• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kondisi Fisik Dasar

1. Geografis

Provinsi Bengkulu terletak antara 101º20' BT - 103º45' BT dan 2º25' LS -5º00' LS dengan batas-batas wilayah :

(a). Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat

(b). Sebelah Timur berbatasan dengan Pegunungan Bukit Barisan (c). Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung (d). Sebelah Barat dengan Samudra Hindia.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian 2. Administrasi

Propinsi Bengkulu yang berada di sebelah barat pegunungan Bukit Barisan dengan luas wilayah sebesar ± 1.978.870 Ha atau 19.788,7 Km2. Wilayah administrasi Propinsi Bengkulu memanjang dari perbatasan Propinsi Sumatera Barat sampai dengan perbatasan Propinsi Lampung yang

jaraknya lebih kurang 567 kilometer. Propinsi Bengkulu berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia pada garis pantai sepanjang lebih kurang 433 kilometer. Bagian Timurnya berbukit-bukit dengan dataran tinggi yang subur, sedang bagian barat merupakan dataran rendah yang relatif sempit, memanjang dari utara ke selatan serta diselingi oleh daerah yang bergelombang.

3. Topografi

Berdasarkan keadaan alam dan letaknya, maka wilayah Propinsi Bengkulu mempunyai ketinggian dari permukaan laut yang berbeda-beda. Ketinggian wilayah Propinsi ini sangat bervariasi mulai dari 0 – 100 m, 100 – 500 m, 500 – 1000 m dan lebih besar 1000 m. Pembagian kelas ketinggian tersebut berdasarkan kondisi geologis Propinsi Bengkulu yang terdiri dari 5 formasi yaitu: Formasi Batuan Andesit, Formasi Telisa Atas, Formasi Telisa Bawah, Formasi Kristalin, Formasi Neogen, Formasi Alluvial.

4. Morfologi

Secara geomorfologi atau bentuk permukaan bumi Propinsi Bengkulu dapat dibedakan menjadi 4 (empat) bagian bentuk daerah yaitu: a). Dataran Pantai

Dataran ini terdapat disepanjang pantai yang membentang dari Muko-muko sampai Padang Guci. Umumnya daerah ini sempit dan terdapat cekungan dan rawa-rawa.

b). Dataran Alluvial

Dataran ini berada memanjang di belakang dataran pantai yang mempunyai lebar berkisar antara 5 – 10 Km. Umumnya daerah ini mempunyai kesuburan tanah yang cukup tinggi.

c). Dataran Lipatan

Daerah ini hampir memanjang sejajar dengan dataran alluvial dengan ketinggian antara 100 – 400 meter diatas permukaan laut. Daerah ini antara lain meliputi Lumbuk Pinang, Beringin Tambun dan Hulu Sungai Ipuh.

d). Daerah Vulkanik

Daerah ini menempati sebagian besar pegunungan Bukit Barisan yang merupakan jalur pegunungan patahan dan kompleks vulkanik dengan pusat erupsi di luar Propinsi Bengkulu.

5. Klimatologi

Iklim di Propinsi Bengkulu ditandai dengan jumlah curah hujan yang cukup tinggi yaitu: rata-rata 100 mm/tahun, dengan rata-rata hari hujan antara 100-250 hari/tahun. Hari hujan rata-rata 20 hari/bulan dengan jumlah hari hujan terendah 18 hari yang terjadi pada bulan Mei dan September, sedangkan hari hujan tertinggi selama 23 hari terjadi pada bulan November dan Desember.

6. Hidrologi

Pada saat ini telah diidentifikasi lebih kurang 22.647 Ha lahan di wilayah Propinsi Bengkulu mengalami erosi yang tersebar pada setiap Kabupaten. Erosi yang cukup besar terjadi di Kabupaten Rejang Lebong. Hilangnya lapisan atas tanah (degradasi) disebabkan antara lain oleh longsoran air hujan, sungai, laut dan angin. Lereng adalah salah satu faktor yang sangat menentukan intensitas erosi disamping kepekaan tanah dengan kandungan pasir, liat debu dan bahan-bahan organik. Selain itu faktor manusia sangat mempengaruhi, dengan adanya perubahan hutan, penggundulan lereng-lereng perbukitan dan aktifitas budidaya lainnya (Dirjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum 2002).

