• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebu"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

KELUARGA

(Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu

Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)

Oleh:

PUTY SIYAMITRI I34051393

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

This research tells about the work condition of the woman employees and its correlation to family welfare in PTPN VI Kebun Kayu Aro. Overall the work condition of employees in PTPN VI Kebun Kayu Aro described as good enough, but there is the difference of work condition because of sex difference. Education doesn’t employees work condition in the company. Unlike the long term of work and age. The family welfare can be seen from the health, education of member of the family, family consumsion pattern, and the employee’s houses. The amount childern in the family doesn’t have correlation the family welfare. The suggestion of this research are apply gender socialization in order to abolish gender stereotyp, improve communication between company and employees, and motivate the children of employees to persue their education to higher level.

(3)

Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga. Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. (Di bawah bimbingan WINATI WIGNA).

Perkebunan cukup besar peranannya dalam perekonomian nasional dan dalam penyerapan tenaga kerja. Gambaran positif itu berbeda dengan kondisi kerja buruh perkebunan. Buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan tentang tenaga kerja, hubungan antara perusahaan dengan buruh perkebunan sering tidak harmonis, pembagian kerja dan pengupahan di perkebunan tidak mengalami banyak perubahan. Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan, namun kondisi ketertinggalan perempuan menggambarkan adanya ketidakadilan gender di Indonesia (Soemartoyo, 2002 dalam Hastuti, 2003). Kebijakan pembangunan di Indonesia yang menjamin hak dasar pekerja dan tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam prakteknya mengalami hambatan. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama yang menentukan kondisi kerja karyawan di perkebunan. Oleh karena itulah, penelitian mengenai kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga buruh atau selanjutnya akan disebut karyawan perkebunan ini menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui dan menganalisis kondisi kerja karyawan (golongan karir, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan, (2) mengetahui dan menganalisis faktor yang mempengaruhi kondisi kerja karyawan di perkebunan, dan (3) mengetahui dan menganalisis pengaruh kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan di perkebunan. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode survei yang didukung dengan data kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi yang ditentukan secara purposive. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2009.

Kondisi kerja karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro secara umum digambarkan sudah cukup baik. Akan tetapi terdapat perbedaan kondisi kerja karyawan karena perbedaan jenis kelamin. Karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagian besar telah menempati golongan karir yang tinggi, namun karyawan laki-laki lebih banyak berada pada golongan karir yang lebih tinggi dibandingkan karyawan perempuan. Pendapatan di PTPN VI Kebun Kayu Aro ditentukan berdasarkan golongan karir dan premi. Ternyata karyawan laki-laki lebih banyak mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan perempuan sebab karyawan laki-laki mempunyai golongan karir yang lebih tinggi dan mendapat premi yang lebih besar. Karyawan laki-laki mendapatkan jaminan yang lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan karena adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang menopang kehidupan keluarganya.

(4)

mempunyai hubungan terhadap kondisi kerja di perkebunan, semakin lama seorang karyawan bekerja maka semakin baik kondisi kerjanya di dalam perusahaan.

Secara umum kondisi kerja tidak berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, namun ada variable kondisi kerja yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan keluarga yaitu golongan karir dengan kesehatan keluarga, pendapatan dengan pendidikan, jaminan keluarga dengan kesehatan, pola konsumsi, dan perumahan. Tidak adanya hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan disebabkan faktor lain yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan yaitu pendapatan keluarga karyawan di luar pendapatan karyawan yang bersumber dari perusahaan dan sumbangan atau subsidi yang diperoleh keluarga karyawan yang tidak bersumber dari perusahaan..

Kesehatan keluarga karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sudah baik, dilihat dari status kesehatan yang baik karena perusahaan menyediakan sarana pengobatan yaitu Rumah Sakit Kayu Aro (RSKA), namun kesehatan keluarga karyawan perempuan masih lebih rendah dibandingkan keluarga karyawan laki-laki karena untuk karyawan laki-laki-laki-laki RSKA dapat diakses oleh dirinya, istri dan anak-anaknya, sementara untuk karyawan perempuan hanya untuk dirinya sendiri. Taraf gizi keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan perempuan sudah baik karena makan lebih dari 2 kali dalam satu hari dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh keluarga karyawan sudah mencukupi kebutuhan gizi.

Keluarga karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro belum sepenuhnya berhasil menyekolahkan anak mereka. Kurang baiknya tingkat pendidikan keluarga karyawan disebabkan kurangnya biaya dan tidak adanya kemauan anak untuk melanjutkan sekolah. Hal tersebut bukan salah perusahaan perkebunan, tetapi karena rendahnya pendidikan orang tua yang rendah tidak mampu memberi motivasi kepada anaknya dan tidak terdapat contoh orang yang berpendidikan yang berhasil di kalangan mereka.

Pola konsumsi keluarga karyawan pada umumnya lebih banyak pada konsumsi makanan daripada konsumsi non makanan karena mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok makanan daripada kebutuhan lainnya. Perumahan karyawan laki-laki dan karyawan perempuan telah baik yang dapat dilihat dari keadaan infastruktur rumah yang sudah baik walaupun sebagian kecil keluarga karyawan perempuan masih memiliki keadaan infastruktur rumah yang kurang baik.

(5)

KELUARGA

(Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu

Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)

Oleh:

PUTY SIYAMITRI I34051393

Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komuikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

MASYARAKAT

Judul : Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga (Kasus Pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi) Nama Mahasiswa : Puty Siyamitri

Nomor Mahasiswa : I34051393

Major : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dra. Winati Wigna, MDS NIP. 131284835

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001

(7)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN

HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (KASUS PADA PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO, KECAMATAN KAYU ARO, KABUPATEN KERINCI, PROPINSI JAMBI) BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Agustus 2009

(8)

Penulis bernama Puty Siyamitri yang dilahirkan di Pemalang pada tanggal

18 Mei 1987. Penulis adalah anak ketiga dari pasangan suami isteri Muslim

Latief dan Nirmala. Pendidikan pertama yang ditempuh penulis adalah di Taman

Kanak-Kanak Aisyiah Sungai Penuh pada tahun 1992-1993. Pada tingkat sekolah

dasar penulis bersekolah di SD Pertiwi Sungai Penuh pada tahun 1993-1999,

kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 1 Sungai Penuh pada tahun

1999-2002 dan SMA Negeri 2 Sungai penuh pada tahun 2002-2005.

Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui

jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), dan setelah melewati satu tahun di

TPB (Tahap Persiapan Bersama), penulis berhasil masuk pada mayor Komunikasi

dan Pengembangan Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia yang merupakan

pilihan pertama penulis dalam pemilihan mayor di IPB. Selama menjadi

mahasiswa di IPB, penulis mengikuti organisasi yaitu Himpunan Mahasiswa

Jambi (HIMAJA) dan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat (Himasiera), dan mengikuti beberapa kepanitiaan.

Penulis juga pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Sosiologi Umum dan Ilmu

(9)

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Dzat yang senantiasa

memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan

Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga (Kasus pada PT Perkebunan

Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten

Kerinci, Propinsi Jambi)”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk

memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini menjelaskan kondisi kerja karyawan yang bekerja di PT

Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro. Kondisi kerja yang dilihat yaitu

golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga yang diterima

oleh karyawan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Skripsi ini juga melihat

faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut. Kemudian skripsi ini

juga membahas mengenai hubungan kondisi kerja karyawan perkebunan dengan

kesejahteraan keluarga yaitu mengenai kesehatan keluarga, pendidikan keluarga,

pola konsumsi keluarga, dan perumahan keluarga karyawan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:

1. Ibu Dra. Winati Wigna, MDS selaku dosen pembimbing skripsi

sekaligus dosen pembimbing akademik atas segala bantuan, bimbingan

(10)

perbaikan skripsi ini.

