• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH

4.2. Kondisi Pengeluaran Pemerintah Daerah

Menilai kondisi pengeluaran daerah dapat dilakukan dengan mengevaluasi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan daerah. Berdasarkan Tabel 15 dan Tabel 16 diketahui bahwa alokasi untuk pengeluaran rutin terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata alokasi sebesar 54.41 persen/tahun. Pengeluaran rutin sebagian besar dialokasikan untuk membiayai gaji pegawai daerah, oleh karena itu peningkatan yang signifikan dalam alokasi pengeluaran rutin tidak dapat dihindari karena setelah desentralisasi fiskal terjadi penyerahan pembiayaan pegawai dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Berdasarkan pertumbuhannya, pengeluaran rutin mengalami peningkatan yang cukup signifikan setelah desentralisasi fiskal yaitu sebesar 113.55 persen.

Komponen pengeluaran daerah berikutnya adalah pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai berbagai proyek pemerintah daerah di setiap sektor. Alokasi pengeluaran pembangunan cenderung menurun, dengan rata-rata alokasi sebesar

45.60 persen/tahun. Menurunnya alokasi pengeluaran pembangunan dikarenakan meningkatnya pengeluaran yang dialokasikan untuk pengeluaran rutin. Meskipun pengeluaran pembangunan mengalami penurunan kontribusi, tetapi pertumbuhannya mengalami peningkatan. Pada awal desentralisasi fiskal, pengeluaran pembangunan tumbuh sebesar 113.55 persen. Pertumbuhan yang positif dalam pengeluaran pembangunan terus berlanjut sampai tahun 2005.

Tabel 15. Perkembangan Alokasi Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Kalimantan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tengah Tahun 1995-2005

Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Tahun

Pengeluaran Total

(Juta Rp.) (Juta Rp.) (%) (Juta Rp.) (%) 1995 257033.80 92428.35 35.96 164605.45 64.04 1996 250129.75 96693.10 38.66 153436.65 61.34 1997 240656.41 89958.84 37.38 150697.56 62.62 1998 234539.62 138453.40 59.03 96086.22 40.97 1999 264243.23 159603.20 60.40 104640.04 39.60 2000 247415.98 149107.39 60.27 98308.59 39.73

Setelah Desentralisasi Fiskal

2001 562684.62 352749.45 62.69 209935.17 37.31 2002 562705.81 350436.87 62.28 212268.94 37.72 2003 726887.78 425742.92 58.57 301144.86 41.43 2004 817348.87 500259.72 61.21 317089.15 38.79 2005 896186.33 555941.12 62.03 340568.21 38.00 Rata-rata 54.41 45.60

Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun)

Berdasarkan hasil evaluasi kondisi fiskal pemerintah daerah secara keseluruhan, diketahui bahwa telah terjadi peningkatan yang besar pada penerimaan daerah. Peningkatan tersebut terjadi karena desentralisasi fiskal menyebabkan kontribusi dana perimbangan meningkat, walaupun di sisi lain terjadi penurunan kontribusi pendapatan asli daerah. Peningkatan penerimaan direspon oleh pemerintah daerah dengan meningkatkan pengeluaran rutin dan

pengeluaran pembangunan secara menyeluruh. Peningkatan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan secara menyeluruh ternyata tidak menggambarkan alokasi yang merata, karena peningkatan alokasi pengeluaran rutin menyebabkan alokasi pengeluaran pembangunan mengalami penurunan. Fakta tersebut serupa dengan hasil penelitian Sjafrizal (2002) dan Panjaitan (2006) di Sumatera Utara; Riyanto (2003), Sumedi (2005), Usman (2006), dan Nanga (2006) di Indonesia; dan Saefudin (2005) di Riau.

