan.

Aplikasi terhadap model SHARP pernah diterapkan di pantai Oahu Hawai dan Cape May, New Jersey. Model dibangun untuk sistem akuifer satu lapis, dimana luas area pemodelan dengan lebar 10.000 ft dan panjang 120.000 ft, dibagi kedalam grid model 8 kolom x 28 baris. Pada koordinat grid 13,4,1 (Baris 13, kolom 4 dan lapisan 1) dilakukan suatu pemompaan dengan debit 1 ft3/dt. Setelah model SHARP di run maka terjadi steady state dengan kriteria perbedaan 0,000001, maka terjadi kesetimbangan pada step ke 5. Hasil simulasi menunjukkan adanya kesetimbangan masa air tawar sebesar 8,979 ft3/dt dari air tawar yang masuk kedalam sistem sebagai imbuhan. 1 ft3/dt dipompa keluar akuifer dan 7,979 ft3/dt meninggalkan sistem akuifer melalui bocor ke atas (melalui lapisan akuifer kedap ke arah laut). Kesalahan relatif kesetimbangan masa pada simulasi tersebut adalah 3,4 x 106

Model juga telah diaplikasikan di wilayah Cape May, New Jersey, pada sistem akuifer tertekan. Pada model ini Wilayah Cape May dibagi kedalam Grid area yang terdiri dari 3 baris (skala 4000 ft) x 28 kolom (skala 2000 ft). Running

model menghasilkan steady state pada step waktu ke 13, menghasilkan kesetimbangan aliran di ketiga lapisan akuifer yaitu: aliran air tawar dari lapisan atas sebesar 0,3 x 10

persen, hal ini menandakan tingkat ketepatan solusi. Hasil simulasi juga dapat mengambarkan tinggi tekan air tawar (F), tinggi tekan air payau (M) dan tinggi tekan air laut (S)

-2

(39)

Kalibrasi dan Validasi Data

Sebuah model dikatakan baik jika model tersebut dapat menggambarkan sistem yang diwakili, setiap perubahan yang dilakukan terhadap model, ditanggapi dengan respon yang baik yang menggambarkan kondisi aktual dari alam yang diwakilinya. Model SHARP, yang digunakan dalam penelitian ini, mempunyai keunggulan dalam mewakili dinamika aliran air tanah tawar dan aliran air tanah asin dalam suatu kesetimbangan hidrostatis dalam sistem akuifer berlapis yang berbatasan dengan pantai.

Menurut Klemes (1986), model dapat dikatakan baik jika model tersebut dapat memberikan hasil yang baik, dengan alasan yang tepat. Sistem fisik yang diwakili yang dalam hal sistem akuifer berbatasan dengan pantai, dalam model digambarkan oleh variasi input, variasi proses yang diwujudkan melalui pendekatan matematis yang menggambarkan kondisi internal lengkap dengan tingkat kompleksitas proses yang terjadi dalam sistem akuifer tersebut, dan variasi output yang menggambarkan hasil atau output sebagai akibat dari proses yang berlangsung. Sehingga pada waktu model tersebut di jalankan atau dieksekusi hasil yang dikeluarkan sesuai dengan input yang diberikan. Kompleksitas model SHARP dilakukan dengan pendekatan matematis finite difference dalam proses formulasinya, sedangkan proses perhitungan dilakukan oleh model tersebut dibangun dengan menggunakan bahasa program fortran 77.

Sebaik apapun model yang dibangun, akan tetapi kalau input yang dimasukkan dalam model tersebut tidak mempunyai arti sama sekali/sampah maka hasilnya juga tidak mempunyai arti apa-apa( sampah) juga. Baik buruknya input ditentukan oleh perilaku dari pengguna model tersebut. Secara umum, perilaku sistem diketahui melalui pengukuran beberapa karakteristik yang menjadi ciri utama sistem tersebut. Pengukuran terhadap karakteristik sistem pada umumnya dilakukan dengan menggunakan sampling lokasi, hal ini dilakukan karena adanya keterbatasan, antara lain (Indarto, 2006):

1. Tidak mungkin melakukan pengukuran terhadap semua variabel.

(40)

Running terhadap model simulasi untuk mengetahui perilaku sistem fisik dilakukan dengan menggunakan masukan/input data terukur, menghasilkan simulasi model yang mirip dengan output dari sistem fisik yang ditiru tersebut. Running terhadap model ini dilakukan dengan meminimalisasi tingkat kesalahan yang mungkin terjadi melalui uji coba beberapa nilai parameter sampai diperoleh hasil dengan tingkat ketidak pastian yang minimal antara data terukur dengan data hasil simulasi (Refgaard, 2000).

Kalibrasi data adalah suatu proses yang dilakukan terhadap model melalui pemilihan kombinasi parameter input. Kalibrasi dapat juga diartikan sebagai proses optimalisasi dari nilai parameter untuk meningkatkan koherensi/kemiripan antara respon antara data terukur dengan hasil simulasi (Bloschl and Grayson, 2000). Koherensi ini dapat diamati secara kualitatif yaitu membandingkan antara data terukur dengan terhitung. Pada umumnya koherensi dinilai secara kuantitatif (Refsgard, 2000).