3. Ibu Ir. Anna Fatchiya, selaku penguji dari Departemen Sains KPM

yang telah banyak mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Mama dan Almarhum Papa tercinta, Mbak Endah dan Mbak Dian

tersayang yang menjadi pemicu semangat untuk segera menyelesaikan

skripsi ini, terima kasih atas doanya.

5. Seluruh responden karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro, atas

kerjasamanya selama penelitian

6. Bapak Uyung dan keluarga yang membantu dalam proses penelitian di

PTPN VI Kebun Kayu Aro, terima kasih atas bantuannya.

7. Sahabatku, Mas Wisnu, Kokoy, Nits, Taye, Ema, Lusi, Liza, Egi,

Mbak Tul dan teman-teman kosan SQ yang telah memberikan

motivasi, perhatian, bantuan, serta kesabarannya dalam mendengarkan

cerita, kebahagiaan, keluh kesah selama ini. Terima kasih atas doa dan

waktunya untuk menemani dalam penulisan skripsi ini.

8. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang

membacanya dan penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi

kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2009

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II PENDEKATAN TEOROTIS ... 7

2.1 Konsep Gender... 7

2.2 Ketidakadilan Gender ... 9

2.3 Pembagian Kerja Gender ... 13

2.4 Perkebunan di Indonesia ... 14

2.5 Kondisi Kerja Buruh Perkebunan ... 16

2.6 Kesejahteraan ... 20

2.7 Kerangka Pemikiran... 27

2.8 Hipotesis ... 29

2.9 Definisi Operasional ... 29

BAB II METODOLOGI PENELITIAN... 38

3.1 Metode Penelitian ... 38

3.2 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian... 38

3.3 Metode Penentuan Responden dan Informan ... 39

3.4 Metode Pengumpulan Data... 39

(12)

BAB IV PROFIL LINGKUNGAN PERUSAHAAN ... 42

4.1 Sejarah Perusahaan ... 42

4.2 Konteks Lokasi Perusahaan ... 43

4.3 Sarana dan Prasarana ... 44

4.4 Struktur Organisasi dan Kultur Perusahaan Perkebunan ... 45

4.5 Sumber Daya Manusia (SDM) di Perusahaan ... 50

BAB V KONDISI KERJA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO ... 52

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI KERJA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO ... 65

6.1 Hubungan Pendidikan dengan Kondisi Kerja... 65

6.2 Hubungan Umur dengan Kondisi Kerja ... 67

6.3 Hubungan Lama Bekerja dengan Kondisi Kerja ... 69

6.4 Ikhtisar ... 70

(13)

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

8.1 Kesimpulan ... 85

8.2 Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA... 89

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rincian Metode Pengumpulan Data ... 40 2. Jumlah Luas Lahan Berdasarkan Sertifikat HGU No 2

tanggal 8 Mei 2002, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009... 44 3. Jumlah Tenaga kerja Berdasarkan Lokasi Kerja,

Golongan Karir, dan Tanggungan... 51 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja

dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 54 5. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Golongan Karir

dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 55 6. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan

dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 57 7. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Kerja

dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 60 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keluarga

dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 62 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Pendidikan, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin,

PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 66 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

umur, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin,

PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 67 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Lama Berkerja, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin,

PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 69 12. Hasil Pengujian Hubungan Kondisi Kerja dengan

Kesejahteraan Keluarga Karyawan PTPN VI Kebun Kayu aro ... 73 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kesehatan

(15)

Halaman

14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Taraf Gizi

dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 76 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan

dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 77 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pola Konsumsi

dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 ... 79 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perumahan

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Pengujian Chi-Squere ... 93

2. Hasil Pengujian Rank Spearman... 95

3. Peta PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro ... 97

(17)

1.1 Latar Belakang Masalah

Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat diandalkan dalam

perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan tingginya sumbangan devisa yang

dihasilkan dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Devisa yang dihasilkan oleh

sektor ini pada tahun 2003 adalah sekitar 16,6 persen (BPS, 2003). Berdasarkan

lapangan buruhannya, dari 95,5 juta penduduk yang bekerja, sekitar 43,67 persen

dari mereka bekerja di sektor pertanian. Sektor lain yang cukup besar peranannya

dalam penyerapan tenaga kerja diantaranya sektor perdagangan sebanyak 20,13

persen, industri sebanyak 12,46 persen, dan jasa sebanyak 11,90 persen (BPS,

2007a).

Secara nasional, jumlah angkatan kerja terus bertambah dengan struktur

penyerapan tenaga kerja menurut sektor yang tidak mengalami banyak perubahan.

Berdasarkan data BPS, pada Februari 2005 sektor pertanian menyerap 44,04

persen tenaga kerja, pada Februari 2006 naik menjadi 44,46 persen, kemudian

menurun lagi menjadi 43,67 persen pada Februari 2007 (BPS, 2007b).

Krisis ekonomi di Indonesia sejak Juli 1997 telah melumpuhkan sebagian

besar perekonomian Indonesia. Terjadi peningkatan angka kemiskinan pada

semua sektor akibat krisis tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa semua sektor

menerima dampak negatif dari krisis yang terjadi. Menurut data Susenas 1996 dan

1999 (dalam Kristina 2004), angka kemiskinan tertinggi yang secara konsisten terjadi pada sektor pertanian justru mengalami penurunan. Hal ini karena buruh di

(18)

Salah satu sub sektor yang cukup besar peranannya dalam pertanian adalah

sub sektor perkebunan. Hal ini terlihat dari sumbangan Produk Domestik Bruto

(PDB) sub sektor perkebunan pada tahun 2004 telah mencapai 16,2 persen dari

total PDB sektor pertanian. Selain itu volume ekspor komoditas perkebunan juga

terus meningkat mencapai 47 persen dari total ekspor komoditas pertanian pada

tahun yang sama (BPS, 2005).

Sub sektor perkebunan menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi

krisis ekonomi. Hal ini karena hasil dari sub sektor perkebunan mengalami

peningkatan harga sebagai dampak dari perbedaan nilai tukar rupiah terhadap

dollar AS. Sejak pertengahan tahun 1970-an pertumbuhan sektor perkebunan terus

dipicu melalui berbagai kebijakan baik produksi, investasi, ekspor, dan berbagai

kebijakan lainnya. Hal ini dilakukan karena dengan sumberdaya domestik yang

dikandungnya, sektor perkebunan ini dinilai memiliki keunggulan komparatif di

pasar domestik dan internasional. (Suprihartini et all.,1996 dalam Anggraeni, 2003).

Di samping peranannya dalam perekonomian nasional, peran sub sektor

perkebunan dalam penyerapan tenaga kerja nasional juga cukup besar. Pada tahun

2004 sekitar 18,6 juta tenaga kerja nasional diserap oleh sub sektor ini (BPS,

2005).

Gambaran positif peran perkebunan itu berbeda dengan kondisi kerja

buruh perkebunan. Golongan buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan

tentang tenaga kerja, namun peraturan ini ternyata lebih melindungi dan

menjamin kepentingan pengusaha akan penyediaan tenaga kerja daripada

(19)

perusahaan perkebunan memperlakukan buruhnya sesuai dengan peraturan yang

berlaku yaitu melakukan pembagian kerja sesuai dengan kapasitas dan

kompetensi yang dimiliki oleh buruh. Menurut Daulay (2006), pada sistem

pengupahan perusahaan perkebunan, upah buruh masih rendah, belum memakai

standar upah minimum rata-rata.

