• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC Satu Bejana

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC Satu Bejana

Sistem MFC memiliki kemampuan sebagai bioreaktor untuk mengolah limbah cair. Berbagai macam jenis limbah cair yang mengandung bahan organik dapat dijadikan sebagai substrat pada sistem MFC, salah satunya adalah limbah cair perikanan yang memiliki kandungan bahan organik tinggi. Sistem MFC dapat

607,32ax 607,32ax 573,58ax 607,32ax 607,32ax 573,58ax 150 250 350 450 550 650 0 3 6 R a ta -r a ta To ta l N ( m g /L) Hari

mengolah limbah cair dengan memanfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada susbstrat untuk mendegradasi bahan organik. Sistem MFC juga dapat menghasilkan listrik dengan cara menangkap elektron hasil degradasi bahan organik dengan elektroda. Pengukuran listrik dilakukan selama 5 hari.

Tipe sistem MFC yang digunakan berupa MFC satu bejana dengan perlakuan pemberian lumpur aktif. Penambahan substrat lumpur aktif pada limbah cair perikanan diharapkan mampu meningkatkan degradasi bahan organik dan listrik yang dihasilkan semakin besar. Parameter karakterisitik limbah cair yang dianalisis selama pengolahan di dalam sistem MFC adalah total nitrogen, BOD, COD, nitrogen-amonia, MLSS dan MLVSS. Analisis MLSS dan MLVSS hanya dilakukan pada sistem MFC dengan perlakuan pemberian lumpur aktif. Sebelum dimasukkan ke dalam sistem MFC, lumpur aktif terlebih dahulu diaklimatisasi dengan limbah cair buatan yang akan digunakan.

4.2.1 Total nitrogen

Total nitrogen menunjukkan jumlah total nitrogen organik yang terdapat dalam limbah cair. Nitrogen di dalam air limbah terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang berlangsung. Total nitrogen organik selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif. Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu pengamatan.

Total nitrogen mengalami penurunan yang sama selama di dalam sistem MFC satu bejana, baik limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif dan limbah cair

dengan pemberian lumpur aktif, yaitu 607,32 mg/L pada hari ke-0 kemudian menjadi 573,58 mg/L pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC satu bejana (P>0,05). Penurunan total nitrogen menunjukkan terjadinya reaksi penguraian senyawa nitrogen organik. Penurunan yang sama antara kedua perlakuan tersebut menunjukkan bahwa limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif dapat menguraikan senyawa nitrogen organik melalui mikroorganisme yang terdapat pada limbah cair tersebut.

Bakteri yang terdapat pada lumpur aktif diduga masih beradaptasi dengan substrat yang ada, sehingga proses penguraian senyawa nitrogen masih berjalan sama dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif selama selama 6 hari. Ibrahim et al. (2005) menyatakan bahwa mikroorganisme dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya dan mencapai fase pertumbuhan logaritmik sampai hari ke-8 dengan menggunakan substrat yang tersedia.

Degradasi limbah cair secara biologis merupakan proses yang berlangsung secara alamiah, namun berjalan lambat. Avnimelech et al. (2001) menyatakan bahwa kecepatan penurunan nitrogen organik sangat kompleks karena hanya sebagian dari nitrogen organik yang berubah menjadi nitrogen anorganik, sementara itu sisanya digunakan untuk memproduksi protein bakteri yang selanjutnya akan menjadi biomassa sel. Nitrogen dalam air limbah pada umumnya terdapat dalam bentuk organik dan oleh bakteri berubah menjadi nitrogen amonia. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (Ginting 2007).

4.2.2 Biological oxygen demand (BOD)

Biological oxygen demand atau BOD merupakan jumlah miligram oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik karbon dalam satu liter air selama lima hari pada suhu 20 C±1 C (BSN 2009). Hasil pengukuran BOD limbah cair selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 6.

496ax 450ax 428ax 475ax 436ax 407ax 0 100 200 300 400 500 0 3 6 Ra ta -ra ta B O D (m g /L ) Hari

Gambar 6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.

Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh

perbedaan nyata antar waktu pengamatan.

Nilai BOD limbah cair selama 6 hari mengalami penurunan. Perlakuan pemberian lumpur aktif pada limbah cair mengalami penurunan yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif. Perlakuan penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan BOD (P>0,05). Penurunan nilai BOD tersebut menunjukkan terjadinya proses penguraian senyawa organik. Semakin besar jumlah bahan organik yang diuraikan semakin banyak oksigen yang digunakan, karena oksigen tersebut digunakan untuk penguraian senyawa organik.