Cara melakukan kalibrasi data dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu (Indarto, 2006):

1. Menggunakan cara coba-coba (trial dan error). Parameter terukur dicocokan dengan cara manual, yaitu dengan coba-coba. Metode ini merupakan cara yang paling umum dan banyak dilakukan serta direkomendasikan. Metode ini banyak dilakukan untuk model yang komplek. Hasil uji dapat diamati ke dalam sebuah grafik antara data terukur dan terhitung, grafik yang bagus sudah dianggap dianggap dapat mewakili hasil simulasi.

2. Menggunakan metode otomatis. Sebuah algoritma yang ditujukan untuk menentukan fungsi obyektif dan digunakan untuk mencari kombinasi dan permutasi parameter sebanyak mungkin untuk menentukan tingkat keakuratan yang optimum.

(41)

Hasil yang diperoleh dari kalibrasi data, baik menggunakan cara coba-coba, otomatis maupun kombinasi dari keduanya, tetap menghasilkan hasil yang berbeda, yang disebabkan oleh empat faktor ketidak pastian yaitu (Indarto, 2006): (1) Kesalahan acak yang berasal dari data input, (2) Kesalahan acak berasal dari data hasil pengukuran, (3) Kesalahan dari penentuan nilai parameter, dan (4) Data yang tidak lengkap atau bias dalam struktur model.

Tingkat penerimaan model sangat ditentukan oleh tingkat kepastian pada poin 1, 2 dan 3. Jika pada poin 1, 2 dan 3 mempunyai tingkat ketidak pastian yang lemah maka akan menghasilkan model yang lemah, sehingga tidak dapat digunakan untuk memprediksi. Proses kalibrasi yang obyektif, mempunyai tujuan untuk mengurangi ketidak pastian agar tingkat kesalahan dapat diminimalisir. Selama melakukan proses kalibrasi, faktor ketidak pastian harus diketahui, mana yang paling berpengaruh. Jika faktor ketidak pastian yang satu diganti dengan ketidak pastian yang lain maka proses kalibrasi data menjadi tidak efektif.

Setiap proses kalibrasi data, tetap menghasilkan kurva kecocokan antara data terukur dengan data terhitung, meskipun sebagai akibatnya terhadap aplikasi model akan menghasilkan, nilai prediksi yang tidak sesuai. Pendekatan model tetap penting dilakukan dan tidak menyandarkan pada konsep utama untuk mewakili sistem fisik yang diwakili, meskipun secara formula matematis telah sesuai.

Dasar-dasar Perencanaan

Perencanaan atau skenario adalah merupakan kegiatan preskriptif, memberi petunjuk atau usulan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tujuan dari perencanaan adalah untuk memberikan usulan-usulan bagaimana keadaan bisa diubah. Perencanaan memerlukan pengakuan yang bersifat rasional dan sosial menyangkut aktivitas masyarakat dan nilai manusia tanpa mengabaikan idiologi. Perencanaan harus mencakup berbagai teori tentang masyarakat dimana perencanaan tersebut akan dilembagakan.

Menurut Suhardono (2000) dalam

(42)

mengandung tiga makna yaitu: (1) Sesuatu yang diperkirakan terjadi, (2) Sesuatu yang diinginkan terjadi dan (3) Sesuatu yang mungkin terjadi. Selain tiga makna tersebut suatu perencanaan mengandung tiga unsur yaitu: (1) Penafsiran masa depan, (2) Suatu citra masa depan dan (3) Konsistensi secara internal dalam menapaki masa depan. Suatu perencanaan selalu menyangkut pada masa depan oleh karena itu yang menjadi tekanan utama dari skenario terletak pada sebuah orientasi pada sesuatu yang mungkin terjadi.

Meskipun perencanaan itu terkait dengan persoalan yang menyangkut masa depan, perencanaan skenario bukan merupakan ramalan atau prediksi. Ramalan mengasumsikan bahwa masa depan, dapat didiskripsikan dari masa lalu atau saat ini. Ramalan biasanya diarahkan pada jangka dengan waktu yang tidak panjang, mengacu pada nilai tunggal dan memberikan pemahaman yang tidak mendalam. Perencanaan skenario tidak sama dengan meramal masa depan. Namun teknik ini berupaya mengantisipasi ketidak pastian masa depan melalui cara yang sistematis (Suhardono, 2000 dalam

Lebih lanjut menurut Suhardono (2000) dalam dalam

seluruh dunia mengenai perencanaan yaitu: (1) perencanaan terstruktur, (2) perencanaan strategi (3) perencanaan menyeluruh dan (4) perencanaan berkelanjutan. Masing-masing perencanaan mempunyai karakteristik yang berbeda.

Karakteristik dari perencanaan terstruktur berisi kerangka pokok pengarahan, tidak serinci master plan. Bagian wilayah yang perlu segera dibenahi sebagai rencana aksi, segera ditindak lanjuti dengan pembuatan rencana aksi bersifat lokal. Untuk wilayah yang belum mendesak ditindak lanjuti atau dibenahi dengan perencanaan terstruktur. Perencanaan terstruktur ini sangat fleksibel digunakan bagi kota yang mengalami perkembangan yang sangat cepat.

