DAFTAR LAMPIRAN
2.6 Analisis Data
3.1.4 Kondisi Lingkungan Budidaya
Kondisi lingkungan budidaya merupakan faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup cacing oligochaeta. Parameter lingkungan budidaya yang diukur selama pemeliharaan cacing oligochaeta yaitu : oksigen terlarut, pH, suhu, dan TAN (Tabel 2).
Tabel 2. Kisaran kualitas air selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan Parameter uji Perlakuan Kisaran optimal Sumber A B C DO (ppm) 2,30-3,70 2,37-3,57 2,13-3,63 2,5-7 Poddubnaya (1980) pH 6,40-6,97 6,33-7,07 6,47-7,03 6,0-9,0 Witley (1967)
Suhu (oC) 23,7-25,8 23,6-26,0 23,7-25,5 20-25 Nascimento dan Alves
(2009)
TAN (ppm) 0,40-1,42 0,27-1,93 0,33-1,75 <3,8 Angel dan Pilar (2004)
Selama pemeliharaan, kualitas air pada masing-masing perlakuan mengalami perubahan. Gambar 10 menunjukkan perubahan kandungan oksigen terlarut pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan cacing oligochaeta.
Gambar 10. Perubahan kandungan oksigen terlarut selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan
Kandungan oksigen terlarut tertinggi diperoleh pada perlakuan A pada awal pemeliharaan dengan nilai rata-rata kandungan oksigen terlarut sebesar 3,32 ppm sedangkan nilai kandungan oksigen terlarut terendah terdapat pada perlakuan C pada hari ke 20 dengan rata-rata kandungan oksigen terlarut yaitu 2,24 ppm (Lampiran 9a). 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 0 10 20 30 40 50 60 O k si g en ter lar ut ( ppm )
Masa Pemeliharaan (hari)
2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m²
17 Gambar 11. Perubahan nilai pH selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada
masing-masing perlakuan
Nilai pH selama pemeliharaan berkisar antara 6,40-6,96. Gambar 11 menunjukkan tidak ada perbedaan terhadap perubahan pH pada masing-masing perlakuan, namun pada awal pemeliharaan nilai pH terlihat lebih tinggi pada setiap perlakuan. Kisaran pH pada perlakuan A antara 6,54-6,92, perlakuan B antara 6,40-6,96 dan perlakuan C antara 6,58-6,89 (Lampiran 9b).
Gambar 12. Perubahan suhu selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan
Suhu air budidaya selama penelitian berkisar antara 23,8 oC hingga 25,4 oC. Rata-rata suhu pada perlakuan A berkisar antara 23,8-25,4 oC, perlakuan B berkisar antara 23,8-25,4 oC, dan perlakuan C berkisar antara 23,8-25,2 oC. Suhu
6,00 6,10 6,20 6,30 6,40 6,50 6,60 6,70 6,80 6,90 7,00 7,10 0 10 20 30 40 50 60 pH
Masa Pemeliharaan (hari)
2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m² 20 21 22 23 24 25 26 0 10 20 30 40 50 60 Suhu ( oC)
Masa Pemeliharaan (hari)
2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m²
18 air mulai terjadi penurunan pada hari ke-30 dan hari ke-40 kemudian mulai meningkat pada hari ke-50 dan hari ke-60 (Gambar 12).
Gambar 13. Perubahan nilai TAN selama pemeliharaan cacing oligochaeta pada masing-masing perlakuan
Secara umum, rata-rata nilai TAN pada perlakuan A berkisar antara 0,47-1,17 ppm, pada perlakuan B berkisar antara 0,34-1,49 ppm, serta pada
perlakuan C berkisar antara 0,37-1,36 ppm (Lampiran 9d). Gambar 13 menunjukkan pola perubahan nilai TAN selama pemeliharaan pada setiap perlakuan cenderung mengalami penurunan pada akhir pemeliharaan. Kandungan TAN terendah terjadi pada hari ke-60 pada masing-masing perlakuan.