Kenyataan lain yaitu hubungan antara perusahaan dengan buruh

perkebunan tidak harmonis padahal kehidupan buruh sangat tergantung pada

perusahaan, dalam arti buruh tidak dapat keluar dari perusahaan walau buruh

diupah rendah dengan jaminan kerja yang kurang baik. Masalah lain adalah

pembagian kerja dan pengupahan yang tidak mengalami banyak perubahan.

Dalam gambaran Kartodirjo dan Djoko Suryo (1991), kondisi buruh perkebunan

serba berat, secara fisik dieksploitasi, menerima upah minimal, sehingga taraf

hidupnya sangat rendah.

Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan, namun kondisi

ketertinggalan perempuan menggambarkan adanya ketidakadilan gender di

Indonesia (Soemartoyo, 2002 dalam Hastuti, 2003). Hal ini dapat dilihat dari Gender–relatedDevelopment Index (GDI) yang berada pada peringkat ke 88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 pada tahun 1998 dari 174 negara

dan menurun lagi menjadi 92 dari 146 negara pada tahun 1999. Di dalam

peringkat dunia indeks tersebut masih lebih rendah dari negara-negara ASEAN,

dan dengan adanya berbagai krisis di Indonesia indeks-indeks tersebut

peringkatnya akan semakin menurun.

Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003

(20)

kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan berhak memperoleh

perlakuan yang sama tanpa diskriminasi. Hal ini menggambarkan bahwa

kebijakan pembangunan di Indonesia menjamin hak-hak dasar pekerja dan tidak

membedakan antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan kesejahteraan

pekerja dan keluarganya, namun dalam prakteknya masih mengalami hambatan.

Peluang perempuan di bidang ekonomi untuk memperoleh pekerjaan yang

sesuai dengan kemampuan masih terkendala oleh berbagai faktor. Jenis kelamin

merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja di perkebunan. Pekerja

dibedakan berdasarkan pekerjaan untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan

(Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Perempuan diposisikan pada

pekerjaan yang dianggap mudah, tidak perlu keterampilan sehingga boleh diupah

rendah, serta ada pandangan penghasilan perempuan sebagai penghasilan

tambahan dalam keluarga.

Ketidakadilan gender berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga

tercermin dari adanya diskriminasi dalam hal jaminan sosial. Buruh perempuan

tidak mendapatkan fasilitas kesehatan dan dana pensiun bagi anak-anaknya

sedangkan untuk buruh laki-laki akan mendapatkan fasilitas kesehatan untuk

dirinya dan juga berlaku bagi anggota keluarganya yaitu seorang istri dan 2 anak.

Kesehatan anak-anak dianggap menjadi tanggung jawab laki-laki. Begitu pula

soal tabungan untuk masa depan anak-anak (Oktaviani, 1995).

Nasib buruh perempuan yang berstatus harian lebih memprihatinkan lagi.

Mereka sama sekali tidak mendapat fasilitas kesehatan, dana pensiun dan hak cuti

haid serta melahirkan. Tekanan ekonomi akibat rendahnya pendapatan sering

(21)

juga harus berutang kepada tengkulak maupun koperasi perkebunan. Pada hari

libur, di samping mengerjakan kewajiban di rumah tangga, perempuan memilih

tetap bekerja di perkebunan milik perorangan yang membuat akses sosial dan

politik buruh perempuan terpinggirkan. Mereka tidak mempunyai kesempatan

berinteraksi dengan masyarakatnya. Jadi, buruh perkebunan identik dengan

keterpaksaan, ketiadaan lahan, pendapatan rendah, minimnya pendidikan, dan

banyak hutang (Nur R, 2002).

Permasalahan ke depan adalah dapatkah sektor perkebunan tetap menjadi

tumpuan bagi tenaga kerja Indonesia. Oleh karena itulah, penelitian mengenai

kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga buruh atau

selanjutnya akan disebut karyawan perkebunan ini menjadi suatu hal yang penting

dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa masalah yang menjadi

titik perhatian dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana kondisi kerja karyawan perempuan (golongan karir, pendapatan,

jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan?

2. Apa saja faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perempuan

di perkebunan?

3. Sejauhmana hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga

(22)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dan menganalisis kondisi kerja karyawan perempuan (golongan

karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan.

2. Mengetahui dan menganalisis faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja

karyawan di perkebunan.

3. Mengetahui dan menganalisis hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan

keluarga karyawan di perkebunan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang

bermanfaat khususnya bagi:

1. Peneliti, merupakan sarana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh

dengan melihat fenomena praktis yang terjadi dan mengaitkanya dengan teori

yang telah diperoleh.

2. Kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi

untuk penulisan atau penelitian selanjutnya mengenai kondisi kerja karyawan

perkebunan.

3. Instansi terkait, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pendorong agar

memperhatikan karyawan perkebunan dan dijadikan bahan pertimbangan

(23)

2.1 Konsep Gender

Konsep gender dibuat oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan

perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan

Yang Maha Esa dan mana yang merupakan bentukan budaya yang

dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting

karena seringkali disamaratakannya ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan

tidak berubah dengan ciri-ciri manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang

sebenarnya bisa berubah dan atau diubah.

Fakih (1996) menyatakan gender adalah suatu sifat yang melekat pada

kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun

kultural, namun untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep

seks atau jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan pensifatan dan pembagian dua

jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis

kelamin tertentu. Laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jajakala

(kala menjing), dan produsen sperma, sedangkan rahim saluran untuk melahirkan, sel telur, vagina, dan alat untuk menyusui dimiliki oleh perempuan. Secara

biologis, alat tersebut melekat pada manusia, tidak bisa dipertukarkan, secara

permanen tidak berubah, dan merupakan suatu kodrat (ketentuan Tuhan).

Konsep gender sendiri adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki

maupun perempuan yang merupakan kategori sosial atau pencirian sosial

(feminitas dan maskulinitas) yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural

(24)

seksualitas, tanggung jawab keluarga, dan lain-lain. Dikotomi tersebut tidak

berdasarkan biologis, tetapi lebih pada hubungan sosial budaya laki-laki dan

perempuan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat dan

struktur masyarakat yang bersangkutan. Ciri dari sifat itu dapat dipertukarkan,

bisa berubah dari waktu kewaktu serta berbeda dari tempat ke tempat bahkan

dapat berbeda dari kelas ke kelas lainnya dalam suatu konsep gender. Misalnya,

perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan sementara

laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa dan lain-lain (Fakih, 1996;

Saptari, 1997).

Pemahaman dan pembedaan gender sangat diperlukan dalam melakukan

analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa

kaum perempuan. (Fakih, 1996). Hal ini juga diperlukan dalam melakukan kajian

untuk memahami persoalan-persoalan gender yang terjadi dalam masyarakat,

karena terkait dengan perbedaan gender (gender differences) dan pembedaan gender (gender inequalities). Di samping itu dengan memisahkan perbedaan seks dengan gender akan memudahkan dalam menganalisis realita kehidupan dan

dinamika perubahan relasi laki-laki dan perempuan.

Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran

laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Secara umum adanya gender telah

melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di

mana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat

pada cara pandang, sehingga seringkali hal tersebut merupakan sesuatu yang

permanen dan abadi sebagaiamana permanen dan abadinya ciri biologis yang

(25)

2.2 Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender (gender differences) terbentuk karena beberapa hal yaitu dibentuk dan disosialisasikan oleh keluarga, diperkuat dan dikonstruksi secara

sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Sampai akhirnya

perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan, dipahami sebagai kodrat

laki-laki maupun kodrat perempuan, yang tidak bisa dirubah (Fakih, 1996).

