• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3. Kondisi tanaman (eksplan)

Umur dan kondisi fisiologis eksplan sering mempengaruhi keberhasilan kultur antera. Secara umum, respon yang paling baik berasal dari bunga pertama yang dihasilkan oleh tanaman, dan antera yang dikulturkan harus berasal dari bunga yang masih kuncup. Berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi

pertumbuhan tanaman donor juga mempengaruhi tanaman dihaploid yang dihasilkan. Intensitas cahaya, lama penyinaran dan suhu diketahui mempengaruhi jumlah tanaman dihaploid yang dihasilkan pada beberapa spesies. Kondisi pertumbuhan optimum yang spesifik berbeda antara tanaman yang satu dengan yang lainnya. Secara umum hasil terbaik akan diperoleh dari tanaman yang pertumbuhannya sehat dan vigor (Nasir (2002).

4. Pra perlakuan antera

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan induksi embriogenesis mikrospora ialah praperlakuan terhadap antera sebelum inisiasi kultur. Sebelum diintroduksikan pada lingkungan in vitro, antera dapat diberi praperlakuan cekaman seperti pemberian manitol pada suhu rendah selama periode waktu tertentu (Kyo dan Harada 1986; Immonen dan Antilla 1999). Perlakuan cekaman menyebabkan proses metabolisme pada jaringan akan terhenti untuk sementara dan setelah periode waktu tertentu jaringan tersebut akan mulai berkembang lagi dengan lintasan metabolisme yang baru apabila berada pada kondisi lingkungan yang mendukung (Immonen dan Antilla 1999).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tang et al. (2007) pada antera Mamordica charantia diperoleh hasil bahwa antera dari varietas Bixiu,

Dabai, Changhai dan Pangniu yang dipergunakan sebagai eksplan yang disimpan

pada suhu 40 C selama 24 jam menghasilkan persentase kalus paling tinggi masing-masing sebesar 73,16 %; 69,89 %; 60,32 % dan 62,01 % apabila dibandingkan dengan antera yang disimpan pada suhu yang sama (40C) selama 0, 48, 72, 96, dan 120 jam. Berdasarkan penelitian tersebut, antera yang disimpan selama lebih dari 120 jam tidak menghasilkan kalus dan berakibat pada kondisi antera yang menjadi kecoklatan dalam 1 minggu.

Praperlakuan cekaman juga berperan dalam pembelokan jalur perkembangan gametofitik ke arah sporofitik untuk menghasilkan embrio. Keberhasilan pembelokan jalur perkembangan gametofitik ke arah sporofitik telah berhasil dilakukan Dus et al. (2002) dengan memberikan praperlakuan dingin 10oC selama 14 hari pada antera tanaman jagung dapat meningkatkan jumlah embrio jagung. Tsay (1982) juga mengemukakan hal yang sama, bahwa dengan

memberikan praperlakuan nitrogen 15 mM dapat meningkatkan embrio dari mikrospora tanaman tembakau. Tanpa cekaman mikrospora akan berkembang menjadi polen masak yang normal.

Produktivitas kultur antera pada beberapa spesies tanaman dipengaruhi oleh perlakuan pemberian suhu pada kuncup bunga sebelum proses sterilisasi dan isolasi antera. Produktivitas tanaman dihaploid tembakau yang dihasilkan sering meningkat dengan perlakuan penyimpanan kuncup bunga pada suhu 7 - 8 oC selama 12 hari (Sunderland dan Robert 1979).

5. Tingkat perkembangan mikrospora

Antera hanya responsif selama fase uninukleat dari perkembangan polen pada sebagian besar jenis tanaman. Sebaliknya, pada tanaman tembakau respon optimum ditemukan pada beberapa saat sebelum, selama dan sesudah fase mitosis pertama dari polen (akhir fase uninukleat hingga awal binukleat dari mikrospora) (Hidaka et al. 1984). Embriogenesis mikrospora dilakukan dengan cara membelokkan perkembangan gametofitik kearah sporofitik untuk menghasilkan embrio dan tanaman melalui embriogenesis (Touraev et al. 1997). Pra perlakuan stres berperan dalam pembelokan jalur perkembangan tersebut, tanpa stres mikrospora akan berkembang menjadi pollen masak yang normal (Heberle 1999).

Stres dapat berupa temperatur (rendah dan tinggi), osmotik, pemberian nitrogen dan karbohidrat. Stres dapat diaplikasikan pada level tanaman utuh, kuncup bunga, antera atau langsung pada mikrospora. Palmer dan Keller (1997) menyebutkan bahwa temperatur tinggi dapat mempengaruhi embriogenesis mikrospora tembakau, datura, brasika dan cabai, sedangkan Touraev et al. (1997) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pemberian karbohidrat dan nitrogen dapat meningkatkan mikrospora yang embriogenik pada tembakau.

Perkembangan Mikrospora

Proses terbentuknya mikrospora dalam mikrosporangia pada antera disebut dengan mikrosporosis. Terbentuknya mikrospora ditandai dengan perubahan – perubahan yang terjadi pada antera. Antera mempunyai bentuk sel- sel yang hampir sama pada waktu masih muda, kecuali sel-sel epidermis. Pada keempat sudut antera kemudian mulai terbentuk ruangsari (inculamentum) yang

mempunyai banyak sekali sel yang disebut dengan mikrospora atau pollen mother

cell (Raven et al. 1992).

