• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi pembangunan Indonesia selama pemerintahan orde baru (sebelum krisis ekonomi) telah mengalami suatu proses pembangunan ekonomi yang pesat khususnya pada tingkat ekonomi makro (agregat). Keberhasilan ini diukur dengan sejumlah indikator ekonomi makro, diantaranya adalah tingkat pendapatan nasional per kapita dan laju pertumbuhan PDB per tahun.

Pada tahun 1968, pendapatan nasional per kapita masih sangat rendah hanya sekitar US$60. Tingkat pendapatan ini jauh lebih rendah dibandingkan pendapatan nasional dari negara sedang berkembang lainnya pada masa itu. Namun, sejak masa Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) I pendapatan nasional Indonesia per kapita mengalami peningkatan yang relatif tinggi setiap tahun dan pada akhir dekade telah mendekati 1980an US$500. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan PDB rata – rata per tahun meningkat mencapai 7%-8% selama 1970an dan kemudian turun menjadi 3%-4% per tahun selama 1980an. Selama kedua periode tersebut, proses pembangunan ekonomi di Indonesia mengalami banyak goncangan yang cukup serius terutama disebabkan oleh faktor – faktor eksternal, seperti merosotnya harga minyak mentah di pasar internasional menjelang pertengahan 1980an dan resesi ekonomi dunia pada dekade yang sama. Hal ini dikarenakan sejak pemerintahan orde baru Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka yang mengakibatkan goncangan – goncangan eksternal seperti demikian sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dampak negatif dari resesi ekonomi dunia tahun 1982 terhadap perekonomian Indonesia terutama terasa dalam laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1982-1988 yaitu sekitar 3,62 % jauh lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni sebesar 4,5%. Pada tahun 1989 perekonomian Indonesia bertumbuh sebesar 7,5%. Angka laju pertumbuhan ini merupakan laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 1982. Dalam tahun 1988 sampai dengan 1989, neraca pembayaran internasional menunjukkan perkemabangan yang cukup baik. Hal tersebut ditandai oleh adanya peningkatan ekspor non migas secara cukup terutama barang – barang manufaktur. Ekspor non migas meningkat 28,2% sehingga mencapai $12,184 juta yang berkaitan erat dengan kebijaksanaan penyesuaian dan tindakan deregulasi yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang membaik serta kenaikan harga beberapa komoditi ekspornon migas di pasar internasional (Laporan Tahunan Bank Indonesia 1989/1990).

Selama pertengahan pertama tahun 1990an rata – rata pertumbuhan per tahun antara 7% hingga 8,2% yang membuat Indonesia termasuk negara di ASEAN dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, rata – rata pendapatan yang diukur dengan PNB per kapita di Indonesia naik pesat setiap tahunnya, yang pada tahun 1993 sudah melewati angka 800 dalam dolar AS. Namun, kejayaan Indonesia dengan pendapatan per kapita yang tinggi tidak bertahan lama. Akibat krisis ekonomi tahun 1997/1998 menyebabkan pendapatan per kapita Indonesia menurun drastis.

Krisis nilai tukar telah menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam sejak bulan Juli 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam triwulan ketiga dan triwulan keempat

menurun menjadi 2,45 persen dan 1,37 persen. Pada triwulan pertama dan triwulan kedua tahun 1997 tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8,46 persen dan 6,77 persen. Pada triwulan I tahun 1998 tercatat pertumbuhan negatif sebesar -6,21 persen.

Merosotnya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah kondisi usaha sektor swasta yang makin melambat kinerjanya. Kelambatan ini terjadi antara lain karena sulitnya memperoleh bahan baku impor yang terkait dengan tidak diterimanya LC Indonesia dan beban pembayaran hutang luar negeri yang semakin membengkak sejalan dengan melemahnya rupiah serta semakin tingginya tingkat bunga bank. Kerusuhan yang melanda beberapa kota dalam bulan Mei 1998 diperkirakan akan semakin melambatkan kinerja swasta yang pada giliran selanjutnya menurunkan lebih lanjut pertumbuhan ekonomi, khususnya pada triwulan kedua tahun 1998.

