• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI LOKASI dan INTERPRESTASI DATA

4.3.1 Kondisi Kehidupan Sosial Komunitas Cina Kebun Sayur

Kehidupan bersosialisasi merupakan kebutuhan bagi setiap individu maupun kelompok. Pada dasarnya manusia ( dalam Soekanto, 2006) memiliki kebutuhan berinteraksi dengan orang lain yang disebut gregariousness. Dengan kata lain interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara perorangan, kelompok, maupun perorangan dalam kelompok.

Dengan bersosialisasi hubungan kekerabatan, sikap, toleransi, tanggungjawab serta rasa saling menghargai dapat dipelajari bila sosialisasi terjadi dengan baik. Namun, apabila sosialisasi ataupun interaksi tidak baik maka dapat memicu konflik. Sosialisasi sendiri diartikan sebagai suatu proses berpartisipasi dalam masyarakat. Salah satu komponen sosialisasi adalah dengan berinteraksi.

Interaksi dapat terjadi diantara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial sendiri membutuhkan ruang, waktu, serta bahasa ( baik verbal atau non verbal ). Akibat dari interaksi sendiri akan memunculkan aksi dan reaksi.

Cina kebun sayur adalah sekelompok komunitas yang hanya berada di kawasan Sumatera Utara. Cina kebun sayur adalah sebutan bagi etnis cina yang menjadi kuli kontrak perkebunan pada masa pimpinan Jacobs Nienhuys. Cina kebun

sayur merupakan orang-orang cina yang berasal dari Tiongkok dan melakukan migrasi ke tanah perantauannya di Sumatera Utara. Dahulunya mereka hanyalah sekelompok cina miskin. Sebutan cina miskin sendiri bukan hanya terdapat di Sumatera Utara saja. Contoh lain adalah Cina Benteng yang berada di Tanggerang, Jakarta.

Pada saat itu, kehidupan cina kebun sayur sangatlah memprihatinkan. Pembatasan-pembatasan serta perlakuan yang tidak adil sering mereka rasakan. Kedatangan mereka ke Sumatera utara hanyalah sekelompok kecil, sehingga masyarakat pribumi menyebut mereka “kaum minoritas”. Namun, pergantian waktu memberikan perubahan bagi mereka. Jumlah mereka yang sudah sangat banyak dan dapat dijumpai dimana pun baik di pemukiman rakyat, perumahan elite, serta pusat- pusat bisnis. Untuk melihat seberapa besar tingkat perubahan yang terjadi pada cina kebun sayur dapat dipaparkan sebagai berikut :

4.3.1.1 Interaksi Sosial Antara Masyarakat Cina Kebun Sayur-Pribumi

Interaksi sosial merupakan bentuk umum dari proses sosial. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok manusia, ataupun perorangan-kelompok manusia ( Soekanto, 2006 ).

Suatu proses interaksi dapat berlangsung melalui beberapa faktor. Faktor- faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Adapun faktor-faktor tersebut sebagai berikut :

a. Faktor Imitasi

Salah satu segi positif faktor imitasi adalah dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah atau nilai-nilai yang berlaku. Namun, Imitasi juga dapat mengakibatkan hal-hal yang menyimpang yaitu melemahkan atau bahkan mematikan kreasi seseorang.

b. Faktor Sugesti

Faktor ini berlangsung pabila sesseorang memberikan suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. c. Faktor Identifikasi

Merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri sseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.

d. Faktor Simpati

Merupakan suatu proses dimana seseorang tertarik pada pihak lain. Dalam hal ini perasaan memegang peranan penting. Walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerjasama dengannya.

Etnis cina merupakan etnis yang minoritas dan dapat dikatakan sebagai keturunan asing di Indonesia. Kaum minoritas ( dalam Sunarto, 1993 ) diartikan sebagai kelompok lain atau dengan kata lain kelompok tersebut dianggap tidak normal serta lebih rendah karena dinilai mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang dimaksud adalah ciri-ciri fisik, ekonomi, budaya, dan perilaku. Oleh sebab itu kelompok minoritas sering mendapat perlakuan tidak adil seperti diskriminasi,

bahkan eksploitasi dari masyarakat sekitar. Sedangkan kelompok mayoritas dianggap mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding kelompok minoritas. Kelompok ini menganggap dirinya normal.