(43)

Karakteristik perencanaan yang menyeluruh selalu mengacu pada format perundang-undangan tata ruang. Perundang-undangan tata ruang pada umumnya bersifat kaku padahal perkembangan kota bersifat komplek, dinamis dan sulit diduga, sehingga menuntut adanya rencana tata ruang yang luwes. Perencanaan yang menyeluruh mencakup seluruh bagian geografi dan semua fungsi dari elemen yang menimbulkan perkembangan fisik. Perencanaan menyeluruh mengandung unsur komprehensif, jangka panjang, bersifat umum, fokus pada pembangunan fisik, rencana yang diusulkan harus berkaitan dengan tujuan komunitas, kebijakan sosial dan ekonomi mengandung instrumen kebijakan dan teknis.

Konsep dasar perencanaan berkelanjutan adalah bagaimana menjabarkan secara gradual terhadap rencana induk yang diproyeksikan jauh pada masa depan, dalam rencana jangka menengah, jangka pendek atau diluar itu. Karakteristik perencanaan berkelanjutan mengandung elemen-elemen kota yang diproyeksikan dalam rencana jangka menengah dan pendek. Perencanaan berkelanjutan harus selalu mutakhir sesuai kebutuhan dan realitas, selalu ada revisi terhadap rencana berkaitan dengan kemajuan teknologi yang sulit diprediksi. Selalu melakukan analisa yang mutakhir terhadap kondisi, informasi dan keputusan yang berkaitan dengan masa tertentu. Perencanaan berkelanjutan lebih bersifat dinamis dan fleksibel jika dibanding dengan master plan.

(44)
(45)

METODOLOGI

Lokasi, Waktu Penelitian dan Peralatan

Penelitian ini mengambil lokasi daerah Jakarta dan sekitarnya, yang secara administrasi meliputi wilayah Jakarta, sebagian Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor dan sekitarnya. Luas area penelitian dari barat ke timur sejauh 60 km dan dari utara ke selatan sejauh 75 km.

Penelitian lapangan dalam rangka pengambilan data primer dan sekunder serta koordinasi dengan instansi terkait dilakukan pada Bulan April-September 2010, Data sekunder dan primer tersebut diklasifikasikan menurut jenis, sumber dan cara perolehan data. Tabel 4, menunjukkan adanya berbagai jenis data yang digunakan dalam penelitian, dari mana sumber data tersebut berasal dan bagaimana data tersebut diperoleh.

Tabel 4. Berbagai jenis data yang digunakan, sumber dan cara perolehan data

No Jenis Peta/Data Sumber Data Cara Perolehan Data 1 Peta Sistem Akuifer Jakarta DGTL Bandung Data Sekunder 2 Peta Penggunaan Lahan Bakosurtanal Data Sekunder 3 Peta Topografi/Kontur Bakosurtanal Data Sekunder

4 Peta Geologi DGTL Bandung Data Sekunder

5 Peta Hidrogeologi DGTL Bandung Data Sekunder 6 DHL, TDS dan Cl DGTL/PDAM Primer/Sekunder 7 Kedalaman muka air tanah

tawar/Asin

DGTL/Pengukuran Primer/Sekunder

8 Ketebalan akuifer DGTL Sekunder

9 Berat jenis air tawar/laut Referensi/Pustaka Sekunder 10 Kekentalan air tawar/laut Referensi/Pustaka Sekunder 11 Elevasi Interface/kontur air

tanah/batas intrusi

DGTL/Analisis Peta

Sekunder/Simula si

12 Konduktivitas hidrolis Herlambang (1990) Sekunder 13 Porositas Herlambang (1990) Sekunder 14 Ketebalan akuifer Peta Geologi Sekunder 15 Tinggi tekan air tanah tawar/asin DGTL Sekunder 16 Batimetri/Dasar laut Topografi/DGTL Sekunder 17 Ukuran Grid Blok Peta Topografi Ditentukan

18 Elevasi Saringan DGTL/PDAM Sekunder

19 Laju Recharge DGTL/Herlambang (1990)

Sekunder 20 Pertumbuhan penduduk Samsuhadi (2005) Sekunder 21 Penggunaan Air Tanah Samsuhadi (2005) Sekunder

(46)

Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini meliputi perlengkapan untuk sampling seperti: Botol penyampling, Global Positioning

System (GPS), Total Dissolved Solid (TDS) dan Daya Hantar Listrik (DHL)

portabel, alat ukur panjang, Peta kerja, Alat tulis, Komputer, sedangkan untuk perangkat lunak meliputi Arc-GIS, SPSS, MapInfo, Model SHARP, Microsoft Office dengan sistem operasi Windows, dan sistem operasi Unix.

Metode Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka digunakan tiga cara penelitian yaitu: (1) Diskriptif, (2) Analisis dan (3) Pemodelan. Alasan digunakannya ketiga cara penelitian tersebut karena mencakup dimensi keruangan atau spasial dan waktu. Secara spasial meliputi kewilayahan, meliputi atas dan bawah permukaan tanah, sedangkan dalam dimensi waktu mencakup tiga kondisi yaitu: sebelum, saat ini dan keadaan di masa yang akan datang. Penjelasan terhadap ketiga cara penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara diskriptif mencakup aspek spasial/keruangan, baik secara kesatuan hidrologis maupun administratif. Secara hidrologis, merupakan satu kesatuan sistem akuifer cekungan air tanah berbatasan dengan pantai. Dinamika hidrologi berkaitan dengan aktivitas manusia yang secara administratif, mencakup 5 (lima) wilayah yaitu DKI Jakarta, Tangerang, Depok, Bekasi dan Bogor.