Penurunan nilai BOD selama 6 hari yang tidak terlalu signifikan dari kedua perlakuan menandakan bahwa mikroorganisme di dalam sistem MFC tidak menguraikan bahan organik dengan maksimal. Hal ini dapat disebabkan kurangnya oksigen di dalam bejana anoda yang tidak diberi aerasi atau dikondisikan untuk kondisi anaerobik. Sulihingtyas et al. (2010) menyatakan bahwa kerja aerasi yang kurang maksimal menyebabkan persediaan oksigen terlarut di dalam sistem tidak mencukupi bagi mikroorganisme untuk mengoksidasi bahan organik. Selain itu, mikroorganisme di dalam sistem MFC dengan penambahan lumpur aktif yang diduga masih beradaptasi menggunakan oksigen tersebut untuk proses adaptasi.

Nilai BOD yang ditampilkan merupakan nilai BOD5. Nilai BOD5 hanya

merupakan indeks jumlah bahan organik yang dapat dipecah secara biologik bukan ukuran sebenarnya dari limbah organik (Jenie dan Rahayu 1993). Oksidasi

992ax 848ay 816ay 901bx 805by 781by 0 200 400 600 800 1000 1200 0 3 6 Ra ta -ra ta CO D (m g /L ) Hari

berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu yang tak terbatas. Oksidasi organik karbon akan mencapai 60-70% dalam waktu 5 hari (BOD5) dan

dalam waktu 20 hari akan mencapai 95% (Siregar 2005). Oksidasi yang berjalan lambat ini juga mengakibatkan penurunan nilai BOD yang tidak signifikan.

Nilai BOD yang dihasilkan menunjukkan bahan organik atau beban limbah cair selama di dalam sistem MFC masih cukup tinggi. Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2007 menetapkan nilai baku mutu BOD limbah cair industri pengolahan ikan khususnya pengalengan yaitu 75 mg/L. Nilai BOD diduga masih dapat menurun seiring dengan penambahan waktu inkubasi di dalam sistem MFC dan penambahan konsentrasi lumpur aktif untuk mempercepat proses penguraian bahan organik.

4.2.3 Chemical oxygen demand (COD)

Pengukuran COD menekankan kebutuhan oksigen secara kimia dimana senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dapat dipecah secara biokimia (Ginting 2007). Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.

Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh

perbedaan nyata antar waktu pengamatan.

Nilai COD limbah cair mengalami penurunan selama di dalam sistem MFC satu bejana. Perlakuan pemberian lumpur aktif ke dalam sistem MFC satu bejana memberikan pengaruh berbeda terhadap penurunan nilai COD (P<0,05) dan terjadi penurunan nilai COD yang nyata antara hari ke-0 dengan hari ke-3 dan ke-6 dari kedua perlakuan. Nilai COD limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif

pada hari ke-0 yaitu 992 mg/L dan pada hari ke-6 menjadi 816 mg/L. Penurunan nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif mengalami penurunan yang lebih besar, yaitu 901 mg/L pada hari ke-0 menjadi 781 mg/L pada hari ke-6. Penurunan nilai COD tersebut menunjukkan adanya degradasi senyawa organik dan anorganik. Penurunan nilai COD limbah cair diikuti dengan penurunan senyawa karbon di dalam air limbah.

Penurunan nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif lebih besar dibandingkan limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif, hal ini diduga penambahan lumpur aktif akan meningkatkan jumlah mikroorganisme yang terdapat di dalam limbah cair, sehingga semakin banyak mikroorganisme maka proses degradasi senyawa organik dan anorganik akan semakin cepat dan oksigen yang dibutuhkan untuk penguraian senyawa semakin banyak. Oksigen memegang peranan penting dalam sistem penanganan biologik karena jika oksigen bertindak sebagai aseptor hidrogen terakhir, mikroorgannisme akan memperoleh energi maksimum (Jenie dan Rahayu 1993), sehingga semakin banyak mikroorganisme dan senyawa organik yang diuraikan maka oksigen yang dibutuhkan juga meningkat. Hal tersebut mengakibatkan nilai COD di dalam limbah cair semakin menurun.

Nilai COD hari pertama yang berbeda nyata dengan hari ke-3 dan ke-6 menandakan mikroorganisme masih aktif mendegradasi senyawa organik dan anorganik karena media kontak antara mikroorganisme dan limbah cair masih besar, kemudian terjadi penurunan pada hari ke-3 dan cenderung stabil sampai hari ke-6. Pohan (2008) menyatakan bahwa reduksi COD setelah 3 hari akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh mikroba yang mulai saling bertumpuk sedemikian rupa sehingga menghambat kontak antar mikroba dengan limbah cair, dengan demikian persentase penurunan COD menjadi relatif konstan karena jumlah bakteri yang mati dan yang tumbuh mulai berimbang dan tercapai kestabilan.

