• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.6. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat

Masyarakat yang mendiami Desa Dirun memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini disebabkan karena adanya perkawinan antar kerabat yang telah terwariskan secara turun-temurun. Di Desa Dirun terdapat ± 20 suku yang mendiami 9 dusun yang ada di desa tersebut yang berjumlah 674 KK. Sedangkan pada dusun yang berada di pusat kecamatan telah banyak para pendatang yang bekerja sebagai tenaga pendidik, perawat ataupun tenaga jasa lainnya juga adanya para pengungsi Timor Leste yang telah menetap di Desa Dirun tersebut.

4.6.1. Bahasa

Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antar suku adalah bahasa Bunaq Kata “Bunaq” tidak mempunyai arti khusus, melainkan kata yang dipakai oleh suku bangsa Bunaq sendiri, untuk menyebut suku bangsa Bunaq dan bahasa Bunaq. Suku Bunaq ini merupakan salah satu suku dari 3 suku besar yang mendiami wilayah Kabupaten Belu. Bahasa Bunaq ini memilki keunikan tersendiri dari vokal-vokalnya.

Dalam bahasa Bunaq ditemukan arti dari setiap huruf vokal yang terdiri dari huruf-huruf A, I, U, E, O. Huruf A mempunyai arti makan. Huruf vokal I berarti kita dan arti kedua atau arti lain dari vokal I adalah menggigit. Huruf vokal U berarti rumput atau arti lain hidup. Huruf vokal E berarti garam. Vokal O artinya udang. Gabungan huruf dua huruf vokal juga mempunya arti tersendiri. Misalnya AI artinya tanta. AU artinya bambu. AE artinya memberi makan kepada. AO artinya memanah. IA artinya memakan Anda. IU artinya berulat. IE artinya milikmu. IO artinya kotoranmu atau tahimu. UA artinya jejakmu. UI artinya ulat. UE artinya memukul. EA artinya memberi makan kepadamu. EI artinya mereka. OE artinya rotan.

4.6.2 Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Desa dirun pada umumnya adalah bertani. Hanya sebagian kecil saja yang memiliki mata pencaharian sebagai swasta atau pegawai negri. Hal ini disebabkan karena kegiatan berladang merupakan kegiatan utama untuk memenuhi kebutuhan mereka dan sudah menjadi budaya yang sulit ditinggalkan. Sesuai dengan keadaan ekosistemnya maka di Desa Dirun komoditas yang cocok adalah padi yang hanya terpusat di pusat kecamatan dan palawija serta tanaman pangan di seluruh wilayah Desa Dirun seperti jagung, ubi kayu, bawang merah dan bawang putih yang bernilai ekonomi tinggi dan sebagai sumber pendapatan utama. Meskipun di Desa Dirun cocok untuk budidaya lorong, terasering dengan pengembangan tanaman perkebunan (kopi, kemiri), kehutanan (jati, mahoni), tanaman umbi-umbian dan tanaman obat-obatan yang bisa hidup di bawah pepohonan yang menjadi makanan alternatif masyarakat bila terjadi musim paceklik di lahan sawah maupun di lahan kering boleh dikatakan belum beraturan. Hal ini ada berkaitan dengan tingkat kebutuhan petani yang didasarkan pada kebutuhan mendesak atau tidaknya. Di samping itu diakibatkan oleh kebiasaan peternak yang membiarkan ternaknya berkeliaran ketika selesai panen. Hal lain ialah petani kurang sadar akan pentingnya penerapan pola tanam karena para petani selalu merasa puas dengan hasil yang ada kendati kenyataan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Paso 2003).

4.6.3 Pendidikan

Masyarakat di Desa Dirun dilihat dari tingkat pendidikannya telah banyak yang bersekolah atau menikmati pendidikan dikarenakan telah adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya anggota masyarakat yang telah menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Meskipun demikian, pada umumnya masyarakat di Desa Dirun hanya berpendidikan SD atau bahkan tidak pernah menikmati bangku pendidikan sama sekali. Fenomena inilah yang secara teoritis menggambarkan adanya korelasi positif dengan peluang kerja. Sehubungan dengan itulah maka di Desa Dirun dijumpai pada umumnya masyarakat bermatapencaharian sebagai petani.

4.6.4 Sejarah

Nama Bunaq sebagai nama asli dari suku bangsa ini baru saja diperkenalkan dan dilasimkan oleh bekas Raja Lamaknen A.A.Bere Tallo, sejak tahun 1950-an. Bahasa Bunaq dipakai oleh Suku Bangsa Bunaq, yang mendiami bekas swapraja Lamaknen di wilayah Timor Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Banyak orang Bunaq yang juga mendiami wilayah-wilayah yang berbahasa Tetum seperti Kedesaan Aitoun, Litamali, Kamanasa, Suai, Kletek, Sukabinawa dan Babulu. Di samping itu suku bangsa Bunaq mendiami wilayah yang luas pula di Timor-Timur yakni Wilayah Daerah Tingkat II Bobonaro (bekas keliuraian Lolotoi, Lakus, Bobonaru, Aiasa, Memu, Maliana dan Hoololo). Di samping itu terdapat pula di Kecamatan Fatululi dalam wilayah Kabupaten Kobalima. Baik orang-orang Bunaq di Timor-Timur maupun Belu mempunyai leluhur yang sama dan hubungan darah langsung yaitu semuanya berasal dari Timor-Timur. Suku Bunaq adalah satu suku bangsa yang mendiami pegunungan Lamaknen dan sekitar jajaran bukit Lakus dan Nabilwa. Ia mempunyai banyak perbedaannya dengan suku Bangsa Belu yang berbatasan dengannya, dalam hal bahasa dan kebudayaannya. Mereka ini juga merupakan salah satu dari suku-suku bangsa yang tua yang lebih dahulu mendiami Pulau Timor. Masyarakat Bunaq tidak termasuk di dalam kelompok bangsa-bangsa Melayu, karena

tempurung tengkorak kepalanya yang lebih besar dan memperlihatkan segala ciri-ciri dari bangsa Irian (Friedberg 1990).