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak

melahirkan pembedaan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan adalah perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan

gender, baik bagi laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan

gender (gender inequalities) adalah pemberian perlakuan yang berbeda kepada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, sebagian besar kasus ketidakadilan

gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan

dengan gender sering diidentikkan dengan masalah perempuan (de Vries, 2006).

Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana perempuan

maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. (Fakih, 1996). Berbagai

pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara

langsung yang berupa perlakuan maupun sikap yang telah berakar dalam sejarah,

adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada di masyarakat.

de Vries (2006) menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang

sering terjadi pada perempuan yaitu: pertama, subordinasi yang merupakan pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah

perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu emosional mengakibatkan mereka

(26)

negatif (stereotype) yaitu pembentukan citra buruk perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi tidak berdaya dalam masyarakat; ketiga, marginalisasi sebagai akibat langsung dari subordinasi perempuan serta melekatnya label-label

buruk pada diri perempuan, perempuan tidak memiliki akses dan kontrol yang

sama terhadap laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Lebih

jauhnya, hal ini akan berimplikasi pada termarginalisasinya kebutuhan dan

kepentingan perempuan; keempat, beban kerja berlebih sehingga perempuan selalu diindikasikan dengan pekerjaan domestik. Pada kalangan keluarga miskin,

beban ganda terjadi dimana kaum perempuan harus bekerja di sektor domestik

dan produktif. Kelima, kekerasan yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang dalam hal ini dilakukan terhadap perempuan.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Fakih (1996), akan tetapi terdapat

perbedaan urutan dari bentuk ketidakadilan gender tersebut yaitu:

1. Marjinalisasi (pemiskinan) perempuan.

Proses marjinalisasi yang menyebabkan kemiskinan banyak terjadi dalam

masyarakat di negara berkembang. Perempuan dipinggirkan dan tersingkir

dari program pembangunan karena hanya memfokuskan pada laki-laki saja. Di

samping itu perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula

dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada

umunya dikerjakan oleh laki-laki.

2. Subordinasi

Pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap

lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Subordinasi

(27)

3. Pandangan Stereotipe

Pelabelan atau penandaan (stereotype) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Misalnya pelabelan perempuan

sebagai ‘ibu rumah tangga’ membatasi gerak perempuan untuk ikut aktif

dalam kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi. Sementara label laki-laki

sebagai ‘pencari nafkah’ mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh

perempuan dianggap ‘sambilan’ sehingga kurang dihargai.

4. Kekerasan (violence).

Kekerasan yang merupakan terjemahan dari violence adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu

kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik saja seperti perkosaan,

pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti

pelecehan seksual, ancaman, dan paksaan sehingga secara emosional

perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan terusik batinnya.

5. Beban Kerja

Sebagai suatu bentuk ketidakadilan gender adalah beban kerja menjadi

panjang yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin yaitu perempuan

ataupun laki-laki. Hasil observasi menunjukkan perempuan mengerjakan

hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang

bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih

harus mengerjakan pekerjaan domestik.

Menurut Fakih (1996) bahwa manifestasi ketidakadilan gender dalam

bentuk-bentuk seperti di atas dapat terjadi di berbagai tingkatan. Di tingkat

(28)

dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan bahkan dalam lingkungan

rumah tangga. Manifestasi ketidakadilan gender ini telah mengakar di dalam

keyakinan dan menjadi ideologi pada masing-masing orang (kaum perempuan

maupun kaum laki-laki), keluarga hingga tingkat negara yang bersifat global,

sehingga ketidakadilan gender menjadi hal yang paling sulit untuk diubah.

Selanjutnya sebagai maniefestasi lain dari ketidakadilan gender adalah

domestikasi dan pengiburumahtanggaan (housewifization). Menurut Saptari (1997) mengutip dari literatur “Perempuan dalam Pembangunan” domestikasi

adalah suatu proses pembatasan ruang gerak perempuan ke arena domestik.

Dalam menjelaskan konsep domestikasi, Saptari mengacu kepada Barbara Rogers

dengan karyanya yang terkenal “The Domestication of Women“ yang menurutnya cukup menggambarkan proses domestikasi.

Menurut Rogers (1980) dalam Saptari (1997), bersamaan dengan terkucilnya perempuan dari kerja upahan dan dari jalur lain dalam ekonomi uang,

ideologi tentang ‘kodrat’ domestik mereka didukung dengan kuat, melalui

pengajaran ketrampilan domestik gaya Barat dan melalui ajaran moral tentang

tempat mereka di rumah.

Istilah domestikasi sering dipakai secara bergantian dengan pengertian

housewifization atau pengiburumahtanggaan. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Maria Mies. Pengiburumahtanggaan menurut Mies (1986)

yang dikutip oleh Saptari (1997) merupakan proses pendefinisian sosial

perempuan sebagai ibu rumah tangga terlepas dari apakah mereka memang ibu

(29)

kepada timbulnya anggapan perempuan yang tergantung secara ekonomis kepada

laki-laki dengan kata lain mereka mempunyai suami yang menafkahi mereka.

2.3 Pembagian Kerja Gender

Menurut Saptari (1997) dalam masyarakat kita pekerjaan yang dilakukan

perempuan seringkali tidak tampak. Selain itu perempuan cenderung terlibat

dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah.

Moore (1988) dalam Saptari (1997) mengemukakan definisi tentang kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga

menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial

yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut Dalam situasi seperti ini bisa

dipahami mengapa kerja perempuan sering kali tidak tampak (invisible) karena dalam masyarakat kita keterlibatan perempuan sering kali berada dalam pekerjaan

yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah.

Sebenarnya terdapat dua bias kultural dalam masyarakat kita yang

menyebabkan timbulnya pengertian sekaligus pembedaan terhadap kerja upahan

(produktif) dan bukan upahan (tidak produktif). Pertama, uang sebagai ukuran bernilai tidaknya suatu kegiatan. Kedua, kecenderungan masyarakat melakukan dikotomi tajam terhadap semua gejala yang ada.

Dari berbagai dikotomi yang pernah ada dalam litetarur studi perempuan

(produksi/reproduksi, domestik/bukan domestik, upahan/bukan upahan), menurut

Saptari (1997) sampai saat ini belum ada yang memberikan batasan jelas

mengenai hakikat kerja. Menurutnya hal ini dikarenakan dalam kehidupan

(30)

suatu pekerjaan yang terpenting adalah bukan batasannya melainkan hubungan

sosial atau hubungan kerja yang berbeda dan kondisi sosial yang mempengaruhi

kerja yang dilakukan seseorang.

Menurut Moser (1986), kerja produktif dipakai untuk menunjukkan kerja baik secara aktual maupun potensial, yang memiliki nilai tukar, mencakup kerja di

sektor formal dan informal, termasuk di dalamnya bekerja pada perusahaan

keluarga. Sedang kerja reproduktif juga merupakan kerja produktif, tetapi karena nilai produksi yang dihasilkan tidak berupah, maka kerja reproduktif

dikategorikan sebagai kerja produktif tidak langsung. Bila dibedakan kerja

menurut ruang lingkupnya, Moser (1986) memberi arti domestik untuk pekerjaan yang dilakukan dalam rumah tangga. sedangkan publik merupakan ruang lingkup kerja di luar rumah.