3.1.5 Analisis Usaha
Analisis usaha dihitung dalam jangka waktu satu tahun. Analisis usaha budidaya cacing oligochaeta setiap perlakuan ditunjukkan pada Tabel 3 dengan asumsi yang digunakan dalam analisis usaha adalah sebagai berikut :
a. Harga faktor produksi dianggap tetap selama siklus produksi
b. Masa budidaya cacing oligochaeta yaitu 20 hari persiapan awal dan 40 hari pemeliharaan pada siklus pertama, kemudian siklus kedua dan seterusnya yaitu 40 hari pemeliharaan.
c. Selama 1 tahun dilakukan 8 siklus produksi (Penjadwalan di Lampiran 10) d. Break Even Point (BEPu) menggunakan asumsi berdasarkan perlakuan padat
tebar 3600 individu/m2 yaitu 354 kg dengan jumlah bak sebanyak 180 buah (Perhitungan di Lampiran 11)
e. Luas lahan budidaya cacing oligochaeta pada setiap perlakuan yaitu 200 m2
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 0 10 20 30 40 50 60 T AN ( pp m )
Masa Pemeliharaan (hari)
2600 individu/m² 3600 individu/m² 4600 individu/m²
19 f. Wadah yang digunakan berupa kotak kayu berukuran (100x25x20)cm3
sebanyak 200 buah untuk setiap perlakuan dengan padat penebaran : 1. 2600 individu/m2 dengan biomassa 13 g/m2 atau 3,25 g/wadah 2. 3600 individu/m2 dengan biomassa 18 g/m2 atau 4,50 g/wadah 3. 4600 individu/m2 dengan biomassa 23 g/m2 atau 5,75 g/wadah
g. Biomassa panen pada perlakuan A, B, dan C berturut-turut adalah 559,88 g/m2, 986,08 g/m2, dan 2.239,52 g/m2
h. Biaya tenaga kerja teknisi berdasarkan UMR tahun 2012 di daerah Belitung yaitu Rp 1.110.000,00 per bulan per orang (Anonim 2012) dengan pertimbangan pengerjaan yaitu memelihara cacing, memberi pupuk, dan panen. i. Harga bibit cacing oligochaeta yaitu Rp 75.000,00/kg
j. Harga jual cacing oligochaeta yaitu Rp 100.000,00/kg
Tabel 3 di bawah ini menunjukkan analisis usaha budidaya cacing oligochaeta yang menggunakan sistem terbuka meliputi : biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, penerimaan, keuntungan, R/C rasio, payback period (PP), Harga Pokok Produksi (HPP), dan Break Even Point (BEP).
Tabel 3. Analisis usaha budidaya cacing oligochaeta yang menggunakan sistem terbuka
Komponen Perlakuan
2600 individu/m2 3600 individu/m2 4600 individu/m2
Biaya investasi (Rp) 14.043.500 14.043.500 14.043.500 Biaya Tetap (Rp) 24.589.500 24.589.500 24.589.500 Biaya variabel (Rp) 11.798.800 11.948.800 12.098.800 Biaya total (Rp) 36 388.300 36.538.300 36.688.300 Penerimaan (Rp) 22.395.200 39.443.200 89.580.800 Keuntungan (Rp) -13.993.100 2.904.900 52.892.500 R/C ratio 0,62 1,08 2,44 BEP (Rp) 52.969.232 35.275.859 28.429.146 BEP (kg) 519,70 352,76 284,29 HPP (Rp/kg) 162.483 92.635 40.956 PP (tahun) - 4,83 0,27
* Rincian biaya disajikan pada Lampiran 10
Analisis usaha pada Tabel 3 menunjukkan bahwa keuntungan terbesar terdapat pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2, yaitu Rp 52.892.500 per tahun dan kerugian terjadi pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2, yaitu Rp -13.993.100 sedangkan budidaya cacing oligochaeta dengan padat penebaran 3600 individu/m2 dapat memberikan keuntungan namun hanya sebesar
20
Rp 2.904.900 per tahun. Nilai R/C pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 memperoleh nilai terkecil dibandingkan perlakuan padat
penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 yakni 0,62 yang berarti setiap pengeluaran biaya sebesar Rp 1,00 penerimaan hanya sebesar Rp 0,62. Nilai R/C pada perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 secara berturut-turut yaitu 1,08 dan 2,44. Hal ini berarti setiap pengeluaran biaya sebesar Rp 1,00 diperoleh penerimaan sebesar Rp 1,08 dan Rp 2,44.