7. Kondisi flora dan fauna a. Flora

Bunga Raflessia Arnoldy

Bunga ini ditemukan pertama kali oleh Sir Thomas Raffles dan Dr. Arnoldy di Dusun Lubuk Tapi pada tahun 1818. Bunga ini adalah bunga terbesar di dunia dengan diameter 100 cm. Bunga ini membutuhkan 6 sampai 8 bulan untuk tumbuh dan 15 hari setelah itu untuk berbunga. Keunikan dari bunga ini adalah tidak adanya akar, daun dan batang.

Tumbuhan ini termasuk parasit kerena tidak adanya klorofil dan haustoria.

Bunga Kibut (Amorphopalus Titanuum)

Bunga ini sangat menarik dan cantik. Tidak memiliki batang dengan tetapi memiliki bunga yang tinggi sekitar 3 m dan kuat. Bunga ini tumbuh di sekitar Rejang Lebong mengelilingi Kepahyang, Bengkulu Utara, dan Bengkulu Selatan.

Anggrek air Vanda Hookeriana

Anggrek air ini hanya terdapat di Danau Dendam Tak Sudah yang terletak sekitar 5 km dari kota Bengkulu. Beberapa macam anggrek liar dan alami lainnya dapat pula ditemukan di Provinsi Bengkulu.

Berbagai macam kekayaan hutan yang dapat ditemukan di Bengkulu seperti Kayu Medang, Meranti, Rattan, Damar. Tanaman lainnya yang dibudidayakan oleh masyarakat adalah minyak sawit, getah karet, kopi, durian, jeruk, sayuran ,dan lainnya.

b. Fauna

Beberapa macam hewan seperti macan, kijang, gajah, monyet, rangkong adalah hewan yang menempati hutan di Provinsi Bengkulu.

8. Tipe hutan

Hutan Lahan Kering Dataran Rendah dan Hutan Lahan Kering Pegunungan yang termasuk ke dalam formasi Hutan Hujan Tropika (Tropical Rain Forest) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: iklim selalu basah dengan tanah yang kering dari berbagai macam jenis tanah, dan kondisi ketinggian yang beragam dari tanah rendah rata atau berbukit (>1000 m dpl) dan pada tanah tinggi (sampai dengan 4000 m dpl).

Kawasan hutan Bengkulu berdasarkan fungsinya relatif sedikit. Fungsi hutan di Provinsi Bengkulu dibagi dalam 3 kelompok besar. Pertama adalah kelompok kawasan suaka alam atau pelestarian alam. Luas kawasan hutan ini mencapai lebih kurang 444,40 ribu hektar atau sebesar 22,45 persen. Sesuai dengan fungsinya, kawasan suaka alam terbagi atas hutan taman nasional dengan luas 405,29 ribu hektar, hutan cagar alam dengan

luas 6,73 ribu hektar, hutan taman wisata alam dengan luas 14,96 ribu hektar, hutan taman hutan raya dengan luas 1,12 ribu hektar, dan hutan taman buru seluas 16,30 ribu hektar.

Kelompok kedua yakni kawasan hutan. Kawasan ini luasnya mencapai 476,57 ribu hektar atau 24,08 persen. Sesuai dengan fungsinya kawasan hutan ini terbagi atas: hutan lindung seluas 251,48 ribu hektar, hutan produksi terbatas seluas 182,21 ribu hektar, hutan produksi tetap seluas 36,01 ribu hektar dan hutan produksi khusus seluas 6,87 ribu hektar (Jawa pos, Bengkulu ekspress 2008)

9. Potensi hutan

Produk utama hutan Provinsi Bengkulu yakni kayu bulat, kayu gergajian, rotan dan damar. Untuk kayu bulat dan gergajian umumnya dihasilkan oleh perusahaan HPH, sedangkan rotan dan damar dihasilkan oleh rumah tangga kehutanan.