Dengan istilah kaum minoritas, cina kebun sayur membatasi dirinya atau dengan kata lain terbatasi untuk melakukan interaksi dengan masyarakat lain (pribumi), sehingga sebagian besar dari mereka menjadi individualisme. Semasa menjadi kuli kontrak perkebunan interaksi sosial antara cina kebun sayur dengan pribumi terbatasi. Kebijakan serta keterikatan kontrak pekerjaan dengan Belanda mengambil hak-hak kebebasan mereka. Para kuli dipaksa bekerja diluar jam kerja yang telah disepakati. Berikut contoh dari terpasungnya hak-hak kuli kontrak akibat perjanjian kerja dengan pihak Belanda yang dikutip dari salah satu informan :

“...Kalau wa kurang mengerti ceritanya, karena yang cina kebun sayur itu kakek wa. Tapi, secara gamblang wa tahunya kehidupan kuli kontrak itu antara hidup dan mati. Gimana tidak, mereka harus bangun pagi-pagi buta..langsung keperkebunan dan bekerja sampai senja. Bahkan apabila mereka lembur, upah mereka tidak bertambah. Hal ini menyebabkan terbatasinya untuk melakukan interaksi sosial dengan individu lainnya...”

( Sumber : hasil wawancara dengan Pak Aki, April 2010 ).

Dari hasil wawancara tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa kontrak kerja yang mengikat mereka menyisahkan kesengsaraan. Bukan hanya interaksi saja, cina kebun sayur juga mendapatkan perlakuan kasar, serta tindakan-tindakan yang kurang adil baik dari masyarakat sekitar ataupun Belanda. Keterikatan kontrak tersebut dapat dikatakan memasung hak-hak kemanusiaan para pekerja.

Bila interaksi antara cina dengan pribumi pada saat itu mendapatkan hambatan. Berbeda dengan interaksi antar sesama cina kebun sayur. Sikap yang tidak

menyenangkan serta stigma negatif dari masyarakat pribumi membuat mereka senasib sepenanggungan, sehingga interaksi yang terjadi pun lebih bermakna dan lebih baik.

Kini, perubahan telah terjadi. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang serta interaksi sosial ( Soekanto, 2006 ).

Perubahan kehidupan sosial yang terjadi pada cina kebun sayur adalah pola interaksi yang berubah. Pembauran serta tangan terbuka dari masyarakat sekitar yang memberikan perubahan tersebut. Berikut kutipan hasil wawancara terhadap informan:

“...Sekarang kehidupan cina kebun sayur lebih nyaman, bahkan setiap sore kami berkumpul di warung yang punya yah.. orang pribumi...”

( Sumber : hasil wawancara dengan Pak Udin, April 2010).

Dengan terciptanya rasa saling toleransi serta saling menghargai perbedaan, maka interaksi sosial sebagai komponen dari kehidupan sosial tercapai dengan baik. Hal ini memberikan kontribusi penting bagi pengurangan konflik internal.

4.3.1.2 Sikap Diskriminasi, Kekerasan Fisik dan Marginalisasi

Diskriminasi ( dalam Sunarto, 1993 ) adalah suatu perlakuan berbeda terhadap orang-orang yang dikelompokkan kedalam kategori khusus. Diskriminasi sendiri dapat dibagi kedalam 2 kategori, yaitu :

b. Diskriminasi Institusi, merupakan dampak kebijaksanaan atau praktek tertentu berbagai institusi dalam masyarakat.

Diskriminasi muncul pula terhadap cina kebun sayur. Profesi sebagai kuli kontrak perkebunan serta munculnya stigma negatif menjadikan mereka sebagai objek diskriminasi. Kuli kontrak cina mendapatkan perhatian lebih kecil jika dibandingkan dengan kuli kontrak lainnya. Hal ini disebabkan karena buruh cina merupakan buruh murah.

