• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketidakseimbangan permintaan dan penawaran energi yang didorong pesatnya laju pertambahan penduduk dan industrialisasi dunia, mengakibatkan tersedotnya cadangan energi, khususnya energi fosil yang merupakan sumber energi utama dunia. Hal tersebut mendorong meningkatnya harga energi dunia. Saat ini sumber daya energi di Indonesia dan dunia semakin menipis. Hal ini mengakibatkan energi menjadi barang langka dan semakin mahal. Kementerian Luar negeri RI (2011) menyebutkan bahwa proporsi minyak bumi sebagai sumber utama energi mencapai 40% dari total permintaan energi dunia, namun cadangannya terus berkurang. Pada tahun 2011 pertumbuhan permintaan minyak bumi dunia mencapai 1,7% sementara peningkatan produksi hanya mencapai 0,9%. Cadangan minyak bumi di Indonesia diperkirakan 9 milyar barel, dengan tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barel per tahun, sehingga diperkirakan cadangan minyak akan habis dalam waktu 18 tahun.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (2010) menambahkan bahwa 50% konsumsi energi nasional Indonesia selama ini berasal dari minyak bumi. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih sangat tergantung pada sumber energi tak terbarukan tersebut. Masalah tersebut harus segera dicari solusinya karena cepat atau lambat sumber energi tersebut akan habis. Keadaan ini menyebabkan negara-negara di dunia termasuk Indonesia rentan terhadap resiko krisis energi dunia.

Ancaman krisis energi dan bahan bakar menjadikan kegiatan terkait dengan energi baru terbarukan menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Saat ini, potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia 311.232 Mega Watt (MW) dan baru 22% yang dimanfaatkan (BPPT 2010). Keunggulan dari energi terbarukan yaitu energi terbarukan lebih sesuai dengan potensi lokal di tanah air, lebih ramah lingkungan, lebih berkelanjutan dalam jangka panjang, dan relatif tidak tergantung dengan fluktuasi saham minyak dunia (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2012).

(2)

2010 mencapai 90,35 juta BOE (Barrel Oil Equivalent) (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2011). Selain itu, statistik perkembangan energi terbarukan dalam bentuk listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2005-2010, yaitu 5.228,69 MW pada tahun 2005 menjadi 8.772,50 MW pada tahun 2010 (Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi 2011).

Faaij (2006) menyampaikan bahwa terdapat berbagai teknologi konversi yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik ini, yaitu pembakaran, gasification, dan fermentasi (gas metan). Namun teknologi konversi pembakaran dan gasification berdampak terhadap penipisan cadangan bahan bakar fosil dan peningkatan jumlah CO2 di atmosfer. Oleh karena itu diperlukan teknologi baru

yang lebih efisien untuk menghasilkan energi listrik.

Usaha menghasilkan energi listrik dapat dilakukan melalui teknologi microbial fuel cell (MFC) dengan memanfaatkan senyawa yang mengandung hidrogen atau senyawa yang menghasilkan elektron sehingga ramah lingkungan (Suyanto et al. 2010). MFCs adalah salah satu tipe sistem bioelectrochemical (BESs) yang mengubah biomassa secara spontan menjadi energi listrik melalui aktivitas metabolisme mikroorganisme (Pant et al. 2010). Limbah cair telah direkomendasikan sebagai sumber terbarukan untuk menghasilkan energi listrik, bahan bakar dan kimia. Saat ini, teknologi yang hanya dapat menghasilkan energi tersebut dari limbah cair untuk skala komersil adalah degradasi anaerobik (Rozendal et al. 2008).

(3)

Permasalahan pengolahan limbah cair tersebut dapat diatasi dengan mengggunakan alternatif teknologi MFC. Konversi energi listrik telah diteliti dengan menggunakan perbedaan tipe limbah cair, termasuk limbah cair domestik, pengolahan pangan dan hewan (Cheng dan Logan 2011). Salah satu limbah cair lain yang dapat dimanfaatkan sebagai substrat pada MFC adalah limbah cair perikanan. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri perikanan berasal dari berbagai proses. Secara umum limbah cair industri hasil perikanan mengandung banyak protein dan lemak.

Beberapa tipe MFC telah dikembangkan antara lain MFC dua bejana oleh Oh dan Logan (2006), MFC satu bejana oleh Liu et al. (2005), disain upflow oleh He et al. (2006), dan desain tubular oleh Zuo et al. (2007). Semua sistem tersebut telah diujikan pada skala lab menggunakan konsentrasi substrat yang tinggi serta larutan penyangga yang baik (Cheng dan Logan 2011). Diantara perbedaan tipe MFC yang telah dikembangkan, MFC dengan katoda udara merupakan tipe yang dapat diaplikasikan untuk pengolahan limbah cair karena hasil kekuatan tinggi, struktur sederhana, dan biayanya relatif murah. Penggunaan MFC satu bejana dapat mengurangi biaya peralatan karena ada pengurangan biaya bejana katoda dan membran, sehingga lebih dapat diaplikasikan pada pengolahan limbah cair dan konversi energi (Das dan Mangwani 2010).

1.2 Tujuan

(4)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair Industri Perikanan

Limbah industri perikanan dapat didefinisikan sebagai apa saja yang tersisa dan terbuang dari suatu kegiatan penangkapan, penanganan, dan pengolahan hasil perikanan. Tipe limbah utama yang ditemukan dari limbah cair pengolahan ikan adalah darah, kotoran, jeroan, sirip, kepala ikan, cangkang, kulit dan sisa daging. Secara umum, tipe limbah cair industri pengolahan ikan dapat dibagi dalam dua kategori yaitu volum banyak-persentase limbah rendah dan volum sedikit-persentase limbah tinggi. Kategori volum banyak-persentase limbah rendah terdiri dari air yang digunakan untuk pembongkaran, transportasi, penanganan ikan dan air pencucian. Proses pada pembuatan tepung ikan menghasilkan jenis limbah kategori volum sedikit-persentase limbah tinggi (Colic et al. 2007).

Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi. Tingkat pencemaran limbah cair industri pengolahan perikanan sangat tergantung pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah (Ibrahim 2005). Terdapat 3 tipe utama aktivitas pengolahan ikan, yaitu industri pengalengan dan pembekuan ikan, industri minyak dan tepung ikan, dan industri pengasinan ikan (Priambodo 2011). Karakteristik limbah cair perikanan dapat dilihat melalui parameter pH, jumlah padatan terlarut, suhu, bau, BOD, COD, dan konsentrasi nitrogen serta fosfor (FAO 1996).

(5)

Tabel 1 Karakteristik limbah cair perikanan dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Baku mutu limbah cair industri pengolahan perikanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Baku mutu air limbah bagi usaha/kegiatan pengolahan perikanan Parameter Satuan Kegiatan

Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007)

(6)

limbah cair untuk menghilangkan minyak, lemak dan padatan tersuspensi. Sistem pengapungan merupakan sistem pengolahan limbah yang efektif karena dapat juga menghilangkan minyak dan lemak (FAO 1996).

Tahap kedua pengolahan limbah cair adalah proses biologi dan kimia yang betujuan untuk menghilangkan material organik yang terdapat pada limbah cair. Tujuan pengolahan limbah cair secara biologi adalah untuk menghilangkan padatan yang tidak mengendap dan bahan organik terlarut dengan mikroba. Mikroorganisme bertanggung jawab mendegradasi bahan organik dan menstabilkan limbah organik. Pengolahan limbah cair secara biologi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pengolahan limbah secara aerobik dan anaerobik. Proses pengolahan secara aerobik terdiri dari sistem lumpur aktif, aerated lagoons, aerasi, trickling filters, rotating biological contractors, dan pilihan pengolahan aerobik. Proses pengolahan secara anaerobik terdiri dari digestion system dan imhoff tanks. Pengolahan limbah cair dapat juga dilakukan secara fisikokimia, antara lain coagulation-floculation dan disinfection yang terdiri dari klorinasi dan ozonasi (FAO 1996).