2.4 Perkebunan di Indonesia

Pada sektor perkebunan, sejak zaman tanam paksa, interaksi antara buruh

perkebunan dan masyarakat petani dengan pengusaha dan negara mengalirkan

sejarah kekalahan buruh kebun. Kekalahan buruh perkebunan terjadi akibat

penguasaan lahan dan sistem pengelolaan tenaga kerja (pengupahan, penerapan

teknologi, dan sistem manajemen) yang mengeksploitasi petani. Pada masa

kolonial digambarkan bahwa para kuli perkebunan yang dikelola W. F Kissing

yang ada di Sumatera Selatan tidak dapat mencapai tingkat upah biasa karena

kewajiban-kewajiban yang ditetapkan pada mereka terlalu besar (Houben, 2003

(31)

Mengkaji kekalahan petani dan para kuli buruh kebun, disimpulkan bahwa

kehidupan dan budaya petani Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir telah

dihancurkan oleh faktor-faktor eksternal seperti kebijakan internasional tentang

liberalisasi perdagangan yang berhubungan dengan pertanian dimana berbagai

kebijakan tersebut membuat para petani mengahadapi persoalan peminggiran

ekonomi, dominasi politik serta berbagai kekerasan terhadap budaya mereka

(Fakih, 2001 dalam Wijaya, 2005).

Menurut Maliki (1999) dalam Wijaya (2005), modernisasi pertanian yang memunculkan keberhasilan Indonesia memperoleh pengakuan FAO di tahun 1984

ternyata tidak mengubah bergaining position para petani secara ekonomi maupun politik dan ironisnya petani diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, dan

tidak siap menerima inovasi. Bahayanya, persoalan petani yang semakin

terpinggirkan tidak pernah dianggap serius oleh pemerintah.

Menurut Kartodirdjo dan Djoko Suryo (1991), sebagai sistem

perekonomian baru, perkebunan di Indonesia didifusikan oleh pemerintah

kolonial Belanda tanpa dasar persiapan budaya agar pihak penjajah mendapat nilai

tambah dari perkembangan ekonomi wilayah negara jajahan melalui pola

produksi perkebunan komersial di tanah jajahan yang berdampak pada perubahan

kehidupan masayarakat jajahan.

Pada konteks penggunaan tenaga kerja, diterapkan model spesialisasi yang

menciptakan keterpisahan antara perkebunan dengan masyarakat sekitarnya

(petani) yang menggunakan sistem kerja pra-spesialisasi. Keadaan tersebut

(32)

tengah masyarakat Indonesia yang berciri subsistensi, kondisi perkebunan yang

berteknologi modern dengan keadaan masyarakat yang masih berteknologi

tradisional. Padahal industrialisasi dan prosesnya dalam pengusahaan perkebunan

membutuhkan kesiapan sosial budaya dari masyarakat untuk menerima,

mendukung, dan melestarikan keadaan fisik industri perkebunan di tengah

masyarakat petani (Soetrisno, 1983 dalam Tetiani, 2005 )

Masyarakat perkebunan memiliki sistem stratifikasi sosial yang kaku dan

sangat dipengaruhi oleh birokrasi pemerintahan yang sering turut campur tangan.

Terjadi perbedaan yang jelas antara administratur dan karyawan perkebunan

dengan buruh perkebunan, yang mana golongan staf dan karyawan tak hanya

tinggal dalam rumah dan lingkungan yang bagus tetapi mereka juga bergaya

hidup mewah, sedangkan buruh hidup dengan penuh kesederhanaan (Kartodirdjo

dan Djoko Suryo, 1991)

2.5 Kondisi Kerja Buruh Perkebunan

Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja

di perkebunan. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerja untuk laki-laki dan

pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Selain

itu sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan

perkebunan juga ditentukan oleh tingkat pendidikan dan keahlian (Oktaviani,

1995). Tetiani (2005), menyatakan bahwa di dalam kebun juga dikembangkan

hierarki dan segregasi kerja berbasis ras yang dipandang sebagai penerjemahan

nilai partiarkal, fenomena promosi kerja sampai kepada jabatan tinggi (staf)

(33)

Di perkebunan Sumatera Utara, sebaran umur karyawan pemanen yang

berada pada kelompok tua dan kelompok muda mempunyai jumlah yang sama

yaitu sebanyak 17 orang dengan persentase 27 persen. Pada kelompok umur

dewasa sebanyak 29 orang dengan persentase 46 persen. Sebaran umur pada

kelompok dewasa lebih besar karena tergolong usia produktif dan memiliki tenaga

yang kuat untuk melakukan pemanenan.

Pembentukan stratifikasi sosial yang ada dalam komunitas perkebunan ini

sangat dipengaruhi oleh sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem

organisatoris perusahaan. Penggolongan itu berdasarkan pada pembedaan posisi

dan kedudukan seseorang di dalam perusahaan yang ditentukan oleh tingkat

pendidikan dan disesuaikan dengan keahlian. Untuk itu seseorang yang

bersangkutan mendapat upah serta fasilitas-fasilitas yang berbeda antara

masing-masing golongan (Kristina, 2004).

Oktaviani (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan di Sumatera

Selatan pekerjaan laki-laki lebih berat daripada perempuan misalnya membuka

hutan yang masih banyak ditumbuhi pohon besar, membuat saluran irigasi,

membuang tangkai buah kelapa sawit yang sudah tua sedangkan perempuan

hanya sekedar menyiangi lahan yang sudah digarap, melakukan pembibitan,

penanaman, mengasuh anak, atau membantu pekerjaan rumah di kediaman

pegawai staf.

Pekerjaan produktif perempuan dalam perkebunan di Sumatera Utara

sangat kecil (Lubis, 1989). Pada tahap pembibitan dalam budidaya karet,

perempuan hanya bekerja pada 5 jenis pekerjaan dari 14 jenis pekerjaan. Pada

(34)

pekerjaan dari 22 jenis pekerjaan. Ketika melakukan penanaman ulang,

perempuan hanya melakukan 8 jenis pekerjaan dari 19 jenis pekerjaan. Pada tahap

penyadapan, peraturan hanya mengijinkan perempuan bekerja menyadap.

Pada kasus di perkebunan teh Selasari, Jawa Barat (Grijns 1987), hampir

semua pekerjaan memetik dilakukan oleh perempuan (93% dari semua perempuan

dan 59% dari semua pekerja). Sejumlah kecil perempuan melakukan pekerjaan

tidak tetap seperti mengepak teh untuk pelelangan di luar negeri, menyiram

tanaman-tanaman muda, mencuci cangkir untuk mencicipi teh, atau bekerja

sebagai pembantu rumah tangga pada pegawai staf yang dibayar oleh perusahaan.

Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian

sortasi dalam pabrik.

Kasus di perkebunan kakao Blitar (Wijaya 2005) menunjukkan bahwa

buruh kebun dibagi menjadi tujuh kelompok kerja yang sebagian besar berstatus

sebagai karyawan tetap golongan IA. Empat kelompok lainnya terdiri atas para

kuli yang berstatus sebagai karyawan lepas, kelompok kuli jambret, kelompok kuli petik, dan pecah buah diupah berdasarkan kerja borongan.

Menurut Masithoh (2005), terdapat pembagian kerja laki-laki dan

perempuan. Laki-laki bekerja di kebun atau menjadi tukang ojek, sedangkan

perempuan bekerja di kebun sebagai buruh petik, membantu suami di kebun, atau

berdagang kebutuhan sehari-hari. Tanggung jawab untuk mencari nafkah

dibebankan pada laki-laki sebagai kepala rumahtangga. Untuk lapisan atas,

perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan domestik saja.