Kekerasan fisik merupakan bentuk perlakuan kasar yang diterima para kuli kontrak, karena melakukan kesalahan pada saat bekerja di perkebunan. Pada masa Kolonial, apabila pekerja melakukan kesalahan maka hukumannya adalah hukuman fisik atau potongan-potongan upah. Berikut kutipan wawancara terhadap salah satu informan :

“...Kalau diingat-ingat cerita ayah saya selalu sedih rasanya. Kalo setiap subuh, ayah saya cepat-cepat berangkat kerja, kemudian pulang sampe malam terkadang. Yah..namanya juga dulu hidup sengsara kerjaan begitu pun ayah saya terima saja. Waktu itu ayah saya sakit kencing manis, kemudian beberapa hari tidak ke perkebunan. Setelah sehat, ayah saya kembali berkeja, namun kolonial kejam itu malah memukul ayah saya dan memotong upahnya banyak...”

( Sumber : hasil wawancara dengan Pak Aho, April 2010).

Dari hasil wawancara tersebut membuktikan bahwa keselamatan, kesehatan, serta jaminan kesehatan pada masa itu tidak ada. Kekejaman Belanda tidak sesuai dengan kemanusiaan dan melanggar kode etik pekerjaan. Kini, hal tersebut tidak bisa dilakukan seorang majikan terhadap pekerjanya, karena peraturan tenaga kerja telah diatur didalam UUD 1945.

Masyarakat marginal adalah sebuah kemungkinan atau probabilitas orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan usahanya serta taraf kehidupannya. Pada umumnya yang mengalami marginalisasi adalah kaum migran. Kaum marginalisasi dianggap tidak mempunyai keahlian ( unskilled labour ) seperti pedagang, kurir, pengumpul barang bekas maupun kuli kontrak.

Adapun ciri-ciri masyarakat yang termasuk golongan marginal adalah

pertama, tidak terjadinya atau lamban terjadinya mobilitas sosial vertikal. Mereka

yang miskin tetap miskin dan yang kaya tetap menikmati kekayaannya. Kedua, ketergantungan si miskin akan ekonomi kelas sosial diatasnya.

Dahulunya cina kebun sayur datang ke Indonesia dalam keadaan miskin dan padsa akhirnya mereka dapat membuktikan bahwa perputaran ekonomi telah didapat. Sebagian besar etnis cina telah menghilangkan stigma negatif dan marginalisasi, karena dengan perkembangan perekonomian mereka secara langsung menaikkan status sosial mereka dan disegani oleh masyarakat sekitar.

4.3.1.3 Asimilasi

Asimilasi adalah suatu proses pembauran yang dilakukan komunitas cina kebun sayur dengan masyarakat sekitar di Desa Bandar Klippa. Asimilasi ini sendiri dimaksudkan bahwa komunitas cina kebun sayur rela melepas dan menghilangkan identitasnya sebagai etnis cina dan melakukan pembauran terhadap pribumi. Tentu saja pihak masyarakat pribumi menerima pembauran mereka.

Proses asimilasi tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa kesediaan dua belah pihak. Artinya, keharusan proses interaksi antara dua pihak atau kelompok,

yaitu pihak pendatang ( cina ) dengan pihak penerima pendatang ( pribumi ), atau masyarakat setempat. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan agar proses asimilasi dapat terjadi :

a. Adanya kelompok-kelompok manusia yang mempunyai perbedaan kebudayaan

b. Orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif dengan waktu yang lama

c. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan masing-masing saling menyesuaikan diri.

Masuknya cina kebun sayur ke Sumatera Utara tentulah mendapatkan tantangan dalam melakukan pembauran. Berbagai stigma negatif yang terlebih dahului melekat membuat asimilasi sulit dilakukan. Namun, dengan kegigihan mereka mengadu nasib di Sumatera Utara membuat mereka mau tidak mau harus melakukan pembauran tersebut. Mereka harus berjuang terus untuk mendapatkan pengakuan sebagai WNI berketurunan asing. Tujuan lainnya adalah demi menerima identitas diri yang jelas di Indonesia agar stigma kaum minoritas bisa dihapuskan. berikut kutipan dari hasil wawancara dengan salah satu informan :

“...saya menikahi gadis di desa sini yang merupakan WNI dan bersuku Jawa. Ini saya lakukan karena saya terlanjur menyukai desa ini, bahkan saya juga menguasai bahasa istri saya yaitu bahasa Jawa...”