Produksi kayu bulat pada tahun 2006 hanya 13,99 ribu meterkubik atau menurun sebesar 53,22 persen dibanding tahun 2005 yang mencapai 29,95 ribu meter kubik. Begitupun dengan produksi kayu gergajian menurun drastis dari sebanyak 23,15 ribu meter kubik pada tahun 2005 menjadi hanya 4,79 ribu meter kubik di tahun 2006 atau menurun sebesar 79,31 persen.

Produksi damar Provinsi Bengkulu pada tahun 2006 diperkirakan hanya mencapai 250 ton menurun 25 persen bila dibanding produksi tahun 2005 yang mencapai 312,50 ton. Hal yang sama juga terjadi pada produksi rotan manau, dan rotan jenis lainnya yang masing-masing mengalami penurunan sebesar 58,12 persen dan 57,32 persen.

Produksi hutan Provinsi Bengkulu yang mengalami kenaikan pada tahun 2006 hanyalah rotan kesur yang meningkat dua kali lipat. Dari 3,5 ribu batang pada tahun 2005 menjadi 7,0 ribu batang di tahun 2006 (Jawa pos, Bengkulu ekspress 2008).

BAB III

METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November sampai Desember 2007. Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu dengan kisaran koordinat 102º 11' 30'' BT ~ 102º 59' 10'' BT dan 3º 16' 40'' LS ~ 4º 13' 40'' LS (Gambar 3 dan 4). Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian pengukuran lapang di Provinsi Bengkulu

Gambar 4 Lokasi pengambilan contoh di Kabupaten Aceh Timur

Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Bengkulu Utara

B. Data, Alat, Perangkat Lunak dan Perangkat Keras 1. Data yang digunakan

Tabel 1 Lembar Citra SPOT 5 yang digunakan dalam Penelitian

No. Scene K/J Tanggal Perekaman

1. 5 274-357 06/10/02 03:28:48 1 T 274-357 2006-10-18 10:32:11 2. 5 275-358 06/04/19 03:20:54 2 T 275-358 2006-09-27 05:29:29 3. 5 261-341/6 05/06/03 04:14:56 1 T 261-341 2006-09-26 03:13:36 Sumber : Jaya et al, 2007

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa perekaman citra SPOT 5 yang digunakan pada penelitian ini direkam pada bulan September dan Oktober (musim penghujan). Oleh karena itu, pada waktu perekaman banyak awan yang menutupi areal yang akan direkam. Sehingga mempengaruhi hasil rekaman citra SPOT 5.

a). Citra satelit SPOT 5 tahun 2006 Histori satelit SPOT

Satellite Pour I’Observation de la Terre (SPOT) adalah satelit milik Perancis yang merupakan satelit sumber daya bumi pertama yang diluncurkan oleh Eropa yang telah meluncurkan 5 satelit sejak tahun 1986. SPOT dikelola oleh Centre National de’Etudes Spatiales (CNES) atau Pusat Nasional Studi Antariksa Perancis yang bekerja sama dengan Belgia dan Swedia. SPOT 1 telah diluncurkan pada tanggal 22 Februari 1986 dan menyusul SPOT 2 yang diluncurkan tanggal 21 Januari 1990. Program SPOT adalah suatu teknik penginderaan jauh yang menggunakan sistem optik, yang mempunyai misi untuk mengindera permukaan bumi.