2.2 Microbial Fuel Cell (MFC)

Microbial fuel cells merupakan salah satu tipe biofuel cells. Beberapa tipe biofuel cells yang ada antara lain microbial fuel cells dan enzymatic fuel cells (Kim et al. 2002). Microbial fuel cells (MFCs) merupakan sistem atau alat yang menggunakan bakteri sebagai katalis untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik. Elektron diproduksi oleh bakteri dari substrat yang kemudian ditransfer ke anoda (kutub negatif) dan dialirkan ke katoda (kutub positif) yang disambungkan oleh perangkat konduktivitas termasuk resistor, atau dioperasikan dibawah muatan untuk menghasilkan listrik yang dapat menjalankan alat. Aliran positif pengukur arus mengalir dari kutub positif ke negatif, arah yang berlawanan dengan aliran elektron (Logan et al. 2006).

(7)

anaerobik dan bakteri harus mengubah penerima elektron alaminya menjadi penerima elektron insoluble seperti anoda (Microbialfuelcell 2008). Penerimaan elektron ke anoda berlangsung melalui kontak langsung, kabel-kabel nano (nanowires) atau pengangkut elektron yang dapat larut. Selama produksi elektron, proton juga diproduksi dalam jumlah banyak. Proton ini bermigrasi melalui cation exchange membrane (CEM) ke bejana katoda. Elektron mengalir dari anoda melalui hambatan luar ke katoda tempat bereaksinya penerima elektron (oksigen) dengan proton (Logan et al. 2006). Gambar 1 menunjukan prinsip kerja dari sistem MFC.

Reaksi yang terjadi pada sistem MFC dengan contoh substrat asetat adalah sebagai berikut:

reaksi pada anoda : CH3COO- + 2H2O  2CO2 + 7H+ + 8e

-reaksi pada katoda : O2 + 4e- + 4H+  2H2O

Keseluruhan reaksi yang terjadi merupakan degradasi substrat menjadi karbondioksida, air dan pada saat yang bersamaan dihasilkan listrik sebagai hasil samping. Berdasarkan reaksi pada elektroda, bioreaktor MFC dapat menghasilkan

listrik dari aliran elektron di anoda ke katoda melalui rangkaian eksternal (Du et al. 2007).

Gambar 1 Prinsip kerja MFC (Logan et al. 2006).

(8)

dihasilkan oleh bakteri (Logan et al. 2006). Pada sistem MFC, substrat merupakan faktor penting dalam efisiensi produksi listrik. MFC dapat dioperasikan pada suhu ruang dan dapat didesain untuk keperluan pada suhu mikroba dapat hidup. MFC dapat mengekstrak hampir 90% elektron dari komponen organik dan dapat berkelanjutan sendiri serta terbarukan saat terjadi kepadatan mikroorganisme yang menghasilkan energi melalui transfer elektron ke elektroda (Lovley 2006).

Banyak mikroorganisme memiliki kemampuan untuk mentransfer elektron dari hasil metabolisme bahan organik ke anoda. Sedimen laut, tanah, limbah cair, sedimen air tawar, dan lumpur aktif merupakan sumber bahan organik untuk mikroorganisme. Tabel 3 menampilkan jenis mikrooganisme dengan substratnya pada sistem MFC.

Tabel 3 Mikroorganisme pada sistem MFC

Mikroba Substrat Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum Tepung kanji Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum, Shewanella

oneidensis, Shewanella putrefaciens

Laktat Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum Molasses

Desulfovibrio desulfuricans Sukrosa

(9)

organik seperti asetat, propionat, butirat dapat didegradasi menjadi CO2 dan H2O.

Beberapa sistem MFC menggunakan jenis mikroba yang mempunyai kemampuan khusus untuk mengurangi sulfida yang terdapat pada limbah cair. Pada beberapa kasus, MFC dapat mengurangi COD hingga 80%. Limbah rumah tangga dan limbah cair pengolahan makanan merupakan sumber biomassa yang baik untuk MFC karena memiliki bahan organik yang tinggi (Du et al. 2007).

2.3 Microbial Fuel Cell Satu Bejana

Desain MFC yang sederhana dan efisien adalah MFC tanpa bejana katoda dan menempatkan katoda langsung dengan permukaan proton exchange membrane (PEM). Desain ini mengurangi penggunaan aerasi air karena oksigen di udara dapat langsung ditransfer ke katoda. Desain pertama yang dibuat pada skala laboratorium digunakan untuk menghasilkan listrik dari limbah cair, katoda ditempatkan di bagian tengah silinder, sehingga kamar anoda membentuk silinder mengelilingi katoda. Membran nafion direkatkan dengan katoda dan membran nafion tersebut berkontak langsung dengan larutan di dalam bejana anoda. Tipe kedua desain MFC satu bejana adalah tabung tunggal dengan dua elektroda berbentuk bulat ditempatkan bersebrangan di ujung tabung. Elektroda anoda ditutup untuk mencegah difusi oksigen ke kamar anoda, sementara itu satu sisi katoda terbuka ke udara dan sisi satunya menempel dengan PEM dan berada pada bagian bejana anoda yang berisi larutan (Logan 2005). Sistem kerja MFC satu bejana ditampilkan pada Gambar 2.

(10)
(11)

3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai Agustus 2012 bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Laboratorium Bagian Industri Hasil Perairan, Laboratorium Preservasi dan Diversifikasi Hasil Perikanan Departemen Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Lingkungan Perairan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain lumpur aktif, limbah ikan berupa kulit dan sisa daging, akuades, K2Cr2O7 0,025 N, H2SO4

pekat, indikator ferroin, ferrous ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N, NaOH

pekat, asam borat (H3BO3) 4%, indikator bromcherosol green dan methyl red,

HCl, asam hypochlorous, reagen phenate, dan kertas saring Whatman 42. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, kaca acrylic, elektroda

karbon grafit berbentuk batang, kabel, multimeter digital tipe DT 830B, timbangan digital (Tanita KD 160), Kjeldahl (Labentech), botol Erlenmeyer, buret, pipet, botol DO, DO meter (Lutron DO5510), aerator, spektrofotometer (Optima SP-300), oven (Yamato Drying Oven DV 41), tanur (Yamato Muffle Furnace FM 38), cawan porselen, kompor listrik dan desikator.

3.3 Metode Penelitian

(12)

Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian. 3.3.1 Persiapan alat MFC satu bejana

Desain sistem MFC yang digunakan adalah MFC satu bejana mengacu pada Moqsud dan Omine (2010) dengan memodifikasi letak elektroda. Bejana yang digunakan terbuat dari bahan acrylic dengan dimensi 10x7x10 cm. Volume limbah cair yang digunakan adalah 600 ml. Elektroda yang digunakan adalah karbon grafit berbentuk batang dengan ukuran 7x1x1 cm. Sistem MFC yang digunakan merupakan sistem MFC satu bejana tanpa membran mengacu pada penelitian Liu dan Logan (2004). Desain MFC satu bejana tanpa membran yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah penambahan lumpur aktif ke dalam bejana yang berisi limbah cair perikanan dengan perbandingan antara lumpur aktif dan limbah cair yaitu 1:10 mengacu pada Patil et al. (2009). Jumlah MFC yang dibuat sebanyak 6 buah untuk 3 kali ulangan.

Persiapan bahan dan alat penelitian

Persiapan alat MFC satu bejana

Pembuatan limbah cair buatan

Penempatan limbah cair buatan ke dalam alat MFC satu bejana

Pengukuran listrik selama 5 hari (120 jam)

Pengukuran beban limbah cair (Total nitrogen, nitrogen-amonia, BOD, COD, MLSS dan MLVSS)

hari ke-0, ke-3 dan ke-6

Karakterisasi limbah cair perikanan buatan (Total nitrogen, nitrogen-amonia,

(13)

Gambar 4 Desain MFC satu bejana. 3.3.2 Pembuatan limbah cair buatan

Limbah cair buatan dibuat menggunakan sisa hasil pengolahan ikan (isi perut, kulit, dan daging). Pembuatan limbah cair dilakukan menurut cara Ibrahim (2007) yakni: limbah potongan daging dan kulit ikan yang diperoleh dicincang, selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit dengan rasio berat ikan (kg) dan volume air (liter) adalah 1:5. Air rebusan disaring untuk memisahkannya dari padatan dan ampas ikan. Setelah air rebusan yang disaring menjadi dingin, siap digunakan untuk percobaan. Kemudian dilakukan analisis karakteristik limbah cair buatan meliputi BOD, COD, total nitrogen, dan nitrogen-amonia. 3.3.3 Pengukuran listrik dan beban limbah cair.