Menurut Oktaviani (1995), perusahaan menetapkan sistem pengupahan

(35)

menurut kemampuan perusahaan yang disesuaikan dengan ketentuan berlaku

tentang upah minimum. Buruh adalah lapisan terbawah dan terbanyak dalam

ketenagakerjaan. Buruh ini dibedakan berdasarkan pekerja laki-laki dan

perempuan yang diterapkan langsung dalam pembagian jenis pekerjaan. Pekerjaan

perempuan dinilai pihak perusahaan lebih ringan maka dibayar lebih murah

daripada pekerja laki-laki

Klasifikasi tenaga kerja di perkebunan didasarkan pada status gaji yaitu

bulanan dan harian (Grijns 1987). Pimpinan merupakan golongan terpisah.

Mandor, teknisi dan pegawai administrasi mendapat gaji tetap yang dibayar

bulanan ditambah bayaran kerja lembur dan bonus produksi. Buruh harian dibayar

menurut jumlah hari bekerja selama sebulan lalu atau menurut sistem borongan.

Buruh tetap mempunyai hak untuk libur satu hari dalam seminggu dengan tetap

dibayar. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu

bagian sortasi dalam pabrik. Bagian ini dimandori oleh seorang perempuan

dengan gaji bulanan. Hanya sebagian kecil perempuan yang bekerja sebagai

mandor dan semuanya di kebun dan dibayar harian, berbeda dengan mandor

laki-laki yang kebanyakan dibayar bulanan. Untuk yang telah bekerja selama enam

tahun mendapat dua belas hari cuti tiap tahunnya, setelah bekerja selama dua

puluh lima tahun ada yang mendapat pensiun atau pesangon, dan mendapat

pelayanan sosial dari perkebunan. Pada kasus tertentu pekerja harian lepas juga

dapat menikmati fasilitas tersebut (Grijns 1987, Oktaviani 1995).

Menurut Oktaviani (1995), pekerja perkebunan dibedakan lagi menjadi 2

kelompok yaitu: 1) Pekerja harian tetap yang diangkat menjadi pekerja tetap

(36)

fasilitas seperti rumah, kesehatan, THR. Upah ditetapkan berdasarkan hari kerja

dan akan dibayar tiap akhir bulan ditambah dengan tunjangan lain seperti beras. 2)

Pekerja harian lepas adalah pekerja yang belum diangkat menjadi pekerja tetap

sehingga tidak diberikan fasilitas. Penetapan upah dibayar berdasarkan prestasi

kerja yang dicapai dan diukur dengan volume kerja yang dihasilkan. Pekerja ini

biasanya juga dikenal dengan sebutan pekerja borongan.

Pada kasus di Blitar (Wijaya 2005), Pekerja yang berstatus karyawan

harian lepas menerima upah sesuai upah minimum rata-rata harian di Blitar. Upah

yang dirasakan amat kecil adalah upah borongan yang diterima oleh kuli petik.

Kuli pecah cuil buah menerima upah dua kali lipat. Melihat upah yang diterima

kondisi para kuli petik lebih memprihatinkan daripada kuli lain. Menurut Daulay

(2006), pada sistem pengupahan perusahaan perkebunan, upah buruh masih

rendah, belum memakai standar upah minimum rata-rata.

2.6 Kesejahteraan

Menurut Sawidak (1985) dalam Munir (2008), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan

yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sejumlah

kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi

sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena

dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi

konsumennya.

Menurut Wattimena (2009), tingkat kesejahteraan mengacu kepada

(37)

dari kepuasan individu-individu. Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang

tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan,

pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial

lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari

kemiskinan, dan sebagainya.

Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga

dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena

hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Maka diperlukan penggunaan

indikator lain yang lebih komprehensif. Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini

Indeks Pembangunan Manusia sebagai penilaian yang bersifat komposit atas

perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara

luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat (Wattimena,

2009).

Kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala

kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,

kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta

manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang

mengancam kehidupannya (Suharto, 2006).

Taraf kesejahteraan rakyat masyarakat indonesia secara umum mengalami

peningkatan yang berarti dari waktu ke waktu. Peningkatan ini terjadi dalam

konteks demografis, yaitu walaupun jumlah penduduk masih terus bertambah

tetapi kecepatan bertambahnya terus berkurang sebagai akibat turunnya angka

(38)

ditunjukkan oleh dua indikator yang berdampak pada bidang kesehatan dan

pendidikan, yaitu meningkatnya angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah

(BPS, 2006).

Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga

suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) melalui aspek tertentu. Oleh karena itu, kesejahteraan rakyat dapat diamati dari berbagai aspek

yang spesifik. Tidak semua permasalahan kesejahteraan dapat diamati dan diukur

(BPS, 2006). Diperlukan berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan

penelitian atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat

menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik

(BPS, 1995 dalam Munir, 2008).

Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS

(2006), sebagai berikut:

1. Kependudukan

Masalah kependudukan yang antara lain meliputi jumlah, komposisi, dan

distribusi penduduk merupakan salah satu masalah yang perlu diperhatikan dalam

proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi tetapi

dapat pula menjadi beban dalam proses pembagunan jika berkualitas rendah. Oleh

sebab itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam

penanganan masalah kependudukan pemerintah tidak saja mengarahkan pada

upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada

peningkatan kualitas sumberdaya manusianya. Di samping itu, program

perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama

(39)

diperhatikan pada masalah kependudukan adalah jumlah dan laju pertumbuhan

penduduk, pesebaran dan kepadatan penduduk, serta fertilitas.

2. Kesehatan dan Gizi

Kesehatan dan gizi merupakan indikator dari kesejahteraan penduduk

dalam hal kualitas fisik. Indikator tersebut meliputi angaka kematian bayi dan

angka harapan hidup yang menjadi indikator utama. Selain itu, aspek penting

yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang

antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. Sementara untuk

melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan

masyarakat dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana

kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan.

3. Pendidikan

Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain ditandai

dengan tingkat pendidikan. Semakin lamanya usia wajib belajar diharapkan

tingkat pendidikan anak semakin baik, semakin tinggi tingkat pendidikan yang

dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin

sejahtera. Aspek yang dapat mengagambarkan kesejahteraan masyarakat di

bidang pendidikan yaitu angka melek huruf, tingkat partisipasi sekolah, dan putus

sekolah.

4. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang menunjukkan

kesejahteraan masyarakat, dimana tolak ukur keberhasilan pembangunan

(40)

dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), lapangan usaha dan status pekerjaan,

jumlah jam kerja, dan pekerja anak.

5. Taraf dan Pola Konsumsi

Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara

keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sebaliknya meningkatnya jumlah

penduduk miskin mengindikasikan menurunnya pendapatan penduduk. Dengan

demikian jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk

mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu diperhatikan

berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana

pendapatan tersebut terdistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator

distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran, akan memberi

petunjuk tercapai atau tidaknya aspek pemerataan. Dari data pengeluaran dapat

juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan

menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan non-makanan.

6. Perumahan dan Lingkungan

Manusia dan alam lingkungannya baik fisik maupun sosial merupakan

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara umum, kualitas rumah tinggal

menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, dimana kualitas tersebut

ditentukan oleh fisik rumah yang dapat terlihat dari fasilitas yang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fasilitas yang mencerminkan kesejahteraan

rumah tangga tersebut diantaranya dapat terlihat dari luas lantai rumah, sumber air

minum dan fasilitas tempat buang air besar. Kualitas perumahan yang baik dan

penggunaan fasilitas perumahan yang memadai akan memberikan kenyamanan

(41)

7. Sosial Lainnya

Pembahasan mengenai aspek sosial lainnya difokuskan pada kegiatan yang

mencerminkan kesejahteraan seseorang. Semakin banyaknya waktu luang untuk

melakukan kegiatan yang bersifat sosial maka dapat dikatakan bahwa orang

tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat, karena waktu

yang ada tidak digunakan hanya untuk mencari nafkah.

Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan.

Unit survey juga berbeda dimana pada BPS digunakan rumah tangga sedangkan

BKKBN menggunakan keluarga. Hal ini sejalan dengan visi dari program

Keluarga Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Untuk menghitung

tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai

Pendataan Keluarga.

Terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga,

yaitu:

1. Data demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin.

2. Data keluarga berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB.

3. Data tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam

kategori keluarga pra sejahtera (sangat miskin), keluarga sejahtera I (miskin),

keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan keluarga sejahtera III plus

4. Data individu, seperti nomor indentitas keluarga, nama, alamat, dll.

Pra Sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan

(42)

pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sejahtera tahap I

(miskin) diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya

tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Yang dimaksud

kebutuhan sosial psikologis adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga

berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal

dan transportasi.

Berikut adalah indikator yang digunakan BKKBN dalam pentahapan

keluarga sejahtera:

1. Keluarga Pra Sejahtera (Sangat Miskin) yaitu belum dapat memenuhi salah

satu atau lebih indikator yang meliputi:

a. Indikator Ekonomi seperti makan dua kali atau lebih sehari, memiliki

pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/sekolah

dan bepergian), bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah.

b. Indikator Non-Ekonomi seperti melaksanakan ibadah, bila anak sakit

dibawa ke sarana kesehatan.

2. Keluarga Sejahtera I (Miskin) adalah keluarga yang karena alasan ekonomi

tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi:

a. Indikator Ekonomi seperti paling kurang sekali seminggu keluarga makan

daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh anggota keluarga

memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, luas lantai rumah paling

kurang 8 m persegi untuk tiap penghuni

b. Indikator Non-Ekonomi seperti ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir,

punya penghasilan tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia

(43)

3. Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat

memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi memiliki tabungan

keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti kegiatan

masyarakat, rekreasi bersama (6 bulan sekali), meningkatkan pengetahuan

agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah,

menggunakan sarana transportasi

4. Keluarga Sejahtera III yaitu sudah dapat memenuhi beberapa indikator,

meliputi memiliki tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi,

mengikuti kegiatan masyarakat, rekreasi bersama (6 bulan sekali,

meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio,

TV, dan majalah, menggunakan sarana transportasi. Belum dapat memenuhi

beberapa indikator, yaitu: aktif memberikan sumbangan material secara

teratur, aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.

5. Keluarga Sejahtera III Plus yaitu sudah dapat memenuhi beberapa indikator

yaitu aktif memberikan sumbangan material secara teratur dan aktif sebagai

pengurus organisasi kemasyarakatan.

2.7 Kerangka Pemikiran

Dalam konteks perusahaan perkebunan, jenis kelamin, umur, pendidikan

dan lamanya seorang bekerja diduga memiliki hubungan dengan kondisi kerja

karyawan yaitu dalam golongan karir, pendapatan, perolehan jaminan kerja dan

jaminan untuk keluarga. Namun, jenis kelamin diduga merupakan prinsip

(44)

Diduga terdapat ketidakadilan gender dalam kondisi kerja karyawan

perkebunan. Ketidakadilan gender adalah pemberian perlakuan yang berbeda

kepada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, sebagian besar kasus

ketidakadilan gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah

yang berkaitan dengan gender sering diidentikkan dengan masalah perempuan (de

Vries, 2006). Perempuan diduga diposisikan pada pekerjaan yang dianggap

mudah, golongan karir yang rendah dan sulit meningkat sehingga boleh diupah

rendah dan tidak diberikan jaminan kerja dan jaminan keluarga seperti laki-laki.

Sesungguhnya bekerja baik bagi laki-laki maupun perempuan adalah suatu

hal yang sangat penting. Kondisi kerja di perkebunan (golongan karir,

pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di duga berhubungan dengan

kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga ini dapat dilihat dari kesehatan

keluarga, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan.

Hubungan antar variabel dapat dilihat dalam gambar kerangka pemikiran

berikut ini:

(45)

2.8 Hipotesis

Berdasarkan kerangkan pemikiran tersebut, dapat diajukan beberapa

hipotesa sebagai berikut:

1. Jenis kelamin diduga merupakan prinsip pembeda utama yang memiliki

hubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan.

2. Pendidikan diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan.

3. Umur diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan.

4. Lama bekerja diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan

perkebunan.

5. Kondisi kerja di perkebunan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan

jaminan keluarga) diduga berhubungan dengan kesejahteraan keluarga

(kesehatan keluarga, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga,

dan perumahan).

2.9 Definisi Operasional

Untuk menjelaskan sesuatu yang absrak seperti konsep/variabel menjadi

konkrit untuk dapat diukur, maka dibuatlah definisi operasional sebagai berikut:

1. Jenis kelamin adalah identitas biologis karyawan. Jenis kelamin dibagi

menjadi dua kategori yaitu:

1. laki-laki

2. perempuan.

2. Umur adalah lamanya hidup karyawan yang diukur berdasarkan usia. Umur

(46)

dua ketegori. Kategori tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata umur

karyawan yang diketahui dari hasil penelitian di lapangan (emik).

Pengukuran:

1. ≤ 45 tahun = skor 2 = muda

2. > 45 tahun = skor 1 = tua

3. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilakukan

karyawan.

Pengukuran:

1. Tidak lulus SD

2. Lulus SD

4. Lama bekerja adalah sejumlah waktu kerja karyawan di perkebunan mulai dari

awal bekerja sampai saat ini. Lama bekerja menentukan kondisi kerja

karyawan perkebunan. Lama bekerja digolongkan menjadi dua ketegori.

Kategori tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata lama bekerja karyawan

yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (emik).

Pengukuran:

1. ≤ 25 tahun = skor 1 = kurang lama

2. > 25 tahun = skor 2 = lama

5. Kondisi kerja adalah perlakuan perusahaan terhadap karyawan yang meliputi

golongan karir, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Kondisi

kerja mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga

(47)

a) Golongan karir adalah pembedaan karyawan yang dilihat dari tingkatan

karir karyawan di perusahaan. Golongan karir merupakan variabel untuk

melihat kondisi kerja karyawan.

1. IA/14 = skor 1 = rendah

2. > IA/14 = skor 2 = tinggi

b) Pendapatan adalah tingkatan jumlah uang yang diterima oleh karyawan

sebagai imbalan atas pekerjaan utama yang dilakukan. Ukuran

pengupahan ditentukan berdasarkan upah rata-rata karyawan yang

diperoleh dari hasil penelitian di lapangan yaitu upah minimum

perusahaan adalah Rp. 820.000. Pengupahan merupakan variabel untuk

melihat kondisi kerja karyawan.

1. ≤ upah rata-rata buruh = skor 1 = rendah

2. > upah rata-rata buruh = skor 2 = tinggi

c) Jaminan kerja adalah banyaknya jaminan kesehatan, jaminan keselamatan

dan fasilitas yang diterima oleh karyawan dari perusahaan perkebunan.

Jaminan kerja merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan.