Nilai BEPp pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 yaitu Rp 52.969.232 dan BEPu sebanyak 519,70 kg yang berarti penerimaan harus
mencapai Rp 52.969.232 dengan nilai produksi 519,70 kg agar usaha mencapai titik impas. Nilai BEPp pada perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 yaitu Rp 35.275.859 dan BEPu sebanyak 352,76 kg, artinya titik impas dicapai pada saat penerimaan Rp 35.275.859 dengan nilai produksi 352,76 kg sedangkan pada perlakuan padat tebar 4600 individu/m2, titik impas dicapai pada saat penerimaan sebesar Rp 28.429.146 dan produksi sebanyak 284,29 kg.
Berdasarkan Tabel 2 diketahui nilai HPP pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 yaitu Rp 162.483, yang artinya agar usaha tidak rugi maka harus menjual cacing sutra dengan harga lebih dari Rp 162.483. Begitu juga dengan perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 yang masing-masing nilai HPPnya yaitu Rp 92.635 dan Rp 40.956 sehingga agar tidak rugi maka harus menjual cacing sutra dengan harga masing-masing lebih dari Rp 92.635 dan Rp 40.956.
Nilai PP pada perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 secara berturut-urut yaitu 4,83 tahun dan 0,27 tahun (3,24 bulan). Berdasarkan nilai PP tersebut dapat diketahui bahwa pengembalian
modal tercepat terdapat pada perlakuan padat tebar 4600 individu/m2. Namun untuk perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 tidak dapat dihitung nilai PP dikarenakan nilai keuntungan usahanya tidak ada (rugi).
3.2 Pembahasan 3.2.1 Kinerja Produksi
Pola pertumbuhan cacing oligochaeta pada setiap perlakuan hampir sama dengan puncak populasi dan biomassa terjadi pada hari ke-40 (Gambar 5 dan 7).
21 Hasil analisis statistik yang dilakukan pada hari ke-40 memperlihatkan bahwa perlakuan padat penebaran yang berbeda memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing oligochaeta (p<0.05). Uji lanjut Tukey memperlihatkan hasil perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 berbeda nyata terhadap perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 sedangkan perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 (Lampiran 7 dan 8). Populasi
dan biomassa tertinggi diperoleh pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 sedangkan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2
mendapatkan hasil terendah. Tingginya jumlah populasi dan biomassa pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 disebabkan jumlah cacing yang ditebar diawal pemeliharaan lebih tinggi sehingga diduga peluang jumlah telur yang dihasilkan juga lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan jumlah populasi dan biomassa yang dihasilkan selama pemeliharaan cacing oligochaeta. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa semakin tinggi padat penebaran maka peluang menghasilkan individu baru juga semakin tinggi.
Hasil penelitian ini jika dibandingkan penelitian sebelumnya yang menggunakan sistem budidaya terbuka dengan penggunaan pupuk kotoran ayam tanpa fermentasi pada padat penebaran 938 individu/m2, populasi tertinggi terjadi pada hari ke-40 sebesar 213.415 individu/m2 dengan biomassa sebesar 292 g/m2 (Febrianti 2004). Fadillah (2004) menggunakan padat penebaran yang sama dengan Febrianti (2004) namun dengan pupuk kotoran ayam yang difermentasi, populasi tertinggi terjadi pada hari ke-40 sebesar 661.477 individu/m2 dengan biomassa sebesar 1.720 g/m2. Penelitian Efiyanti (2003) yang menggunakan cacing sutra dari limbah organik sisa pemanenan dari usaha budidaya cacing sutra dengan perlakuan 500 g, 1000 g, dan 1500 g mendapatkan hasil populasi tertinggi terjadi pada hari ke-20 diperoleh pada perlakuan penebaran 1500 g limbah organik yaitu 174.227 individu/m2, namun biomassa tertinggi diperoleh pada perlakuan 1000 g limbah organik yaitu 468 g/m2. Penelitian Efiyanti (2003) menggunakan asumsi bahwa dalam 500 g limbah organik terdapat 57-60 ekor cacing sutra. Luas wadah budidaya yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu 0,16 m2 sehingga dapat dikatakan jumlah cacing sutra yang ditebar pada penelitian tersebut masing-masing 375 individu/m2, 750 individu/m2, dan
22 1500 individu/m2. Biomassa cacing oligochaeta pada penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian Febrianti (2004), Fadillah (2004), dan Efiyanti (2003) dikarenakan padat penebaran yang digunakan lebih tinggi.
