• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Arab Pra-Islam

Dalam dokumen Wawasan al-Qur'an tentang kekerabatan (Halaman 39-43)

BAB III KEBUDAYAAN MASYARAKAT ARAB

B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Arab Pra-Islam

Masyarakat arab hidup dalam kondisi georgafis yang keras. Perbedaan suhu di sebagaian masyarakat sangat ekstrim, jika udara panas maka suhunya sangat panas sekali, begitu juga jika udara dingin kondisi suhunya juga berubah sangat dingin. Selain itu juga kondisi tanah dan tempat tinggal masyarakat sebagian besar berupa gurun, tanahnya berpasir dan gunung-gunung tandus serta kebanyakan tidak berpenduduk, karena kekurangan air di samping iklimnya yang panas dan kering. Kondisi gegrafis yang seperti di atas mempengaruhi kondisi sosial budaya masyarakat arab.

Secara umum, penduduk Arab terbagi menjadi dua kelompok, yaitu 'Arab

atau penduduk kota dan ‘Ârâb atau penduduk desa. kelompok 'Ârâb bertempat tinggal di kota yang merupakan pusat peradaban. Mereka memiliki rumah yang berbentuk bangunan permanen. Sebutan mereka adalah Ahl al-Madâr atau penduduk kota. Mereka hidup dengan berdagang sehingga lebih maju kehidupannya. Akan tetapi, semangat individualisme mereka lebih kuat daripada komunalisme. Hal ini disebabkan perdagangan telah menimbulkan transformasi

pemikiran di kalangan mereka. Di Makkah, yang merupakan kota perdagangan tidak terdapat struktur pemerintahan yang mengendalikan masyarakat Otoritas masyarakat dipegang oleh malâ, semacam dewan klan atau senat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil suku. Lembaga ini lebih menyerupai lembaga musyawarah dan tidak memiliki hak eksekutif. Otoritasnya hanya seputar masalah moralitas tanpa disertai kewenangan bertindak.5

Di samping itu, terdapat institusi lokal atau jabatan-jabatan yang memiliki fungsi tertentu seperti, hijâbah, Tsiqâyah, rifâdah, nadwah, liwâ' dan qiyâdah. Hijâbah ialah penjaga pintu ka'bah atau yang memegang kucinya. Tsiqâyah

adalah yang menydiakan air tawar -yang sangat sulit diperoleh di Makkah-, untuk para peziarah, serta yang menyeidakan minuman keras yang dibuat dari kurma.

Rifâdah, penyediaan makanan bagi mereka semua, Nadwah pimpinan rapat pada setiap tahun musim. dan Liwâ' panji yang dipancangkan pada tombak lalu ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang menghadapi musuh, dan

Qiyâdah berarti pimpinan pasukan bila dalam keadaan perang.6

Kelompok Â'râb hidup dalam tenda-tenda dan disebut dengan ahl al-Wabar (penduduk desa) atau dikenal dengan suku Badui. setiap tenda mewakili sebuah keluarga, yang merupakan satu rumah tangga yang terdiri dari seorang ayah, anak laki-lakinya, dan keluarga mereka yang merupakan keturunan langsung. Wilayah yang ditempati tenda-tenda membenuk hayy. Semua anggota

hayy rnembentuk sebuah klan (qawm), di mana hak dan tanggung jawab klan

5 Sodiqin, Antropologi Al-Qur’ân, Model Dialektika Wahyu & Budaya, (Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media, 2008) hal. 42-43

6 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa,

bersifat kolektif berdasarkan solidaritas kelompok atau ashabiyah. Sejumlah klan yang sedarah kemudian bersama-sama membentuk suku (qabîlah).7

Masyarakat Badui tinggal di padang pasir yang tanpa air dan tumbuh-tumbuhan. Mereka tidak suka bertani, tetapi lebih suka berpcrang dan membunuh. Sumber perekonomian mereka adalah pedang dan panah. Masyarakat ini mewakili bentuk adaptasi kehidupan manusia terhadap kondisi lingkungannya. Pekerjaan utama mereka adalah penggembala ternak (pastoral). Mereka adalah kelompok suku nomad yang berkelana dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Tujuannya adalah mencari daerah-daerah yang berumput dan memiliki sumber air untuk kehidupan mereka dan ternaknya. Meskipun nomad, mereka memiliki tatanan nilai, kebiasaan, dan adat istiadat sendiri. Identitas mereka dapat dilihat dari caranya berpakaian. Mereka biasanya memakai pakaian bawah yang panjang

(tsaûb) dan ikat pinggang. Pakaian arasnya longgar (aba) dan menggunakan penutup kepala berupa syal (kufiyya) yang diikat dengan tali ('iqâd).8

Selain orang-orang Arab asli, dikenal juga kelornpok mawali. kelompok ini merupakan orang-orang non-Arab, yang terdiri dari:

1. Orang yang menggantungkan diri pada suatu kaum, tetapi bukan berasal dari golongannya.

2. Orang Arab tapi keturunari dari suku lain, mereka meninggalkan sukunya sendiri dan bergabung dengan suku yang lainnya.

3. Tawanan perang yang sudah dibebaskan oleh tuan-tuannya.

7 Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin dkk,

(Jakarta: Serambi Ilmu Kencana, 2008), hal.32

8 Sodiqin, Antropologi Al-Qur’ân, Model Dialektika Wahyu & Budaya, (Yogyakarta:

4. Orang-orang non-Arab (al-'Ajâm) yang memiliki kepandaian dan keahlian.9 Kelompok sosial lain adalah kaum budak. Budak ini pada awalnya lahir sebagai akibat adanya perang antarsuku. Suku yang kalah akan menyerahkan anak-anak dan kaum perempuan sebagai tawanan yang kemudian dijadikan budak. Di samping itu, terdapat pula budak yang berasal dari luar Arab, yaitu Afrika. Kehadiran mereka berkaitan dengan kepenthigan perdagangan.

Lain di Makkah lain pula yang terjadi di masyarakat Madinah. Jika Makkah adalah pusar perdagangan, maka Madinah merupakan wilayah pertanian. Banyaknya oasis di wilayah ini yang menyebabkan tanah subur dan cocok untuk pertanian dan perkebunan. Tetapi, sistem pertanian di wilayah ini tetap tunduk pada sifat kesukuan, di mana tanah dimiliki secara bersama. perkampungan masyarakatnya menyebar di antara hutan kecil kelapa dan tanah ladang. Masyarakat Madinah tidak memiliki lembaga pemerintahan. Masing-masing suku mempunyai aturan sendiri yang dipegangi untuk anggotanya. Hal ini kerap kali menimbulkan permusuhan antarsuku, karena ketiadaan lembaga mediator. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang heterogen. Terdapat sebelas klan dan delapan di antaranya adalah beragama yahudi. penduduknya terdiri dari tiga komunitas besar, yaitu kelompok Yahudi, Arab pagan, dan penganut kristen. Di antara ketiga komunitas tersebut, kelompok yahudi adalah yang paling mendominasi. Merekalah yang memiliki lahan pertanian dan perkebunan serta menguasai perdagangan. Di samping itu, mereka juga memiliki profesi sebagai tukang emas dan pandai besi.

9 Sodiqin, Antropologi Al-Qur’ân, Model Dialektika Wahyu & Budaya, (Yogyakarta:

Dalam dokumen Wawasan al-Qur'an tentang kekerabatan (Halaman 39-43)

Dokumen terkait