2. Pengungkapan fenomena dilakukan melalui analisis data, untuk menunjukkan keterkaitan dari masing-masing data. Analisis data dilakukan menggunakan pengukuran, perhitungan, uji statistik, grafis, dan modeling, agar dapat diungkapkan keterkaitan secara spasial dan waktu.

3. Pemodelan menggunakan model komputer SHARP, model finite difference

(47)

Penggunaan ketiga cara penelitian dalam mengungkap fakta dan tujuan yang ingin dicapai dilakukan agar bisa menghasilkan suatu kesimpulan yang tepat sesuai dengan tujuan utama. Hasil dan saran yang diberikan menjadi solusi yang tepat untuk bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk kesejahteraan manusia.

Sistematika data

Untuk mengetahui laju intrusi air asin dalam sistem akuifer, maka sistematika pengambilan data dan pengamatan dilakukan dengan pembagian 3 (tiga) wilayah secara zone transeksi, mewakili wilayah barat, tengah dan timur. Ke tiga zone transeksi tersebut adalah: (1) Zone transeksi I, dengan koordinat 695000, 9325000 (106o 40’ 31” BT, 6o 6’ 25”LS), (2) Zone transeksi II dengan koordinat 706000, 9324500 (106o 51’ 52” BT, 6o 6’ 41” LS) dan (3) Zone transeksi III dengan koordinat 713500, 9326900 (106o 57’ 49” BT, 6o

Untuk keperluan modeling SHARP, input numeris model yang terdiri dari data hidrogeologi dari sistem akuifer cekungan air tanah Jakarta di susun secara matrik dengan grid sebanyak 20 x 25. Setiap grid data numeris tersebut mewakili wilayah seluas 3 km x 3 km. Input data simulasi tersebut dikelompokkan menjadi 3 (tiga) parameter input yaitu: (1) Parameter simulasi meliputi judul model, jumlah kolom, jumlah baris, jumlah lapisan, berat jenis air laut, berat jenis air tawar, kriteria model, format input/output. (2) Parameter hidrogeologi/akuifer terdiri dari konduktivitas hidrolis, timbunan, porositas, ketebalan akuifer, batas kedalaman akuifer, tinggi tekan air, kedalaman laut, dan skala grid. dan (3) Parameter pemompaan dan resapan terdiri dari lama pemompaan, jumlah pemompaan dan besarnya resapan. Masing masing parameter input tersebut berupa data digital yang disusun secara array dengan format scientific.

(48)
(49)

Analisa dan uji data

Untuk menjawab tujuan dan membuktikan hipotesa dalam penelitian ini dilakukan melalui analisa dan uji data sebagai berikut:

1. Untuk melengkapi data DHL tidak tercatat/ rusak atau hilang dilakukan dengan mencari hubungan regresi antara pasangan variabel DHL dengan TDS atau pasangan variabel DHL dengan Cl

-2. Untuk menjawab hipotesa pertama dari penelitian ini bahwa intrusi semakin lama semakin masuk kedalam sistem akuifer air tanah tawar dilakukan dengan melakukan ploting data DHL dalam kaitannya dengan jarak dari pantai pada setiap zone transeksi.

. Data DHL hilang, rusak atau tidak tercatat ini perlu ditentukan, sebab perubahan salinitas di wilayah penelitian akan dievaluasi dengan menggunakan parameter DHL saja.

3. Untuk menganalisis laju intrusi setiap tahun maka dilakukan ploting terhadap DHL dengan jarak dari pantai. Batas initrusi air asin ditetapkan menggunakan DHL pada konsentrasi > 1500 µmhos/cm. Berdasarkan ploting data tersebut akan dapat diketahui perkembangan atau pergeseran batas intrusi dari tahun ke tahun. Laju intrusi dapat diukur dengan membagi selisih jarak intrusi dengan periode intrusi dalam satuan waktu (tahun). Kecepatan laju intrusi air asin disetiap zone transeksi dibandingkan untuk mengetahui pada zone transeksi mana paling cepat dan yang mana bergerak lambat, serta faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut.

4. Untuk memprediksi kebutuhan penggunaan air tanah dimasa mendatang dilakukan dengan pendekatan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan air tanah dari sisi komersial (ijin). Pertumbuhan penduduk dianalisis dengan menggunakan trend perkembangan penduduk dan asumsi kebutuhan air adalah 150 liter/orang/hari dikalikan dengan 46 % dari kekurangan pemenuhan kebutuhan oleh PAM. Dengan mengetahui trend perkembangan penduduk Jakarta dan penggunaan air secara komersial maka perkiraan kebutuhan air tanah dapat dihitung.