(14)

3.4 Prosedur Analisis

Analisis beban limbah yang dilakukan pada penelitian yaitu chemical oxygen demand (COD), biological oxygen demand (BOD), total nitrogen, nitrogen-amonia, mixed liquor suspended solids (MLSS), dan mixed liquor volatile suspended solids (MLVSS).

3.4.1 COD (Chemical Oxygen Demand) (American Public Health Association (APHA) 1975)

Prosedur penentuan parameter COD adalah sampel sebanyak 10 mL dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 0,025 N.

Selanjutnya ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 7,5 mL dan didiamkan selama

kurang lebih 15 menit di dalam ruang asam. Setelah itu ditambahkan 3 tetes indikator ferroin dan dititrasi dengan menggunakan larutan ferrous ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N. Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna

dari hijau terang menjadi merah terang. Selain itu dilakukan juga titrasi terhadap blanko. Penentuan COD dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan: B= Volume titrasi balnko (mL) S= Volume tittasi sampel (mL) N= Normalitas Fe(NH4)2(SO4)2

V= Volume sampel yang digunakan (mL) 3.4.2 BOD (Biological Oxygen Demand) (APHA 1975)

(15)

Keterangan: D1= Nilai DO sampel sebelum inkubasi D2= Nilai DO sampel setelah inkubasi P = Volume pengenceran

3.4.3 Total nitrogen (Association of Official Analitycal of Chemist (AOAC) 2005) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis total nitrogen dengan metode Kjeldahl terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel dipipet sebanyak 10 mL kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl, lalu ditambahkan setengah butir kjeltab dan 10 mL H2SO4 pekat secara perlahan ke

dalam tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 C selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening, kemudian didinginkan. Selanjutnya sampel dari tabung kjeldahl dipindahkan ke labu takar 100 mL untuk dilakukan pengenceran dengan akuades. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 mL NaOH 40% lalu dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 125 mL yang berisi 10 mL asam borat (H3BO3) 4%. Destilasi dilakukan sampai larutan asam

borat yang berwarna merah menjadi warna biru dalam waktu ±15 menit. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Perhitungan total nitrogen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan: A = Volume titrasi sampel (mL) B = Volume titrasi blanko (mL) C = mL contoh

Fp = Faktor pengenceran

3.4.4 Kadar N-NH3 (Nitrogen-amonia) (APHA 1975)

Sampel yang telah didestilasi diambil sebanyak 10 mL lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian MnSO4 ditambahkan sebanyak 1 tetes ke dalam

tabung reaksi tersebut. Setelah itu ditambahkan asam hypochlorous sebanyak 0,5 mL dan reagen phenate sebanyak 0,6 mL. Setelah ditambahkan reagen

(16)

absorban diukur pada larutan blanko menggunakan spektrofotometer. Atur panjang gelombangspektrofotometer pada 630 nm dan nilai total amonia nitrogen sampel akan keluar pada display alat tersebut.

3.4.5 MLSS (Mixed Liquor Suspended Solids) (APHA 1975)

Mixed Liquor Suspended Solids (MLSS) merupakan jumlah total suspended solid yang berasal dari sistem MFC satu bejana. Total Suspended Solid (TSS) merupakan jumlah berat kering dalam mg/L lumpur yang ada dalam air limbah setelah mengalami penyaringan (Sugiharto 1987).

Kertas saring Whatman 42 dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 100–105 C dan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kemudian diambil sampel sebanyak 50 mL dengan diaduk terlebih dahulu dan disaring dengan kertas saring Whatman 42 yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah itu kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven pada suhu 100–105 C selama 2 jam. Setelah itu kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Konsentrasi MLSS dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

6

Keterangan: A= Berat akhir kertas saring (gr) B= Berat awal kertas saring (gr) V= Volume sampel (mL)

3.4.6 MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solids) (APHA 1975)

Mixed Liquor Volatile Suspended Solids (MLVSS) merupakan MLSS yang telah dipanaskan pada suhu 600 C sehingga benda volatilnya menguap (Sugiharto 1987). Prosedur penentuan parameter MLVSS adalah cawan porselin yang akan digunakan dikeringkan dalam tanur selama 10 menit pada suhu 550 C dan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kertas saring dari uji MLSS dimasukkan ke dalam cawan porselin dan diletakkan dalam tanur selama 2 jam pada suhu 550 C. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Bila perlu lakukan pengulangan proses pengeringan untuk mendapatkan berat yang konstan. Konsentrasi MLVSS dapat dihitung dengan rumus:

(17)

Keterangan: C= Berat awal cawan (gr) D= Berat akhir cawan (gr) V= Volume sampel (mL)

3.5 Rancangan Percobaan (Mattjik dan Jaya 2006)

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dalam waktu (RAL intime) dengan satu faktor, yaitu penambahan sumber mikroorganisme berupa lumpur aktif. Waktu dianggap sebagai pengamatan berulang sehingga akan terlihat perkembangan respon selama penelitian berjalan. Perlakuan yang dilakukan terdiri dari limbah cair tanpa lumpur aktif dan limbah cair dengan penambahan lumpur aktif. Apabila ada perbedaan nyata antar perlakuan dan waktu pengamatan dilanjutkan dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%. Data diolah dengan software SAS 9.1.3. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah

Yijk = µ + αi + ij + ωk + γjk + αωik+ ijk

Keterangan:

Yijk = nilai respon faktor A taraf ke-i, ulangan ke-j, waktu pengamatan ke-k

µ = rataan umum

αi = pengaruh faktor ke A taraf ke-i ij = komponen acak perlakuan

ωk = pengaruh waktu pengamatan ke-k

γjk = komponen acak waktu pengamatan

αωik = pengaruh interaksi waktu dengan faktor A

(18)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan

Limbah cair industri pengolahan ikan dapat dikarakterisasi melalui parameter fisikokimia, organik, nitrogen dan kandungan fosfor (Tay et al. 2006). Kontaminan utama yang terdapat pada limbah cair perikanan merupakan campuran berbagai substrat, terutama bahan organik alami. Penelitian ini menggunakan limbah cair perikanan buatan sebagai pengganti limbah cair industri perikanan. Tujuan penggunaan limbah cair buatan adalah agar limbah yang digunakan lebih stabil. Menurut Ibrahim (2007) penggunaan limbah cair buatan bertujuan agar umpan yang akan dimasukkan ke dalam sistem sebagai influen memiliki karakteristik yang lebih stabil dan mudah dikendalikan. Proses pembuatan limbah cair perikanan mengacu pada penelitian Ibrahim (2007), yaitu perbandingan antara daging ikan (kg) dengan air (L) adalah 1:5. Proses perebusan limbah padat dilakukan dalam pembuatan limbah cair buatan yang bertujuan untuk melarutkan kandungan bahan organik yang terdapat pada limbah padat. Tujuan perebusan pada pembuatan limbah cair buatan yaitu mendapatkan kadar nitrogen yang tinggi dalam limbah cair yang dihasilkan (Irma 2008). Karakteristik limbah cair buatan yang dihasilkan ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik limbah cair perikanan buatan

Parameter Satuan Limbah cair buatan Limbah cair perikanan*

Total N mg/L 607,32 111

BOD mg/L 537 184

COD mg/L 1062,4 571

Amonia mg/L 3,89 1,7

* Sumber: Ibrahim (2007), limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden

Limbah cair perikanan buatan memiliki jumlah nitrogen yang tinggi. Hal ini dikarenakan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan limbah cair berupa daging ikan yang memiliki kandungan protein tinggi. Tay et al. (2006) meyampaikan bahwa konsentrasi nitrogen dapat tinggi pada limbah cair industri perikanan. Tingkat kandungan nitrogen yang tinggi dikarenakan kandungan protein yang tinggi pada ikan atau invertebrata laut (15-20% berat basah).

(19)

Limbah cair perikanan memiliki nilai BOD yang sangat tinggi disebabkan oleh tingginya komponen organik yang terkandung di dalam limbah cair perikanan. Tay et al. (2006) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen pada limbah cair perikanan dikarenakan dua hal, yaitu komponen karbon yang digunakan sebagai substrat oleh mikroorganisme aerobik dan komponen nitrogen yang secara alami terdapat pada limbah cair perikanan seperti protein, peptida dan amina volatil.