Laju pertumbuhan biomassa tertinggi terjadi pada hari ke-40 pada perlakuan padat tebar 4600 individu/m2 yakni sebesar 55,41 g/m2/hari. Nilai tersebut lebih besar dari penelitian Yuherman (1987) yaitu 32,65 g/m2/hari, Syarif (1988) yaitu 11,67 g/m2/hari, Efiyanti (2003) yaitu 22,103 g/m2/hari, dan Febrianti (2004) yaitu 7,24 g/m2/hari. Hal ini dikarenakan selain peningkatan padat penebaran yang dapat mempertinggi biomassa cacing oligochaeta, pupuk yang digunakan merupakan hasil proses fermentasi yang dapat meningkatkan bahan organik untuk makanan cacing oligochaeta sehingga mempertinggi laju pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta.
Penurunan populasi dan biomassa cacing oligochaeta mulai terjadi pada hari ke-50 dan semakin menurun pada hari ke-60. Hal ini diduga karena cacing dewasa yang telah bereproduksi sudah mencapai umur tua secara biologis sehingga dapat menyebabkan kematian cacing. Hal yang sama pada penelitian Bouguenec dan Giani (1989), pertumbuhan populasi cacing oligochaeta menurun setelah 38 hari pemeliharaan. Hal ini disebabkan kematian pada cacing dewasa. Menurut Bouguenec dan Giani (1989), periode siklus hidup cacing oligochaeta diklasifikasikan sebagai berikut : 1). Periode inkubasi, yaitu antara peletakan kokon sampai menetas. 2). Periode maturasi atau pematangan, yaitu antara penetasan sampai pencapaian pematangan. 3). Periode kokon, yaitu antara pencapaian pematangan dan meletakkan kokon yang pertama. 4). Periode generasi, yaitu periode dari meletakkan kokon yang pertama sampai kokon berikutnya. 5) Periode pelepasan, yaitu dari peletakkan kokon sampai cacing mati. Hari kesepuluh belum memperlihatkan pertumbuhan yang jelas terhadap pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta (Gambar 7). Pada hari ke-20 pertumbuhan biomassa cacing oligochaeta pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 masih belum jelas walaupun cacing tetap tumbuh. Hal yang sama terjadi pada perlakuan 3600 individu/m2. Namun pertumbuhan cacing oligochaeta pada perlakuan 4600 individu/m2 sudah mulai terlihat jelas pada hari ke-20 hingga mencapai puncak pada hari ke-40. Pertumbuhan cacing oligochaeta mulai terjadi pada hari kesepuluh. Hal ini sesuai dengan pendapat Kasiorek (1974)
23 yang menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan selama perkembangan embrio, mulai dari telur hingga cacing muda yang baru keluar dari kepompongnya sekitar 10-12 hari suhu 24 oC. Siklus hidup mulai dari penetasan hingga dewasa dan meletakkan kokonnya yang pertama membutuhkan waktu 40-45 hari, sehingga siklus hidup dari telur menetas hingga menjadi dewasa dan bertelur lagi membutuhkan waktu 50-57 hari.
Di perairan alami, cacing oligochaeta akan hidup mengumpul dalam jumlah yang besar pada tempat yang banyak mengandung makanan (Kasiorek 1974). Jumlah makanan yang dapat dikonsumsi oleh Tubifex sp. dalam waktu satu hari berkisar antara 2 sampai 8 kali lipat dari bobot tubuhnya (Monakov 1972) sedangkan yang diserap oleh usus dapat mencapai 1,5 kali lipat bobot tubuhnya (Kajak et al. 1975). Penggunaan kotoran ayam sebagai media cacing oligochaeta dikarenakan selain mudah didapat, kotoran ayam juga memiliki kandungan hara yang lebih baik dibandingkan pupuk kandang lainnya sedangkan pemberian pupuk tambahan berupa kotoran ayam hasil fermentasi dikarenakan kandungan bahan organik pada kotoran ayam hasil fermentasi lebih tinggi yankni 40,91% dibandingkan kotoran ayam kering yang hanya 39,63% (Lampiran 3).
