• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Kerja Buruh Perkebunan

Dalam dokumen Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebu (Halaman 32-36)

BAB II PENDEKATAN TEOROTIS

2.5 Kondisi Kerja Buruh Perkebunan

Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja di perkebunan. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerja untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Selain itu sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan perkebunan juga ditentukan oleh tingkat pendidikan dan keahlian (Oktaviani, 1995). Tetiani (2005), menyatakan bahwa di dalam kebun juga dikembangkan hierarki dan segregasi kerja berbasis ras yang dipandang sebagai penerjemahan nilai partiarkal, fenomena promosi kerja sampai kepada jabatan tinggi (staf) berdasarkan lama waktu kerja.

Di perkebunan Sumatera Utara, sebaran umur karyawan pemanen yang berada pada kelompok tua dan kelompok muda mempunyai jumlah yang sama yaitu sebanyak 17 orang dengan persentase 27 persen. Pada kelompok umur dewasa sebanyak 29 orang dengan persentase 46 persen. Sebaran umur pada kelompok dewasa lebih besar karena tergolong usia produktif dan memiliki tenaga yang kuat untuk melakukan pemanenan.

Pembentukan stratifikasi sosial yang ada dalam komunitas perkebunan ini sangat dipengaruhi oleh sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan. Penggolongan itu berdasarkan pada pembedaan posisi dan kedudukan seseorang di dalam perusahaan yang ditentukan oleh tingkat pendidikan dan disesuaikan dengan keahlian. Untuk itu seseorang yang bersangkutan mendapat upah serta fasilitas-fasilitas yang berbeda antara masing-masing golongan (Kristina, 2004).

Oktaviani (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan di Sumatera Selatan pekerjaan laki-laki lebih berat daripada perempuan misalnya membuka hutan yang masih banyak ditumbuhi pohon besar, membuat saluran irigasi, membuang tangkai buah kelapa sawit yang sudah tua sedangkan perempuan hanya sekedar menyiangi lahan yang sudah digarap, melakukan pembibitan, penanaman, mengasuh anak, atau membantu pekerjaan rumah di kediaman pegawai staf.

Pekerjaan produktif perempuan dalam perkebunan di Sumatera Utara sangat kecil (Lubis, 1989). Pada tahap pembibitan dalam budidaya karet, perempuan hanya bekerja pada 5 jenis pekerjaan dari 14 jenis pekerjaan. Pada tahap permulaan tanaman baru, perempuan hanya turut bekerja pada 6 jenis

pekerjaan dari 22 jenis pekerjaan. Ketika melakukan penanaman ulang, perempuan hanya melakukan 8 jenis pekerjaan dari 19 jenis pekerjaan. Pada tahap penyadapan, peraturan hanya mengijinkan perempuan bekerja menyadap.

Pada kasus di perkebunan teh Selasari, Jawa Barat (Grijns 1987), hampir semua pekerjaan memetik dilakukan oleh perempuan (93% dari semua perempuan dan 59% dari semua pekerja). Sejumlah kecil perempuan melakukan pekerjaan tidak tetap seperti mengepak teh untuk pelelangan di luar negeri, menyiram tanaman-tanaman muda, mencuci cangkir untuk mencicipi teh, atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada pegawai staf yang dibayar oleh perusahaan. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian sortasi dalam pabrik.

Kasus di perkebunan kakao Blitar (Wijaya 2005) menunjukkan bahwa buruh kebun dibagi menjadi tujuh kelompok kerja yang sebagian besar berstatus sebagai karyawan tetap golongan IA. Empat kelompok lainnya terdiri atas para kuli yang berstatus sebagai karyawan lepas, kelompok kuli jambret, kelompok kuli petik, dan pecah buah diupah berdasarkan kerja borongan.

Menurut Masithoh (2005), terdapat pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Laki-laki bekerja di kebun atau menjadi tukang ojek, sedangkan perempuan bekerja di kebun sebagai buruh petik, membantu suami di kebun, atau berdagang kebutuhan sehari-hari. Tanggung jawab untuk mencari nafkah dibebankan pada laki-laki sebagai kepala rumahtangga. Untuk lapisan atas, perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan domestik saja.

Menurut Oktaviani (1995), perusahaan menetapkan sistem pengupahan berdasarkan keahlian, kecakapan, dan tanggung jawab seorang pekerja, serta

menurut kemampuan perusahaan yang disesuaikan dengan ketentuan berlaku tentang upah minimum. Buruh adalah lapisan terbawah dan terbanyak dalam ketenagakerjaan. Buruh ini dibedakan berdasarkan pekerja laki-laki dan perempuan yang diterapkan langsung dalam pembagian jenis pekerjaan. Pekerjaan perempuan dinilai pihak perusahaan lebih ringan maka dibayar lebih murah daripada pekerja laki-laki

Klasifikasi tenaga kerja di perkebunan didasarkan pada status gaji yaitu bulanan dan harian (Grijns 1987). Pimpinan merupakan golongan terpisah. Mandor, teknisi dan pegawai administrasi mendapat gaji tetap yang dibayar bulanan ditambah bayaran kerja lembur dan bonus produksi. Buruh harian dibayar menurut jumlah hari bekerja selama sebulan lalu atau menurut sistem borongan. Buruh tetap mempunyai hak untuk libur satu hari dalam seminggu dengan tetap dibayar. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian sortasi dalam pabrik. Bagian ini dimandori oleh seorang perempuan dengan gaji bulanan. Hanya sebagian kecil perempuan yang bekerja sebagai mandor dan semuanya di kebun dan dibayar harian, berbeda dengan mandor laki-laki yang kebanyakan dibayar bulanan. Untuk yang telah bekerja selama enam tahun mendapat dua belas hari cuti tiap tahunnya, setelah bekerja selama dua puluh lima tahun ada yang mendapat pensiun atau pesangon, dan mendapat pelayanan sosial dari perkebunan. Pada kasus tertentu pekerja harian lepas juga dapat menikmati fasilitas tersebut (Grijns 1987, Oktaviani 1995).

Menurut Oktaviani (1995), pekerja perkebunan dibedakan lagi menjadi 2 kelompok yaitu: 1) Pekerja harian tetap yang diangkat menjadi pekerja tetap setelah lewat masa percobaan selama 3 bulan, dan berhak menerima upah dan

fasilitas seperti rumah, kesehatan, THR. Upah ditetapkan berdasarkan hari kerja dan akan dibayar tiap akhir bulan ditambah dengan tunjangan lain seperti beras. 2) Pekerja harian lepas adalah pekerja yang belum diangkat menjadi pekerja tetap sehingga tidak diberikan fasilitas. Penetapan upah dibayar berdasarkan prestasi kerja yang dicapai dan diukur dengan volume kerja yang dihasilkan. Pekerja ini biasanya juga dikenal dengan sebutan pekerja borongan.

Pada kasus di Blitar (Wijaya 2005), Pekerja yang berstatus karyawan harian lepas menerima upah sesuai upah minimum rata-rata harian di Blitar. Upah yang dirasakan amat kecil adalah upah borongan yang diterima oleh kuli petik. Kuli pecah cuil buah menerima upah dua kali lipat. Melihat upah yang diterima kondisi para kuli petik lebih memprihatinkan daripada kuli lain. Menurut Daulay (2006), pada sistem pengupahan perusahaan perkebunan, upah buruh masih rendah, belum memakai standar upah minimum rata-rata.

Dalam dokumen Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebu (Halaman 32-36)

Dokumen terkait