4.6.5 Sistem Religi dan ritualnya

Pada masa sekarang dapat dikatakan , 100 % suku bangsa Bunaq di Lamaknen pada umumnya telah memeluk agama Katholik. Namun demikian , para pemeluk agama Katholik ini pada hakekatnya belum melepaskan konsep-konsep dan adat istiadat keagamaan yang berasal dari religi asli tersebut. Unsur penting dalam religi asli itu adalah adanya kepercayaan bahwa ada satu keadaan yang Tertinggi, disebut “Hot” atau “Hot Esen”. Dalam syair mitologis Hot Esen disebut “ Masaq Giral

Kereq, Boal Gepal Uen” yang artinya Yang Agung bermata tunggal dan bertelinga tunggal yang berarti pula Yang Agung Maha Sempurna.

Kepercayaan yang lain ialah menurut syair itu adalah

Hot Esen berdiam di Esen Hitu, As Hitu (pada tujuh ketinggian). Kegelapan meliputi seluruh alam raya. Untuk menghalau kegelapan, Hot menciptakan bintang, bulan dan matahari. Ternyata di bawah Esen Hitu, As Hitu, hanya ada air tidak terbatas. Hot menjatuhkan satu gumpalan tanah, ternyata hanya menjadi air. Dijatuhkan lagi gumpalan 3 buah namun hanya kelihatan binatang bergerak dalam air. Dijatuhkan lagi 5 gumpalan sehingga terpisahlah daratan dengan air, tetapi tanah hanya dalam keadaan rata, tidak bergunung dan berbukit, dan hanya penuh ditumbuhi rumput “tese” dan “sibil”. Dijatuhkan lagi 7 gumpalan, bermunculanlah pegunungan dan pebukitan, tetapi masih bergoyangan di atas air. Dengan menurunkan pohon “ge”, mantaplah tanah daratan ciptaan itu. Untuk menggilas rumput “tese” dan “sibil” diturunkan kambing, babi, kerbau maka tergilaslah rerumputan itu. Diturunkan lagi kera untuk menghuni hutan, serta burung gagak dan burung “koak” untuk memberi tanda tibanya siang dan malam. Bumi disebut ligi hitu nual hitu yang berarti tujuh yang dibawah. Kemudian ternyata bintang, bulan dan matahari melahirkan manusia. Inilah sebabnya manusia disebut “Hot Gol”-“Hul Gol” yang berarti anak matahari dan bulan. Di samping itu bintang-bintang melahirkan pula roh-roh jahat pembawa malapetaka bagi manusia dan roh baik membawa kemakmuran, keberanian,

kepandaian bagi manusia. Manusia ini berdiam di Esen Hitu, As Hitu akan tetapi sejak kecil nakal, suka berkelahi, sesudah dewasa, juga mulai mencuri, merusakkan barang milik orang, lalu Hot memerintahkan mereka itu, untuk mendiami bumi.

Sehubungan dengan itu, religi yang dilakukan pada saat membangun rumah suku baru atau rumah adat ditujukan untuk memulihkan kembali keseimbangan antara para anggota suku yang membuat rumah dengan kayu, rumputan. Berdasarkan pemikiran masyarakat Bunaq, bahwa kayu dan bahan lainnya yang digunakan adalah sesama makhluk yang sama dan sederajat dengan manusia, sehingga harus diadakan perdamaian kembali dengan mereka.

Sementara itu, terdapat ritual mengenai bahan makanan yakni kayu cendana dan lilin (lebah). Hal ini berdasarkan syair mitologis, bahwa bahan makanan, kayu cendana dan lebah adalah hasil penjelmaan seorang putera dan puteri bernama Dasi Bau Maliq dan Dasi Bui Maliq. Dasi Bui Maliq menjadi lebah dan Dasi Bau Maliq menjelma menjadi bahan makanan dan kayu cendana. Kemudian, darah dagingnya menjelma menjadi padi-padian, giginya menjadi jagung, lidahnya menjadi tebu, biji matanya menjadi kacang-kacangan, perutnya menjadi labu, pantatnya menjadi ubi. Berdasarkan kepercayaan itu, maka ada berbagai upacara yang dilakukan yang berkaitan dengan bahan makanan yang ditujukan untuk menghindarkan bencana alam, pemusnah makanan, melancarkan curah hujan, menambah kesuburan tanah serta memberikan hasil panen yang berlimpah (Mali 2009).

4.6.6 Nama panggilan anak secara adat

Dalam kehidupan masyarakat suku Bunaq, setiap anak memiliki panggilan secara adat. Adapun panggilan untuk anak laki-laki maka panggilan apa’ untuk memanggil anak sulung, pou untuk anak kedua, uju untuk anak ketiga dan uka untuk anak bungsu. Apabila anak laki-laki berjumlah lebih dari empat orang maka anak kelima disebut sebagai anak sulung dengan panggilan apa’ dan seterusnya. Panggilan untuk anak perempuan sama halnya panggilan adat yang diberikan kepada anak laki-laki hanya berbeda pada panggilan yang diberikan bagi anak sulung yakni pada anak perempuan diberi nama aiba.

BAB V

Dokumen terkait