• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENDUGA POTENSI TEGAKAN HUTAN LAHAN KERING MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE DAN QUICKBIRD HERU SANTOSO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL PENDUGA POTENSI TEGAKAN HUTAN LAHAN KERING MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE DAN QUICKBIRD HERU SANTOSO"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENDUGA POTENSI TEGAKAN HUTAN LAHAN KERING MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE DAN QUICKBIRD

HERU SANTOSO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MODEL PENDUGA POTENSI TEGAKAN HUTAN LAHAN KERING MENGGUNAKAN CITRA SPOT 5 SUPERMODE DAN QUICKBIRD

HERU SANTOSO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(3)

SUMMARY

HERU SANTOSO. E14103030. Stand Potency Estimation Model in Dry Land Forest Using SPOT 5 Supermode and Quickbird Image. Supervised by Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr.

Nowadays, remote sensing technology had been widely used in forestry sector. Since the advent of high resolution satellite imageries having spatial resolution less than 5 m x 5 m such as Quickbird, Ikonos and SPOT 5 Supermode, the use of remote sensing technology had been intensively examined to estimate forest potency. Commonly, forest potency is estimated using either terrestrial, remote sensing or combination of those both methods. Terrestrial inventory had been proven to give more accurate and precise result, but this method is only appropriate for inventory in small scale areas. However, if the area to be inventoried is scaled up, the combination between terrestrial and remote sensing techniques will be more promising. This study examined the method that combines between terrestrial and remote sensing technology hoping to obtain adequate estimation accuracy (i.e. lower sampling error) and cheaper cost. This study was done in dry land forest located in North Bengkulu and South Bengkulu regencies using SPOT 5 Supermode and Quickbird imageries.

Study phases consisted of data collection, images pre-processing (rectification, cropping), images interpretation, sampling design, ground survey, model evaluation, model selection, double sampling application, efficiency evaluation, and monogram establishment.

Based on the field measurement results, crown closure percentage is ranging between 11% and 63%, diameter crown average is between 4,521 m and 8,125 m and tree height average is between 11,031 m and 23,609 m. Meanwhile, image interpretation using SPOT 5 provides crown closure ranging from 18,75% to 71,875% and crown diameter ranging from 5,573 m to 8,065 m.

This study shows that there is a good consistency between the measurement of crown closure in the image and crown closure in the field, having coefficient of determination of 93,63% (p = 6,33x10-25). The regression formula expressing the relationship between Cspot and Clap variables is Clap = 1,0077Cs – 6,8287. The study noticed that less consistence was found between Dspot and Dlap (R = 27,23%). We found that there are difficulties to delineate the edge of clumped trees crowns either on primary or secondary dry land forests. The A and B stories (the upper and upper-most canopy layers) at dry land forest are usually overlapped each other.

The study results show that the best model for estimating stand volume of dry land forest is Vbc = 0,0192Cs2 – 0,8331Cs + 16,963 having coefficient of determination of 60,93%. Since there is no good consistenty measurement of Dspot, the study does not recommend to use Dspot variables for estimating stand volume.

Based on relative efficiency analysis, this study shows that double sampling technique using SPOT 5 Supermode could estimate stand volume in efficient way with relative efficiency of 215,57%. Using this technique the sampling error provided is approximately 9,78%. The double sampling technique examined in this study provides stand volume estimation of approximately 221,127 m3/Ha.

Additional examination performed in this study also shows that Quickbird image is highly potential to be used for estimating stand volume, where there is a good consistency between measurement of Cspot and Cquickbird.

(4)

RINGKASAN

HERU SANTOSO. E14103030. Model Penduga Potensi Tegakan Hutan Lahan Kering Menggunakan Citra Spot 5 Supermode Dan Quickbird. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr.

Saat ini, teknologi penginderaan jauh telah banyak digunakan dibidang kehutanan. Sejak hadirnya citra satelit resolusi tinggi yang memiliki resolusi spasial kurang dari 5 m x 5 m seperti Quickbird, Ikonos, dan SPOT 5 Supermode, penggunaan teknologi penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan untuk pendugaan potensi tegakan hutan. Pada umumnya, pendugaan potensi hutan menggunakan metode terestris, penginderaan jauh, maupun kombinasi dari kedua metode tersebut. Inventarisasi dengan metode terestris telah terbukti memberikan hasil yang lebih akurat dan cermat, walaupun metode ini hanya cocok untuk inventarisasi pada area yang berukuran kecil. Akan tetapi jika area yang akan diinventarisasi lebih besar, metode kombinasi antara metode terestris dan pengideraan jauh akan menjadi pilihan yang lebih baik. Pada penelitian ini digunakan metode kombinasi antara metode terestris dan penginderaan jauh dengan harapan agar mendapatkan hasil pendugaan potensi yang memadai (kesalahan sampling yang kecil) dan biaya yang lebih murah. Penelitian ini dilakukan pada hutan lahan kering di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan menggunakan citra SPOT 5 Supermode dan Quickbird.

Tahapan penelitian ini meliputi pengumpulan data, pengolahan awal citra (rektifikasi, penyekatan), interpretasi citra, penyusunan rancangan pengambilan contoh, survey lapangan, pengujian model, pemilihan model, aplikasi penarikan contoh berganda, evaluasi efisiensi relatif, dan pembuatan monogram.

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, persentase penutupan tajuk berkisar antara 11% dan 63%, rata-rata diameter tajuk berkisar antara 4,521 m dan 8,125 m serta rata-rata tinggi pohon berkisar antara 11,031 m dan 23,609 m. Sedangkan hasil intrepretasi citra dengan menggunakan SPOT 5 didapatkan kisaran penutupan tajuk sebesar 18,75% dan 71,875% dan kisaran diameter tajuk sebesar 5,573 m dan 8,065 m.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ada konsistensi yang baik antara hasil pengukuran penutupan tajuk pada citra dan lapangan dengan koefisien determinasi sebesar 93,63% (p= 6,33x10-25). Bentuk persamaan regresi yang menunjukkan hubungan antara variable Cspot dan Clap adalah Clap = 1,0077Cs - 6,8287. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara hasil pengukuran variable Dspot dan Dlap kurang konsisten dengan koefisien determinasi hanya sebesar 27,23%. Peneliti mendapatkan kesulitan untuk mendeliniasi batas antar tajuk pohon yang bergerombol baik pada hutan lahan kering primer maupun sekunder. Selain itu, pada hutan lahan kering Tajuk-tajuk pohon strata A dan B (dibagian teratas dan paling atas dari tutupan tajuk) umumnya saling overlap antar satu dengan lainnya, sehingga sulit mendapatkan ukuran diameter secara tepat.

Penelitian ini menunjukkan bahwa model terbaik untuk pendugaan volume tegakan pada hutan lahan kering adalah Vbc = 0,0192Cs2 - 0,8331Cs + 16,963 dengan koefisien determinasi sebesar 60,93%. Oleh karena tidak terdapat konsistensi pada hasil pengukuran dari variabel Dspot, penelitian ini menyarankan untuk tidak menggunakan variable Dspot untuk pendugaan volume tegakan.

Berdasarkan analisis efisiensi relatif, penelitian ini menunjukkan bahwa teknik penarikan contoh berganda menggunakan citra SPOT 5 Supermode bisa digunakan untuk menduga volume tegakan dengan efisiensi relatif sebesar 215,57%, dengan kesalahan penarikan contoh sekitar 9,78%. Teknik pengambilan contoh berganda pada penelitian ini volume tegakan dugaannya adalah sebesar 221,127 m3/Ha.

Pengujian tambahan pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa citra Quickbird sangat potensial untuk digunakan pada pendugaan volume tegakan, dimana didapatkan konsistensi yang baik antara pengukuran dari Cspot dan Cquickbird.

(5)

Judul Penelitian : Model Penduga Potensi Tegakan Hutan Lahan Kering Menggunakan Citra SPOT 5 Supermode dan Quickbird

Nama : Heru Santoso

NRP : E 14103030

Departemen : Manajemen Hutan

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr NIP. 131 578 785

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 131 578 788

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Model Penduga Potensi Tegakan Hutan Lahan Kering Menggunakan Citra SPOT 5 Supermode dan Quickbird adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai skripsi pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disenutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2008

Heru Santoso NRP E14103030

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Model Penduga Potensi Tegakan Hutan Lahan Kering Menggunakan Citra SPOT 5 Supermode dan Quickbird.

Skripsi ini merupakan hasil pembahasan secara ilmiah terhadap perkembangan teknologi penginderaan jauh yang diharapkan berguna dalam pemanfaatannya di dunia kehutanan masa kini dan masa yang akan datang. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan. Semoga skripsi ini dapat menjadi salah satu bagian dari ilmu pengetahuan yang dapat berguna bagi kita semua.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi menjadikan skripsi ini lebih baik dan bermanfaat bagi siapapun terutama bagi yang menggunakan.

.