(50)

angka fluktuasi tahunan dikalikan porositas. Besarnya resapan alami tersebut kemudian ditambahkan dengan jumlah resapan yang berasal wilayah selatan. 6. Uji kalibrasi dan validasi data untuk mendapatkan parameter simulasi dan

hidrogeologi yang tepat. Uji dilakukan dengan korelasi dan grafis antara data terukur dengan hasil simulasi. Jika hasil uji korelasi dan uji grafis tersebut menunjukkan adanya hubungan korelasi yang kuat serta pola grafis yang sama maka model yang dihasilkan merupakan model yang kuat dan model tersebut dapat digunakan untuk memprediksi. Jika model tersebut merupakan model yang kuat itu berarti model telah menggunakan parameter simulasi dan parameter hidrogeologi secara tepat.

7. Jika model SHARP tersebut telah menggunakan parameter simulasi dan parameter hidrogeologi yang tepat maka untuk diaplikasikan guna memprediksi suatu kejadian dimasa mendatang dapat dilakukan dengan memberikan input dari kejadian dimasa mendatang. Input dari kejadian dimasa mendatang tersebut adalah penggunaan air dan resapan/imbuhan air dimasa mendatang.

8. Untuk menghitung potensi air hujan yang masih dapat diresapkan ke dalam tanah sebagai input model, maka besarnya input resapan tersebut akan dirancang menggunakan dasar dari Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 68/2005. Potensi input resapan tersebut dihitung menggunakan dasar volume sumur resapan yang akan tersedia jika SK Gubernur tersebut telah diterapkan secara merata. Dasar perhitungan volume sumur resapan adalah bahwa setiap 1 m2 luas bangunan, wajib menyediakan sumur resapan 40 lt, sehingga akan ada ruang tampung dengan volume sebanding dengan luas bangunan. Jumlah potensi air hujan yang akan tertampung dalam sumur resapan inilah yang akan digunakan sebagai resapan tambahan, dan pengaruhnya terhadap intrusi air asin akan dianalisis dengan model. Melalui teknik ini, hipotesa ke dua akan dapat dijawab.

(51)
(52)
(53)

KONDISI FISIK WILAYAH

Batasan Wilayah

Secara administrasi wilayah penelitian meliputi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (43 kecamatan, 265 kelurahan), sebagian masuk wilayah Bekasi, Tangerang, Depok, Banten dan Bogor. Secara geografi wilayah ini berada pada koordinat koordinat 106o 32’ 25” – 107o 05’ 08” BT dan 06o 01’ 00” – 06o

Menurut Soekardi (1986) dan Herlambang (1990) dasar penetapan batas cekungan akuifer Jakarta disebelah barat dan timur adalah tidak adanya pengaruh pengambilan air tanah, diwilayah barat dan timur terhadap sistem akuifer Jakarta, sedangkan untuk wilayah selatan ditentukan oleh kondisi hidrogeologi Jakarta dan untuk wilayah sebelah utara didasarkan oleh tinggi muka air tanah konstan yang terjadi karena pengaruh masuknya air laut kedalam sistem akuifer. Untuk menentukan batas sistem akuifer Jakarta ideal, maka batas dari sistem akuifer tersebut tidak dipengaruhi oleh pengambilan air tanah pada wilayah batas. Kondisi ideal seperti itu sangat sulit dijumpai di lapangan.

41’ 54” LS atau pada UTM pada koordinat X: 670000-730000 dan koordinat Y: 9260000- 9335000. Batas sebelah utara adalah Laut Jakarta (Teluk Jakarta), barat adalah sungai Cisadane, timur Kali Bekasi dan selatan adalah Bogor bagian utara. Luas areal secara keseluruhan adalah 60 km x 75 km. Wilayah penelitian seperti dapat dilihat pada Gambar 7.

Iklim

(54)
(55)

Geologi Permukaan

Satuan batuan yang mengontrol bentang alam pada sistem akuifer cekungan air tanah Jakarta adalah endapan Kuarter. Endapan Kuarter ini terdiri dari bahan-bahan berbutir halus seperti lanau sampai pasir halus, dan dialasi oleh satuan batuan yang berumur Tersier. Endapan Kuarter tersebut terdiri atas endapan aluvium dan endapan kipas aluvium (BG-PLG 2009).

Batuan sedimen yang dapat dijumpai di daerah penelitian berumur Oligosen, Eosen, Miosen dan Pliosen. Batuan sedimen tersebut berfungsi sebagai batuan dasar untuk cekungan air tanah Jakarta. Formasi batuan yang berumur Oligosen-Eosen dapat dijumpai di daerah pegunungan, tersebar secara sporadis dan muncul dan di laut Jawa. Deposit vulkanik Kuarter banyak dijumpai dikaki Gunung Salak dan Pangrango. Dataran pantai, kipas aluvial dan endapan teras menempati sebagian besar daerah penelitian dengan umur antara Pleistosen dan Holosen (Herlambang, 1990).

Sistem geologi permukaan wilayah dapat dikelompokkan menjadi 6 sistem yaitu (Herlambang, 1990):

1. Formasi Jatiluhur (Miosen) Formasi Jatiluhur tersingkap di pegunungan sebelah tenggara wilayah studi, tersusun oleh batulempung berlapis, batupasir kuarsa, dan napal. Formasi Jatiluhur ini mengalami pemadatan sehingga bersifat impermeabel.