Analisis COD dilakukan dengan metode dikromat. Limbah cair perikanan buatan memiliki nilai COD yang tinggi. Limbah cair dari industri pengolahan ikan memiliki karakteristik nilai COD yang tinggi karena kandungan kompnen organik dan anorganik yang tinggi, sehingga oksigen yang digunakan untuk menguraikan komponen organik tersebut secara kimiawi juga tinggi. Ibrahim et al. (2009) menyatakan bahwa limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi dengan tingkat pencemaran yang berbeda, tergantung pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah. Priambodo (2011) menambahkan bahwa perbedaan proses produksi menghasilkan limbah cair dengan jumlah dan kualitas yang berbeda. Carawan (1991) menyatakan bahwa rata-rata nilai COD dari proses pengalengan ikan tuna antara 1300-3250 mg/L.

Nilai amonia limbah cair perikanan buatan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai amonia limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden. Amonia merupakan hasil penguraian senyawa nitrogen. Nitrogen di dalam limbah cair terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung bahan organik yang didegradasi (Ibrahim 2007). Nilai baku mutu amonia dari limbah cair perikanan antara 5-10 mg/L (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Karakteristik limbah industri pengalengan tuna dan sarden pada Tabel 4 menunjukkan bahwa limbah cair perikanan buatan yang digunakan pada penelitian ini telah memenuhi karakteristik limbah cair industri perikanan, khususnya limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden.

4.2 Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC Satu Bejana

(20)

607,32ax 607,32ax

mengolah limbah cair dengan memanfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada susbstrat untuk mendegradasi bahan organik. Sistem MFC juga dapat menghasilkan listrik dengan cara menangkap elektron hasil degradasi bahan organik dengan elektroda. Pengukuran listrik dilakukan selama 5 hari.

Tipe sistem MFC yang digunakan berupa MFC satu bejana dengan perlakuan pemberian lumpur aktif. Penambahan substrat lumpur aktif pada limbah cair perikanan diharapkan mampu meningkatkan degradasi bahan organik dan listrik yang dihasilkan semakin besar. Parameter karakterisitik limbah cair yang dianalisis selama pengolahan di dalam sistem MFC adalah total nitrogen, BOD, COD, nitrogen-amonia, MLSS dan MLVSS. Analisis MLSS dan MLVSS hanya dilakukan pada sistem MFC dengan perlakuan pemberian lumpur aktif. Sebelum dimasukkan ke dalam sistem MFC, lumpur aktif terlebih dahulu diaklimatisasi dengan limbah cair buatan yang akan digunakan.

4.2.1 Total nitrogen

Total nitrogen menunjukkan jumlah total nitrogen organik yang terdapat dalam limbah cair. Nitrogen di dalam air limbah terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang berlangsung. Total nitrogen organik selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif. Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu pengamatan.

(21)

dengan pemberian lumpur aktif, yaitu 607,32 mg/L pada hari ke-0 kemudian menjadi 573,58 mg/L pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC satu bejana (P>0,05). Penurunan total nitrogen menunjukkan terjadinya reaksi penguraian senyawa nitrogen organik. Penurunan yang sama antara kedua perlakuan tersebut menunjukkan bahwa limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif dapat menguraikan senyawa nitrogen organik melalui mikroorganisme yang terdapat pada limbah cair tersebut.

Bakteri yang terdapat pada lumpur aktif diduga masih beradaptasi dengan substrat yang ada, sehingga proses penguraian senyawa nitrogen masih berjalan sama dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif selama selama 6 hari. Ibrahim et al. (2005) menyatakan bahwa mikroorganisme dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya dan mencapai fase pertumbuhan logaritmik sampai hari ke-8 dengan menggunakan substrat yang tersedia.

Degradasi limbah cair secara biologis merupakan proses yang berlangsung secara alamiah, namun berjalan lambat. Avnimelech et al. (2001) menyatakan bahwa kecepatan penurunan nitrogen organik sangat kompleks karena hanya sebagian dari nitrogen organik yang berubah menjadi nitrogen anorganik, sementara itu sisanya digunakan untuk memproduksi protein bakteri yang selanjutnya akan menjadi biomassa sel. Nitrogen dalam air limbah pada umumnya terdapat dalam bentuk organik dan oleh bakteri berubah menjadi nitrogen amonia. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (Ginting 2007).

4.2.2 Biological oxygen demand (BOD)

(22)

496ax 450ax

Gambar 6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.

Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh

perbedaan nyata antar waktu pengamatan.

Nilai BOD limbah cair selama 6 hari mengalami penurunan. Perlakuan pemberian lumpur aktif pada limbah cair mengalami penurunan yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif. Perlakuan penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan BOD (P>0,05). Penurunan nilai BOD tersebut menunjukkan terjadinya proses penguraian senyawa organik. Semakin besar jumlah bahan organik yang diuraikan semakin banyak oksigen yang digunakan, karena oksigen tersebut digunakan untuk penguraian senyawa organik.

Penurunan nilai BOD selama 6 hari yang tidak terlalu signifikan dari kedua perlakuan menandakan bahwa mikroorganisme di dalam sistem MFC tidak menguraikan bahan organik dengan maksimal. Hal ini dapat disebabkan kurangnya oksigen di dalam bejana anoda yang tidak diberi aerasi atau dikondisikan untuk kondisi anaerobik. Sulihingtyas et al. (2010) menyatakan bahwa kerja aerasi yang kurang maksimal menyebabkan persediaan oksigen terlarut di dalam sistem tidak mencukupi bagi mikroorganisme untuk mengoksidasi bahan organik. Selain itu, mikroorganisme di dalam sistem MFC dengan penambahan lumpur aktif yang diduga masih beradaptasi menggunakan oksigen tersebut untuk proses adaptasi.

Nilai BOD yang ditampilkan merupakan nilai BOD5. Nilai BOD5 hanya

(23)

992ax

berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu yang tak terbatas. Oksidasi organik karbon akan mencapai 60-70% dalam waktu 5 hari (BOD5) dan

dalam waktu 20 hari akan mencapai 95% (Siregar 2005). Oksidasi yang berjalan lambat ini juga mengakibatkan penurunan nilai BOD yang tidak signifikan.

Nilai BOD yang dihasilkan menunjukkan bahan organik atau beban limbah cair selama di dalam sistem MFC masih cukup tinggi. Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2007 menetapkan nilai baku mutu BOD limbah cair industri pengolahan ikan khususnya pengalengan yaitu 75 mg/L. Nilai BOD diduga masih dapat menurun seiring dengan penambahan waktu inkubasi di dalam sistem MFC dan penambahan konsentrasi lumpur aktif untuk mempercepat proses penguraian bahan organik.

4.2.3 Chemical oxygen demand (COD)

Pengukuran COD menekankan kebutuhan oksigen secara kimia dimana senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dapat dipecah secara biokimia (Ginting 2007). Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana. Limbah cair Limbah cair dan lumpur aktif.

Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh

perbedaan nyata antar waktu pengamatan.

(24)

pada hari ke-0 yaitu 992 mg/L dan pada hari ke-6 menjadi 816 mg/L. Penurunan nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif mengalami penurunan yang lebih besar, yaitu 901 mg/L pada hari ke-0 menjadi 781 mg/L pada hari ke-6. Penurunan nilai COD tersebut menunjukkan adanya degradasi senyawa organik dan anorganik. Penurunan nilai COD limbah cair diikuti dengan penurunan senyawa karbon di dalam air limbah.

Penurunan nilai COD limbah cair dengan pemberian lumpur aktif lebih besar dibandingkan limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif, hal ini diduga penambahan lumpur aktif akan meningkatkan jumlah mikroorganisme yang terdapat di dalam limbah cair, sehingga semakin banyak mikroorganisme maka proses degradasi senyawa organik dan anorganik akan semakin cepat dan oksigen yang dibutuhkan untuk penguraian senyawa semakin banyak. Oksigen memegang peranan penting dalam sistem penanganan biologik karena jika oksigen bertindak sebagai aseptor hidrogen terakhir, mikroorgannisme akan memperoleh energi maksimum (Jenie dan Rahayu 1993), sehingga semakin banyak mikroorganisme dan senyawa organik yang diuraikan maka oksigen yang dibutuhkan juga meningkat. Hal tersebut mengakibatkan nilai COD di dalam limbah cair semakin menurun.

