• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. POTENSI DAN KONDISI PERAIRAN

2.3 Kondisi Sosial dan Budaya

Partisipasi pemangku kepentingan dalam pelaksanaan perencanan, implementasi dan monitoring pengelolaan perikanan sangat diperlukan. Keputusan yang bersifat kolaboratf dan partisipatif lebih memberikan kemaslahatan bagi banyak orang dan kebersamaan dalam pelaksanaan pengelolaan secara terintegrasi umumnya lebih dapat tercapai. Keterlibatan masyarakat hanya sebagian kecil dalam menentukan keputusan, dan biasanya hanya pimpinan daerah dan tokoh-tokoh masyarakat yang lebih berperan.

Interaksi sosial dalam pengelolaan perikanan di wilayah laut, berpeluang menimbulkan konflik perikanan. Hal ini dikarenakan batasan wilayah belum terdefinisi dengan baik. Konflik perikanan terjadi ketika pengkapan ikan bagi nelayan di luar kawasan, tanpa sengaja memasuki kawasan TNK, dan sering terjadi konflik antara nelayan dengan petugas TNK. Berkaitan dengan konflik antar nelayan. Potensi konflik juga dapat terjadi pada penguasaan wilayah laut untuk kegiatan budidaya laut khususnya rumput laut. Penguasaan wilayah laut tanpa batas oleh satu orang atau sekelompok pembudidaya akan berdampak terhadap orang lain atau kelompok pembudidaya lainnya untuk untuk mengakses wialayah laut. Untuk itu perlu dilakukan pembatasan luas laut maksimal yang bisa dimanfaatkan oleh satu orang pembudidaya dalam melakukan usaha rumput laut.

Tenaga kerja sangat dibutuhkan dalam kegiatan proses produksi rumput laut. Pada beberapa lokasi sentra produksi seperti di Naga Kantor kecamatan Macang Pacar kebutuhan tenaga kerja diatasi dengan keterlibatan kaum perempuan dan anak-anak dalam membantu kegiatan pengikatan rumput laut. Anak-anak yang terlibat tidak dipandang sebagai pelibatan tenaga kerja anak, namun ini sebagai bagian dari proses edukasi bagi anak dalam memahami tentang kegiatan kewirausahaan khususnya kegiatan budidaya rumput laut, dan pelibatan anak-anak ini berlangsung setelah usai kegiatan belajar mengajar di sekolah. Hal lain juga terlihat dalam proses produksi rumput laut di Golo Sepang kecamatan Boleng, mengingat lokasi budidaya jauh dari perkampungan, maka kegiatan pengikatan dan penanaman serta pemanenan dilakukan oleh tenaga kerja yang diupah oleh pemiliki lahan budidaya rumput laut.

20

a) Kekerabatan dan Adat Istiadat

Hubungan kekerabatan/kekeluargaan dipahami sebagai hubungan yang terjalin karena pertalian darah perkawinan, karena tempat tinggal yang berdekatan, dan pergaulan hidup sehari-hari. Ada beberapa pengelompokan hubungan kekerabatan/kekeluargaan menurut budaya Manggarai, yaitu asekae (keluarga patrilineal), pa’ang ngaung (keluarga tetangga), anak rona- anak wina/woenelu (keluarga kerabat istri dan keluarga kerabat penerima istri), da hae reba (kenalan terdekat).

Dalam menyelesaikan konflik baik yang menyangkut tanah maupun konflik sosial yang melanggar norma adat, pertama kali dilakukan pada masing-masing kilo atau masing-masing suku (panga), tergantung pada muatan jenis dan pelanggarannya. Setiap persoalan biasanya diselesaikan secara damai dengan mekanisme hambor (perdamaian adat).Setiap keputusan yang diambil didasarkan pada prinsip ipo ata poli wa tanan nganceng lait kole (apa yang telah diputuskan bersama tidak dapat diganggu gugat). Sanksi terhadap pelanggaran tidak berupa uang melainnkan berupa benda atau hewan seperti tuak, ayam, anjing, babi dan lain sebagainya.