Sementara itu perkembangan ekspor pada bulan Maret 1998 menunjukkan pertumbuhan ekspor non migas yang meningkat yaitu sekitar 16 persen. Laju pertumbuhan ini dicapai berkat harga komoditi ekspor yang makin kompetitif dengan merosotnya nilai rupiah. Peningkatan ini turut menyebabkan surplus perdagangan melonjak menjadi 1,97 miliar dolar AS dibandingkan dengan 206,1 juta dolar AS pada bulan Maret tahun 1997. Impor yang menurun tajam merupakan faktor lain terciptanya surplus tersebut. Impor pada bulan Maret 1998 turun sebesar 38 persen sejalan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, dampak krisis moneter sangat mempengaruhi pertumbuhan berbagai sektor ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Krisis moneter yang hampir di semua negara mengakibatkan permintaan akan barang dan jasa

mengalami penurunan yang sangat tajam. Turunnya permintaan berdampak aktivitas perusahaan mengalami stagnasi atau penurunan atau bahkan menghentikan kegiatan produksinya. Bersamaan dengan itu, penawaran tenaga kerja mengalami peningkatan baik yang disebabkan oleh pertambahan penduduk maupun dari tenaga kerja yang terpaksa menganggur.

Setelah krisis ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai membaik yang tercermin pada peningkatan PDB per kapita. Pada saat krisis ekonomi, PDB per kapita atas dasar harga berlaku tercatat sekitar 4,8 juta rupiah dan di tahun 1999 naik menjadi 5,4 juta dan terus berlangsung hingga mencapai 10,6 juta rupiah tahun 2004. Dalam dolar AS yang berlaku, pertumbuhan pendapat nasional, yang diukur dengan PNB per kapita pada tahun 2006 mencapai 1420 dolar AS.

Sumber: dikutip dari gambar 1.1 di Tambunan (2009)

Gambar 4.1 Pertumbuhan PDB dan PDB per Kapita di Indonesia

Meskipun krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997/1998 telah berlalu, namun kondisi perekonomian Indonesia belum dapat dikatakan benar – benar baik. Hal ini dapat dilihat dari keadaan ekonomi di tahun 2001. Memburuknya perekonomian Indonesia di tahun 2001 disebabkan masin terdapat berbagai

permasalahan struktural dalam perekonomian dan tingginya resiko serta ketidakpastian hukum di dalam negeri. Di sektor riil, kondisi tersebut telah membatasi kegiatan produksi dan investasi. Perkembangan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang tinggi sekitar 17,7% dari tahun 2000 yaitu dari rata – rata Rp 8.438 per dolar menjadi Rp 10.255 per dolar. Melemahnya nilai tukar rupiah di tahun 2001 ini memberikan tekanan terhadap tingginya inflasi di tahun tersebut.

Berdasarkan kondisi ekonomi yang terus – menerus menurun, maka pemeintah berusaha memulihkan kembali kondisi ekonomi tahap demi tahap. Keberhasilan pemerintah mulai membuahkan hasil. Pada tahun 2007, perekonomian Indonesia memperlihatkan kinerja yang memuaskan meskipun mendapat berbagai tekanan eksternal. Hal ini tergambar dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai yakni berada diatas 6%. Selain itu, neraca pembayaran surplus, cadangan devisa menguat, nilai tukar menguat, pertumbuhan kredit melampaui target dan laju inflasi terkendali. Sementara itu, di tengah perekonomian global yang bergejolak pada tahun 2008 dimana terjadi tekanan harga komoditas internasional bersamaan resiko anjloknya pertumbuhan ekonomi dunia, ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 6,1%.

Dokumen terkait