Nilai baku mutu COD limbah cair indusutri pengalengan ikan yaitu 150 mg/L (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan

bahwa nilai COD limbah cair selama di dalam sistem MFC masih tinggi. Nilai COD yang tinggi menunjukkan bahwa masih tingginya bahan organik dan

4,18ax 1,55ay 0,40az 3,37ax 1,10ay 0,14az 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 0 3 6 Ra ta -ra ta a m o nia ( m g /L ) Hari

anorganik yang terdapat di dalam limbah cair. Nilai COD lebih tinggi dibandingkan dengan nilai BOD. Perbedaan nilai ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap kimia, sepertli lignin, bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD5 seperti selulosa,

lemak berantai panjang dan sel-sel mikroba, dan adanya bahan toksik dalam

limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak mengganggu uji COD (Jenie dan Rahayu 1993).

4.2.4 Nitrogen-amonia

Amonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4 pada pH rendah.

Amonia dalam air sering terbentuk karena adanya proses kimia secara alami. Hasil pengukuran amonia limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Nitrogen-amonia limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif. Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu pengamatan.

Amonia limbah cair perikanan mengalami penurunan selama 6 hari di dalam sistem MFC satu bejana. Kandungan amonia limbah cair dengan penambahan lumpur aktif mengalami penurunan dari 3,37 mg/L pada hari ke-0 menjadi 0,14 mg/L pada hari ke-6. Kandungan amonia limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif mengalami penurunan dari 4,18 mg/L pada hari ke-0 menjadi 0,40 mg/L pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai nitrogen-amonia

(P>0,05). Amonia merupakan hasil degradasi senyawa nitrogen organik seperti protein. Amonia akan mengalami proses oksidasi menjadi nitrit dan nitrat.

Penurunan kandungan amonia menunjukkan terjadinya degradasi senyawa nitrogen organik dan anorganik limbah cair selama di dalam sistem MFC satu bejana. Degradasi senyawa tersebut menghasilkan energi, bahan seluler baru, karbondioksida dan air. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (Ginting 2007), sehingga kandungan amonia di dalam limbah cair akan menurun. Proses perubahan amonia menjadi nitrit disebut proses nitirifikasi dan melibatkan bakteri yang disebut nitrifier. Penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair diduga meningkatkan jumlah mikroorganisme termasuk bakteri nitrifier tersebut, sehingga terjadi penurunan nilai kandungan amonia, sehingga terjadi penurunan amonia yang lebih besar pada perlakuan penambahan lumpur aktif. Herlambang (2010) menyatakan bahwa flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia menjadi nitrat.

Nilai baku mutu amonia limbah cair indsutri pengalengan ikan yaitu 5 mg/L (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa

nilai amonia limbah cair selama di dalam sistem MFC satu bejana telah sesuai dengan nilai baku mutu yang ditetapkan. Nilai amonia tersebut masih dapat meningkat dikarenakan masih banyak senyawa organik yang belum terurai. Kandungan amonia yang terukur diduga merupakan hasil dari penguraian senyawa nitrogen yang sudah terurai. Poppo et al. (2009) menyatakan bahwa tingginya kandungan amonia pada air limbah disebabkan karena senyawa amonia merupakan produk utama dari penguraian (pembusukan) limbah nitrogen organik. 4.2.5 MLSS dan MLVSS

Mixed Liquor Suspended Solids atau MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di dalamnya mikroorganisme. Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel (Herlambang 2010). Hasil nilai MLSS dan MLVSS pada sistem MFC yang diberi perlakuan pemberian lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.

1827 2600 2867 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 0 3 6 Ra ta -ra ta M L SS ( m g /L ) Hari 1360 2000 2133 0 500 1000 1500 2000 2500 0 3 6 Ra ta -ra ta M L VSS ( m g /L ) Hari

Gambar 9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana.

Gambar 10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana.

Nilai MLSS dan MLVSS limbah cair dengan penambahan lumpur aktif

mengalami peningkatan selama 6 hari. Nilai MLSS pada hari ke-0 yaitu 1827 mg/L kemudian meningkat menjadi 2867 pada hari ke-6. Nilai MLVSS pada

hari ke-0 1360 mg/L kemudian meningkat menjadi 2133 mg/L pada hari ke-6. Hal ini disebabkan terjadi pertumbuhan mikroorganisme atau biomassa di dalam sistem MFC satu bejana.

Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS disebabkan oleh peningkatan biomassa atau mikroorganisme yang terjadi karena proses degradasi senyawa organik. Mikrooragnisme akan memanfaatkan limbah cair sebagai nutrisi sehingga bahan organik tersebut terurai menjadi CO2, air dan sel baru. Ibrahim et al. (2005) menyatakan bahwa lumpur aktif dapat merubah limbah cair organik menjadi bentuk anorganik yang mantap atau menjadi massa sel. Hal inilah yang

mengakibatkan dalam proses pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif akan terjadi penurunan senyawa organik dan peningkatan biomassa.

Proses sintesis atau peningkatan biomassa berlangsung dengan reaksi sebagai berikut:

COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2

COHNS adalah bahan-bahan organik di dalam limbah cair, sedangkan C5H7NO2

adalah jaringan baru yang diperoleh (Ginting 2007).

Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS selama 6 hari masing-masing hanya 1040 mg/L dan 773 mg/L. Peningkatan yang lambat selama 6 hari ini diduga disebabkan mikroorganisme dari lumpur aktif yang beradaptasi sangat lambat, sehingga proses degradasi juga berjalan lambat. Perbedaan substrat diduga mempengaruhi proses adaptasi tersebut. Lumpur aktif yang digunakan pada penelitian ini berasal dari pengolahan limbah tekstil. Nilai BOD dan COD limbah tekstil masing-masing yaitu 97,50 mg/L dan 428,50 mg/L (Herlambang 2010), lebih rendah dibandingkan nilai BOD dan COD limbah cair yang digunakan pada penelitian ini. Syamsudin et al. (2008) menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme di dalam proses pengolahan dengan lumpur aktif sangat dipengaruhi oleh tersedianya nutrien dan kondisi lingkungan. Proses biodegradasi oleh mikroorganisme aerobik akan berlangsung optimal jika oksigen terlarut dan nutrisi tersedia pada konsentrasi yang sesuai.

Keaktifan lumpur ditentukan oleh konsentrasi MLSS. Nilai MLSS yang baik untuk pengolahan limbah cair yang terdiri dari larutan organik dan endapannya adalah 1000-3000 mg/L dalam berat kering (Ginting 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan lumpur aktif dengan rasio limbah cair dan lumpur aktif 10:1 memiliki nilai MLSS antara 1000-3000 mg/L, sehingga sudah sesuai dengan keaktifan MLSS untuk pengolahan limbah cair. Syamsudin et al. (2008) menambahkan bahwa pada konsentrasi MLSS 2000 mg/L senyawa sederhana yang menjadi substrat bagi mikroorganisme dapat terdegradasi secara optimal. Penelitian Sudaryati et al. (2007) menunjukkan bahwa nilai MLVSS antara 1740-2265 mg/L mengandung mikroorganisme serta jumlah mikroorganisme yang cukup baik untuk dijadikan bibit mikroorganisme atau agen oksidator dalam pengolahan limbah secara biologis.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 L istr ik li m b ah c air p er ik an an (m V)

Limbah limbah dan lumpur 4.3 Listrik Limbah Cair Perikanan

Listrik yang dihasilkan oleh sistem MFC satu bejana diukur setiap jam selama 5 hari dalam satuan mV. Limbah cair perikanan diinkubasi selama 25 jam sebelum dilakukan pengukuran listrik sesuai penelitian Kubota et al. (2010) untuk mengadaptasikan mikroorganisme yang ada di dalam limbah cair dan lumpur aktif dengan sistem MFC, sehingga proses degradasi bahan organik berjalan dengan

baik. Hasil pengukuran listrik limbah cair perikanan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Nilai listrik limbah cair perikanan.

Pada jam ke-0 rata-rata nilai listrik dari sistem MFC satu bejana tanpa lumpur aktif 3,8 mV, sedangkan nilai listrik dari sistem MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif 16,8 mV. Perbedaan nilai listrik pada awal pengukuran diduga disebabkan oleh jumlah elektron bebas yang ditangkap oleh anoda lebih banyak pada MFC dengan penambahan lumpur aktif. Inkubasi selama 25 jam dapat meningkatkan jumlah elektron karena terjadi proses degradasi senyawa organik. Hal ini terlihat dari penurunan nilai COD dan BOD dari limbah cair sebelum diinkubasi dan setelah diinkubasi. Penambahan lumpur aktif mempercepat proses tersebut, sehingga akan meningkatkan jumlah elektron yang dihasilkan dari proses degradasi senyawa organik. Riyanto et al. (2011) menyatakan bahwa tingginya arus listrik yang dihasilkan pada hari pertama disebabkan adanya akumulasi elektron yang telah ada pada substrat.