Pengukuran:

Jaminan kesehatan:

• Memperoleh libur/cuti jika sakit, menstruasi, dan melahirkan

• Memperoleh biaya penggantian bila sakit

• Memperoleh biaya pengobatan rawat jalan bila sakit

• Memperoleh biaya pengobatan rawat inap bila sakit

(48)

• Memperoleh hak beristirahat

• Memperoleh hak beribadah

Jaminan keselamatan dan fasilitas:

• Asuransi keselamatan kerja

• Kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja

• Fasilitas kerja dan keselamatan kerja (sepatu, topi/penepis panas,

karung)

1. Ya 5 = skor 1 = kurang baik ≤

2. Ya >5 = skor 2 = baik

d) Jaminan keluarga adalah jaminan dan fasilitias kesejahteraan untuk

keluarga yang diterima oleh karyawan dari pekerjaan yang dilakukan di

perkebunan. Jaminan keluarga merupakan variabel untuk melihat kondisi

kerja karyawan.

Pengukuran:

• Memperoleh THR

• Memperoleh santunan menikah

• Memperoleh santunan melahirkan

• Memperoleh santunan anggota keluarga sakit

• Memperoleh santunan anak khitan/sunatan

• Memperoleh santunan pendidikan anak

• Memperoleh santunan keluarga meninggal dunia

(49)

• Memperoleh pinjaman/hutang

• Memperoleh sembako bulanan

• Memperoleh dana pensiun

• Memperoleh pesangon bila di-PHK

1. Ya ≤6 = skor = Kurang baik

2. Ya > 6 = skor 2 = Baik

Pengukuran kondisi kerja:

1. Skor ≤ 4 = Kurang baik

2. Skor > 4 = Baik

6. Jumlah anak dalam keluarga adalah banyaknya anak dalam keluarga yang

menjadi tanggungan karyawan. Jumlah anak dalam keluarga mempengaruhi

tingkat kesejahteraan keluarga karyawan.

Pengukuran:

1. < 2 = skor 1 = sedikit

2. ≥ 2 = skor 2 = banyak

7. Kesehatan keluarga adalah status kesehatan dan taraf gizi yang antara lain

diukur melalui angka kondisi sakit, jenis pengobatan yang dilakukan,

frekuensi makan dan jenis makanan yang dikonsumsi keluarga. Kesehatan

merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga.

Pengukuran:

a) Angka kondisi sakit merupakan variabel untuk melihat status kesehatan

(50)

frekuensi seringnya sakit karyawan atau keluarganya dalam satu tahun.

Angka kondisi sakit digolongkan menjadi dua yaitu:

1. > 2 kali = skor 1 = rendah

2. ≤ 2 kali = skor 2 = tinggi

b) Jenis pengobatan merupakan variabel untuk melihat status kesehatan

keluarga karyawan di perkebunan. Jenis pengobatan dilihat dari apa yang

dilakukan oleh karyawan dan keluarganya ketika terdapat anggota

keluarganya yang sakit. Jenis pengobatan digolongkan sebagai berikut:

1. Berobat non medis (warung, dukun/pengobatan alternatif) = skor 1

2. Berobat medis (Puskesmas, Dokter,) = skor 2

c) Frekuensi makan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi pada

keluarga karyawan perkebunan. Frekuensi makan dilihat dari seberapa

sering karyawan dan keluarganya makan dalam satu hari. Frekuensi makan

digolongkan menjadi dua:

1. ≤ 2 kali = skor 1

2.> 2 Kali = skor 2

d) Jenis makanan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi pada keluarga

karyawan perkebunan. Jenis makanan dilihat dari seberapa banyak macam

makanan yang dikonsumsi buruh dan keluarganya dalam satu hari. Janis

makanan digolongkan menjadi dua kategori:

1. Makanan yang dikonsumsi kurang atau telah mencukupi makanan

(51)

2. Makanan yang dikonsumsi melebihi makanan yang mengadung

karbohidrat dan protein = skor 2

Pengukuran kesehatan keluarga:

1. ≤ 4 = skor 1 = Kurang baik

2. > 4 = skor 2 = baik

8. Pendidikan keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga karyawan

yang Drop Out atau tidak melanjutkan. Pendidikan keluarga digolongkan sebagai berikut:

1. ≥1 orang = skor 1 = banyak

2. < 1 orang = skor 2 sedikit

Semakin sedikit jumlah anggota keluarga buruh yang drop out maka semakin sejahtera keluarga buruh.

9. Pola konsumsi adalah tingkat pengalokasian uang dalam keluarga untuk

kebutuhan akan konsumsi makanan dibandingkan dengan konsumsi

non-makanan. Pola konsumsi merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan

keluarga. Pola konsumsi digolongkan sebagai berikut:

1. Konsumsi makanan konsumsi non makanan = skor 1 = rendah ≥

2. Konsumsi makanan < konsumsi non makanan = skor 2 = tinggi

Semakin tinggi tingkat konsumsi makanan dibandingkan konsumsi non

makanan, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga.

10.Perumahan adalah tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan yang

menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga. Hal dapat terlihat dari status

(52)

Pengukuran:

a) Status rumah adalah hak atas kepemilikan rumah bagi keluarga karyawan.

Status rumah merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan

keadaan infastruktur rumah karyawan.

1. Bukan milik pribadi = skor 1

2. Milik pribadi = skor 2

b) Keadaan rumah adalah kondisi bangunan rumah atau tempat tinggal

keluarga karyawan. Keadaan rumah merupakan salah satu variabel untuk

melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan.

1. < semi permanen = skor 1

2. ≥ semi permanen = skor 2

c) Keadaan MCK adalah kondisi MCK yang dimiliki dalam rumah tangga.

Kondisi MCK merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan

keadaan infastruktur rumah karyawan.

1. Tidak ada MCK = skor 1

2. Ada MCK = skor 2

d) Alat penerangan adalah jenis penerangan yang dipakai oleh keluarga

karyawan. Alat penerangan merupakan salah satu variabel untuk melihat

tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. Alat penerangan dibagi

menjadi dua katagori:

1. Listrik ≤ 450 Watt = skor 1

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambaran Lingkungan perkebunan dan
Tabel 2. Jumlah Luas Lahan Berdasarkan Sertifikat HGU No 2 tanggal 8 Mei 2002, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009
Gambar 2. Struktur Organisasi PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh struktur organisasi terhadap peningkatan efektivitas kerja karyawan pada PTPN IV Unit Kebun Mayang..

Herbin Sinaga : Hubungan Tingkat Pendapatan Dengan Konsumsi Karyawan PTPN III Kebun Gunung Para, 2001... Herbin Sinaga : Hubungan Tingkat Pendapatan Dengan Konsumsi Karyawan PTPN

Analisis Hubungan Kepuasan Kerja Twhadap Kinerja Karyawan Bagian Tanaman di PTPN Vlll Kebun Cikasungka-Bogor.. Qibawah bimbingan

Majikan secara khusus, harus memastikan bahwa mereka telah menyediakan sarana kerja lingkungan tempat kerja yang baik dan menyenangkan kepada karyawan agar mereka

punishment , dan motivasi kerja berpengaruh positif signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan pada PTPN XII (persero) Kebun Jatirono Kalibaru Banyuwangi secara

Secara simultan baik variabel gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadapkinerja karyawan di PTPN IV Unit

reward , punishment , dan motivasi kerja berpengaruh positif signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan pada PTPN XII (persero) Kebun Jatirono Kalibaru

PENGARUH PELAKSANAAN PROGRAM PELAYANAN KESEJAHTERAAN TERHADAP PENINGKATAN SEMANGAT KERJA KARYAWAN PADA PTPN.. IV UNIT KEBUN PABATU Berilah tanda (x) pada jawaban