Jabatan tua-tua adat di Manggarai yang berlaku hingga sekarang adalah tua kilo/ tua panga, tua olo, tongka, tua teno. Tua kilo/tua panga menunjuk pemimpin adat dalam masyarakat yang dipilih berdasarkan musyawarah bersama. Tua Golo bertugas untuk memimpin sidang warga kampung yang menyangkut kampung. Tua Teno adalah kepala bagi tanah ulayat. Tongka berfungsi sebagai juru bicara dalam acara perkawinan, antara keluarga kerabat yakni keluarga kerabat anak rona dan keluarga kerabat anak wina (www.manggaraibaratkab.co.id).

Adat istiadat masyarakat Manggarai Barat sangat berkaitan erat dengan sistem mata pencaharian masyarakat. Oleh sebab itu sistem mata pencaharian merupakan bagian dari unsur budaya masyarakat. Sistem mata pencaharian masyarakat di Manggarai Barat pada umumnya adalah nelayan, petani dan pedagang. Di Manggarai Barat, Suku Manggarai pada umumnya menggeluti bidang pertanian, sementara Suku Bugis pada umumnya di bidang perdagangan, dan Suku Bajo serta Bima menggantungkan diri dari hasil laut, sesuai tradisi nenek moyang mereka. Masyarakat yang mendiami wilayah Manggarai Barat didaratan Pulau Flores (sebagai pulau utama)

21

mendominasi bidang pertanian, sementara masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil lainnya tersebar di dalam dan di sekitar wilayah Taman Nasional Komodo mendominasi pekerjaan sebagai nelayan dan berdagang. Adanya perkembangan masyarakat menuju budaya perkotaan terasa di Kota Labuan Bajo, masyarakat Labuan Bajo yang dulunya dominan bekerja di perikanan laut, bergeser ke sektor jasa dan perdagangan yang mendukung kegiatan pariwisata.

b) Kearifan Lokal

Kearifan lokal yang masih dipertahankan bukan hanya sebatas ritual semata, biasanya lebih efektif digunakan dalam pengelolaan perikanan. Kearifan lokal yang ada hingga saat ini hanya berupa ritual memulai dan mensyukuri hasil tangkapan, sedangkan kearifan lokal yang berbentuk pengaturan dan pemberian sanksi, tidak ada di kabupaten ini.

Kearifan lokal masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat disebut dengan Nempung Cama atau duduk bersama mendiskusikan hal hal yang baik untuk keberlanjutan hidup termasuk upaya perlindungan alam dan habitat dari kerusakan Sanksi atas pelanggaran ditentukan berdasarkan kesepakatan diantara tokoh desa dan masyarakat, biasanya berupa hewan ataupun uang. Kearifan lokal terkait penangkapan ikan dapat dijumpai di desa Nucamolas kabupaten Manggarai. Di desa ini terdapat ritual Penangkapan ikan Lambagor / Kakap Merah melalui prosesi upacara Adat yang dipimpin oleh Punggawa /pawang. Kegiatan ini dilakukan pada rentang bulan Desember - Maret setiap tahunnya dimulai dengan pembuatan sangkar penangkapan ikan dengan acara bakar ayam atau telur satu untuk meminta hasil dan keselamatan untuk kemudian dilakukan persembahan bagi para penguasa lautan agar hasil tangkapan dapat melimpah.

Dalam melakukan kegiatan bercocok tanam di sawah dan kebun, masyarakat Manggarai Barat mengenal tradisi gotong royong yang dikenal dengan Julu. Tradisi ini dilakukan dengan cara kerja gotong royong membantu mengolah lahan untuk bercocok tanam di sawah dan kebun. Tradisi ini dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya rumput laut terutama pada masa memulai tanam dan pemanenan. Hal ini dapat dilakukan dalam mensiasati keterbatasan tenaga kerja dalam masa produksi rumput laut.

22

Dokumen terkait