Penggunaan lumpur halus sebagai substrat budidaya dikarenakan cacing oligochaeta memakan lumpur halus bersama bahan organik dari kotoran ayam dan mencerna bagian yang dapat dicernanya. Proses pengambilan makanan oleh cacing oligochaeta terdiri atas 3 fase, yaitu 1). Menelan partikel bahan organik bersama-sama dengan lumpur, 2). Tetap menelan lumpur tetapi yang kurang berguna dicerna dengan cepat disertai pengurangan intensitas pengambilan makanan, 3). Berhenti menelan lumpur tetapi tetap menelan partikel mineral (Poddubnaya 1961 dalam Monakov 1972). Oleh karena cacing oligochaeta mempunyai ukuran yang sangat kecil maka untuk memudahkan proses pengambilan lumpur oleh cacing sutra digunakan lumpur halus. Selain itu, Marian
dan Pandian (1984) menyatakan bahwa bila dibandingkan pasir kasar (coarse sand), pasir sedang (medium sand), serabut kelapa (coconut mesocarp),
maka pasir halus (fine sand) terutama lumpur halus merupakan jenis terbaik yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan fekunditas cacing oligochaeta.
24 Ketika kepadatan cacing bertambah, maka koloni-koloni cacing akan terbentuk. Pada awal pemeliharaan, koloni-koloni yang berbentuk seperti bola-bola atau gumpalan-gumpalan tersebut masih terlihat kecil. Namun, seiring berjalannya waktu pemeliharaan, koloni-koloni tersebut terlihat semakin membesar. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Marian dan Pandian (1984), yaitu cacing akan berbentuk seperti bola. Ketika panen, ada sekitar 20% cacing yang berada di permukaan substrat sedangkan 80% cacing berada di gumpalan-gumpalan atau bola-bola tersebut. Menurut Davis (1972) dalam Rogaar (1980), aktivitas tubifisid terbatas pada kedalaman 0-7 cm dan pengambilan makanan terjadi pada kedalaman 3-6 cm. Sekitar 90% Tubifex menempati daerah permukaan hingga kedalaman 4 cm dan sekitar 10% terdapat pada kedalaman yang lebih besar dan sedikit sekali ditemukan pada kedalaman lebih dari 10 cm.
Kandungan oksigen terlarut di perairan dapat mempengaruhi reproduksi dan konsumsi. Selama pemeliharaan, nilai oksigen terlarut pada perlakuan A berkisar antara 2,30-3,70 ppm; perlakuan B berkisar antara 2,37-3,57 ppm; dan perlakuan C berkisar antara 2,13-3,63 ppm (Lampiran 9a). Menurut Poddubnaya (1980),
perkembangan embrio normal terjadi pada kisaran konsentrasi oksigen terlarut 2,5-7 ppm. Konsentrasi oksigen terlarut yang lebih rendah dari 2 ppm akan mengurangi nafsu makan (McCall dan Fisher 1980 dalam Marian dan Pandian 1984). Kisaran kandungan oksigen terlarut selama penelitian masih dapat ditoleransi cacing oligochaeta.
Suhu pada saat penelitian masih dalam batas kisaran normal untuk pemeliharaan cacing oligochaeta. Kisaran suhu air selama pemeliharaan cacing oligochaeta yaitu 23,6-26,0 oC (Lampiran 9c). Menurut Kaster (1980), kapasitas reproduksi dari Tubifex tubifex sangat dipengaruhi oleh suhu. Struktur dari
Tubifex tubifex tidak berkembang pada suhu 5 oC, namun pada suhu 15 oC dan 25 oC cacing berkembang menuju kematangan seksual.
Hasil pengamatan terhadap nilai pH diperoleh nilai pH rata-rata berkisar antara 6,33-7,07 (Lampiran 9b). Kisaran pH pada perlakuan A antara 6,40-6,97; perlakuan B antara 6,33-7,07; dan perlakuan C antara 6,47-7,03. Pada nilai tersebut cacing oligochaeta masih dapat tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Witley (1967) yang mengatakan bahwa cacing tubifisid masih
25 dapat melangsungkan hidupnya pada pH air 5,5-7,5 sedangkan pada pH 6,0-9,0 kehidupan cacing mengalami peningkatan.