Bogor, Mei 2008

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pemalang, Jawa Tengah pada tanggal 17 November 1984 sebagai anak ke ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Subechi dan Listyani Widyowati. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1989 di TK Batik Purwoharjo Comal selama 2 tahun. Tahun 1991, penulis melanjutkan pendidikan dasar di SDN Purwoharjo 1 Comal selama 6 tahun. Pada tahun 1997, penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Comal dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama, penulis memasuki SMUN 1 Comal hingga tamat pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun ketiga pendidikan di IPB, penulis memilih Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan, Laboratorium fisik remote sensing dan GIS.

Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan, penulis aktif dalam Himpunan Profesi Departemen Manajemen Hutan (FMSC) periode 2004 ~ 2005 dan 2005 ~ 2006, melaksanakan Praktik Umum Kehutanan (PUK) di Jawa Barat, jalur Sancang - Kamojang dan Praktik Pengelolaan Hutan (P2H) di KPH Garut. Pada bulan Februari hingga April 2007, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di HPHTI PT. Sari Bumi Kusuma, Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyusun skripsi dengan judul Model Penduga Potensi Tegakan Hutan Lahan Kering Menggunakan Citra SPOT 5 Supermode dan Quickbird dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr.

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji hanyalah milik Allah SWT karena hanya dengan kasih sayangnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Model Penduga Potensi Hutan Lahan Kering Menggunakan Citra SPOT 5 Supermode dan Quickbird.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak, Ibu dan kakak-kakakku tercinta yang tiada henti-hentinya memberikan doa, semangat, dukungan dan kasih sayangnya sampai menyelesaikan program sarjana ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir I Nengah Surati Jaya, M.Agr selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan segala kesabaran, perhatian, waktu, dan tenaga, serta pikiran dalam memberikan arahan dan bimbingan serta masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS wakil dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Dr. Ir. Agus Priyono Kartono MSi wakil dari Departemen KSHE yang telah bersedia untuk menguji penulis.

4. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan beserta staf atas bantuannya selama mengambil data di lapangan.

5. Pak Uus, Mas Edwin, Om Syamsuri, Mba Desi, Heri'36 atas bantuannya selama menyelesaikan skripsi.

6. Teman satu bimbingan (Aan, Arfan, dan Iskandar) atas semangat, doa dan bantuan selama penelitian.

7. Ahma dan sekeluarga yang selalu mengerti dan memahami penulis.

8. Teman-teman Manajemen Hutan angkatan 40, Shinta (terima kasih atas pinjaman printer), Fheny, Vivi, Vita, Melda, Ana, Faery, Anggit, Yandi, Zae dan semuanya atas semangat, doa dan kebersamaannya selama kuliah semoga tetap terjalin selamanya.

9. ForsGe fancier club (Adil, Adit, Asep, Heri, Dega, Bety dan semua teman-teman satu laboratorium) atas bantuan, semangat, doa dan kebersamaannya. 10. Pondok Perjuangan (Mamang, Bibi, Pak Dhe Heru, Ata, Cepi, Tri, Cecep) atas

(10)

11. Teman-teman angkatan 40 se-Fahutan atas semangat, doa dan kekeluargaannya selama kuliah semoga tetap terjalin selamanya.

12. Teman-teman MNH’41 (Risky, Nanik, Nur, Nyoti dan all) atas bantuan, semangat, dan doanya.

13. Teman-teman MNH’42 atas bantuan, semangat, dan doanya.

14. Kepada penyelenggara program beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) atas bantuan beasiswanya.

15. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut memberikan sumbangsihnya yang tak ternilai dalam pelaksanaan penelitian ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari sepenuhya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis akan bersikap terbuka dalam menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang bersifat membangun kearah yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi semua pihak yang membutuhkan literature ini pada umumnya.

Bogor, Mei 2008

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan penelitian ... 3

C. Manfaat Penelitian ... 3

II. KONDISI UMUM A. Kondisi Fisik Dasar ... 4

1. Geografis... 4 2. Administrasi ... 4 3. Topografi... 5 4. Morfologi ... 5 5. Klimatologi ... 6 6. Hidrologi ... 6

7. Kondisi flora dan fauna... 6

a. flora ... 6

b. fauna... 7

8. Tipe hutan ... 7

9. Potensi hutan ... 8

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ... 9

B. Data, Alat, Perangkat Lunak dan Perangkat Keras ... 13

C. Metode Penelitian ... 18

1. Pengolahan Citra ... 18

a. Rektifikasi (Koreksi geometris)... 18

(12)

c. Klasifikasi Tutupan Hutan... 22

2. Desain sampling ... 26

3. Pengukuran Potensi Tegakan Pada Citra ... 26

4. Pengukuran Potensi Tegakan di Lapangan ... 28

5. Pembangunan Model ... 34

a. Pengujian Konsistensi ... 36

b. Pengujian Model... 37

c. Pemilihan Model... 39

6. Aplikasi Double Sampling ... 39

7. Evaluasi Efisien Relatif ... 45

8. Monogram... 46

9. Pembuatan profil tegakan ... 46

10. Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perbandingan hasil pengukuran peubah tegakan di lapangan dan pada citra satelit Spot 5 ... 48

B. Hubungan antara hasil pengukuran dilapangan dengan pengukuran pada citra SPOT 5 Supermode untuk menentukan model penduga potensi tegakan ... 51

1. Hubungan antara hasil penafsiran persen tutupan tajuk pada citra SPOT pankromatik hitam putih (Cs) dengan hasil pengukuran persen tutupan tajuk di lapangan (Clap) ... 51

2. Hubungan antara hasil penafsiran Rata-rata Diameter Tajuk pada citra SPOT pankromatik hitam putih (Dsp) dengan hasil pengukuran Rata-rata Diameter Tajuk di lapangan (Dlap) ... 53

3. Model penduga volume bebas cabang (Vbc) menggunakan peubah-peubah tegakan yang diukur di lapangan (persen tutupan tajuk/ Clap; Rata-rata Diameter tajuk/ Dlap; dan Rata-rata Tinggi Total Pohon/ Tlap)... 54

4. Model penduga volume bebas cabang (Vbc) menggunakan peubah-peubah tegakan yang diukur pada citra SPOT 5 Supermode (persen tutupan tajuk/ Cspot, Rata-rata Diameter tajuk/ Dspot)... 57

C. Penyusunan Tabel Volume Tegakan Berdasarkan Model Penduga Terpilih ... 59

(13)

D. Analisis Konsistensi Hasil Pengukuran Dimensi Tegakan

Pada Citra SPOT 5 dan Citra Quickbird... 60

E. Penentuan Volume Tegakan dengan Menggunakan Tehnik Double sampling ... 65

F. Alokasi optimum jumlah plot dan Efisien Relatif ... 65

G. Evalusi jenis-jenis kayu komersil dan non-komersil... 66

H. Monogram... 67

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ... 4

2. Peta Lokasi Penelitian Pengukuran Lapang di Provinsi Bengkulu... 9

3. Lokasi penelitian di Kabupaten Aceh Timur menggunakan SPOT 5 ... 10

4. Lokasi Pengambilan contoh di Kabupaten Aceh Timur... 11

5. Lokasi penelitian di Kabupaten Aceh Timur menggunakan Quickbird ... 11

6. Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Bengkulu Utara ... 12

7. Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Bengkulu Selatan... 12

8. Satelit SPOT 5... 14

9. Satelit Quickbird ... 16

10. Hasil cropping citra SPOT 5 di Provinsi Bengkulu ... 21

11. Hasil cropping citra SPOT 5 di Kabupaten Aceh Timur... 21

12. Contoh pengukuran C pada citra... 27

13. Letak Unit Contoh dalam Klaster pada 1 (satu) Lokasi Training Area... 29

14. Posisi Pengukuran Diameter Pohon Setinggi Dada (dbh) ... 30

15. Cara Pengukuran Tajuk ... 30

16. Diagram alir penelitian ... 47

17. Diagram pencar hasil pengukuran persen tutupan tajuk pada Citra SPOT 5 (Cspot) dan lapangan (Clap) ... 51

18. Diagram pencar hasil pengukuran rata-rata diameter tajuk pada Citra SPOT 5 (Dspot) dan lapangan (Dlap)... 53

19. Diagram pencar hasil pengukuran volume bebas cabang di lapangan (Vbc) dengan persen penutupan tajuk hasil pengukuran di lapangan (Clap)... 54

20. Diagram pencar hasil pengukuran volume bebas cabang di lapangan (Vbc) dengan rata-rata diameter tajuk di hasil pengukuran lapangan (Dlap)... 55

(15)

21. Diagram pencar hasil pengukuran volume bebas cabang di lapangan (Vbc) dengan rata-rata tinggi total pohon hasil

pengukuran di lapangan (Tlap) ... 55

22. Diagram pencar hubungan antara hasil pengukuran volume bebas cabang di lapangan (Vbc) dengan hasil pengukuran persen penutupan tajuk pada Citra SPOT 5 Supermode (Cspot)... 57

23. Diagram pencar hubungan antara hasil pengukuran volume bebas cabang di lapangan (Vbc) dengan hasil pengukuran rata-rata diameter tajuk pada Citra SPOT 5 Supermode (Dspot) ... 58

24. Diagram pencar hubungan antara hasil pengukuran persen tutupan tajuk pada Citra SPOT pankromatik (Cs) dan Citra Quickbird (Cq) pada hutan lahan kering ... 60