Karakteristik SPOT 5

Dalam perkembangannya, satelit SPOT terus melakukan perbaikan-perbaikan, hingga diluncurkan satelit SPOT terbaru yang menawarkan tampilan dan inovasi baru yang akan membedakan dengan satelit SPOT sebelumnya. Pada tanggal 4 Mei 2002, satelit tersebut diberi nama SPOT 5 (Educnet Education, 2004). Karaktetistik SPOT 5 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik Citra SPOT 5

Waktu Peluncuran 04-Mei-02

Resolusi Spasial

• Pankromatik : 5 m (2,5 m dalam supermode)

• Multispektral : 10 m (5 m dalam supermode)

Akurasi Alokasi (Location Accuracy) 50 m tanpa titik kontrol Lebar Cakupan Wilayah (Swath) 120 km dalam couple mode Ketinggian pada equator (Altitudes) 822 km

Inklinasi (Inclination) 98,7 derajat

Frekuensi Pengulangan (Revisit Frequency) 5 hari Sumber : Educnet Education, 2004

Gambar 8 Satelit SPOT 5 Sumber : Digital Globe, 2004 Manfaat SPOT

Dari data SPOT dapat diperoleh informasi terestris land use (penggunaan lahan), land cover (tutupan lahan), daerah khusus seperti penggundulan hutan, erosi, daerah urban, perencanaan regional, sumberdaya air, serta akibat dari pekerjaan-pekerjaan utama pada lingkungan seperti tambang dan aplikasi SIG. SPOT 4 memiliki resolusi spasial 10 m x 10 m untuk mode Pankromatik (PAN) dan 20 m x 20 m untuk mode Multispektral (XS). Satelit SPOT mengorbit selaras dengan posisi matahari (sun-synchronous orbit) dengan tinggi 822 km, periode perekaman ulang selama 26 hari dan mempunyai lebar sapuan wilayah (Swath) 60 km ~ 80 km tergantung sudut pencitraannya.

Sensor HRV dapat beroperasi dalam dua mode yaitu dalam cahaya tampak dan sinar infrared (infra merah) dengan pembagian band yaitu :

(1). Mode Pankromatik (PAN) SPOT 4

Mode pankromatik, yaitu mode pengamatan yang dilakukan dengan satu band spektral tunggal. Mode ini memberikan tampilan warna hitam putih dengan resolusi spasial sebesar 10 m x 10 m yang merupakan bagian dari spektrum elektromagnetik dengan kisaran panjang gelombang dari 0,51 µm ~ 0,73 µm. Band ini digunakan untuk aplikasi dengan hasil detail geometrik yang baik. (2). Mode Multispektral (XS) SPOT 4

Mode multispektral, yaitu pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan tiga band yaitu :

a. Band XS1 terdiri dari warna hijau (0,50 ~ 0,59 µm). b. Band XS2 terdiri dari warna merah (0,61 ~ 0,68 µm). c. Band XS3 yang berada pada near infrared (0,79 ~ 0,89 µm).

Dengan mode multispektral dapat dibuat warna komposit yang merupakan penggabungan band-band data yang terekam dalam citra. Resolusi spasial dari mode multispektral adalah 20 m x 20 m.

Kelebihan Citra Satelit SPOT 5

SPOT 5 memiliki beberapa kelebihan antara lain, yaitu:

a. Mengalami pengembangan resolusi, menjadi 2,5 m ~ 5 m ~ 10 m dan merupakan kombinasi citra multi resolusi.

b. Mempunyai akurasi lokasi: 50 m tanpa titik kontrol. c. Cakupan Lahan yang luas, yaitu : 60 ~120 km. d. Kemampuan akuisisi mencapai 50 M km² / thn. e. Standar pengulangan : rata-rata 2,5 ~ 3 hari. b). Citra satelit Quick Bird tahun 2006

Satelit Quickbird diluncurkan pada 18 Oktober 2001 dengan menggunakan roket Delta II dari SLC-2W, Pangkalan Angkatan Udara

Vandenberg, California. Amerika Serikat. Satelit Quickbird memilki dua macam sensor yaitu sensor panchromatic (hitam dan putih) mempunyai resolusi spasial 0,6 m (2-foot) dan sensor multispectral (berwarna) dengan resolusi spasial 2,44 m (8-foot). Tingginya resolusi spasial pada citra ini memberikan keuntungan untuk berbagai aplikasi, terutama yang membutuhkan ketelitian yang tinggi pada skala area yang kecil.