Nilai COD hari pertama yang berbeda nyata dengan hari ke-3 dan ke-6 menandakan mikroorganisme masih aktif mendegradasi senyawa organik dan anorganik karena media kontak antara mikroorganisme dan limbah cair masih besar, kemudian terjadi penurunan pada hari ke-3 dan cenderung stabil sampai hari ke-6. Pohan (2008) menyatakan bahwa reduksi COD setelah 3 hari akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh mikroba yang mulai saling bertumpuk sedemikian rupa sehingga menghambat kontak antar mikroba dengan limbah cair, dengan demikian persentase penurunan COD menjadi relatif konstan karena jumlah bakteri yang mati dan yang tumbuh mulai berimbang dan tercapai kestabilan.

Nilai baku mutu COD limbah cair indusutri pengalengan ikan yaitu 150 mg/L (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan

(25)

4,18ax dibandingkan dengan nilai BOD. Perbedaan nilai ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak terhadap kimia, sepertli lignin, bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji BOD5 seperti selulosa,

lemak berantai panjang dan sel-sel mikroba, dan adanya bahan toksik dalam

limbah yang akan mengganggu uji BOD tetapi tidak mengganggu uji COD (Jenie dan Rahayu 1993).

4.2.4 Nitrogen-amonia

Amonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4 pada pH rendah.

Amonia dalam air sering terbentuk karena adanya proses kimia secara alami. Hasil pengukuran amonia limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 8.

(26)

(P>0,05). Amonia merupakan hasil degradasi senyawa nitrogen organik seperti protein. Amonia akan mengalami proses oksidasi menjadi nitrit dan nitrat.

Penurunan kandungan amonia menunjukkan terjadinya degradasi senyawa nitrogen organik dan anorganik limbah cair selama di dalam sistem MFC satu bejana. Degradasi senyawa tersebut menghasilkan energi, bahan seluler baru, karbondioksida dan air. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat (Ginting 2007), sehingga kandungan amonia di dalam limbah cair akan menurun. Proses perubahan amonia menjadi nitrit disebut proses nitirifikasi dan melibatkan bakteri yang disebut nitrifier. Penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair diduga meningkatkan jumlah mikroorganisme termasuk bakteri nitrifier tersebut, sehingga terjadi penurunan nilai kandungan amonia, sehingga terjadi penurunan amonia yang lebih besar pada perlakuan penambahan lumpur aktif. Herlambang (2010) menyatakan bahwa flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia menjadi nitrat.

Nilai baku mutu amonia limbah cair indsutri pengalengan ikan yaitu 5 mg/L (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa

nilai amonia limbah cair selama di dalam sistem MFC satu bejana telah sesuai dengan nilai baku mutu yang ditetapkan. Nilai amonia tersebut masih dapat meningkat dikarenakan masih banyak senyawa organik yang belum terurai. Kandungan amonia yang terukur diduga merupakan hasil dari penguraian senyawa nitrogen yang sudah terurai. Poppo et al. (2009) menyatakan bahwa tingginya kandungan amonia pada air limbah disebabkan karena senyawa amonia merupakan produk utama dari penguraian (pembusukan) limbah nitrogen organik. 4.2.5 MLSS dan MLVSS

(27)

1827

Gambar 9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana.

Gambar 10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana.

Nilai MLSS dan MLVSS limbah cair dengan penambahan lumpur aktif

mengalami peningkatan selama 6 hari. Nilai MLSS pada hari ke-0 yaitu 1827 mg/L kemudian meningkat menjadi 2867 pada hari ke-6. Nilai MLVSS pada

hari ke-0 1360 mg/L kemudian meningkat menjadi 2133 mg/L pada hari ke-6. Hal ini disebabkan terjadi pertumbuhan mikroorganisme atau biomassa di dalam sistem MFC satu bejana.

(28)

mengakibatkan dalam proses pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif akan terjadi penurunan senyawa organik dan peningkatan biomassa.

Proses sintesis atau peningkatan biomassa berlangsung dengan reaksi sebagai berikut:

COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2

COHNS adalah bahan-bahan organik di dalam limbah cair, sedangkan C5H7NO2

adalah jaringan baru yang diperoleh (Ginting 2007).

Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS selama 6 hari masing-masing hanya 1040 mg/L dan 773 mg/L. Peningkatan yang lambat selama 6 hari ini diduga disebabkan mikroorganisme dari lumpur aktif yang beradaptasi sangat lambat, sehingga proses degradasi juga berjalan lambat. Perbedaan substrat diduga mempengaruhi proses adaptasi tersebut. Lumpur aktif yang digunakan pada penelitian ini berasal dari pengolahan limbah tekstil. Nilai BOD dan COD limbah tekstil masing-masing yaitu 97,50 mg/L dan 428,50 mg/L (Herlambang 2010), lebih rendah dibandingkan nilai BOD dan COD limbah cair yang digunakan pada penelitian ini. Syamsudin et al. (2008) menyatakan bahwa aktivitas mikroorganisme di dalam proses pengolahan dengan lumpur aktif sangat dipengaruhi oleh tersedianya nutrien dan kondisi lingkungan. Proses biodegradasi oleh mikroorganisme aerobik akan berlangsung optimal jika oksigen terlarut dan nutrisi tersedia pada konsentrasi yang sesuai.

(29)

0 selama 5 hari dalam satuan mV. Limbah cair perikanan diinkubasi selama 25 jam sebelum dilakukan pengukuran listrik sesuai penelitian Kubota et al. (2010) untuk mengadaptasikan mikroorganisme yang ada di dalam limbah cair dan lumpur aktif dengan sistem MFC, sehingga proses degradasi bahan organik berjalan dengan

baik. Hasil pengukuran listrik limbah cair perikanan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Nilai listrik limbah cair perikanan.

Pada jam ke-0 rata-rata nilai listrik dari sistem MFC satu bejana tanpa lumpur aktif 3,8 mV, sedangkan nilai listrik dari sistem MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif 16,8 mV. Perbedaan nilai listrik pada awal pengukuran diduga disebabkan oleh jumlah elektron bebas yang ditangkap oleh anoda lebih banyak pada MFC dengan penambahan lumpur aktif. Inkubasi selama 25 jam dapat meningkatkan jumlah elektron karena terjadi proses degradasi senyawa organik. Hal ini terlihat dari penurunan nilai COD dan BOD dari limbah cair sebelum diinkubasi dan setelah diinkubasi. Penambahan lumpur aktif mempercepat proses tersebut, sehingga akan meningkatkan jumlah elektron yang dihasilkan dari proses degradasi senyawa organik. Riyanto et al. (2011) menyatakan bahwa tingginya arus listrik yang dihasilkan pada hari pertama disebabkan adanya akumulasi elektron yang telah ada pada substrat.

(30)

pengamatan hingga jam ke-40. Nilai listrik dari MFC dengan penambahan lumpur aktif yang lebih tinggi pada beberapa jam awal pengamatan diduga disebabkan jumlah mikroorganisme yang melekat pada anoda MFC dengan penambahan lumpur aktif lebih banyak dibandingkan MFC tanpa lumpur aktif. Kim et al. (2002) menyatakan bahwa listrik yang dihasilkan dari sistem MFC dipengaruhi oleh konsentrasi sel bakteri pada area permukaan elektroda. Patil et al. (2009) menambahkan bahwa pembentukkan biofilm membutuhkan waktu yang lebih sedikit dibandingkan untuk meningkatkan voltase.

Nilai listrik dari kedua perlakuan mengalami fluktuasi namun cenderung meningkat sejak jam ke-40. Fluktuasi nilai listrik ini dipengaruhi oleh metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bejana anoda. Metabolisme mikroorganisme dengan memanfaatkan senyawa organik dari limbah cair akan menghasilkan elektron. Peningkatan atau penurunan nilai listrik diduga sesuai dengan jumlah elektron bebas yang dihasilkan oleh bakteri. Suyanto et al. (2010) menyatakan bahwa produk biodegradasi senyawa organik oleh bakteri tertentu dapat menjadi substrat bagi jenis bakteri lain. Hal ini menyebabkan produk tidak dapat dioksidasi untuk menghasilkan elektron bebas dan ion H+ dengan optimum sehingga elektron yang mengalir dari anoda ke katoda berkurang dan mengakibatkan fluktuasi listrik.