25. Diagram pencar hubungan antara hasil pengukuran rata-rata diameter tajuk pada Citra SPOT pankromatik (Ds) dan Citra Quickbird (Dq) pada hutan lahan kering ... 61

26. Diagram pencar hubungan antara hasil perhitungan jumlah Pohon pada Citra SPOT pankromatik (Ns) dan Citra Quickbird (Nq) pada hutan lahan kering... 61

27. Monogram Citra SPOT 5 C1D1... 68

28. Monogram Citra SPOT 5 C2D1... 68

29. Monogram Citra SPOT 5 C3D1... 69

30. Monogram Citra SPOT 5 C4D1... 69

31. Monogram kelas potensi pada citra Quickbird (a, c, e) dan SPOT 5 (b, d, f) di Kabupaten Aceh Timur... 70

(16)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Lembar Citra SPOT 5 yang digunakan dalam Penelitian... 13

2. Karakteristik Citra SPOT 5... 14

3. Karakteristik Satelit Quickbird ... 17

4. Sistem Klasifikasi Penutupan Lahan Tahun 2001 Disertai Kode Layer dan Kode Toponimi Kelas di Pulau Sumatera... 22

5. Kelas potensi tegakan ... 28

6. Beberapa model penduga volume tegakan menggunakan peubah potret udara ... 36

7. Analisis ragam regresi linier sederhana... 38

8. Uji t... 38

9. Data hasil pengukuran di lapangan dan interpretasi Citra SPOT 5 Supermode pada hutan lahan kering ... 47

10. Hasil uji Z antara nilai persentase Clap dan Cspot ... 49

11. Hasil uji Z antara nilai persentase Dlap dan Dspot ... 49

12. Volume Tegakan (m3/ha) Hutan Lahan Kering antara Volume lapangan dan Volume Dugaan melalui Citra SPOT 5 (Vbc = 0,0192Cs2 – 0,833Cs + 16,963) ... 50

13. Hasil uji Z antara nilai persentase Vbc_lap dan Vbc_spot ... 51

14. Hasil analisis statistik regresi hubungan antara Cspot dan Clap... 52

15. Hasil analisis statistik regresi hubungan antara Dspot dan Dlap ... 53

16. Hasil analisis statistik regresi hubungan antara Vbc_lap dengan Clap, Dlap dan Tlap pada Hutan Lahan Kering... 56

17. Hasil analisis statistik regresi hubungan antara Vbc_lap dengan Cspot, dan Dspot pada Hutan Lahan Kering ... 59

18. Volume Tabel Tegakan (m3/Ha) Hutan Lahan Kering Diduga Melalui Citra SPOT 5 Pankromatik (V = 0,0192Cs2 – 0,8331Cs + 16,963) ... 59

19. Penyebaran dan Koefisien Diterminasi Data Peubah Citra Pada Hutan Lahan Kering ... 62

20. Data Statistik C Quickbird dan C SPOT 5 pada Hutan Lahan Kering (Cq = 0,7942Cs + 19,889)... 62

21. Data Statistik D Quickbird dan D SPOT 5 pada Hutan Lahan Kering (Dq = 0,2869Ds + 5,7773) ... 63

(17)

22. Data Statistik N Quickbird dan N SPOT 5 pada Hutan Lahan

Kering (Nq = 0,3536Ns + 12,524) ... 63 23. Volume Tegakan (m3/ha) Hutan Lahan Kering diduga Melalui

Citra Quickbird dan Spot 5 Multispektral (V = 0,7924Cs +

19,884)... 64 24. Hasil uji Z antara nilai persentase Vbc_quickbird dan Vbc_spot... 65 25. Volume Kelompok Kayu Jenis Komersil Dan Non Komersil... 67

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data lapangan... 75

2. Hasil interpretasi Citra SPOT 5 ... 84

3. Double sampling dan efisiensi relatif ... 88

4. Nama jenis pohon... 91

5. Data Aceh ... 96

(19)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya hutan yang sangat besar dengan keanekaragaman hayati yang melimpah. Berbagai manfaat dan keuntungan diperoleh dari hutan melalui pengelolaan dan pemanfaatan yang tepat. Agar pemanfaatan hutan dapat dilakukan dengan benar maka pengelola harus mengetahui terlebih dahulu karakteristik hutannya sehingga dapat memilih sistem silvikultur yang sesuai dengan keadaan hutan tersebut.

Rencana pengelolaan hutan yang terarah dan realitas sangat diperlukan untuk menyusun strategi pengelolaan hutan yang diinginkan. Rencana tersebut hanya dapat disusun apabila ditunjang oleh hasil inventarisasi hutan berupa data dan informasi obyektif, mengenai potensi hutan yang akan dikelola serta pengetahuan mengenai dinamika pertumbuhan tegakan (Osmaton 1968).

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan inventarisasi kondisi hutan, baik dilihat dari kondisi fisik secara keseluruhan maupun kondisi pohon secara individu. Hal ini penting guna menjaga kelestarian hutan. Inventarisasi hutan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan melakukan pendataan tegakan pohon. Data volume tegakan ini biasanya diperoleh melalui kegiatan survei langsung di lapangan (terestris/survei). Walaupun hasilnya cukup akurat, namun cara ini membutuhkan waktu, biaya dan sumber daya yang tidak sedikit.

Cara lain yang cukup efektif untuk inventarisasi hutan adalah dengan metode penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk memperoleh data tanpa harus mendatangi lokasi yang diamati sehingga sangat efisien. Pada kondisi areal dengan aksesibilitas rendah dan sulit dicapai, penggunaan teknologi penginderaan jauh sangat menguntungkan. Akan tetapi inventarisasi hutan dengan hanya menggunakan penginderaan jauh umumnya memberikan hasil dengan kesalahan sampling yang relatif tinggi. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan metode gabungan yaitu metode inderaja (remote sensing) dan metode terestris, yaitu menggunakan metode tehnik pengambilan contoh berganda (double sampling).

(20)

Metode pengambilan contoh berganda merupakan suatu metode yang menggunakan perluasan hubungan antara peubah bebas dan tak bebas, dengan tujuan untuk memperbaiki efisiensi untuk menduga peubah tak bebas (Darmawangsa 1975 dalam Jaya 2006). Metode pengambilan contoh berganda sering dilakukan karena pengukuran peubah tidak bebas (dalam hal ini adalah volume tegakan) membutuhkan pengorbanan yang cukup besar (biaya, waktu dan atau tenaga) dibandingkan dengan pengukuran peubah bebas (diameter tajuk, tinggi pohon, jumlah pohon dan atau persentase penutupan tajuk) pada potret udara atau citra satelit. Karenanya maka pengumpulan data di lapangan dilakukan pada sejumlah kecil unit contoh (m) dan merupakan bagian dari sejumlah satuan contoh di citra satelit (n).

Alasan menggunakan metoda ini antara lain karena dalam penyusunan model, diperlukan keterwakilan contoh yang memenuhi persyaratan tertentu, yaitu unit penyusun model harus mewakili semua karakteristik yang dijumpai dalam populasi, antara lain kerapatan tegakan pada tipe-tipe vegetasi yang ada, kelas kerapatan tajuk dan kelas diameter tajuk yang dijumpai dalam populasi. Sedang untuk pendugaan potensi tegakan, diusahakan meminimalkan kegiatan lapangan yang akan memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Faktor ketelitian dapat ditingkatkan dengan memperbanyak pengukuran unit contoh pada tingkatan pengukuran pada citra resolusi tinggi.

Dengan metoda pengambilan contoh berganda, dalam penyusunan model, semua karakteristik tegakan yang ada dapat didesain keterwakilannya dengan pasti, sehingga model yang dihasilkan dapat digunakan secara menyeluruh untuk menduga potensi atas dasar peubah-peubah karakteristik tegakan penyusun model tersebut. Dalam pendugaan potensi akan dapat mengurangi kebutuhan biaya, tenaga dan waktu yang diperlukan, serta informasi yang dibutuhkan dapat cepat diperoleh dan lebih akurat.

Agar data hasil inventarisasi hutan dapat tersimpan dan dikelola secara terstruktur maka diperlukan adanya suatu basis data. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu teknologi yang dapat mendukung pengelolaan hutan yang mempunyai kemampuan menyimpan dan mengelola basis data. SIG bukanlah suatu sistem yang semata-mata berfungsi membuat peta, tetapi

(21)

merupakan alat analitik (analysical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat dan teliti (Jaya 2002). Pada bidang kehutanan, SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk memecahkan permasalahan keruangan, mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan (Jaya 2002).

B. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah:

1. Menyusun model penduga potensi hutan menggunakan peubah yang diukur pada citra satelit resolusi tinggi SPOT 5 Supermode dan Quickbird. 2. Mengevaluasi efisiensi relatif dari metode pengambilan contoh berganda

menggunakan citra SPOT 5 supermode. Tujuan tambahannya adalah untuk :

1. Menentukan peubah-peubah tegakan pada citra yang dapat digunakan untuk menduga potensi.

2. Menduga potensi tegakan.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menduga potensi tegakan secara cepat dan murah, khususnya untuk tipe dan kondisi hutan yang relatif sama dengan lokasi penelitian;

2. Sebagai alat bantu dalam menduga parameter tegakan hutan (rata-rata potensi dan ragam) secara cepat, sehingga dapat digunakan sebagai alat pengambil keputusan secara cepat;

3. Sebagai alat yang pendukung kegiatan perencanaan hutan, terutama pengelolaan lahan hutan bekas tebangan, perencanaan pemanenan kayu dan penanaman kembali lahan hutan bekas tebangan.