Secara umum, rata-rata nilai TAN pada perlakuan A berkisar antara 0,40-1,42 ppm, pada perlakuan B berkisar antara 0,27-1,93 ppm, serta pada
perlakuan C berkisar antara 0,33-1,75 ppm (Lampiran 9d). Kandungan TAN pada masing-masing perlakuan masih dapat ditoleransi oleh cacing oligochaeta. Menurut Angel dan Pilar (2004), dosis lethal TAN bagi cacing oligochaeta adalah diatas 3,8 ppm. Pada awal pemeliharaan sampai hari ke-10, kandungan TAN meningkat namun pada hari ke-20, kandungan TAN cenderung menurun sampai akhir pemeliharaan (Gambar 13). Hal ini diduga aktivitas bakteri pengurai dalam menguraikan kotoran ayam dan bahan organik lainnya (lumpur) pada awal pemeliharaan cukup tinggi dikarenakan kandungan N-organik dalam substrat masih tinggi dan pupuk yang digunakan oleh cacing oligochaeta sebagai sumber makanan belum optimal sehingga hasil perombakan oleh bakteri yaitu TAN meningkat. Namun seiring waktu pemeliharaan, kandungan N-organik yang berasal dari substrat dan pupuk semakin berkurang karena meningkatnya konsumsi N-organik oleh cacing oligochaeta. Hal ini disebabkan pertumbuhan cacing oligochaeta semakin meningkat terutama mulai hari 30 sampai hari ke-40. Hal lain yang menyebabkan turunnya kandungan TAN yaitu adanya proses pencucian oleh air yang mengalir setiap saat secara kontinu.
3.2.2 Analisis Usaha
Besarnya nilai keuntungan pada setiap perlakuan ditentukan oleh besarnya nilai penerimaan. Nilai keuntungan diperoleh dari selisih antara penerimaan
dengan biaya total. Nilai keuntungan pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 paling tinggi dibandingkan perlakuan 2600 individu/m2 dan
3600 individu/m2dikarenakan selisih antara penerimaan dengan biaya total juga paling tinggi. Selain itu, nilai keuntungan yang berbeda pada setiap perlakuan juga dipengaruhi oleh biaya variabel yang berbeda pada masing-masing perlakuan. Hal ini dikarenakan jumlah bibit yang ditebar berbeda pada setiap perlakuan.
Analisis R/C digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Menurut Mahyuddin (2007), suatu usaha dikatakan layak jika nilai R/C lebih besar dari 1 (R/C > 1).
26 Nilai R/C diperoleh dari perbandingan antara nilai penerimaan dengan biaya total. Nilai R/C pada perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 bernilai kurang dari 1 dikarenakan nilai penerimaan lebih kecil dari biaya total sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 tidak akan menguntungkan
jika dijadikan usaha. Namun, Nilai R/C pada perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 lebih besar dari 1 dikarenakan nilai
penerimaan lebih besar dari biaya total (Tabel 3) sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan padat penebaran 3600 individu/m2 dan 4600 individu/m2 bisa menguntungkan jika dijadikan sebagai usaha.
BEP (Break Even Point) merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas, yaitu tidak untung dan tidak rugi (Rahardi et al. 1998). Nilai BEPp dan BEPu pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 memperoleh nilai terendah dibandingkan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2.Hal ini dikarenakan nilai penerimaan yang tinggi menyebabkan nilai BEP rendah.
Harga Pokok Produksi (HPP) merupakan nilai atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit produk (Rahardi et al., 1998). HPP diperoleh dari perbandingan antara biaya total dengan jumlah produksi. Perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 memperoleh nilai HPP terkecil dibandingkan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2. Hal ini dikarenakan jumlah produksi pertahun pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 paling tinggi dibandingkan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2. HPP harus lebih rendah dari harga jual
agar dapat memperoleh keuntungan.
Payback period (PP) atau tingkat pengembalian investasi merupakan salah satu metode dalam menilai kelayakan suatu usaha yang digunakan untuk mengukur periode jangka waktu pengembalian modal. Nilai PP pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengembalian modal tercepat terdapat pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2. Hal ini dikarenakan nilai keuntungan pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 lebih tinggi dibandingkan perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2 dan 3600 individu/m2 sedangkan biaya investasi pada setiap perlakuan sama.
