• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wilayah Kabupaten Nganjuk dibagi dalam 20 kecamatan, 20 kelurahan dan 264 desa. Jumlah penduduk Kabupaten Nganjuk pada akhir tahun 2004 sebesar 1.029.468 jiwa dengan perincian 509.156 jiwa penduduk laki-laki dan 520.312 jiwa penduduk perempuan. Sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah bertani, disamping itu kepadatan penduduknya mencapai 956

jiwa per km². Penduduk di Kabupaten Nganjuk menganut beberapa agama dan kepercayaan namun penduduknya mayoritas beragama Islam.

Fasilitas pendidikan yang ada di Kabupaten Nganjuk sejak tahun 2002 sudah cukup memadai, dimana jumlah Sekolah Dasar (SD) sebanyak 726 unit, jumlah SLTP ada 69 unit, sedangkan SMU berjumlah 51 unit, untuk Perguruan Tinggi ada 3 unit.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 L u a s ( H a )

KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII KU IX KU X MR

Kelas Umur

Perubahan Kelas Hutan Untuk Produksi Kayu Jati BH Tritik

1975 1985 1995 2005 5.1 Identifikasi Perubahan Hutan dan Tegakan

Identifikasi perubahan kelas hutan dilakukan untuk setiap kelas umur tegakan pada kelas perusahaan Jati di KPH Nganjuk selama 3 periode terakhir (1975 – 2005), dimana dalam pengolahannya dibedakan menjadi 2 bagian yaitu Bagian Hutan (BH) Tritik dan Bagian Hutan (BH) Brebek. Data hasil identifikasi perubahan hutan yang bersumber dari buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hasil (RPKH) Kelas Perusahaan Jati KPH Nganjuk disajikan pada Lampiran 1 (BH Tritik dan BH Brebek). Grafik perubahan luasan kelas hutan untuk produksi kayu jati pada BH Tritik dapat dilihat pada Gambar 1, dan pada BH Brebek dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1 Perubahan kelas hutan untuk produksi kayu jati BH Tritik. Perubahan tegakan yang tejadi di BH Tritik untuk setiap kelas umur selalu mengalami penurunan pada saat menjadi kelas umur berikutnya dan perubahan yang paling besar terjadi pada saat KU III menjadi KU IV di periode III (1995 - 2005). Dapat dilihat pada Gambar 1, perubahan tegakan setiap kelas umur terus mengalami penurunan luas dari periode awal hingga periode akhir, akan tetapi luas total produktif dari periode ke periode-periode berikutnya terus bertambah, hal ini diduga karena selalu dilakukan peningkatan luas areal penanaman pada

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 L u a s ( H a )

KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII KU IX KU X MR

Kelas Umur

Perubahan Kelas Hutan Untuk Produksi Kayu Jati BH Brebek

1975 1985 1995 2005

lahan bekas tebangan, seperti pada risalah tahun 1975 luas KU VIII (masak tebang) sebesar 218,6 Ha, sedangkan penanaman yang dilakukan pada risalah tahun 1985 sebesar 1779,7 Ha. Dapat terlihat pula dari Gambar 1 di atas bahwa pada KU I di tahun risalah 2005 memiliki luas areal yang sangat jauh lebih besar daripada di tahun-tahun risalah sebelumnya, hal ini menunjukkan luas areal penanaman di tahun-tahun risalah sebelumnya dengan kondisi di lapangan saat ini sudah tidak memungkinkan untuk dipertahankan lagi, karena sudah tidak memungkinkan lagi dengan luasan tersebut bisa dipanen di umur masak tebang. Oleh karenanya dilakukan peningkatan luas areal penanamannya, hal ini didukung dengan kondisi tanaman pada kelas umur tua (KU III ke atas), terutama pada kelas umur masak tebang yang luas arealnya jauh lebih lebih kecil.

Luas tanah kosong (TK) dan tanaman Jati bertumbuhan kurang (TJBK) pada setiap tahun risalah semakin bertambah (Lampiran 2) sejak tahun 1985 sampai tahun 2005, dengan demikian dapat dikatakan bahwa luasan tegakan jati yang mengalami kerusakan terus mengalami peningkatan dari periode II (1985 – 1995) hingga periode III (1995 – 2005).

Gambar 2 Perubahan kelas hutan untuk produksi kayu jati BH Brebek. Perubahan tegakan yang terjadi di BH Brebek (Gambar 2) juga mengalami hal yang sama dengan yang terjadi di BH Tritik, yaitu luasan setiap kelas umur tegakan selalu mengalami penurunan pada saat menjadi kelas umur berikutnya.