(22)

BAB II KONDISI UMUM A. Kondisi Fisik Dasar

1. Geografis

Provinsi Bengkulu terletak antara 101º20' BT - 103º45' BT dan 2º25' LS -5º00' LS dengan batas-batas wilayah :

(a). Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat

(b). Sebelah Timur berbatasan dengan Pegunungan Bukit Barisan (c). Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung (d). Sebelah Barat dengan Samudra Hindia.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian 2. Administrasi

Propinsi Bengkulu yang berada di sebelah barat pegunungan Bukit Barisan dengan luas wilayah sebesar ± 1.978.870 Ha atau 19.788,7 Km2. Wilayah administrasi Propinsi Bengkulu memanjang dari perbatasan Propinsi Sumatera Barat sampai dengan perbatasan Propinsi Lampung yang

(23)

jaraknya lebih kurang 567 kilometer. Propinsi Bengkulu berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia pada garis pantai sepanjang lebih kurang 433 kilometer. Bagian Timurnya berbukit-bukit dengan dataran tinggi yang subur, sedang bagian barat merupakan dataran rendah yang relatif sempit, memanjang dari utara ke selatan serta diselingi oleh daerah yang bergelombang.

3. Topografi

Berdasarkan keadaan alam dan letaknya, maka wilayah Propinsi Bengkulu mempunyai ketinggian dari permukaan laut yang berbeda-beda. Ketinggian wilayah Propinsi ini sangat bervariasi mulai dari 0 – 100 m, 100 – 500 m, 500 – 1000 m dan lebih besar 1000 m. Pembagian kelas ketinggian tersebut berdasarkan kondisi geologis Propinsi Bengkulu yang terdiri dari 5 formasi yaitu: Formasi Batuan Andesit, Formasi Telisa Atas, Formasi Telisa Bawah, Formasi Kristalin, Formasi Neogen, Formasi Alluvial.

4. Morfologi

Secara geomorfologi atau bentuk permukaan bumi Propinsi Bengkulu dapat dibedakan menjadi 4 (empat) bagian bentuk daerah yaitu: a). Dataran Pantai

Dataran ini terdapat disepanjang pantai yang membentang dari Muko-muko sampai Padang Guci. Umumnya daerah ini sempit dan terdapat cekungan dan rawa-rawa.

b). Dataran Alluvial

Dataran ini berada memanjang di belakang dataran pantai yang mempunyai lebar berkisar antara 5 – 10 Km. Umumnya daerah ini mempunyai kesuburan tanah yang cukup tinggi.

c). Dataran Lipatan

Daerah ini hampir memanjang sejajar dengan dataran alluvial dengan ketinggian antara 100 – 400 meter diatas permukaan laut. Daerah ini antara lain meliputi Lumbuk Pinang, Beringin Tambun dan Hulu Sungai Ipuh.

(24)

d). Daerah Vulkanik

Daerah ini menempati sebagian besar pegunungan Bukit Barisan yang merupakan jalur pegunungan patahan dan kompleks vulkanik dengan pusat erupsi di luar Propinsi Bengkulu.

5. Klimatologi

Iklim di Propinsi Bengkulu ditandai dengan jumlah curah hujan yang cukup tinggi yaitu: rata-rata 100 mm/tahun, dengan rata-rata hari hujan antara 100-250 hari/tahun. Hari hujan rata-rata 20 hari/bulan dengan jumlah hari hujan terendah 18 hari yang terjadi pada bulan Mei dan September, sedangkan hari hujan tertinggi selama 23 hari terjadi pada bulan November dan Desember.

6. Hidrologi

Pada saat ini telah diidentifikasi lebih kurang 22.647 Ha lahan di wilayah Propinsi Bengkulu mengalami erosi yang tersebar pada setiap Kabupaten. Erosi yang cukup besar terjadi di Kabupaten Rejang Lebong. Hilangnya lapisan atas tanah (degradasi) disebabkan antara lain oleh longsoran air hujan, sungai, laut dan angin. Lereng adalah salah satu faktor yang sangat menentukan intensitas erosi disamping kepekaan tanah dengan kandungan pasir, liat debu dan bahan-bahan organik. Selain itu faktor manusia sangat mempengaruhi, dengan adanya perubahan hutan, penggundulan lereng-lereng perbukitan dan aktifitas budidaya lainnya (Dirjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum 2002).

7. Kondisi flora dan fauna a. Flora

Bunga Raflessia Arnoldy

Bunga ini ditemukan pertama kali oleh Sir Thomas Raffles dan Dr. Arnoldy di Dusun Lubuk Tapi pada tahun 1818. Bunga ini adalah bunga terbesar di dunia dengan diameter 100 cm. Bunga ini membutuhkan 6 sampai 8 bulan untuk tumbuh dan 15 hari setelah itu untuk berbunga. Keunikan dari bunga ini adalah tidak adanya akar, daun dan batang.

(25)

Tumbuhan ini termasuk parasit kerena tidak adanya klorofil dan haustoria.

Bunga Kibut (Amorphopalus Titanuum)

Bunga ini sangat menarik dan cantik. Tidak memiliki batang dengan tetapi memiliki bunga yang tinggi sekitar 3 m dan kuat. Bunga ini tumbuh di sekitar Rejang Lebong mengelilingi Kepahyang, Bengkulu Utara, dan Bengkulu Selatan.

Anggrek air Vanda Hookeriana

Anggrek air ini hanya terdapat di Danau Dendam Tak Sudah yang terletak sekitar 5 km dari kota Bengkulu. Beberapa macam anggrek liar dan alami lainnya dapat pula ditemukan di Provinsi Bengkulu.

Berbagai macam kekayaan hutan yang dapat ditemukan di Bengkulu seperti Kayu Medang, Meranti, Rattan, Damar. Tanaman lainnya yang dibudidayakan oleh masyarakat adalah minyak sawit, getah karet, kopi, durian, jeruk, sayuran ,dan lainnya.

b. Fauna

Beberapa macam hewan seperti macan, kijang, gajah, monyet, rangkong adalah hewan yang menempati hutan di Provinsi Bengkulu.

8. Tipe hutan

Hutan Lahan Kering Dataran Rendah dan Hutan Lahan Kering Pegunungan yang termasuk ke dalam formasi Hutan Hujan Tropika (Tropical Rain Forest) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: iklim selalu basah dengan tanah yang kering dari berbagai macam jenis tanah, dan kondisi ketinggian yang beragam dari tanah rendah rata atau berbukit (>1000 m dpl) dan pada tanah tinggi (sampai dengan 4000 m dpl).

Kawasan hutan Bengkulu berdasarkan fungsinya relatif sedikit. Fungsi hutan di Provinsi Bengkulu dibagi dalam 3 kelompok besar. Pertama adalah kelompok kawasan suaka alam atau pelestarian alam. Luas kawasan hutan ini mencapai lebih kurang 444,40 ribu hektar atau sebesar 22,45 persen. Sesuai dengan fungsinya, kawasan suaka alam terbagi atas hutan taman nasional dengan luas 405,29 ribu hektar, hutan cagar alam dengan

(26)

luas 6,73 ribu hektar, hutan taman wisata alam dengan luas 14,96 ribu hektar, hutan taman hutan raya dengan luas 1,12 ribu hektar, dan hutan taman buru seluas 16,30 ribu hektar.

Kelompok kedua yakni kawasan hutan. Kawasan ini luasnya mencapai 476,57 ribu hektar atau 24,08 persen. Sesuai dengan fungsinya kawasan hutan ini terbagi atas: hutan lindung seluas 251,48 ribu hektar, hutan produksi terbatas seluas 182,21 ribu hektar, hutan produksi tetap seluas 36,01 ribu hektar dan hutan produksi khusus seluas 6,87 ribu hektar (Jawa pos, Bengkulu ekspress 2008)

9. Potensi hutan

Produk utama hutan Provinsi Bengkulu yakni kayu bulat, kayu gergajian, rotan dan damar. Untuk kayu bulat dan gergajian umumnya dihasilkan oleh perusahaan HPH, sedangkan rotan dan damar dihasilkan oleh rumah tangga kehutanan.

Produksi kayu bulat pada tahun 2006 hanya 13,99 ribu meterkubik atau menurun sebesar 53,22 persen dibanding tahun 2005 yang mencapai 29,95 ribu meter kubik. Begitupun dengan produksi kayu gergajian menurun drastis dari sebanyak 23,15 ribu meter kubik pada tahun 2005 menjadi hanya 4,79 ribu meter kubik di tahun 2006 atau menurun sebesar 79,31 persen.