Sistem MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif memiliki nilai listrik yang lebih tinggi dibandingkan nilai listrik MFC tanpa lumpur dari awal

pengamatan hingga jam ke-40. Nilai listrik dari MFC dengan penambahan lumpur aktif yang lebih tinggi pada beberapa jam awal pengamatan diduga disebabkan jumlah mikroorganisme yang melekat pada anoda MFC dengan penambahan lumpur aktif lebih banyak dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Kim et al. (2002) menyatakan bahwa listrik yang dihasilkan dari sistem MFC dipengaruhi oleh konsentrasi sel bakteri pada area permukaan elektroda. Patil et al. (2009) menambahkan bahwa pembentukkan biofilm membutuhkan waktu yang lebih sedikit dibandingkan untuk meningkatkan voltase.

Nilai listrik dari kedua perlakuan mengalami fluktuasi namun cenderung meningkat sejak jam ke-40. Fluktuasi nilai listrik ini dipengaruhi oleh metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bejana anoda. Metabolisme mikroorganisme dengan memanfaatkan senyawa organik dari limbah cair akan menghasilkan elektron. Peningkatan atau penurunan nilai listrik diduga sesuai dengan jumlah elektron bebas yang dihasilkan oleh bakteri. Suyanto et al. (2010) menyatakan bahwa produk biodegradasi senyawa organik oleh bakteri tertentu dapat menjadi substrat bagi jenis bakteri lain. Hal ini menyebabkan produk tidak dapat dioksidasi untuk menghasilkan elektron bebas dan ion H+ dengan optimum sehingga elektron yang mengalir dari anoda ke katoda berkurang dan mengakibatkan fluktuasi listrik.

Peningkatan nilai listrik terjadi setelah jam ke-40 sampai jam ke-120, namun nilai listrik MFC dengan panambahan lumpur aktif lebih rendah dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Hal ini diduga disebabkan karena mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif belum mendegradasi senyawa organik secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai MLSS dan MLVSS yang tidak terlalu signifikan sampai hari terakhir pengamatan. Nilai total nitrogen, BOD dan COD yang tinggi juga menunjukkan bahwa kandungan senyawa organik di dalam limbah cair masih tinggi. Penurunan nilai total nitrogen, BOD dan COD yang tidak signifikan dengan penambahan lumpur aktif juga menunjukkan bahwa proses degradasi senyawa organik belum optimal. Hal ini mengakibatkan jumlah proton dan elektron bebas tidak banyak ditangkap oleh elektroda. Sitorus (2010) juga

menyatakan semakin aktif suatu kumpulan mikroba dalam melakukan suatu metabolisme, semakin banyak pula elektron bebas yang dihasilkan.

Jumlah mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif yang lebih banyak juga dapat mempengaruhi rendahnya nilai listrik yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan elektron yang berada di dalam MFC lebih banyak digunakan oleh mikroorganisme sebagai energi untuk mendegradasi senyawa organik. Ibrahim (2007) menyatakan bahwa proses denitrifikasi memerlukan penyumbang elektron yang berasal dari bahan organik atau senyawa-senyawa tereduksi seperti sulfida atau hidrogen. Bakteri-bakteri denitrifikasi memanfaatkan potensial redoks positif untuk memenuhi kebutuhan energi melalui proses sintesa ATP dan transpor elektron. Pandey et al. (2011) juga menyatakan bahwa rendahnya nilai listrik mengindikasikan bahwa beberapa elektron pada bejana anoda digunakan untuk mereduksi penangkap elektron lain seperti sulfat dan nitrat, atau oksigen yang berdifusi dari bejana katoda dan oksigen terlarut yang terkandung di dalam substrat.

Nilai listrik yang dihasilkan pada penelitian ini belum tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai listrik dari sistem MFC. Perbedaan jenis substrat

yang digunakan juga dapat mempengaruhi nilai listrik yang dihasilkan. Lovley (2006) menyatakan substrat merupakan faktor penting dalam efisiensi

produksi listrik. Efisiensi dan nilai ekonomis perubahan limbah organik menjadi

bioenergi bergantung pada karakteristik dan komponen dari material limbah. Pant et al. (2010) menambahkan beberapa faktor lain yang mempengaruhi listrik

adalah kondisi operasi sistem, luas area elektroda, tipe elektroda dan jenis mikroorganisme. Cheng et al. (2006) juga menyatakan faktor jarak antar elektroda dapat mempengaruhi kekuatan listrik yang dihasilkan.

Rendahnya nilai listrik pada penelitian ini dapat disebabkan karena tidak

Dokumen terkait