Satelit ini mempunyai orbit polar sun-synchronous, yaitu orbitnya akan melewati tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang sama pula yaitu untuk satu putaran kira-kira 1-3 hari, ini merupakan kemajuan yang sangat hebat dibandingkan berbagai satelit yang diluncurkan tahun 1980-an dan 1990-an. Satelit ini mempunyai berat 2100 pounds dan panjang 3,04 m. Satelit ini merupakan salah satu satelit tercanggih, terbaru dan terbaik karena resolusi spasialnya yang sangat tinggi, dan datanya sudah bisa didapatkan dipasaran secara komersial. Gambar satelit Quickbird dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Satelit Quickbird Sumber : Digital Globe, 2004

Periode orbit dari satelit ini adalah 93,4 menit dengan sudut inklinasi 980 dan ketinggiannya 450 km diatas permukaan bumi. Minimum area yang terliput oleh citra Satelit Quickbird adalah 8 x 8 km2. Karakteristik lebih lanjut dari Satelit Quickbird ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik Satelit Quickbird

Sensor Resolusi Spektral (µm) Resolusi Spasial (µm)

Biru 0,45 ~ 0,50 2,44

Hijau 0,52 ~ 0,60 2,44

Merah 0,63 ~0,69 2,44

Multispektral

IR dekat 0,76 ~ 0,90 2,44

Pankromatik Hitam dan Putih 0,50 ~ 0,90 0,61

Luas Sapuan (Normal Swath Width) 16,5 km pada nadir

Resolusi Temporal 1 – 3,5 hari tergantung latitude Ketinggian (Altitude) 450 km

Resolusi Radiometrik 11 bits per piksel Inklinasi (Inclination) Sun-synchronous, 980 Sumber : Educnet Education, 2004

Aplikasi Quickbird

Citra Quickbird dapat digunakan untuk monitoring potensi hutan, karena citra ini mempunyai resolusinya yang lebih baik. Bandingkan dengan citra satelit SPOT 5 cenderung digunakan untuk pemetaan, interpretasi dan proses penentuan potensi hutan.

c). Data spasial digital

1) Peta dijital administrasi (batas desa dan batas kabupaten) di Provinsi Bengkulu

2) Peta dijital jaringan jalan 3) Peta dijital jaringan sungai

2. Alat yang digunakan selama penelitian diantaranya: a) GPS (Global Positioning System) tipe E-Trex b) Kamera digital

c) Meteran (Phi-band) d) Tali tambang e) Haga meter

3. Perangkat Lunak (Software) a) ERDAS Imagine Ver 8.7 b) ArcView Ver 3.2

c) Spreadsheet MS Excel

C. Metode Penelitian 1. Pengolahan Citra

Sebelum melakukan pengolahan dari citra dijital dan penentuan kelas potensi dari citra dilakukan beberapa tahap sebagai berikut :

a. Rektifikasi (Koreksi geometris)

Sebelum melakukan pengolahan citra tersebut perlu dilakukan pengkoreksian terlebih dahulu, karena masih terdapat kesalahan-kesalahan atau distorsi yang terjadi pada waktu perekaman yang disebabkan oleh faktor-faktor berikut :

1) Rotasi bumi pada waktu perekaman, 2) Pengaruh kelengkungan bumi, 3) Efek pankromatik (sudut pandang), 4) Pengaruh topografi,

5) Pengaruh gravitasi bumi, yang dapat menyebabkan terjadinya degradasi kualitas data atau citra yang diperoleh.

Kegiatan yang dilakukan untuk menghilangkan distorsi tersebut adalah koreksi geometrik (rektifikasi). Rektifikasi merupakan suatu proses melakukan transformasi data dari suatu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik (Jaya 2002a). Kemudian dalam proses tersebut perlu membandingkan 2 citra untuk lokasi tertentu, sehingga dalam meletakkan lokasi-lokasi pengambilan sebelum melakukan klasifikasi bisa ditentukan dan bisa melakukan tumpang susun (overlay) citra dengan data-data spasial lainnya. Sebelumnya dilakukan analisis terlebih dahulu yang memerlukan lokasi geografis dengan presisi yang tepat, disamping itu jika titik kontrol lapangan sudah memenuhi syarat, maka bisa ditentukan resampling dengan menggunakan metode Nearest Neighbour (tetangga terdekat), sehingga bisa ditentukan pendugaan terhadap titik kontrol lapangan yang sudah ditentukan.