Produksi damar Provinsi Bengkulu pada tahun 2006 diperkirakan hanya mencapai 250 ton menurun 25 persen bila dibanding produksi tahun 2005 yang mencapai 312,50 ton. Hal yang sama juga terjadi pada produksi rotan manau, dan rotan jenis lainnya yang masing-masing mengalami penurunan sebesar 58,12 persen dan 57,32 persen.

Produksi hutan Provinsi Bengkulu yang mengalami kenaikan pada tahun 2006 hanyalah rotan kesur yang meningkat dua kali lipat. Dari 3,5 ribu batang pada tahun 2005 menjadi 7,0 ribu batang di tahun 2006 (Jawa pos, Bengkulu ekspress 2008).

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November sampai Desember 2007. Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu dengan kisaran koordinat 102º 11' 30'' BT ~ 102º 59' 10'' BT dan 3º 16' 40'' LS ~ 4º 13' 40'' LS (Gambar 3 dan 4). Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan GIS Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

(28)

Gambar 2 Peta lokasi penelitian pengukuran lapang di Provinsi Bengkulu

(29)

Gambar 4 Lokasi pengambilan contoh di Kabupaten Aceh Timur

(30)

Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Bengkulu Utara

(31)

B. Data, Alat, Perangkat Lunak dan Perangkat Keras 1. Data yang digunakan

Tabel 1 Lembar Citra SPOT 5 yang digunakan dalam Penelitian

No. Scene K/J Tanggal Perekaman

1. 5 274-357 06/10/02 03:28:48 1 T 274-357 2006-10-18 10:32:11 2. 5 275-358 06/04/19 03:20:54 2 T 275-358 2006-09-27 05:29:29 3. 5 261-341/6 05/06/03 04:14:56 1 T 261-341 2006-09-26 03:13:36 Sumber : Jaya et al, 2007

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa perekaman citra SPOT 5 yang digunakan pada penelitian ini direkam pada bulan September dan Oktober (musim penghujan). Oleh karena itu, pada waktu perekaman banyak awan yang menutupi areal yang akan direkam. Sehingga mempengaruhi hasil rekaman citra SPOT 5.

a). Citra satelit SPOT 5 tahun 2006 Histori satelit SPOT

Satellite Pour I’Observation de la Terre (SPOT) adalah satelit milik Perancis yang merupakan satelit sumber daya bumi pertama yang diluncurkan oleh Eropa yang telah meluncurkan 5 satelit sejak tahun 1986. SPOT dikelola oleh Centre National de’Etudes Spatiales (CNES) atau Pusat Nasional Studi Antariksa Perancis yang bekerja sama dengan Belgia dan Swedia. SPOT 1 telah diluncurkan pada tanggal 22 Februari 1986 dan menyusul SPOT 2 yang diluncurkan tanggal 21 Januari 1990. Program SPOT adalah suatu teknik penginderaan jauh yang menggunakan sistem optik, yang mempunyai misi untuk mengindera permukaan bumi.

Karakteristik SPOT 5

Dalam perkembangannya, satelit SPOT terus melakukan perbaikan-perbaikan, hingga diluncurkan satelit SPOT terbaru yang menawarkan tampilan dan inovasi baru yang akan membedakan dengan satelit SPOT sebelumnya. Pada tanggal 4 Mei 2002, satelit tersebut diberi nama SPOT 5 (Educnet Education, 2004). Karaktetistik SPOT 5 dapat dilihat pada Tabel 2.

(32)

Tabel 2 Karakteristik Citra SPOT 5

Waktu Peluncuran 04-Mei-02

Resolusi Spasial

• Pankromatik : 5 m (2,5 m dalam supermode)

• Multispektral : 10 m (5 m dalam supermode)

Akurasi Alokasi (Location Accuracy) 50 m tanpa titik kontrol Lebar Cakupan Wilayah (Swath) 120 km dalam couple mode Ketinggian pada equator (Altitudes) 822 km

Inklinasi (Inclination) 98,7 derajat

Frekuensi Pengulangan (Revisit Frequency) 5 hari Sumber : Educnet Education, 2004

Gambar 8 Satelit SPOT 5 Sumber : Digital Globe, 2004 Manfaat SPOT

Dari data SPOT dapat diperoleh informasi terestris land use (penggunaan lahan), land cover (tutupan lahan), daerah khusus seperti penggundulan hutan, erosi, daerah urban, perencanaan regional, sumberdaya air, serta akibat dari pekerjaan-pekerjaan utama pada lingkungan seperti tambang dan aplikasi SIG. SPOT 4 memiliki resolusi spasial 10 m x 10 m untuk mode Pankromatik (PAN) dan 20 m x 20 m untuk mode Multispektral (XS). Satelit SPOT mengorbit selaras dengan posisi matahari (sun-synchronous orbit) dengan tinggi 822 km, periode perekaman ulang selama 26 hari dan mempunyai lebar sapuan wilayah (Swath) 60 km ~ 80 km tergantung sudut pencitraannya.

(33)

Sensor HRV dapat beroperasi dalam dua mode yaitu dalam cahaya tampak dan sinar infrared (infra merah) dengan pembagian band yaitu :

(1). Mode Pankromatik (PAN) SPOT 4

Mode pankromatik, yaitu mode pengamatan yang dilakukan dengan satu band spektral tunggal. Mode ini memberikan tampilan warna hitam putih dengan resolusi spasial sebesar 10 m x 10 m yang merupakan bagian dari spektrum elektromagnetik dengan kisaran panjang gelombang dari 0,51 µm ~ 0,73 µm. Band ini digunakan untuk aplikasi dengan hasil detail geometrik yang baik. (2). Mode Multispektral (XS) SPOT 4

Mode multispektral, yaitu pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan tiga band yaitu :

a. Band XS1 terdiri dari warna hijau (0,50 ~ 0,59 µm). b. Band XS2 terdiri dari warna merah (0,61 ~ 0,68 µm). c. Band XS3 yang berada pada near infrared (0,79 ~ 0,89 µm).

Dengan mode multispektral dapat dibuat warna komposit yang merupakan penggabungan band-band data yang terekam dalam citra. Resolusi spasial dari mode multispektral adalah 20 m x 20 m.

Kelebihan Citra Satelit SPOT 5

SPOT 5 memiliki beberapa kelebihan antara lain, yaitu:

a. Mengalami pengembangan resolusi, menjadi 2,5 m ~ 5 m ~ 10 m dan merupakan kombinasi citra multi resolusi.

b. Mempunyai akurasi lokasi: 50 m tanpa titik kontrol. c. Cakupan Lahan yang luas, yaitu : 60 ~120 km. d. Kemampuan akuisisi mencapai 50 M km² / thn. e. Standar pengulangan : rata-rata 2,5 ~ 3 hari. b). Citra satelit Quick Bird tahun 2006

Satelit Quickbird diluncurkan pada 18 Oktober 2001 dengan menggunakan roket Delta II dari SLC-2W, Pangkalan Angkatan Udara

(34)

Vandenberg, California. Amerika Serikat. Satelit Quickbird memilki dua macam sensor yaitu sensor panchromatic (hitam dan putih) mempunyai resolusi spasial 0,6 m (2-foot) dan sensor multispectral (berwarna) dengan resolusi spasial 2,44 m (8-foot). Tingginya resolusi spasial pada citra ini memberikan keuntungan untuk berbagai aplikasi, terutama yang membutuhkan ketelitian yang tinggi pada skala area yang kecil.

Satelit ini mempunyai orbit polar sun-synchronous, yaitu orbitnya akan melewati tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang sama pula yaitu untuk satu putaran kira-kira 1-3 hari, ini merupakan kemajuan yang sangat hebat dibandingkan berbagai satelit yang diluncurkan tahun 1980-an dan 1990-an. Satelit ini mempunyai berat 2100 pounds dan panjang 3,04 m. Satelit ini merupakan salah satu satelit tercanggih, terbaru dan terbaik karena resolusi spasialnya yang sangat tinggi, dan datanya sudah bisa didapatkan dipasaran secara komersial. Gambar satelit Quickbird dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Satelit Quickbird Sumber : Digital Globe, 2004

Periode orbit dari satelit ini adalah 93,4 menit dengan sudut inklinasi 980 dan ketinggiannya 450 km diatas permukaan bumi. Minimum area yang terliput oleh citra Satelit Quickbird adalah 8 x 8 km2. Karakteristik lebih lanjut dari Satelit Quickbird ditunjukkan pada Tabel 3.