( Sumber : hasil wawancara dengan Pak Aho, April 2010 )

Asimilasi perkawinan adalah perkawinan para pendatang dengan masyarakat asli setempat ( Host- society ) melalui perkawinan campuran yang dilakukan adalah salah satu cara pembauran yang efektif, karena dengan menikahi warga negara

Indonesia secara tidak langsung memberikan identitas diri terhadap etnis cina untuk menjadikan dirinya WNI. Berikut kutipan hasil wawancara terhadap salah satu informan :

“...Dulu ayahnya menikahi ibunya yang berwarga negara Indonesia. Tujuannya karena cinta dan supaya menjadikan keluarganya Warga Negara Indonesia dan gampang menmdapatkan pekerjaan...”

(Sumber :hasil wawancara dengan Pak Cheng, April 2010).

Kehidupan sosial yang sulit membuat mereka harus melakukan asimilasi baik penyatuan budaya, mempelajari tradisi masyarakat sekitar, sampai melakukan asimilasi melalui perkawinan campuran. Dengan identitas diri sebagai WNI, kebanyakan cina kebun sayur mengganti nama asli mereka dengan nama Indonesia. Tujuan agar pembauran yang dilakukan lebih sempurna. Maka, tidak jarang mereka mempunyai 2 nama, yaitu nama Tionghoa dan nama Nasional ( Indonesia ).

Cina kebun sayur dapat bernafas lega dalam menjalankan ibadah mereka. Dengan perubahan yang telah terjadi, masyarakat sekitar ( pribumi ) memberikan kebebasan bagi cina kebun sayur untuk beribadah dan membangun tempat ibadah di pemukiman tersebut. Terbukti, kini di area pemukiman cina kebun sayur terdapat 5 tempat ibadah yang meliputi Vihara dan Kuil. Pembangunan tempat-tempat ibadah tersebut atas inisiatif dan gotong royong masyarakat cina kebun sayur.

4.3.2 Kondisi Kehidupan Perekonomian Komunitas Cina Kebun Sayur

Perekonomian merupakan salah satu tonggak kehidupan didalam bermasyarakat maupun berNegara. Perekonomian sendiri memegang peranan penting dalam menentukan maju mundurnya suatu Negara, dan menentukan miskin atau

kayanya masyarakat. Pada masa kolonial Belanda, perekonomian cina kebun sayur masih sangat memprihatinkan. Melihat perekonomian cina kebun sayur tentulah mengisahkan kesengsaraan. Dimana mereka harus dihadapkan dengan keadaan ekonomi yang sulit. Terlebih, upah dari hasil kerja keras di perkebunan kecil dan sering di potong. Alhasil, para kuli kontrak meminjam kepada Belanda, tetapi Belanda memberikan bunga pinjaman yang sangat tinggi kepada para kuli. Dengan peraturan Belanda tersebut membuat para kuli harus lebih lama menghabiskan waktu mereka untuk bekerja di perkebunan agar utang-piutang mereka terbayar.

Jika melihat perjalanan sejarah perekonomian etnis cina pada masa lalu, tidak ada salahnya membahas perekonomian setelah masa kuli kontrak perkebunan. pembahasan akan dibatasi dalam beberapa bagian, yaitu pada tahun 1930-an, 1941 sampai tahun 1958, periode tahun 1959 sampai tahun 1966, periode tahun 1966 sampai tahun