2. Formasi Bojongmanik. Formasi Bojongmanik tersusun dari batugamping berselang-seling antara lempung dan batu pasir. Batuan ini pada umumnya keras dan dengan permeabilitas rendah, tetapi mengandung retakan dan lubang-lubang hasil pelarutan (proses solusi), sehingga memungkinkan dijumpai air tanah meskipun dalam jumlah yang kecil.

3. Formasi Genteng (Pliosen). Formasi Genteng tersusun oleh batupasir kasar tufaan dan lempung, kadang-kandang bergabung dengan fragmen pumis. Batuan ini mempunyai permeabilitas rendah hingga sedang. Wilayah singkapan Formasi Genteng wilayah Tangerang dijumpai sebagai batuan dasar sungai Cisadane.

(56)

sukar dibedakan (Vu). Wilayah penyebaran terutama di daerah selatan, wilayah pengunungan barat dan timur.

5. Formasi Vulkanik Muda (Pleistosen) Formasi Vulkanik Muda terdiri dari aliran vulkanik muda (V1), Batuan vulkanik yang mengandung Pumis (Va) dan batuan Vulkanik Muda (V). Bagian bawah dari formasi vulkanik ini merupakan batuan hasil aliran vulkanik dengan tekstur porfiritik yang membentuk lapisan yang bersifat impermeabel. Anggota bagian tengah (Va) terdiri dari batu pasir tufaan ukuran halus sampai dengan menengah dan bersifat impermeabel menengah. Bagian yang paling atas V, terdistribusi secara luas, tersusun lempung tufaan, pasir,konglomerat, endapan lahar, dan material lapukan. Lapisan bagian atas ini mempunyai tingkat permeabilitas tinggi dan membentuk akuifer tertekan.

(57)

Stratigrafi

Secara stratigrafi di wilayah penelitian terdiri dari tiga mandala sedimentasi yaitu (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1992): Mandala Paparan Benua, Mandala Sedimentasi Cekungan bogor, Mandala Sedimentasi Banten. Cici-ciri dari ketiga mandala sedimentasi adalah sebagai berikut: Untuk Mandala Paparan Benua, dicirikan oleh paparan batu pasir kuarsa, batu gamping dan batu lempung yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Mandala Sedimentasi Cekungan Bogor dicirikan oleh endapan aliran gravitasi yang terdiri dari komponen batuan andesit, basalan, tuf dan batu gamping. Mandala ini meliput zona Bandung, Bogor dan Pegunungan Selatan. Mandala sedimentasi Banten pada awal Miosen, endapan sedimennya menyerupai endapan cekungan Bogor, sedangkan pada akhir tersier mendekati paparan benua. Satuan tertua yang tersingkap adalah Formasi Rengganis (Tmrs) yang terdiri dari batu pasir halus kasar, konglomerat dan batu lempung,yang berumur Miosen Awal. Formasi ini ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Bojongmanik (tmb) yang berumur Miosen Tengah, bagian timur berkembang Formasi Klapanunggal (Tmk) terdiri dari batugamping koral, batugamping pasiran, batupasir kuarsa glokonitan dan batu pasir hijau. Formasi ini berhubungan dengan Formasi Jatiluhur (Tmj) yang terdiri dari napal, batulempung dengan sisipan batupasir gampingan. Formasi-formasi tersebut diatas ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Genteng (Tpg), yang berumur Pliosen Awal. Formasi Genteng ditindih oleh Formasi Serpong (Tpss) yang berumur Pliosen Akhir, dan tersusun oleh konglomerat batu pasir, batulanau batu lempung, tuf halus, tuf batuapung dan fosil tanaman. Formasi Serpong ditindih secara tidak selaras oleh Tuf Banten (QTvb) yang berumur Plio-Plestosen, tersusun oleh tuf, breksi batuapung dan Batupasir tufaan.

Geologi bawah permukaan pada wilayah penelitian direkonstruksi oleh para ahli dengan menggunakan sayatan tegak yang diperoleh dari sumur bor. Rekonstruksi tersebut telah dimulai oleh Marks (1956), GSI (1973) dan Soekardi (1973). Rekonstruksi yang dikembangkan oleh Soekardi dalam Herlambang (1990) disebutkan bahwa sedimen kuarter ini dibagi menjadi 9 unit stratigrafi.

(58)

pasir tufaan yang belum terkonsolidasi, lempung dan gravel. Bagian atas dari unit ini merupakan fase laut, tersusun oleh lempung, pasir lempungan dan pasir. Unit stratigrafi II, merupakan fase laut yang tersusun oleh lempung, ketebalan lapisan berkisar antara 4-12 m. Unit stratigrafi III, merupakan fase darat, terdiri dari lempung dan gravel dengan ketebalan berkisar antara 30-65 m. Unit stratigrafi IV, lapisan dengan dua fase darat dan laut, bagian atas fase laut sedangkan bawah fase darat, tersusun oleh pasir dan lempung darat. Unit stratigrafi V-VIII mengandung sedimen Pleistosen Tengah endapan laut, kecuali pada unit VI, yang tersusun oleh lempung, lempung pasiran, pasir dan gravel dengan didominasi oleh lempung. Ketebalan unit stratigrafi V-VIII ini berkisar antara 100-230 m. Unit stratigrafi IX tersusun oleh lempung dengan lempung pasiran.