(35)

Tabel 3 Karakteristik Satelit Quickbird

Sensor Resolusi Spektral (µm) Resolusi Spasial (µm)

Biru 0,45 ~ 0,50 2,44

Hijau 0,52 ~ 0,60 2,44

Merah 0,63 ~0,69 2,44

Multispektral

IR dekat 0,76 ~ 0,90 2,44

Pankromatik Hitam dan Putih 0,50 ~ 0,90 0,61

Luas Sapuan (Normal Swath Width) 16,5 km pada nadir

Resolusi Temporal 1 – 3,5 hari tergantung latitude Ketinggian (Altitude) 450 km

Resolusi Radiometrik 11 bits per piksel Inklinasi (Inclination) Sun-synchronous, 980 Sumber : Educnet Education, 2004

Aplikasi Quickbird

Citra Quickbird dapat digunakan untuk monitoring potensi hutan, karena citra ini mempunyai resolusinya yang lebih baik. Bandingkan dengan citra satelit SPOT 5 cenderung digunakan untuk pemetaan, interpretasi dan proses penentuan potensi hutan.

c). Data spasial digital

1) Peta dijital administrasi (batas desa dan batas kabupaten) di Provinsi Bengkulu

2) Peta dijital jaringan jalan 3) Peta dijital jaringan sungai

2. Alat yang digunakan selama penelitian diantaranya: a) GPS (Global Positioning System) tipe E-Trex b) Kamera digital

c) Meteran (Phi-band) d) Tali tambang e) Haga meter

3. Perangkat Lunak (Software) a) ERDAS Imagine Ver 8.7 b) ArcView Ver 3.2

c) Spreadsheet MS Excel

(36)

C. Metode Penelitian 1. Pengolahan Citra

Sebelum melakukan pengolahan dari citra dijital dan penentuan kelas potensi dari citra dilakukan beberapa tahap sebagai berikut :

a. Rektifikasi (Koreksi geometris)

Sebelum melakukan pengolahan citra tersebut perlu dilakukan pengkoreksian terlebih dahulu, karena masih terdapat kesalahan-kesalahan atau distorsi yang terjadi pada waktu perekaman yang disebabkan oleh faktor-faktor berikut :

1) Rotasi bumi pada waktu perekaman, 2) Pengaruh kelengkungan bumi, 3) Efek pankromatik (sudut pandang), 4) Pengaruh topografi,

5) Pengaruh gravitasi bumi, yang dapat menyebabkan terjadinya degradasi kualitas data atau citra yang diperoleh.

Kegiatan yang dilakukan untuk menghilangkan distorsi tersebut adalah koreksi geometrik (rektifikasi). Rektifikasi merupakan suatu proses melakukan transformasi data dari suatu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik (Jaya 2002a). Kemudian dalam proses tersebut perlu membandingkan 2 citra untuk lokasi tertentu, sehingga dalam meletakkan lokasi-lokasi pengambilan sebelum melakukan klasifikasi bisa ditentukan dan bisa melakukan tumpang susun (overlay) citra dengan data-data spasial lainnya. Sebelumnya dilakukan analisis terlebih dahulu yang memerlukan lokasi geografis dengan presisi yang tepat, disamping itu jika titik kontrol lapangan sudah memenuhi syarat, maka bisa ditentukan resampling dengan menggunakan metode Nearest Neighbour (tetangga terdekat), sehingga bisa ditentukan pendugaan terhadap titik kontrol lapangan yang sudah ditentukan.

Koreksi ini dilakukan untuk memudahkan pengecekan obyek citra di lapangan, memudahkan penggabungan citra dengan sumber data lain agar tidak mengalami distorsi luas sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan piksel demi piksel. Rektifikasi dilakukan melalui dua

(37)

macam cara yaitu rektifikasi citra-ke-peta (image-to-map rectification) dan rektifikasi citra-ke-citra (image-to-image rectification) (Jaya 2002). Dalam penelitian ini menggunakan teknik rektifikasi citra-ke-citra (image-to-image rectification).

Rektifikasi dilakukan menggunakan software ERDAS Imagine Ver 8.7, dimana citra Quickbird sebagai master image (citra acuan) dan citra SPOT 5 sebagai citra yang dikoreksi. Kedua citra memiliki koordinat letak yang berbeda, maka WGS (World Geodetic System)nya menjadi WGS 84 dan UTM (Universal Tranverse Mercator) pada zona 47 S, dengan begitu citra tersebut akan memiliki titik koordinat yang sama untuk dikoreksi.

Teknik yang digunakan untuk koreksi geometrik yaitu penggunaan sejumlah teknik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP) pada citra. Secara ringkas, tahapan teknik ini adalah sebagai berikut :

1) Pemilihan GCP pada citra dengan syarat : tersebar merata diseluruh citra, relatif tidak berubah dalam kurun waktu pendek (misal : jalan, jembatan, sudut bangunan dan sebagainya). Jumlah GCP minimum dihitung dengan menggunakan rumus :

GCP min = (t + 1)(t + 2) 2

Keterangan : t = orde dari persamaan transformasi

Pada penelitian ini menggunakan orde I, berikut rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Jaya 2006) :

Orde I disebut juga Affine transformation (diperlukan minimal 3GCP):

2) Perhitungan Root Mean Squared Error (RMSE). Untuk mengetahui besarnya pergeseran citra hasil proses rektifikasi dapat dilihat dari besarnya nilai RMSE. Menurut Smith dan Brown (1997) dalam

(38)

Anung (2004) RMSE dalam koreksi geometrik adalah jarak antara koordinat input (source) GCP dengan koordinat GCP yang sama setelah ditransformasi. RMSE yang baik disarankan lebih kecil dari 0,5 piksel, namun jika RMSE lebih besar dari yang diinginkan (misalnya 0,6 piksel) maka perlu dilakukan :

• Penghapusan GCP yang memberikan RMSE terbesar,

• Perhitungan kembali koefisien dan dan RMSE total. Proses ini dilanjutkan sampai dengan RMSE lebih kecil dari yang diinginkan dengan posisi GCP yang tetap menyebar di seluruh citra yang ingin dikoreksi.

Pada penelitian ini digunakan 16 GCP dengan kesalahan (RMSE) sebesar 0,0001 piksel.

b. Cropping (Pemotongan)

Cropping adalah pembatasan citra yang digunakan sesuai dengan lokasi penelitian. Dalam hal ini cropping dilakukan untuk menganalisis dan mengevaluasi suatu lokasi, agar lokasi tersebut sesuai dengan tempat yang sudah ditentukan atau yang akan diamati (Purwadhi, 2001). Cropping merupakan pembatasan atau pemotongan citra yang telah dikoreksi yang digunakan sesuai dengan lokasi pengamatan, citra yang dilakukan pemotongan yaitu citra satelit SPOT 5 multi spektral dan citra satelit SPOT 5 pankromatik.

(39)

Gambar 10 Hasil cropping citra SPOT 5 di Provinsi Bengkulu

(40)

c. Klasifikasi Tutupan Hutan

Dalam kaitannya dengan proses klasifikasi, maka proses

klasifikasi pada citra satelit yang akan dilakukan adalah sebagai upaya untuk dapat melakukan klasifikasi kondisi tutupan lahan atau kerapatan pohon pada wilayah yang dipetakan. Kegiatan klasifikasi dilakukan dalam rangka membuat sumberdaya hutan sebagai populasi kajian menjadi bagian-bagian homogen (seragam) yang dinamakan stratum. Pada setiap citra tersebut kegiatan klasifikasi dilakukan atas dasar tipe dan potensi tegakan.

Baplan (2001) dalam Jaya et al (2007) membuat sistem klasifikasi penutupan lahan terhadap 23 kelas yang disertai dengan kode strata (layer) dan toponimi. Untuk kelas yang ada di Pulau Sumatera dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Sistem Klasifikasi Penutupan Lahan Tahun 2001 Disertai Kode Layer dan Kode Toponimi Kelas di Pulau Sumatera

No. Kelas Simbol Kode Keterangan

1.

Hutan lahan kering primer dataran rendah

HpDr 20011

Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah (0 – 1200 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan massif. 2. Hutan lahan kering primer pegunungan rendah HpPr 20012

Seluruh kenampakan hutan di wilayah pegunungan rendah (1200 - 1500 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan massif.

3. Hutan lahan kering primer pegunungan tinggi HpPt 20013

Seluruh kenampakan hutan di wilayah pegunungan tinggi (1500 - 3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan massif.

4.

Hutan lahan kering primer sub-alpine

HpSa 20014

Seluruh kenampakan hutan di zone sub-alpine (>3000 meter), yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan massif.

(41)

No. Kelas Simbol Kode Keterangan 5. Hutan lahan

kering sekunder dataran rendah

HsDr 20021 Seluruh kenampakan hutan di dataran rendah (0 – 1200 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukkan dalam lahan terbuka.

6. Hutan lahan kering sekunder pegunungan rendah HsPr 20022

Seluruh kenampakan hutan di wilayah pegunungan rendah (1200 – 1500 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan / atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.

7. Hutan lahan kering sekunder pegunungan tinggi HsPt 20023

Seluruh kenampakan hutan di wilayah pegunungan tinggi (1500 – 3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan. atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka

8.

Hutan lahan kering sekunder sub-alpine

HsSa 20024

Seluruh kenampakan hutan di zone sub-alpine (>3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka.

9. Hutan rawa

primer Hrp 2005

Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa-rawa,termasuk rawa gambut yang belum menampakan tanda penebangan.

10. Hutan rawa

sekunder Hrs 20051

Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa yang telah menampakkan bekas penebangan. Bekas penebangan yang parah jika tidak memperlihatkan liputan air digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan liputan air digolongkan menjadi tubuh air (rawa).

(42)

No. Kelas Simbol Kode Keterangan 11. Hutan mangrove

primer Hmp 2004

Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar pantai yang belum ditebang.