Perekonomian etnis cina pada tahun 1930-an. Pada era ini, dalam bidang agraria, etnis Cina masih dibatasi kepemilikannya, kecuali di Pulau Bangka, di Kalimantan Barat, dan beberapa lokasi di Pulau Sumatera serta Pulau Jawa. Akibat kondisi jaman Malaise, ada pergeseran peran ekonomi tertentu terutama dari kuli perkebunan di Sumatera Timur menjadi tengkulak, pedagang ikan, atau pemilik penggilingan beras. Demikian juga munculnya dominasi dalam per-dagangan eceran oleh etnis Cina, pada tingkat yang lebih rendah daripada Belanda. Profesi ini diikuti pula oleh peran sebagai tengkulak dan penjaja keliling kecil-kecilan. Bisnis di bidang keuangan hanya bersifat tengkulak pegadaian tingkat bawah dan tidak berbentuk perbankan. Industri pabrik rokok , batik dan tekstil kecil juga dimiliki oleh etnis Cina

ini, sedangkan orang-orang pribumi sebagian besar masih berketat di bidang agraria/pertanian dan sebagian laginya pada dinas-dinas pemerintah Hindia Belanda. Etnis Cina yang telah berpendidikan mulai menekuni bidang-bidang yang terspesialisasi, misalnya dokter, akuntan dan pengajar. Profesi sebagai kuli, atau buruh kasar baik yang terampil ataupun tidak, mulai menyusut jumlahnya. Selain itu, banyak yang bekerja di perusahaan-perusahaan Cina.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1941 sampai Tahun 1958 Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi sedikit memasuki ushaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan. Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir tidak ada. Kemudian terjadi pergeseran peran dari tenaga “kasar” ( misalnya sebagai kuli perkebunan) menjadi tenaga kerja

“halus” yang pekerjaannya memiliki status atau “gengsi” yang lebih tinggi dan lebih

membutuhkan keterampilan, misalnya penata rambut, pengrajin emas, wartawan, dokter, pengacara dan lain-lain. Sehingga, pada jaman perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan Demokrasi Terpimpin, peran ekonomi etnis Cina meluas, lebih-lebih dengan adanya kebijakan Benteng yang membuat usaha pribumi tidak

berjalan efektif dan memacu hubungan “Ali-Baba”, serta terjadi persaingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi lainnya.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1959 sampai Tahun 1966 Perilaku ekonomi etnis Cina semakin menonjol pada periode ini, lebih-lebih tahun 1957 sampai tahun 1958. Keberhasilan usaha mereka mengambil alih perusahaan- perusahaan besar Belanda yang dinasionalisasi, walaupun kondisi politik dan ekonomi Indonesia tidak menguntungkan mereka, lebih-lebih setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Pada masa itu, etnis Cina kelas menengah melakukan human capital besar-besaran dibidang pendidikan terutama yang bersifat teknis dan manajerial, sehingga pada saat terjadi inflasi tinggi dan perasaan anti etnis Cina menyebar luas hingga tahun 1966, etnis Cina dapat beradaptasi dengan fleksibel. Hal tersebut dilakukan melalui penyediaan modal dan valuta asing yang didapat dari modal sendiri atau keluarga dan atau jaringan dengan pihak luar. Kunci utama keberhasilan pelaku ekonomi baru etnis Cina, adalah merintis kedekatan dengan pejabat pemerintah pada awal Orde Baru sebagai pembinaan hubungan secara ekonomi dan politis. Walaupun demikian, orang Cina tidak banyak yang terjun secara terbuka dalam politik praktis saat itu, mereka melakukannya lewat dukungan material dan non material.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1966 sampai Tahun 1986 Pada tahun 1965 sampai tahun 1968 merupakan tahun-tahun dimana tindakan kekerasan terhadap etnis Cina meningkat akibat peristiwa G 30 S/PKI, yang oleh rezim Soeharto diatasi secara gradual. Situasi kondusif bagi pertumbuhan perekonomian dirangsang oleh pemerintah Orde Baru, yang tentunya membutuhkan

lebih banyak usaha, dan modal swasta. Secara kebetulan, kedua hal tersebut banyak dimiliki oleh etnis Cina dan ditunjang pula oleh kemampuan teknis dan hubungan perekonomian dengan pihak luar negara, terutama dengan sesama etnis Cina di luar negara. Akibatnya, kebanyakan etnis Cina mengalami peningkatan status sosial ekonomi daripada kondisi sebelumnya. Namun demikian, mereka masih dikesampingkan dari usaha-usaha perekonomian utama, dan terdiskriminasi untuk memasuki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, administrasi sipil pemerintah dan perguruan tinggi negara. Dampak dari perlakuan diskriminasi ini adalah terjadinya pembagian kerja yang bersifat pri dan nonpribumi. Perubahan peran ekonomi cenderung menghambat kerjasama ekonomi yang lebih kuat sejak pasca perang kemerdekaan Republik Indonesia.