Geomorfologi

Secara geomorfologi wilayah penelitian dibagi menjadi 4 satuan morfologi. Keempat satuan morfologi tersebut adalah (DGTL 1996):

1. Daerah Dataran, wilayah ini mempunyai kemiringan lereng antara 0-0,5%, dengan ketinggian permukaan tanah antara 0-25 m diatas permukaan air laut. Luas wilayah dataran ini kira-kira 42% dari wilayah penelitian, dengan bentuk lahan dataran rawa, sungai, pantai, pematang pantai dan delta. Tanah dan batuan penyusun wilayah berupa aluvium rawa, pantai dan sungai, endapan undak sungai serta aluvium gunung api kuarter.

2. Wilayah dengan kelerengan sedang antara merupakan wilayah dengan topografi hampir datar hingga bergelombang serta mempunyai kemiringan lereng berkisar antara 0,5-1,5%, dengan luas wilayah mencapai 50 % dari tital wilayah. Ketinggian wilayah ini diukur dari permukaan laut berkisar antara 25-144 m. Tanah dan batuan penyusun wilayah ini merupakan pelapukan aluvium volkanik, kolovium dan batuan gunung api kuarter.

(59)

dan batuan sedimen tersier. Wilayah dengan topografi lereng curam ini kira-kiran 4,86% dari wilayah penelitian.

4. Wilayah dengan kelerengan terjal, wilayah ini mempunyai topografi perbukitan relief terjal dengan kemiringan lereng antara >3%, luas wilayah mencapai 3,14 % dari total wilayah. Ketinggian wilayah ini berkisar antara 100-340 m dari permukaan laut. Morfologi wilayah pada umumnya membentuk morfologi kars.

Hidrogeologi

Menurut Soekardi (1986), sistem akuifer Jakarta dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok akuifer bagian atas (I) dengan kedalaman kurang dari 40 m dibawah muka air laut, kelompok akuifer menengah (II) dengan kedalaman antara 40-140 m dan kelompok akuifer bawah (III) dengan kedalaman antara 140-250 m. Lapisan akuifer bagian atas (I) merupakan lapisan akuifer taktertekan (unconfined aquifer) atau akuifer bebas. Lapisan akuifer taktertekan adalah suatu lapisan batuan yang mengandung air yang terletak diatas lapisan kedap air, sedangkan bagian atas dari lapisan tersebut adalah bebas atau tidak tertutup oleh lapisan kedap. Lapisan akuifer II dan III merupakan lapisan akuifer tertekan (confined aquifer) dimana dibagian atas dan bawah lapisan akuifer tersebut terdapat lapisan akuitar.

(60)
(61)
(62)

Gambar 10. Ilustrasi ketersediaan serta pengambilan air tanah (BG-PLG, 2009)

Potensi Air Tanah

(63)

Menurut Badan Geologi Pusat Lingkungan Geologi (BP-PLG), bahwa ketersediaan air pada sistem akuifer cekungan Jakarta ini mendapat input atau masukan dari curah hujan tahunan sebesar 3 x 109 m3/tahun. Jumlah cadangan air tanah di wilayah pantai mencapai 7,5 m3/dt dan dibagian selatan mencapai 17,8 m3/dt, sehingga total ketersediaan air tanah pada sistem akuifer tidak tertekan adalah 25,3 m3/dt atau sekitar 800 x 106 m3/tahun. aliran air tanah (ground water inflow) dari arah selatan yang masuk kedalam sistem air tanah sebesar 15 x 106 m3/tahun dan aliran air tanah dari sistem akuifer tidak tertekan yang terjadi secara alamiah yaitu sebesar 37 x 106 m3/tahun (BG-PLG, 2009). Ketersediaan Air tanah pada sistem akuifer tertekan pada kedalaman 40-250 m berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Badan Geologi Pusat Lingkungan Geologi adalah 52 juta m3/tahun (BG-PLG, 2009). Secara ilustrasi, ketersediaan dan cadangan air tanah di cekungan Jakarta menurut dapat dilihat pada Gambar 10.

Penduduk

(64)

Tabel 5. Jumlah dan kepadatan penduduk tahun 2011 di wilayah DKI Jakarta

Jumlah 8.522.851 2.392 8.525.243

Sumber: Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI

Tabel 6. Jumlah sumur bor dan pengambilan air tanah di DKI Jakarta.

No Tahun Sumur Bor (buah) Pengambilan Air (juta m3/tahun)

Pengambilan air tanah secara komersial yang dilakukan oleh sektor industri, komersial dan perkantoran di Jakarta pada periode 1995-2009 mengalami fluktuasi. Fluktuasi pengambilan air tanah pada periode tersebut kemungkinan disebabkan oleh pencatatan yang kurang akurat, sebab antara jumlah sumur dengan jumlah pengambilan tercatat tidak ada sinkronisasi.

(65)

berasal dari 3600 sumur, merupakan jumlah sumur terbanyak pada periode 1995-2009.