12. Hutan mangrove

sekunder Hms 20041

Hutan bakau, nipah dan nibung yang telah ditebang) yang ditampakan dengan pole alur di dalamnya. Khusus untuk areal bekas tebangan yang telah dijadikan tambak/sawah (tampak pola persegi pematang) dimasukan dalam kelas tambak/sawah (tampak pole persegi/pematang) dimasukan dalam kelas tambak /sawah.

13. Semak/belukar B 2007

Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali, didominasi vegetasi rendah dan tidak menampakkan lagi bekas alur/ bercak penebangan. 14. Semak/belukar

rawa Br 20071

Semak / belukar dari bekas hutan di daerah rawa.

15. Savanna S 3000

Kenampakan non hutan alami berupa padang rumput dengan sedikit pohon. (Kenampakan alami daerah Nusa Tenggara Timur dan pantai selatan Irian Jaya).

16. HTI Ht 2006

Seluruh kawasan HTI baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Identifikasi lokasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran HTI.

17. Perkebunan Pk 2010

Seluruh kawasan perkebunan, baik yang sudah ditanami maupun yang belum (masih berupa lahan kosong). Identifikasi dapat diperoleh pada Peta Persebaran Perkebunan (Perkebunan Besar). Lokasi perkebunan rakyat mungkin tidak termasuk dalam peta sehingga memerlukan informasi pendukung lain.

18. Pertanian lahan

kering Pt 20091

Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang

(43)

No. Kelas Simbol Kode Keterangan 19. Pertanian lahan

kering bercampur dengan semak

Pc 20092 Semua ativitas pertanian di lahan kering, berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan.

20. Transrnigrasi Tr 20095

Seluruh kawasan baik yang sudah diusahakan maupun yang belum, termasuk areal pertanian, perladangan dan permukiman yang berada di dalamnya. 21. Sawah Sw 20093 Semua aktifias pertanian di lahan basah

yang dicirikan oleh pola pematang.

22. Tambak Tm 20094 Aktivitas perikanan yang tampak sejajar pantai.

23. Tanah terbuka T 2014

Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (singkapan batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai) tanah terbuka bekas kebakaran dan tanah terbuka yang ditumbuhi rumput/alang-alang. Kenampakan tanah terbuka untuk pertambangan dimasukan ke kelas pertambangan, sedangkan lahan terbuka bekas land clearing dimasukkan ke kelas pertanian, perkebunan atau HTI.

24. Pertambangan Tb 20141

Tanah terbuka yang digunakan untuk kegiatan pertambangan terbuka, openpit (batubara, timah, tembaga dll.). Tambang tertutup seperti minyak, gas dll. Tidak dikelaskan tersendiri, kecuali mempunyai areal yang luas sehingga dapat dibedakan dengan jelas pada citra.

25. Salju Sj 20142 Areal yang tertutup oleh salju abadi.

26. Permukiman Pm 2012

Kawasan permukiman baik perkotaan, pedesaan, pelabuhan, bandara, industri dll. yang memperlihatkan pola alur yang rapat.

27. Tubuh air A

5001

Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang dan lamun (lumpur pantai). Khusus kenampakan tambak di tepi pantai dimasukkan ke pertanian lahan basah.

(44)

No. Kelas Simbol Kode Keterangan

28. Rawa Rw 50011 Kenampakan rawa yang sudah tidak berhutan.

29. Awan Aw 2500

Semua kenampakan awan yang menutupi suatu kawasan. Jika terdapat. awan tipis yang masih mempelihatkan kenampakan di bawahnya dan masih memungkinkan untuk ditafsir, penafsiran tetap dilakukan. Poligon terkecil yang di delineasi untuk awan adalah 2 x 2 cm2

Sumber : Badan Planologi Departemen Kehutanan (2001) dalam Jaya et al (2007) 2. Desain Sampling

Secara garis besar langkah-langkah pengambilan contoh pada citra beresolusi tinggi dan di lapangan adalah sebagai berikut :

a) Tahap 1, penentuan lokasi contoh pada citra SPOT 5 (resolusi tinggi) yang berjumlah 100 plot. Satuan tegakan yang akan digunakan sebagai satuan contoh pada tahap satu ini merupakan tipe hutan lahan kering dengan kelas kerapatan tajuk vegetasi pohon (Crown closure), dan diameter rata-rata tajuk (Crown diameter). Dengan asumsi semua tipe kelas kerapatan tajuk dan kelas diameter rata-rata tajuk lengkap maka unit-unit tegakan yang akan digunakan pada pengambilan contoh pada tahap satu ini mencakup semua kelas hasil interpretasi pada citra. b) Tahap 2, penentuan lokasi contoh di lapangan yang berjumlah 41 plot.

Selanjutnya pada satuan tegakan tahap I yang terpilih, dilakukan pengukuran di lapangan dengan bantuan beberapa peta penunjang yang akan digunakan dalam menentukan lokasi klaster di lapangan (Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu). 3. Pengukuran Potensi Tegakan Pada Citra

Dalam melakukan interpretasi citra SPOT 5 multispektral diambil menyebar plot contoh (n) sebanyak 100 plot dengan luasan 0,1 Ha dengan syarat mewakili dari seluruh tipe kerapatan tajuk (C) dan diameter rata-rata tajuk (D) pada hutan lahan kering. Karena pada citra SPOT 5 mutispektral daerahnya banyak tertutup awan sehingga menyulitkan dalam melakukan interpretasi citra. Cara mengukur C dan D pada citra adalah sebagai berikut:

(45)

a. Buat plot ukur dengan jari-jari 17,85 m,

b. Pilih lokasi yang akan diamati (syarat mewakili seluruh tipe C dan D) c. Buat 2 lingkaran, yang pertama berukuran 17,85 m. Kemudian di

dalam lingkaran yang pertama. dibuat lingkaran yang kedua berukuran 12,68 m.

d. Untuk mengukur C, lingkaran tersebut dibagi menjadi 16 bagian.

Dengan rumus 100%

16× = n

C , contoh lingkarannya sebagai berikut :

Gambar 12 Contoh pengukuran C pada citra dimana n = jumlah bagian yang terdapat C di dalam lingkaran

e. Untuk mengukur D, diambil minimal 3 pohon untuk contoh rata-rata pengukuran D.

Setelah 100 plot contoh terpilih, kemudian dilakukan pemilihan plot contoh lagi yang akan digunakan untuk plot contoh yang akan diukur perbandingannya pada citra dan di lapangan (m) sebanyak 41 plot dengan luasan sama 0,1 Ha.

a). Penentuan Klasifikasi kelas kerapatan (C), kelas Diameter (D), (Baplan, 2001). Klasifikasi untuk kerapatan tajuk (C) dibagi dalam 4 (empat) kelas yaitu :

1). C1 untuk kerapatan tajuk 10 ~ 30 % 2). C2 untuk kerapatan tajuk 31 ~ 50 % 3). C3 untuk kerapatan tajuk 51 ~ 70 % 4). C4 untuk kerapatan tajuk 71 ~ 100 %

(46)

b). Klasifikasi diameter rata-rata tajuk (D) dibagi dalam 3 (tiga) kelas yaitu :

1). D1 untuk diameter tajuk < 10 m 2). D2 untuk diameter tajuk 10 - 20 m 3). D3 untuk diameter tajuk > 20 m Tabel 5 Kelas potensi tegakan

No Kelas Potensi

1. Rawang < 20 m3 2. Rendah 20 ~ 39 m3 3. Sedang 40 ~ 79 m3

4. Tinggi >80 m3

Sumber : Badan Planologi (2001) dalam Jaya et al (2007)

4. Pengukuran Potensi Tegakan di Lapangan Data yang diukur adalah dimensi tegakan yaitu:

a) Tinggi total dan bebas cabang pohon b) Diameter pohon setinggi dada, c) Diameter tajuk setiap pohon

d) Nama Jenis (Komersial dan non-komersil)

e) Lokasi Pohon (Koordinat relative pohon dalam plot) f) Jumlah pohon dalam 0,1 Ha (contoh plot ukur)

Kemudian setelah peubah tegakan sudah ditentukan apa yang akan diukur di lapangan, maka kegiatan selanjutnya adalah melaksanakan pengumpulan data di lapangan. Pelaksanaan rangkaian jenis kegiatan pada tahapan ini adalah sebagai berikut :

1). Penentuan Titik Awal

Titik awal adalah merupakan suatu titik atau tempat yang lokasinya dapat ditentukan / diketahui dengan pasti, baik di lapangan maupun di peta. Kegunaan titik ini ialah sebagai pedoman dan permulaan gerak dalam rangka penentuan, peletakan dan pembuatan lokasi penelitian plot unit contoh di lapangan, sesuai dengan rencana bagan lokasi penelitian dan unit contoh yang ditentukan dan direncanakan pada lokasi sebelumnya.

(47)

Kedudukan titik awal tersebut dapat diletakkan baik di dalam maupun di luar lokasi penelitian hal ini berdasarkan dengan lokasi daerahnya. Misalnya lokasi yang ciri-cirinya jelas, mudah dikenali dan terlihat baik di dalam peta/citra maupun di lapangan antara lain sungai, jalan dan bangunan.