Tabel 16. Perkembangan Pertumbuhan Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005

Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Tahun Nominal (Juta Rp.) Tumbuh (%) Nominal (Juta Rp.) Tumbuh (%) 1995 92 428.35 164 605.45 1996 96 693.10 4.61 153 436.65 -6.79 1997 89 958.84 -6.96 150 697.56 -1.79 1998 138 453.40 53.91 96 086.22 -36.24 1999 159 603.20 15.28 104 640.04 8.90 2000 149 107.39 -6.58 98 308.59 -6.05 Setelah Desentralisasi Fiskal

2001 352 749.45 136.57 209 935.17 113.55 2002 350 436.87 -0.66 212 268.94 1.11

2003 425 742.92 21.49 301 144.86 41.87

2004 500 259.72 17.50 317 089.15 5.29

2005 555 941.12 11.13 340 568.21 7.40

DAERAH

Model yang digunakan dalam studi ini telah mengalami perubahan, menyesuaikan kondisi di lapangan. Model yang dibangun sebelumnya menggunakan data PDRB menurut penggunaan (Lampiran 3 ), tetapi data tersebut tidak tersedia pada level kabupaten dan kota sehingga PDRB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB menurut lapangan usaha. Indeks harga konsumen (IHK) yang digunakan dalam penelitian ini adalah IHK perbulan Kota Palangka Raya yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). IHK dirata-ratakan untuk mendapatkan IHK pertahun yang sebelumnya telah disamakan tahun dasarnya menjadi tahun dasar 1996.

Anggaran pendapatan dan belanja daerah yang digunakan dalam penelitian ini adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dipublikaskan oleh BPS. Peneliti melakukan wawancara untuk dapat mengkonversi format anggaran pendapatan dan belanja daerah 1995-2005 menjadi format yang sama. Wawancara dilakukan pada Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah Sub Direktorat Informasi Keuangan Daerah di Jakarta dan Biro Keuangan Propinsi Kalimantan Tengah.

Hasil estimasi model menggunakan metode 2SLS menyatakan bahwa semua persamaan memiliki tanda yang sesuai dengan harapan, yaitu seluruh persamaan memiliki R2 di atas 0.50 dan F hitung yang signifikan pada taraf nyata 1 persen. Signifikannya F hitung menunjukkan bahwa semua variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata secara statistik terhadap variabel

endogennya pada taraf nyata 1 persen. Sementara itu, untuk melihat signifikan tidaknya variabel eksogen secara individual terhadap variabel endogen digunakan uji t dengan dua kriteria taraf nyata (α) yaitu: 1 persen dan 15 persen. Satuan peubah dan hasil estimasi dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 6.

5.1. Penerimaan Fiskal Daerah

Pada blok persamaan penerimaan fiskal daerah terdapat dua persamaan yang diestimasi, yaitu persamaan penerimaan pajak daerah dan persamaan bagi hasil pajak. Hasil estimasi persamaan-persamaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Hasil estimasi penerimaan pajak daerah menunjukan bahwa seluruh peubah yang diduga berpengaruh terhadap pajak daerah memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pajak daerah. Peubah-peubah yang mempengaruhi pajak daerah tersebut adalah PDRB, kepadatan populasi, dan pajak tahun sebelumnya.

PDRB berpengaruh positif dan nyata terhadap pajak daerah karena PDRB merupakan indikator terhadap aktivitas ekonomi, sehingga semakin besar PDRB menyebabkan penerimaan yang berasal dari pajak daerah semakin besar pula. Peubah selanjutnya yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak adalah kepadatan populasi, dimana peubah tersebut memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pajak daerah. Artinya, apabila kepadatan populasi meningkat akan berdampak pada meningkatnya penerimaan pajak daerah. Kepadatan populasi berhubungan positif terhadap penerimaan pajak daerah karena apabila penduduk bertambah banyak, maka transaksi yang terjadi pada sumber-sumber pajak akan meningkat, misalnya semakin banyak jumlah rumah makan/restoran dan semakin banyak kendaraan yang menggunakan layanan parkir. Transaksi-transaksi tersebut merupakan sumber-sumber penerimaan pajak daerah.

Pajak daerah tahun sebelumnya juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pajak daerah. Signifikannya pengaruh pajak daerah tahun sebelumnya disebabkan dalam menentukan target pungutan pajak, pemerintah daerah berpatokan paling tidak jumlahnya harus lebih besar dari pada pajak daerah tahun sebelumnya. Apabila dilihat dari elastisitasnya, pajak daerah tidak responsif terhadap perubahan PDRB dan kepadatan populasi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Tabel 17. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Fiskal Daerah Persamaan Pajak Daerah (Pajak)