Koreksi ini dilakukan untuk memudahkan pengecekan obyek citra di lapangan, memudahkan penggabungan citra dengan sumber data lain agar tidak mengalami distorsi luas sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan piksel demi piksel. Rektifikasi dilakukan melalui dua

macam cara yaitu rektifikasi citra-ke-peta (image-to-map rectification) dan rektifikasi citra-ke-citra (image-to-image rectification) (Jaya 2002). Dalam penelitian ini menggunakan teknik rektifikasi citra-ke-citra (image-to-image rectification).

Rektifikasi dilakukan menggunakan software ERDAS Imagine Ver 8.7, dimana citra Quickbird sebagai master image (citra acuan) dan citra SPOT 5 sebagai citra yang dikoreksi. Kedua citra memiliki koordinat letak yang berbeda, maka WGS (World Geodetic System)nya menjadi WGS 84 dan UTM (Universal Tranverse Mercator) pada zona 47 S, dengan begitu citra tersebut akan memiliki titik koordinat yang sama untuk dikoreksi.

Teknik yang digunakan untuk koreksi geometrik yaitu penggunaan sejumlah teknik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP) pada citra. Secara ringkas, tahapan teknik ini adalah sebagai berikut :

1) Pemilihan GCP pada citra dengan syarat : tersebar merata diseluruh citra, relatif tidak berubah dalam kurun waktu pendek (misal : jalan, jembatan, sudut bangunan dan sebagainya). Jumlah GCP minimum dihitung dengan menggunakan rumus :

GCP min = (t + 1)(t + 2) 2

Keterangan : t = orde dari persamaan transformasi

Pada penelitian ini menggunakan orde I, berikut rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Jaya 2006) :

Orde I disebut juga Affine transformation (diperlukan minimal 3GCP):

2) Perhitungan Root Mean Squared Error (RMSE). Untuk mengetahui besarnya pergeseran citra hasil proses rektifikasi dapat dilihat dari besarnya nilai RMSE. Menurut Smith dan Brown (1997) dalam

Anung (2004) RMSE dalam koreksi geometrik adalah jarak antara koordinat input (source) GCP dengan koordinat GCP yang sama setelah ditransformasi. RMSE yang baik disarankan lebih kecil dari 0,5 piksel, namun jika RMSE lebih besar dari yang diinginkan (misalnya 0,6 piksel) maka perlu dilakukan :

• Penghapusan GCP yang memberikan RMSE terbesar,

• Perhitungan kembali koefisien dan dan RMSE total. Proses ini dilanjutkan sampai dengan RMSE lebih kecil dari yang diinginkan dengan posisi GCP yang tetap menyebar di seluruh citra yang ingin dikoreksi.

Pada penelitian ini digunakan 16 GCP dengan kesalahan (RMSE) sebesar 0,0001 piksel.

b. Cropping (Pemotongan)

Cropping adalah pembatasan citra yang digunakan sesuai dengan lokasi penelitian. Dalam hal ini cropping dilakukan untuk menganalisis dan mengevaluasi suatu lokasi, agar lokasi tersebut sesuai dengan tempat yang sudah ditentukan atau yang akan diamati (Purwadhi, 2001). Cropping merupakan pembatasan atau pemotongan citra yang telah dikoreksi yang digunakan sesuai dengan lokasi pengamatan, citra yang dilakukan pemotongan yaitu citra satelit SPOT 5 multi spektral dan citra satelit SPOT 5 pankromatik.