Perubahan yang paling besar terjadi pada saat KU III menjadi KU IV di periode III (1995 – 2005), dimana luas KU III pada tahun risalah 1995 adalah sebesar 982,9 Ha kemudian di tahun risalah 2005 KU III yang dapat tumbuh menjadi KU IV hanya sebesar 71,3 Ha. Pada Gambar 2 terlihat luas setiap kelas umur dan luas total produktif dari tahun risalah 1975 hingga tahun risalah 2005 selalu mengalami penurunan, terkecuali untuk luas total produktif pada tahun risalah 2005 yang mengalami kenaikan akibat kegiatan penanaman sebesar 5163,6 Ha. Sehingga dapat dikatakan untuk BH Brebek perubahan kelas umur tegakan selama 3 periode (30 tahun) sudah tidak dapat tumbuh sesuai dengan yang diharapkan dan sudah mengalami gangguan hutan sejak periode awal.

Hal yang sama juga terjadi di BH Brebek apabila melihat perubahan kelas hutan yang tidak produktif pada (Lampiran 2), yaitu luas TK dan TJBK pada setiap tahun risalah selalu mengalami kenaikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada BH Brebek luasan tegakan jati yang mengalami kerusakan terus mengalami peningkatan sejak periode awal hingga periode akhir. Sehingga tegakan yang masak tebang tidak dapat memenuhi jumlah tebangan yang sudah ditentukan oleh pihak Perhutani.

Jika melihat pada syarat-syarat umum yang ditentukan Osmaston (1968), secara umum kondisi yang terjadi di KPH Nganjuk baik di BH Tritik maupun di BH Brebek saat ini tidak dapat memenuhinya. Karena tegakan yang ada di lapangan saat ini tidak bisa mencapai kuantitas atau hasil yang diinginkan, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar. Begitu juga sama halnya dengan konsep hutan normal pada tegakan seumur, dimana menurut Osmaston (1968) ada beberapa norma utama yang harus dimiliki. Kondisi tegakan di lapangan saat ini tidak dapat memenuhi beberapa norma tersebut, yaitu stok pertumbuhan yang ada di lapangan dan pertumbuhannya tidak normal.

Untuk mengetahui besarnya total luas hutan produktif dan penyebaran komposisi tegakan jati dalam setiap kisaran kelas umur dan di setiap tahun risalah, diperlukan data hasil rekapitulasi hutan produktif yang disajikan pada Tabel 2 (BH Tritik) dan Tabel 3 (BH Brebek).

Tabel 2 Rekapitulasi hutan produktif BH Tritik. Kelas Umur Luas (Ha) Tahun Risalah 1975 1985 1995 2005 KU I - III 4424,9 5330,9 4963,8 6598,9 KU IV - VI 2019,8 1857,3 2199,4 1356,4 KU VII keatas 940,2 715,3 819,3 297,6 Luas (%) KU I - III 60 67 62 80 KU IV - VI 27 23 28 16 KU VII keatas 13 9 10 4

Dari Tabel 2 di atas terlihat sejak tahun risalah 1975 hingga tahun risalah 2005 tegakan Jati kelas umur di bawah 30 tahun (KU I – III) selalu memliki luas yang domninan di atas 50 % dibandingkan dengan tegakan Jati kelas umur di atas 30 tahun. Terutama pada kondisi akhir (tahun 2005) sangat terlihat jelas tegakan jati muda (KU I – III) sangat mendominasi, bahkan sampai melebihi 75 % (sebesar 80 %). Sehingga pada KU IV – VI komposisinya sangat kecil yaitu sebesar 16 %, apalagi pada KU VII ke atas (masak tebang) hanya memiliki komposisi yang lebih kecil lagi yaitu sebesar 4 %.

Tabel 3 Rekapitulasi hutan produktif BH Brebek.

Kelas Umur Luas (Ha) Tahun Risalah 1975 1985 1995 2005 KU I - III 4830 4505,6 2610,6 5584,7 KU IV - VI 75,1 217,2 850,4 82,3 KU VII keatas 273,3 261,6 191,3 43,4 Luas (%) KU I - III 93 90 71 98 KU IV - VI 1 4 23 1 KU VII keatas 5 5 5 1

Tegakan jati KU I – III di BH Brebek (lihat Tabel 3) selalu memiliki luas yang dominan pada setiap tahun risalah yaitu sebesar 93 %, terutama pada tahun risalah 2005 untuk KU I – III memiliki komposisi luas yang sangat dominan, yaitu

sebesar 98 %. Sedangkan untuk KU IV ke atas hanya memiliki komposisi yang sangat kecil, yaitu masing-masing sebesar 1 %.

Setelah melihat perubahan kelas hutan dan rekapitulasi hutan produktif di kedua BH KPH Nganjuk, dapat dikatakan perubahan kelas hutan yang terjadi selalu mengalami kerusakan atau gangguan hutan pada setiap periodenya, hal ini didukung dengan semakin meningkatnya luasan TK dan TJBK, serta komposisi tegakan jati di kelas umur tua (KU III ke atas) pada risalah tahun 2005 yang sangat kecil baik di BH Tritik maupun di BH Brebek. Kemudian dari data laju perubahan areal produktif di kedua BH dari periode awal hingga periode akhir menunjukkan angka yang relatif besar untuk setiap tahunnya, yang berarti semakin besar pula penurunan luas areal produktifnya. Untuk melihat laju perubahan areal produktif kedua bagian hutan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4 Laju perubahan areal produktif setiap KU pada BH Tritik.