(31)

menyatakan semakin aktif suatu kumpulan mikroba dalam melakukan suatu metabolisme, semakin banyak pula elektron bebas yang dihasilkan.

Jumlah mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif yang lebih banyak juga dapat mempengaruhi rendahnya nilai listrik yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan elektron yang berada di dalam MFC lebih banyak digunakan oleh mikroorganisme sebagai energi untuk mendegradasi senyawa organik. Ibrahim (2007) menyatakan bahwa proses denitrifikasi memerlukan penyumbang elektron yang berasal dari bahan organik atau senyawa-senyawa tereduksi seperti sulfida atau hidrogen. Bakteri-bakteri denitrifikasi memanfaatkan potensial redoks positif untuk memenuhi kebutuhan energi melalui proses sintesa ATP dan transpor elektron. Pandey et al. (2011) juga menyatakan bahwa rendahnya nilai listrik mengindikasikan bahwa beberapa elektron pada bejana anoda digunakan untuk mereduksi penangkap elektron lain seperti sulfat dan nitrat, atau oksigen yang berdifusi dari bejana katoda dan oksigen terlarut yang terkandung di dalam substrat.

Nilai listrik yang dihasilkan pada penelitian ini belum tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai listrik dari sistem MFC. Perbedaan jenis substrat

yang digunakan juga dapat mempengaruhi nilai listrik yang dihasilkan. Lovley (2006) menyatakan substrat merupakan faktor penting dalam efisiensi

produksi listrik. Efisiensi dan nilai ekonomis perubahan limbah organik menjadi

bioenergi bergantung pada karakteristik dan komponen dari material limbah. Pant et al. (2010) menambahkan beberapa faktor lain yang mempengaruhi listrik

adalah kondisi operasi sistem, luas area elektroda, tipe elektroda dan jenis mikroorganisme. Cheng et al. (2006) juga menyatakan faktor jarak antar elektroda dapat mempengaruhi kekuatan listrik yang dihasilkan.

(32)

elektron yang ditransfer. Oleh karena itu pada beberapa sistem MFC yang dibuat ditambahkan media untuk mempercepat proses transfer elektron tersebut. Lovley (2006) menyatakan media yang dapat mempercepat transfer elektron, antara lain thionine, benzylviologen, 2,6-dichlorophenolindophenol, 2-hydroxy -1,4-naphthoquinone, berbagai jenis phenazines, phenothiazines, phenoxoazines, iron chelates dan neutral red. Beberapa mikroorganisme juga dapat menghasilkan mediatornya sendiri untuk mentransfer elektron ke sel luar, seperti Shewanella oneidensis MR-1, Geothrix ferementans dan Pseudomonas sp (Logan dan Regan 2006).

Kondisi di dalam sistem MFC juga dapat mempengaruhi nilai listrik yang dihasilkan. Pada penelitian ini kondisi anaerobik belum tercapai, sehingga energi yang dihasilkan belum terlalu besar untuk meningkatkan kekuatan listrik. Bejana anoda pada kedua perlakuan MFC tidak diberi aerasi, namun diberi pengaduk untuk menghomogenkan substrat. Hal ini bertujuan agar kondisi anerobik dapat tercapai. Du et al. (2007) menyatakan bahwa kekuatan listrik dapat dihasilkan dengan menjaga mikroorganisme di dalam bejana anoda terpisah dengan oksigen atau penerima elektron lain. Oleh karena itu bejana anoda harus dikondisikan dalam keadaan anaerobik.

(33)

Tabel 5 Reaksi elektroda pada MFC dan hasil potensial redoks

Pasangan oksidasi/reduksi E (mV)

H+/H2 - 420

Fe(III) sitrat/Fe(II) sitrat + 372

Fe(III) NTA/Fe(II) NTA + 385

Proses degradasi senyawa organik melibatkan reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Reaksi redoks menghasilkan energi potensial dalam satuan volt. Nilai energi potensial positif menunjukkan reaksi redoks spontan dan energi potensial negatif menunjukkan reaksi redoks tidak spontan. Reaksi NO3- menjadi NO2- merupakan reaksi spontan yang membutuhkan energi 421 mV dan reaksi O2

menjadi H2O merupakan reaksi redoks tidak spontan yang membutuhkan energi

820 mV. Energi yang digunakan untuk reaksi tersebut mengakibatkan nilai listrik yang dihasilkan menjadi kecil. Cyio (2008) menyatakan bahwa jumlah elektron berbanding lurus dengan potensial redoks, sehingga penurunan jumlah elektron secara otomatis akan menurunkan nilai potensial redoks.

(34)

peningkatan nilai MLSS dan MLVSS yang tidak signifikan menunjukkan bahwa mikroorganisme pada MFC dengan penambahan lumpur aktif diduga masih beradaptasi, sehingga aktivitas metabolismenya belum optimal. Listrik akan menurun hingga bernilai 0 V jika senyawa organik di dalam limbah cair sudah habis. Hal tersebut menunjukkan bahwa MFC merupakan sistem yang berkelanjutan dan terbarukan. Sistem ini akan terus berkelanjutan dan terbarukan selama terdapat limbah cair yang mengandung bahan organik yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Suyanto et al. (201) menyatakan bahwa fuel cell merupakan sumber energi ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi dan dapat digunakan terus menerus jika ada suplai hidrogen yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui.

(35)

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Limbah cair perikanan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik melalui teknologi MFC satu bejana. Beban limbah cair (total nitrogen, BOD, COD, dan amonia) di dalam MFC satu bejana dengan penambahan lumpur aktif mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan perlakuan tanpa lumpur aktif selama 6 hari pengamatan. Nilai MLSS dan MLVSS mengalami peningkatan selama 6 hari pada perlakuan limbah cair dengan penambahan lumpur aktif. Perlakuan limbah cair tanpa lumpur aktif memiliki rata-rata nilai listrik yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai listrik limbah cair dengan penambahan lumpur aktif selama 120 jam. Nilai listrik limbah cair tertinggi terjadi pada jam ke-119, yaitu pada limbah cair tanpa lumpur aktif 144,9 mV dan pada limbah cair dengan penambahan lumpur aktif 87,6 mV.

5.2 Saran

(36)

BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR PERIKANAN DENGAN

METODE

MICROBIAL FUEL CELL

SATU BEJANA

DWILINA APRIYANI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(37)

RINGKASAN

DWILINA APRIYANI. C34080033. Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan WINI TRILAKSANI.

Semakin menipisnya sumber daya energi mengakibatkan energi menjadi barang langka dan mahal. Hal tersebut menjadikan kegiatan terkait dengan energi baru terbarukan menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Usaha menghasilkan energi listrik dapat dilakukan melalui teknologi microbial fuel cell (MFC). Limbah cair telah direkomendasikan sebagai sumber terbarukan untuk menghasilkan energi listrik, bahan bakar dan kimia. Sampai abad terakhir, proses lumpur aktif merupakan proses pengolahan limbah cair yang banyak digunakan. Namun, proses ini membutuhkan energi intensif dan membutuhkan 2% dari total konsumsi listrik. Limbah cair industri perikanan dapat dijadikan sebagai substrat pada sistem MFC.

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari proses pemanfaatan limbah cair perikanan dengan teknologi MFC satu bejana, serta menganalisis karakteristik limbah cair dan listrik yang dihasilkan. Metode yang digunakan adalah MFC satu bejana dengan limbah cair buatan sebagai substrat. Perlakuan yang diberikan adalah limbah cair tanpa lumpur aktif dan limbah cair dengan penambahan lumpur aktif. Pengukuran listrik dilakukan selama 5 hari (120 jam) dan pada hari ke-0, ke-3 dan ke-6 dilakukan analisis parameter beban limbah cair yang terdiri dari kandungan total nitrogen, nitrogen-amonia, Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Mixed Liquor Suspended Solids (MLSS) dan Mixed Liquor Volatile Suspended Solids (MLVSS).