Gambar 10 Hasil cropping citra SPOT 5 di Provinsi Bengkulu

c. Klasifikasi Tutupan Hutan

Dalam kaitannya dengan proses klasifikasi, maka proses

klasifikasi pada citra satelit yang akan dilakukan adalah sebagai upaya untuk dapat melakukan klasifikasi kondisi tutupan lahan atau kerapatan pohon pada wilayah yang dipetakan. Kegiatan klasifikasi dilakukan dalam rangka membuat sumberdaya hutan sebagai populasi kajian menjadi bagian-bagian homogen (seragam) yang dinamakan stratum. Pada setiap citra tersebut kegiatan klasifikasi dilakukan atas dasar tipe dan potensi tegakan.

Baplan (2001) dalam Jaya et al (2007) membuat sistem klasifikasi penutupan lahan terhadap 23 kelas yang disertai dengan kode strata (layer) dan toponimi. Untuk kelas yang ada di Pulau Sumatera dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Sistem Klasifikasi Penutupan Lahan Tahun 2001 Disertai Kode Layer dan Kode Toponimi Kelas di Pulau Sumatera

No. Kelas Simbol Kode Keterangan

1.

Hutan lahan kering primer dataran rendah

HpDr 20011

Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah (0 – 1200 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan massif. 2. Hutan lahan kering primer pegunungan rendah HpPr 20012

Seluruh kenampakan hutan di wilayah pegunungan rendah (1200 - 1500 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan massif.

3. Hutan lahan kering primer pegunungan tinggi HpPt 20013

Seluruh kenampakan hutan di wilayah pegunungan tinggi (1500 - 3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan massif.

4.

Hutan lahan kering primer sub-alpine

HpSa 20014

Seluruh kenampakan hutan di zone sub-alpine (>3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan massif.

No. Kelas Simbol Kode Keterangan 5. Hutan lahan

kering sekunder dataran rendah

HsDr 20021 Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah (0 – 1200 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukkan dalam lahan terbuka.

6. Hutan lahan kering sekunder pegunungan rendah HsPr 20022

Seluruh kenampakan hutan di wilayah pegunungan rendah (1200 – 1500 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan / atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.

7. Hutan lahan kering sekunder pegunungan tinggi HsPt 20023

Seluruh kenampakan hutan di wilayah pegunungan tinggi (1500 – 3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan. atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka

8.

Hutan lahan kering sekunder sub-alpine

HsSa 20024

Seluruh kenampakan hutan di zone sub-alpine (>3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.

9. Hutan rawa

primer Hrp 2005

Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa-rawa,termasuk rawa gambut yang belum menampakan tanda penebangan.

10. Hutan rawa

sekunder Hrs 20051

Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa yang telah menampakkan bekas penebangan. Bekas penebangan yang parah jika tidak memperlihatkan liputan air digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan liputan air digolongkan menjadi tubuh air (rawa).

No. Kelas Simbol Kode Keterangan 11. Hutan mangrove

primer Hmp 2004

Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai yang belum ditebang.

12. Hutan mangrove

sekunder Hms 20041

Hutan bakau, nipah dan nibung yang telah ditebang) yang ditampakan dengan pole alur di dalamnya. Khusus untuk areal bekas tebangan yang telah dijadikan tambak/sawah (tampak pola persegi pematang) dimasukan dalam kelas tambak/sawah (tampak pole persegi/pematang) dimasukan dalam kelas tambak /sawah.

13. Semak/belukar B 2007

Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali, didominasi vegetasi rendah dan tidak menampakkan lagi bekas alur/ bercak penebangan. 14. Semak/belukar

rawa Br 20071

Semak / belukar dari bekas hutan di daerah rawa.

15. Savanna S 3000

Kenampakan non hutan alami berupa padang rumput dengan sedikit pohon. (Kenampakan alami daerah Nusa Tenggara Timur dan pantai selatan Irian Jaya).

16. HTI Ht 2006

Seluruh kawasan HTI baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Identifikasi lokasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran HTI.

17. Perkebunan Pk 2010

Seluruh kawasan perkebunan, baik yang

Dokumen terkait