4.3.2.1 Peralihan Mata Pencaharian Cina Kebun Sayur

Ketatnya persaingan membuat manusia memikirkan lebih jauh soal penghidupan. Ketika menyinggung masalah penghidupan manusia, maka pembahasanya tidak jauh dari “mata pencaharian”. Mata pencaharian merupakan segala kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan pendapatkan guna pemenuhan kebutuhan hidup.

Cina kebun sayur mempunyai mata pencaharian sebagai kuli kontrak perkebunan dan profesi lainnya adalah mengumpulkan barang-barang bekas, beternak serta berkebun. Pada dasarnya profesi tersebut tidak menghasilkan banyak pendapatan. Dengan pendapatan yang minimal, tentunya pemenuhan kehidupan akan

ekonomi sedikit tersendat. Awal kedatangan cina kebun sayur ke Sumatera Utara adalah menjadi “botot” atau pengumpul barang-barang bekas.

Setelah masa kontrak kuli perkebunan selesai, sebagian besar cina kebun sayur menjadi petani sayuran dan beternak. Dari hasil bertani mereka mendapatkan penghasilan yang cukup jika dibandingkan dengan kuli kontrak perkebunan. Sayuran- sayuran yang mereka tanami sebagian akan dijual ke pasar dan sebagian lagi dikonsumsi sendiri. Oleh karena itulah label “cina kebun sayur ” melekat pada mereka.

Kini, perubahan telah terjadi. Hal yang jelas adalah perubahan bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi, setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang sama sekali baru, mungkin pula bergerak kearah suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau ( Soekanto , 2006 : 299 ).

Keturunan-keturunan cina kebun sayur kini mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hampir 5% ( data tahun 2008 ) cina kebun sayur telah menjadi wiraswasta atau pengusaha. Profesi ini masih dominant dipegang oleh cina. Sebagian dari mereka membuka usaha seperti toko besi, toko perabotan, toko listrik, panglong bahkan pengusaha barang-barang bekas. Berikut kutipan dari hasil wawancara :

“ ...Disini walaupun sebagian punya tokoatau pengusaha di bidang yang baru tetapi, masih ada ada beberapa pengusaha yang memilih di bidang pengumpulan barang- barang bekas/botot. Tapi hasilnya lumayan kok. Tidak seperti dulu... ”

Dengan perubahan perekonomian yang terjadi pada etnis cina, secara tidak langsung mereka memberikan serta membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar terutama pribumi. Kini, mereka adalah pemegang perekonomian di desa tersebut bahkan di Indonesia.

4.3.2.1Peningkatan Status Sosial

Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya. Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosialnya rendah. Status sosial terbagi kedalam 3 kategori, yaitu :

a. Ascribed Status, yaitu kedudukan/status seseorang dalam masyarakat tanpa

memerhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Status ini diperoleh sejak lahir

b. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-

usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas kelahiran, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung kemampuan masing-masing dalam mengejar tujuannya.

c. Assigned Status, yaitu kedudukan yang diberikan kepada seseorang yang

berjasa dalam suatu hal.

Status sosial cina kebun sayur pada masa Kolonial Belanda sangat terkucilkan, dikarenakan kaum migrasi yang tergolong miskin. Status sosial pada masa itu hanyalah milik dari seorang yang memiliki tahta, kekuasaan dan kekayaan.

Dengan status sosial mereka yang rendah, mereka sering mendapatkan ejekan bahkan hinaan. Berikut kutipan dari hasil wawancara penelitian :

“...Dulu kalo saya mau melamar pekerjaan, saya sering

Dokumen terkait