Elastisitas

Nama Peubah Parameter

Estimasi Prob>ITI Jk. Pendek Jk. Panjang

Intercept -235.759 0.1458 - -

PDRB 0.000316 0.0471a 0.437 0.865

Kepadatan Populasi 10.32535 0.0065a 0.314 0.621

Lag Pajak 0.494567 0.0005a - -

Dummy Des Fiskal 225.7637 0.0043a - -

F-Hitung: 45.82 ; R2: 0.750

Persamaan Bagi Hasil Pajak (BHP)

Elastisitas

Nama Peubah Parameter

Estimasi Prob>ITI Jk. Pendek Jk. Panjang

Intercept -964.499 0.3443 - -

PDRB 0.001636 0.0424a 0.144 1.165

Lag Bagi Hasil Pajak 0.876616 <.0001a - -

Dummy Des Fiskal 2518.875 0.0004 - -

F-Hitung: 68.62 ; R2: 0.769 Keterangan: a berbeda nyata pada taraf uji α=0.01

Pajak daerah setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang signifikan dibanding sebelum desentralisasi fiskal yang ditandai oleh tanda positif dan signifikan pada peubah desentralisasi fiskal. Kesimpulan serupa juga ditemukan dalam beberapa studi sebelumnya, seperti pada Sjafrizal (2002) dan Panjaitan (2006) di Sumatera Utara; Riyanto (2003), Sumedi (2005), Usman (2006), dan Nanga (2006) di Indonesia; Saefudin (2005) di Riau.

Kebijakan desentralisasi fiskal signifikan dalam meningkatkan pajak daerah karena setelah desentralisasi fiskal daerah berusaha untuk meningkatkan kemampuan fiskalnya dari sumber-sumber pajak daerah. Pajak daerah merupakan salah satu sumber terbesar pendapatan asli daerah, walaupun setelah desentralisasi kontribusinya mengalami penurunan seperti yang ditunjukkan pada hasil tabulasi kondisi penerimaan daerah pada bab sebelumnya.

Persamaan lain yang berada dalam blok penerimaan fiskal daerah adalah bagi hasil pajak. Hasil estimasi menunjukan bahwa seluruh peubah yang diduga berpengaruh terhadap bagi hasil pajak memiliki dampak positif dan signifikan terhadap bagi hasil pajak. Peubah-peubah yang mempengaruhi bagi hasil pajak tersebut adalah PDRB dan bagi hasil pajak tahun sebelumnya.

PDRB positif dan signifikan mempengaruhi bagi hasil pajak. Sama seperti diketahui sebelumnya, PDRB merupakan indikator berjalannya perekonomian, sehingga jika PDRB meningkat maka sumber-sumber penerimaan bagi hasil pajak juga akan meningkat.

Bagi hasil pajak tahun sebelumnya positif dan signifikan mempengaruhi bagi hasil pajak. Hal tersebut dikarenakan dalam menentukan target bagi hasil pajak, pemerintah daerah berpatokan paling tidak jumlahnya harus lebih besar dari pada bagi hasil pajak tahun sebelumnya. Kalimantan Tengah tidak memiliki sumber daya alam sehingga salah satu sumber penerimaan yang diharapkan mampu menambah kapasitas fiskal daerah adalah bagi hasil pajak. Oleh karena itu setiap tahunnya pemerintah daerah berusaha untuk meningkatkan penerimaan bagi hasil pajak sehingga diharapkan jumlahnya tidak kurang dari tahun sebelumnya.

Apabila dilihat dari elastisitasnya, bagi hasil pajak hanya responsif terhadap perubahan PDRB dalam jangka panjang.

Bagi hasil pajak setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan yang signifikan dibanding sebelum desentralisasi fiskal yang ditandai oleh tanda positif dan signifikan pada peubah desentralisasi fiskal. Kesimpulan serupa juga ditemukan dalam beberapa studi sebelumnya, seperti pada Sjafrizal (2002) dan Panjaitan (2006) di Sumatera Utara; Riyanto (2003), Sumedi (2005), Usman (2006), dan Nanga (2006) di Indonesia; Saefudin (2005) di Riau. Kebijakan desentralisasi fiskal signifikan dalam meningkatkan bagi hasil pajak karena mulai tahun 2001, daerah memperoleh bagi hasil dari pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax). Selain itu, pemerintah daerah mulai serius dalam mengelola sumber-sumber penerimaan bagi hasil pajaknya karena didesak untuk membiayai pengeluaran daerah yang semakin meningkat.

Dokumen terkait