Beban limbah cair selama proses pengolahan dengan sistem MFC satu bejana mengalami penurunan, terutama pada limbah cair dengan penambahan lumpur aktif. Kandungan total nitrogen, BOD, COD dan amonia limbah cair

dengan penambahan lumpur aktif mengalami penurunan masing-masing 33,74 mg/L, 68 mg/L, 120 mg/L dan 3,23 mg/L selama 6 hari pengamatan. Nilai

(38)

BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR PERIKANAN DENGAN METODE MICROBIAL FUEL CELL SATU BEJANA

DWILINA APRIYANI C34080033

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(39)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Biolistrik dari

Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana

adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

(40)

Judul : Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana

Nama : Dwilina Apriyani

NIM : C34080033

Program Studi : Teknologi Hasil Perikanan

Pembimbing I

Dr.Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. NIP. 19611101 198703 1 002

Pembimbing II

Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. NIP. 19610128 198601 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phill. NIP. 19580511 198503 1 002

(41)

vi

KATA PENGANTAR

Ucapan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, atas karunia-Nya yang berlimpah, yang membuat penulis sanggup menyelesaikan skripsi yang berjudul “Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial

Fuel Cell Satu Bejana” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1 Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc selaku pembimbing II yang telah

memberikan nasihat, arahan dan bimbingan serta kesabaran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2 Ibu Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS selaku dosen penguji yang telah memberi saran perbaikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3 Mama, Bapak dan Mba Lia untuk dukungan baik dalam bentuk materi maupun non materi, perhatian, kasih sayang, serta kepercayaan yang telah diberikan pada penulis tanpa batas.

4 Mba Dini, Ibu Ema, Kang Abe, Pak Jajang, Mba Retno, Mas Jack, Mas Mail dan Pak Ahmad selaku laboran dan staf TU yang telah banyak membantu selama penelitian, terimakasih atas kerjasama dan sarannya.

5 THP angkatan 45 atas kebersamaan dan pengalaman berharga yang diberikan selama kurang lebih 4 tahun.

6 Sahabat terbaik khususnya Mufida, Oktarina, Nurrahman, Andi, dan Hilma atas kebersamaan, keceriaan, semangat dan motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi.

7 Rico, Esa, Santos, Aksar, dan Helmy yang telah membantu serta menemani selama penelitian berlangsung.

8 Teman satu bimbingan: Rico, Yunisha, Syukron, Oktarina, Desi, Diah, dan Dita M atas dukungan, semangat, dan tempat untuk berbagi curahan hati. 9 Teman-teman lab Ombeng: Esa, Rico, Hardi, Aksar, Syukron, Edo, Bang

(42)

vii

memberi semangat, dan berbagi canda tawa pada saat akhir penyelesaian skripsi.

10 Teman kosan SQ Bawah: Lia, Nia, Dudu, Fitra, Hana M, Ulfa, Kak Dayu, Kak Septi, Mita, Hana dan Nurul, yang telah banyak memberi semangat dan keceriaan setiap hari selama penelitian dan penyusunan skripsi.

11 Teman-teman THP angkatan 44, 46, dan 47 yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.

12 Tim asisten Oseanografi Umum periode 2012-2013 atas kekompakan, pengertian dan keceriaan lain yang diberikan selama penyelesaian skripsi. Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkannya.

(43)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi, Jawa Barat pada.tanggal 7 April 1990. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan bernama Satino dan Supiyem. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai di SDN Pekayon Jaya 7 Bekasi pada tahun 1996 hingga tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun yang sama di SMPN 12 Bekasi hingga tahun 2005. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di SMAN 3 Bekasi pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2008. Selama perkuliahan, penulis aktif berorganisasi dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (DPM FPIK) sebagai bendahara komisi PSDM tahun 2009-2010 dan Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan (HIMASILKAN) tahun 2010-2011. Selain itu, penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Ikhtiologi tahun 2010, Diversifikasi dan Pengolahan Produk Hasil Perairan tahun 2012, Teknologi Pengolahan Limbah dan Hasil Samping Hasil Perairan tahun 2012, Oseanografi Umum tahun 2011 dan 2012.

Penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana” dibawah bimbingan Bustami Ibrahim dan Wini Trilaksani untuk

(44)

ix 3.3.3 Pengukuran listrik dan beban limbah cair. ... 13 3.4 Prosedur Analisis ... 14 3.5 Rancangan Percobaan (Mattjik dan Jaya 2006) ... 17 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

(45)

x

4.3 Listrik Limbah Cair Perikanan ... 29 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 35

(46)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Prinsip kerja MFC (Logan et al. 2006) ... 7 2 Sistem kerja MFC satu bejana (Lovley 2006) ... 9 3 Diagram alir tahapan penelitian ... 12 4 Desain MFC satu bejana ... 13 5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana ... 20 6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana ... 22 7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana... 23 8 Amonia limbah cair selama di dalam MFC satu bejana ... 25 9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu

bejana ... 27 10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu

(47)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

(48)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(49)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketidakseimbangan permintaan dan penawaran energi yang didorong pesatnya laju pertambahan penduduk dan industrialisasi dunia, mengakibatkan tersedotnya cadangan energi, khususnya energi fosil yang merupakan sumber energi utama dunia. Hal tersebut mendorong meningkatnya harga energi dunia. Saat ini sumber daya energi di Indonesia dan dunia semakin menipis. Hal ini mengakibatkan energi menjadi barang langka dan semakin mahal. Kementerian Luar negeri RI (2011) menyebutkan bahwa proporsi minyak bumi sebagai sumber utama energi mencapai 40% dari total permintaan energi dunia, namun cadangannya terus berkurang. Pada tahun 2011 pertumbuhan permintaan minyak bumi dunia mencapai 1,7% sementara peningkatan produksi hanya mencapai 0,9%. Cadangan minyak bumi di Indonesia diperkirakan 9 milyar barel, dengan tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barel per tahun, sehingga diperkirakan cadangan minyak akan habis dalam waktu 18 tahun.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (2010) menambahkan bahwa 50% konsumsi energi nasional Indonesia selama ini berasal dari minyak bumi. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih sangat tergantung pada sumber energi tak terbarukan tersebut. Masalah tersebut harus segera dicari solusinya karena cepat atau lambat sumber energi tersebut akan habis. Keadaan ini menyebabkan negara-negara di dunia termasuk Indonesia rentan terhadap resiko krisis energi dunia.

Ancaman krisis energi dan bahan bakar menjadikan kegiatan terkait dengan energi baru terbarukan menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera dilakukan. Saat ini, potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia 311.232 Mega Watt (MW) dan baru 22% yang dimanfaatkan (BPPT 2010). Keunggulan dari energi terbarukan yaitu energi terbarukan lebih sesuai dengan potensi lokal di tanah air, lebih ramah lingkungan, lebih berkelanjutan dalam jangka panjang, dan relatif tidak tergantung dengan fluktuasi saham minyak dunia (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2012).

(50)

2010 mencapai 90,35 juta BOE (Barrel Oil Equivalent) (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2011). Selain itu, statistik perkembangan energi terbarukan dalam bentuk listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2005-2010, yaitu 5.228,69 MW pada tahun 2005 menjadi 8.772,50 MW pada tahun 2010 (Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi 2011).

Faaij (2006) menyampaikan bahwa terdapat berbagai teknologi konversi yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik ini, yaitu pembakaran, gasification, dan fermentasi (gas metan). Namun teknologi konversi pembakaran dan gasification berdampak terhadap penipisan cadangan bahan bakar fosil dan peningkatan jumlah CO2 di atmosfer. Oleh karena itu diperlukan teknologi baru

yang lebih efisien untuk menghasilkan energi listrik.

Usaha menghasilkan energi listrik dapat dilakukan melalui teknologi microbial fuel cell (MFC) dengan memanfaatkan senyawa yang mengandung hidrogen atau senyawa yang menghasilkan elektron sehingga ramah lingkungan (Suyanto et al. 2010). MFCs adalah salah satu tipe sistem bioelectrochemical (BESs) yang mengubah biomassa secara spontan menjadi energi listrik melalui aktivitas metabolisme mikroorganisme (Pant et al. 2010). Limbah cair telah direkomendasikan sebagai sumber terbarukan untuk menghasilkan energi listrik, bahan bakar dan kimia. Saat ini, teknologi yang hanya dapat menghasilkan energi tersebut dari limbah cair untuk skala komersil adalah degradasi anaerobik (Rozendal et al. 2008).