Kelas Umur

Periode Periode Periode

1975 - 1985 1985 - 1995 1995 - 2005

(Ha/th) (Ha/th) (Ha/th)

KU I - II 23 23 21 KU II - III 10 12 83 KU III - IV 7 44 88 KU IV - V 20 9 85 KU V - VI 6 26 29 KU VI - VII 4 13 47 KU VII - VIII 2 23 45

Tabel 5 Laju perubahan areal produktif setiap KU pada BH Brebek.

Kelas Umur

Periode Periode Periode 1975 - 1985 1985 - 1995 1995 - 2005

(Ha/th) (Ha/th) (Ha/th)

KU I - II 28 39 46 KU II - III 67 76 75 KU III - IV 36 82 91 KU IV - V 0 11 75 KU V - VI 0 0 10 KU VI - VII 1 0 0 KU VII - VIII 1 1 1

Laju perubahan areal produktif di atas merupakan laju pengurangan luas areal produktif (berhutan) setiap tahun, dari kelas umur awal menjadi kelas umur berikutnya. Dapat dilihat bahwa pada Tabel 4, secara keseluruhan laju perubahan areal produktif yang paling tinggi selama 3 periode terakhir terjadi di periode 1995 - 2005 pada saat KU III menjadi KU IV yaitu sebesar 88 ha/th. Sedangkan laju perubahan areal produktif yang paling kecil pada saat KU VII menjadi KU VIII di periode 1975 – 1985 yaitu sebesar 2 ha/th. Apabila dilihat menurut masing-masing periode, maka pada periode awal (1975 – 1985) laju perubahan tertinggi yaitu pada saat KU I menjadi KU II adalah sebesar 23 ha/th dan yang terkecil pada saat KU VII menjadi KU VIII yaitu sebesar 2 ha/th. Kemudian di perode berikutnya (1985 – 1995) laju perubahan yang paling besar terjadi pada saat KU III menjadi KU IV yaitu sebesar 44 ha/th, sedangkan laju perubahan yang paling kecil terjadi pada saat KU IV menjadi KU V yaitu sebesar 9 ha/th. Di periode terakhir (1995 – 2005) laju perubahan tertinggi terjadi pada saat KU III menjadi KU IV yaitu sebesar 88 ha/th, dan untuk laju perubahan terkecil terjadi pada saat KU I menjadi KU II yaitu sebesar 21 ha/th. Selain itu, rata-rata laju perubahan areal produktif terbesar dari periode awal hingga periode akhir yang terjadi di BH Tritik adalah pada saat KU III menjadi KU IV. Sehingga dapat dikatakan tegakan jati di BH Tritik pada saat sekarang ini tidak mampu dipertahankan.

Sedangkan pada BH Brebek (lihat Tabel 5), secara keseluruhan laju perubahan areal produktif yang paling tinggi selama 3 periode terjadi di periode terakhir pada saat KU III menjadi KU IV yaitu sebesar 91 ha/th. Sedangkan laju perubahan yang terkecil terjadi di periode 1975 – 1985 dan periode 1985 – 1995 pada saat KU V menjadi KU VI yaitu sebesar 0 ha/th atau tidak mengalami laju perubahan areal produktif, hal ini dikarenakan pada kelas umur tersebut hanya terdapat satu petak di BH Brebek. Sama halnya dengan KU IV dari periode awal hingga periode akhir selalu tidak mengalami laju perubahan areal produktif, hal ini dikarenakan sudah tidak ada lagi kelas umur tegakan yang tergolong KU IV sejak tahun 1975. Bila dilihat menurut masing-masing periode, pada periode awal laju perubahan yang paling besar terjadi pada saat KU II menjadi KU III yaitu sebesar 67 ha/th dan laju perubahan yang paling kecil terjadi pada saat KU V

menjadi KU VI yaitu sebesar 0 ha/th. Kemudian di periode berikutnya laju perubahan terbesar yaitu pada saat KU III menjadi KU IV sebesar 82 ha/th dan laju perubahan terkecil pada saat KU VI menjadi KU VII sebesar 0 ha/th. Di periode terakhir laju perubahan yang paling besar terjadi pada saat KU III menjadi KU IV yaitu sebesar 91 ha/th, sedangkan laju perubahan yang paling kecil terjadi pada saat KU VII menjadi KU VIII yaitu sebesar 1 ha/th. Disamping itu rata-rata laju perubahan areal produktif terbesar dari periode awal sampai periode terakhir adalah pada saat KU II menjadi KU III dan pada saat KU III menjadi KU IV.

Dokumen terkait