Posisi titik awal di lapangan ditentukan atas dasar gambaran tentang titik awal di peta/citra dengan menggunakan alat, yaitu Global Positioning System (GPS) sebagai alat penentu posisi tempat.

2). Pembuatan lokasi area penelitian dan Plot Unit Contoh

Gambar 13 Letak Unit Contoh dalam Klaster pada 1 (satu) Lokasi Training Area

Lokasi area penelitian dibuat berdasarkan titik awal yang sebelumnya ditentukan terlebih dahulu baik titik awal yang berada di luar maupun di dalam plot contoh. Seperti diperlihatkan pada Gambar 8 bahwa setelah titik awal ditentukan kemudian menentukan plot unit contoh pertama, namun tidak harus berawal dari nomor satu melainkan dari daerah yang terdekat dari titik awal. Jarak dari titik awal tidak ditentukan berapa jaraknya. Setelah plot unit contoh pertama sudah

(48)

ditentukan maka plot unit selanjutnya berjarak 200m dari plot pertama dengan sudut yang sudah ditentukan. Misalnya plot pertama dari plot ke 3 dan plot selanjutnya dengan urutan plot ke 4, 1 dan 2, dengan jarak yang sama yaitu 200m dengan sudut yang berurutan yaitu 270º, 0 º, 90 º dari plot sebelumnya.

Pembuatan plot lingkaran pada lokasi yang kondisinya relatif datar tidak akan mengalami banyak hambatan, namun jika kondisi lapangannya bergelombang atau berbukit (miring/tidak rata) maka perlu diperhatikan jika pengukuran jarak pada lahan tidak rata/miring yaitu : pengukuran jari-jari lingkaran pada arah sejajar kontur dilakukan seperti pada kondisi lapangan datar, dan pengukuran jari-jari lingkaran pada arah mengikuti kemiringan maka pengukurannya mengikuti kaidah pengukuran jarak lapangan dengan memperhatikan besarnya kamiringan lapangan.

Bentuk dan ukuran lokasi area penelitian ini selanjutnya membentuk bujur sangkar yang biasanya disebut dengan satu klaster. Pada setiap unit contoh berbentuk lingkaran dengan luas 0,1 Ha dengan jari-jari lingkaran 17,8 meter. Pada setiap plot unit contoh tersebut, dilakukan pengukuran dimensi pohon, yaitu diameter pohon, tinggi pohon, jari-jari tajuk pohon, jumlah pohon, pengukuran koordinat-koordinat pohon yang di ukur serta nama jenis pohon (komersil dan non-komersil).

3). Pengukuran koordinat dan pengamatan pada lokasi area penelitian Pengukuran koordinat dan pengamatan di lapangan dilakukan pada lokasi area penelitian yang sudah ditentukan sebelum berangkat ke lapangan berdasarkan hasil interpretasi dengan jumlah plot yang direncanakan sebelumnya. Pengukuran dan pengamatan yang dilakukan di lapangan bertujuan untuk mengetahui besarnya potensi volume tegakan di lapangan berdasarkan perbedaan dimensi-dimensi tegakan yang dapat diukur/ditafsir melalui citra SPOT 5 dengan harapan hasil yang didapatkan melalui kegiatan pengukuran dan penaksiran di lapangan mempunyai hubungan positif dengan hasil yang diperoleh dari

(49)

penafsiran pada citra SPOT 5. Hasil yang diharapkan adalah adanya hubungan yang positif sehingga akan memudahkan dalam pendugaan potensi tegakan sumber daya hutan.

Pengukuran dan pengamatan dilakukan terhadap semua jenis pohon yang berada di dalam plot unit contoh tersebut dengan luasan setiap plot unit contoh seluas 0,1 Ha sebagai elemen klaster yang berbentuk bujur sangkar. Dimensi tegakan pohon yang diukur antara lain diameter pohon setinggi dada, tinggi pohon sampai cabang pertama dan tinggi pohon total, jari-jari tajuk pohon dari berbagai arah untuk menentukan diameter tajuk pohon serta menentukan koordinat-koordinat pohon yang diukur dalam unit contoh dan nama jenis setiap pohon yang diukur tersebut. Semua data dimensi tagakan pohon dalam setiap plot unit contoh dicatat dalam buku tally sheet yang khusus untuk mencatat data-data yang diukur di lapangan. Berdasarkan atas dimensi pohon dalam unit contoh tersebut, akan dapat ditentukan volume pohon-pohon tersebut untuk mendapatkan dimensi tegakannya, yaitu volume rata-rata per hektar dan diameter rata-rata tajuk pohon.

Untuk lebih jelasnya pelaksanaan pengukuran terhadap setiap dimensi pohon di dalam setiap plot unit contoh adalah sebagai berikut : a). Pengukuran Diameter Pohon (Diameter setinggi dada / Dbh)

Diameter pohon merupakan peubah penduga volume untuk diukur pada ketinggian setinggi dada orang dewasa atau standar dengan 1,3 meter di atas pangkal pohon/permukaan tanah atau yang sering disebut dengan diameter setinggi dada (diameter at breast height/dbh). Jenis alat ukur diameter atau keliling batang pohon yang dapat digunakan adalah pita ukur diameter (phi-band). Pengukuran pada ketinggian setinggi dada (1,3 m) dilakukan terhadap pohon-pohon yang tumbuh normal. Tetapi tidak pada pohon-pohon yang memiliki kondisi yang tidak normal antara lain :

a). Pohon tegak di daerah miring dbh diukur pada 1,3 m dari pangkal pohon atau permukaan tanah pada arah kemiringan yang tertinggi.

(50)

b). Tegak di daerah / wilayah datar (horisontal), maka dbh-nya diukur pada ketinggian 1,3 m di atas pangkal pohon atau permukaan tanah.

c). Berbanir yang ketinggian banirnya > 1,3 m, dbh-nya diukur pada ketinggian ± 20 cm di atas batas banir.

d). Cacat/menggembung pada ketinggian 1,3m, maka dbh diukur pada ketinggian ± 20 cm di atas bagian yang menggembung tersebut, dan masih banyak bentuk pohon terdapat di alam bebas sehingga pengukurannya antara pohon yang satu kadang tidak sama satu dengan yang lainnya tergantung bentuk pohon tersebut (Gambar 14).

a) b)

c) d)

Gambar 14 Posisi Pengukuran Diameter Pohon Setinggi Dada (dbh) b). Pengukuran Diameter Tajuk Pohon

Pengukuran diamater tajuk semua pohon dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan posisi saling tegak lurus. Pengukuran diameter tajuk dilakukan dengan mengukur jari-jari tajuk pohon sebanyak 4

1,3 m ± 20 cm dbh dbh 1,3 m 1,3 m dbh

(51)

(empat) kali dan saling tegak lurus menurut 4 (empat) arah mata angin utama (Utara, Timur, Selatan, Barat) dengan acuan arah Barat dan Timur. Karena ada petunjuk alam yaitu arah matahari dengan pertimbangan apabila kompas atau penunjuk arah tidak ada. Dalam pengukuran diameter tajuk ini diperhatikan posisi tajuk yang terlebar sebagai patokan awal pengukuran diameter atau jari-jari tajuknya dan selanjutnya diukur posisi diameter tajuk yang tegak lurus terhadap posisi pertama, sehingga diperoleh 4 (empat) jari-jari tajuk (R1, R2, R3 dan R4) (Gambar 15).

Crip line

Gambar 15 Cara pengukuran diameter tajuk Sumber : Jaya et al, 2007

U

R1

R2 R3

Gambar

Gambar 1  Peta Lokasi Penelitian   2. Administrasi
Gambar 2  Peta lokasi penelitian pengukuran lapang di Provinsi Bengkulu
Gambar 4  Lokasi pengambilan contoh di Kabupaten Aceh Timur
Gambar 6  Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Bengkulu Utara
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Mesin yang akan dikaji adalah sebuah mesin yang dapat mengemas roti secara continue dengan metode alir. Pemilik perusahaan ingin mengganti proses pengemasan yang

Salah satu pembelajaran yang akan mereka dapat adalah PAK, di sini PAK adalah yang membentuk karakter dari setiap siswa dan siswi, tentunya pada setiap pribadi dari siswa dan

Keempat bentuk tersebut adalah kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif yang melihat kemiskinan dari segi pendapatan, sementara kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural

Memberikan informasi tentang sintesis hidroksi lapis ganda Ni-Cr dan interkalasi hidroksi lapis ganda Ni-Cr dengan senyawa polioksometalat K 4 [α-SiW 12 O 40 ].nH 2 O

Dalam penelitian ini kuesioner dibagikan kepada karyawan Rita Bakery Purwokerto dengan metode survey atau complete enumeration, atau sampel yang digunakan dalam

Pada dasarnya, rangkaian diskusi dalam bidang ekonomi ini didasarkan oleh suatu keinginan luhur untuk dapat memberikan suatu kontribusi penting bagi pembangunan ekonomi

2) Apabila berkas-berkas tersebut telah lengkap, maka akan dilakukan klarifikasi. Akan tetapi bila belum lengkap, maka akan dikembalikan kepada pemohon untuk

Hasil analisis tersebut mengindikasikan bahwa fairness pada penentuan target akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja baik dalam kondisi fair