Jumlah pengambilan air oleh penduduk diperkirakan sebesar 213,8 juta m3/tahun. Perhitungan ini didasarkan dari asumsi kebutuhan air bersih sebesar 0,15 m3/jiwa/hari dikalikan jumlah penduduk sebesar 8.489.910 jiwa sehingga total kebutuhan adalah 464,8 juta/m3/tahun. Jika PDAM baru mampu memenuhi sebesar 54%, maka jumlah pengambilan air tanah oleh penduduk diperkirakan sebesar 464,8 juta m3/tahun.

Penggunaan Lahan

Data penggunaan lahan diwilayah penelitian dianalisis dari peta rupa bumi digital tahun 2006. Penggunaan lahan di wilayah penelitian terdiri dari 15 jenis penggunaan lahan, dengan prosentase penggunaan lahan paling besar adalah pemukiman dan gedung yang mencapai 53,04%, untuk rumput/tanah kosong mencapai 12,18 % dan tegalan atau ladang mencapai 11,46% dan sisanya dengan total prosentase 22,96 % terdiri dari lahan perairan, semak belukar, hutan, hutan rawa, rawa, empang, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tanah berbatu dan pasir pantai dengan prosentase masing-masing kurang dari 2 %. Alokasi penggunaan lahan di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Penggunaan lahan pada grid aktif di wilayah penelitian

No Penggunaan Lahan Luas (Km2) % Luas Lahan

8 Kebun/Perkebunan 288,97 9,83

9 Pasir Pantai 30,67 1,04

10 Rawa 15,28 0,52

11 Rumput/Tanah kosong 357,96 12,18

12 Sawah Irigasi 216,10 7,35

13 Sawah Tadah Hujan 27,04 0,92

14 Tanah Berbatu 6,85 0,23

15 Tegalan/Ladang 336,91 11,46

(66)
(67)

DHL Tahun 2009

Batas salinitas yang menunjukkan indikasi payau disemua kelompok akuifer diindikasikan dengan kriteria DHL>1.500 µmhos/cm, kadar Cl- >500 ppm dan TDS > 1000 ppm. Wilayah yang sudah mengalami tingkat salinitas payau dapat dijelaskan sebagai berikut (BG-PLG, 2009):

1. Pada kelompok akuifer <40 m bmt. Garis batas antara air tanah asin dan air tanah payau pada kelompok akuifer ini adalah daerah Jurumudi dan Porisgaga (Tangerang) Kebonjeruk, Kemanggisan, Matraman, Pulogadung dan Ujung Menteng dan Tarumjaya serta Babelan (Bekasi). Di wilayah barat mulai dari Rawa Bokor, Benda dan Jurumudi Tangerang, terjadi kenaikan DHL, menjadi 697 µmhos/cm dan untuk wilayah Bintaro Jaya terjadi penurunan, menjadi 205 µmhos/cm. Kapuk, Kamal Muara, Kamal Pluit, Pasar Ikan dan Penjagalan terjadi kenaikan DHL air tanah, kisaran DHL mulai dari 107 µmhos/cm sampai 697 µmhos/cm dan 520 µmhos/cm sampai 4920 µmhos/cm dan 1385 µmhos/cm sampai 2400 µmhos/cm. Penurunan DHL air tanah terjadi di daerah Tebet dan Pasar Minggu, Tanah Abang dan Pondok Aren masing-masing antara 79 µmhos/cm-239 µmhos/cm, 100 µmhos/cm dan 205 µmhos/cm, di wilayah Tangerang terjadi kenaikan antara 107 µmhos/cm sampai 697 µmhos/cm, sedangkan untuk wilayah dengan morfologi perbukitan bergelombang, terjadi di Ciracas, Pondok Cina.

Gambar

Grafik hubungan DHL dengan jarak dari pantai periode 1995-2010
Tabel 2. Konduktivitas hidrolis berbagai jenis batuan
Gambar 2. Potongan melintang sistem akuifer pantai (Essaid 1990)
Gambar 3 Sirkulasi air asin dari laut menuju daerah transisi dan kembali ke
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pondasi ini memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan pondasi konvensional yang lain diantaranya yaitu KSSL memiliki kekuatan lebih baik dengan penggunaan bahan

Dengan ini memohon kesediaan ibu/ bapak untuk menjadi responden pada penelitian yang sedang saya laksanakan dengan judul “Hubungan Tingkat Ekonomi Keluarga dan Pengetahuan

Bahwa benar, kecelakaan tersebut dikarenakan Terdakwa tidak bisa memperkirakan/tidak memperhitungkan di saat kendaraan Truk Dinas TNI-AL tersebut mendahului kendaraan

Bahwa benar karena ada bus berhenti kemudian Terdakwa menyalip dari sebelah kanan bus sambil menyalakan klakson, bersamaan dengan itu tiba-tiba Saksi-1

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah yang ARTOMORO2 Mart adalah layak untuk disebut di pasar dan aspek pemasaran, aspek teknis produksi dan teknologi, aspek

Tutkimusaineisto käsittää 25 Alkoholipolitiikka- ja Yhteiskuntapolitiikka-lehtien vuosina 1970– 2012 ilmestynyttä pääkirjoitusta (ks. Alkoholipolitiikka-lehti perustettiin

Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan abnormal return sebelum, saat dan setelah pengumuman merger, akuisisi dan right issue.. Dengan kata lain pengumuman merger