27 Dari hasil perhitungan analisis usaha diketahui bahwa perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 merupakan perlakuan yang ideal untuk usaha budidaya cacing oligochaeta baik secara bioteknis maupun bioekonomis. Hal ini dapat dilihat dari besarnya keuntungan, tingginya nilai R/C, rendahnya nilai BEP, kecilnya harga pokok produksi, dan waktu pengembalian investasi yang relatif cepat.
28
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Puncak populasi dan biomassa cacing oligochaeta yang dibudidayakan pada
sistem terbuka yaitu pada hari ke-40. Perlakuan padat penebaran 2600 individu/m2, 3600 individu/m2, dan 4600 individu/m2 memberikan pengaruh
nyata terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing oligochaeta. Produktivitas cacing oligochaeta tertinggi didapat pada perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 dengan jumlah populasi yaitu 447.904 individu/m2 dan biomassa sebesar 2.239,52 g/m2.
Berdasarkan analisis usaha diketahui bahwa perlakuan padat penebaran 4600 individu/m2 merupakan perlakuan yang ideal untuk usaha budidaya cacing oligochaeta dengan nilai keuntungan sebesar Rp 52.892.500; R/C ratio sebesar
2,44; nilai BEPp yaitu Rp 28.429.146; BEPu yaitu 284,29 kg; HPP sebesar Rp 40.956; dan tingkat pengembalian modal (PP) hanya 0,27 tahun atau 3,24
bulan.
4.2 Saran
Budidaya cacing oligochaeta sebaiknya dilakukan pada sistem terbuka dengan padat penebaran 4600 individu/m2 agar produktivitas cacing oligochaeta dapat berkembang baik. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai budidaya cacing oligochaeta dengan dimensi wadah budidaya yang berbeda.
29
DAFTAR PUSTAKA
Ajiningsih DW. 1992. Peranan tinggi substrat terhadap kualitas tubifisid pada ketinggian air budidaya 2 cm. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Angel J dan Pilar R. 2004. Tubifex tubifex chronic toxicity test using artificial
sediment: methodological issues. Limtenica 23: 25-36.
Anonim. 2011a. Penjual cacing sutera di Pandeglang panen. http://www.mediaindonesia.com. [21 Desember 2011].
Anonim. 2011b. Prospek emas budidaya cacing sutra.
http://www.surabayapost.co.id. [21 Desember 2011].
Anonim. 2012. Upah minimum regional (UMR) provinsi Bangka Belitung. http://www.hrcentro.com. [5 Februari 2012].
Bouguenec V dan Giani N. 1989. Biological studies upon Enchytraeus variatus
Bouguenec & Giani 1987 in breeding cultures. Hidrobiologia 180: 151-165. Chumaidi, Zaenuddin, dan Fiastri. 1988. Pengaruh debit air yang
berbeda terhadap biomassa cacing rambut (Tubifisid).
Buletin Perikanan Darat 7: 41-46.
Chumaidi dan Suprapto. 1986. Populasi Tubifex sp. di dalam media campuran kotoran ayam dan lumpur kolam. Buletin Penelitian Perikanan Darat 5: 6 -11.
[DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2010.
Minapolitan Bajolali komitmen kenaikan produksi perikanan
353% pada tahun 2014.
http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id. [20 September 2011].
Efiyanti W. 2003. Pemanfaatan ulang limbah organik usaha cacing sutera. [Skripsi]. Bogor : Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya.
Fadillah R. 2004. Pertumbuhan populasi dan biomassa cacing sutra Limnodrillus
pada media yang dipupuk kotoran ayam hasil fermentasi. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Febrianti D. 2004. Pengaruh pemupukan harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan populasi dan biomassa cacing sutera Limnodrillus. [Skripsi].
30 Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Findy S. 2011. Pengaruh tingkat pemberian kotoran sapi terhadap pertumbuhan biomassa cacing sutra (Tubificidae). [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Grabowski dan Jablonska. 2009. First records of Branchiura sowerbyi Beddard, 1892 (Oligochaeta: Tubificidae) in Greece. Journal compilation 4: 365-367. Hepher B. 1978. Ecological aspects of warm-water fishpond management. Hal
447-468. Dalam Gerging SD. (Ed). Ecology of Freshwater Fish Production Blackwell Sci.Publ., Oxford.
Husnan S dan Suwarsono M. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN.
Isnansetyo A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta : Kanisius.
Kajak Z et al. 1975. Ecosystem of the Nikolaskjkie Lake. The Fate on Organic