(51)

Permasalahan pengolahan limbah cair tersebut dapat diatasi dengan mengggunakan alternatif teknologi MFC. Konversi energi listrik telah diteliti dengan menggunakan perbedaan tipe limbah cair, termasuk limbah cair domestik, pengolahan pangan dan hewan (Cheng dan Logan 2011). Salah satu limbah cair lain yang dapat dimanfaatkan sebagai substrat pada MFC adalah limbah cair perikanan. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri perikanan berasal dari berbagai proses. Secara umum limbah cair industri hasil perikanan mengandung banyak protein dan lemak.

Beberapa tipe MFC telah dikembangkan antara lain MFC dua bejana oleh Oh dan Logan (2006), MFC satu bejana oleh Liu et al. (2005), disain upflow oleh He et al. (2006), dan desain tubular oleh Zuo et al. (2007). Semua sistem tersebut telah diujikan pada skala lab menggunakan konsentrasi substrat yang tinggi serta larutan penyangga yang baik (Cheng dan Logan 2011). Diantara perbedaan tipe MFC yang telah dikembangkan, MFC dengan katoda udara merupakan tipe yang dapat diaplikasikan untuk pengolahan limbah cair karena hasil kekuatan tinggi, struktur sederhana, dan biayanya relatif murah. Penggunaan MFC satu bejana dapat mengurangi biaya peralatan karena ada pengurangan biaya bejana katoda dan membran, sehingga lebih dapat diaplikasikan pada pengolahan limbah cair dan konversi energi (Das dan Mangwani 2010).

1.2 Tujuan

(52)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair Industri Perikanan

Limbah industri perikanan dapat didefinisikan sebagai apa saja yang tersisa dan terbuang dari suatu kegiatan penangkapan, penanganan, dan pengolahan hasil perikanan. Tipe limbah utama yang ditemukan dari limbah cair pengolahan ikan adalah darah, kotoran, jeroan, sirip, kepala ikan, cangkang, kulit dan sisa daging. Secara umum, tipe limbah cair industri pengolahan ikan dapat dibagi dalam dua kategori yaitu volum banyak-persentase limbah rendah dan volum sedikit-persentase limbah tinggi. Kategori volum banyak-persentase limbah rendah terdiri dari air yang digunakan untuk pembongkaran, transportasi, penanganan ikan dan air pencucian. Proses pada pembuatan tepung ikan menghasilkan jenis limbah kategori volum sedikit-persentase limbah tinggi (Colic et al. 2007).

Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi. Tingkat pencemaran limbah cair industri pengolahan perikanan sangat tergantung pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah (Ibrahim 2005). Terdapat 3 tipe utama aktivitas pengolahan ikan, yaitu industri pengalengan dan pembekuan ikan, industri minyak dan tepung ikan, dan industri pengasinan ikan (Priambodo 2011). Karakteristik limbah cair perikanan dapat dilihat melalui parameter pH, jumlah padatan terlarut, suhu, bau, BOD, COD, dan konsentrasi nitrogen serta fosfor (FAO 1996).

(53)

Tabel 1 Karakteristik limbah cair perikanan dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Baku mutu limbah cair industri pengolahan perikanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Baku mutu air limbah bagi usaha/kegiatan pengolahan perikanan Parameter Satuan Kegiatan

Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007)

(54)

limbah cair untuk menghilangkan minyak, lemak dan padatan tersuspensi. Sistem pengapungan merupakan sistem pengolahan limbah yang efektif karena dapat juga menghilangkan minyak dan lemak (FAO 1996).

Tahap kedua pengolahan limbah cair adalah proses biologi dan kimia yang betujuan untuk menghilangkan material organik yang terdapat pada limbah cair. Tujuan pengolahan limbah cair secara biologi adalah untuk menghilangkan padatan yang tidak mengendap dan bahan organik terlarut dengan mikroba. Mikroorganisme bertanggung jawab mendegradasi bahan organik dan menstabilkan limbah organik. Pengolahan limbah cair secara biologi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pengolahan limbah secara aerobik dan anaerobik. Proses pengolahan secara aerobik terdiri dari sistem lumpur aktif, aerated lagoons, aerasi, trickling filters, rotating biological contractors, dan pilihan pengolahan aerobik. Proses pengolahan secara anaerobik terdiri dari digestion system dan imhoff tanks. Pengolahan limbah cair dapat juga dilakukan secara fisikokimia, antara lain coagulation-floculation dan disinfection yang terdiri dari klorinasi dan ozonasi (FAO 1996).

2.2 Microbial Fuel Cell (MFC)

Microbial fuel cells merupakan salah satu tipe biofuel cells. Beberapa tipe biofuel cells yang ada antara lain microbial fuel cells dan enzymatic fuel cells (Kim et al. 2002). Microbial fuel cells (MFCs) merupakan sistem atau alat yang menggunakan bakteri sebagai katalis untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik. Elektron diproduksi oleh bakteri dari substrat yang kemudian ditransfer ke anoda (kutub negatif) dan dialirkan ke katoda (kutub positif) yang disambungkan oleh perangkat konduktivitas termasuk resistor, atau dioperasikan dibawah muatan untuk menghasilkan listrik yang dapat menjalankan alat. Aliran positif pengukur arus mengalir dari kutub positif ke negatif, arah yang berlawanan dengan aliran elektron (Logan et al. 2006).

(55)

anaerobik dan bakteri harus mengubah penerima elektron alaminya menjadi penerima elektron insoluble seperti anoda (Microbialfuelcell 2008). Penerimaan elektron ke anoda berlangsung melalui kontak langsung, kabel-kabel nano (nanowires) atau pengangkut elektron yang dapat larut. Selama produksi elektron, proton juga diproduksi dalam jumlah banyak. Proton ini bermigrasi melalui cation exchange membrane (CEM) ke bejana katoda. Elektron mengalir dari anoda melalui hambatan luar ke katoda tempat bereaksinya penerima elektron (oksigen) dengan proton (Logan et al. 2006). Gambar 1 menunjukan prinsip kerja dari sistem MFC.

Reaksi yang terjadi pada sistem MFC dengan contoh substrat asetat adalah sebagai berikut:

reaksi pada anoda : CH3COO- + 2H2O  2CO2 + 7H+ + 8e

-reaksi pada katoda : O2 + 4e- + 4H+  2H2O

Keseluruhan reaksi yang terjadi merupakan degradasi substrat menjadi karbondioksida, air dan pada saat yang bersamaan dihasilkan listrik sebagai hasil samping. Berdasarkan reaksi pada elektroda, bioreaktor MFC dapat menghasilkan

listrik dari aliran elektron di anoda ke katoda melalui rangkaian eksternal (Du et al. 2007).

Gambar 1 Prinsip kerja MFC (Logan et al. 2006).

Gambar

Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian.
Gambar 4 Desain MFC satu bejana.
Gambar 7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.
Gambar 9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Crane Leadder Diesel Hammer PC Sheet Pile Stock PC Sheet Pile Crane Leadder Diesel Hammer PC Sheet Pile Stock PC Sheet Pile PEMASANGAN BEKISTING TIANG PANCANG LIFTING JACK

Layanan Perkantoran adalah kegiatan layanan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas don fungsi utama BPK dalam memeriksa pengelolaan don tanggung jawab keuangan

Penelitian terhadap pengaruh saraf parasimpatis terhadap sekresi kelenjar saliva yang dilakukan oleh Lung (1998) pada hewan uji berupa anjing yang dianastesi ditemukan

untuk menetapkan suatu dasar sehingga dapat mengumpulkan bukti yang berupa data-data dalam menentukan keputusan apakah menolak atau menerima kebenaran dari pernyataan

Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara

Hasil penelitian ini apabila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, yakni yang dilakukan oleh Rommy Rifky Romadloni & Herizon (2015), dan

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana membangun sistem pakar berbasis web yang dapat membantu mendiagnosa jenis penyakit pada lambung manusia yang disebabkan

• Efek samping pengobatan berupa demam obat terjadi pada 3-5% dari seluruh reaksi obat yang dilaporkan • Obat yang sering menyebabkan demam  antibiotik dan antikonvulsi