Polen mengalami pembelahan meiosis yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah pembelahan meiosis I, merupakan pembelahan reduksi karena dari satu sel dengan 2n kromosom membentuk dua sel dengan (n) kromosom. Pembelahan tahap kedua adalah pembelahan mitosis, yaitu dari satu sel dengan (n) kromosom menjadi dua sel dengan (n) kromosom, sehingga pembelahan reduksi dari 1 sel 2n kromosom menjadi 4 sel dengan (n) kromosom. Keempat sel yang terjadi sampai dewasa masih berlekatan terus dinamakan pollentetrad. Kemudian pollentetrad yang berlekatan melepaskan diri sehingga terbentuk pollen dengan inti satu. Polen inti satu yang masih muda dinamakan fase uninukleat, dimana polen sudah mempunyai satu inti vegetatif dan satu vacuola, kemudian inti sel membelah menjadi dua gamet jantan, yang besar dinamakan inti vegetatif dan yang kecil disebut inti generatif yang dikenal dengan fase binukleat seperti terlihat pada Gambar 6 (Suryowinoto 1996).

Gambar 6. Tahapan perkembangan inti mikrospora (Suryowinoto 1996)

Polen yang masih muda atau mikrospora yang terkandung dalam antera dapat secara langsung beregenerasi membentuk embrio atau membentuk kalus yang selanjutnya dapat diinduksi untuk bergenerasi menjadi tanaman dengan pengaruh zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media tanam. Dengan aplikasi teknik tersebut, tanaman dihaploid dapat diregenerasikan secara langsung

dari gamet jantan maupun betina tanpa melalui proses pembuahan (Bhojwani dan Radzan 1993).

Media yang digunakan pada Kultur Antera

Androgenesis dapat diinduksi pada media sederhana seperti yang dikembangkan oleh Nitsch untuk polen tanaman tembakau dan beberapa spesies lainnya. Media yang umum digunakan untuk sebagian besar spesies adalah Murashige dan Skoog dan N6 (Chu 1978) atau variasi kedua media tersebut. Media perlu diperkaya dengan senyawa organik komplek seperti ekstrak kentang, air kelapa dan kasein hidrolisat. Pada sebagian besar spesies tanaman, sukrosa yang digunakan dalam media antara 2 - 3% sementara untuk beberapa spesies lain khususnya tanaman serealia responnya lebih baik apabila konsentrasi gulanya lebih tinggi (hingga 15%). Pada kultur antera jeruk, sumber karbohidrat yang banyak digunakan adalah sukrosa 5% (Hidaka 1987; Froelicher dan Ollitrault 2000).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tang et al. (2007) pada antera Balsam pear, diperoleh hasil bahwa pembentukan kalus tertinggi diperoleh apabila pada media ditambahkan 2.4 D 0,5 mg/l dan BA 2 mg /l yaitu sebesar 79,42 %. Penggunaan konsentrasi 2,4-D 1,0 mg/l yang dikombinasikan dengan kinetin 0,1 mg/l sampai 0,3 mg/l merupakan konsentrasi yang paling optimal untuk menginduksi kalus. Penggunaan konsentrasi 2,4-D yang rendah (0,1 mg/l dan 0,5 mg/l) menyebabkan sel - sel tanaman belum mampu meningkatkan kemampuan jaringan untuk melakukan diferensiasi (Syahid et al. 2007).

Prahardini dan Sudaryono (1992) membuktikan bahwa penambahan 3 mg/l NAA dan 2 mg/l BA efektif untuk menginduksi kalus antera pepaya dimana jumlah kultur per kalus meningkat seiring dengan peningkatan NAA dari 1 mg/l sampai 3 mg/l. Berdasarkan kebutuhan zat pengatur tumbuh untuk pembentukan kalus, maka dalam media tanam perlu ditambahkan auksin dan sitokinin. Interaksi kedua zat ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis jaringan tanaman. Inisiasi akar pada planlet, embriogenesis, dan inisiasi kalus umumnya terjadi apabila perbandingan konsentrasi auksin terhadap sitokinin lebih tinggi,

sementara proliferasi tunas adventif dan aksilar terjadi apabila perbandingannya lebih rendah (George et al. 2008)

Pikloram merupakan zat pengatur tumbuh yang termasuk ke dalam kelompok auksin sintetik yang berperan dalam pembentukan dan pertumbuhan kalus. Peranan pikloram telah diketahui dalam proliferasi kalus pada kultur jaringan tanaman kina. Sumaryono dan Riyadi (2005) menyatakan proliferasi kalus terbaik pada medium WP diperoleh dengan pemberian pikloram 15 atau 30 μM yang dikombinasikan dengan BAP 0,5 μM. Kalus pada medium WP ini tumbuh dengan sangat cepat, bobot basah kalus meningkat 12 - 14 kali dari bobot awal dalam waktu 6 minggu. Kalus yang diperoleh bertekstur remah, berwarna putih dan tidak mudah mengalami pencokelatan walaupun disubkultur berulangkali. Marlina (2009) juga menyatakan media MS + 2 mg/l pikloram + 2 mg/l tidiazuron + 2 mg/l zeatin memberikan pengaruh positif untuk induksi kalus tanaman.

Kultur Antera pada Tanaman Jeruk

Penelitian pada tanaman jeruk secara kultur jaringan (in vitro) sudah banyak dilakukan, dan pada umumnya menggunakan eksplan jaringan tanaman yang masih muda karena sel – selnya masih aktif membelah. Salah satu penelitian tanaman jeruk yang masih mempunyai tingkat keberhasilan yang rendah adalah penelitian kultur antera. Keberhasilan kultur antera dipengaruhi oleh genotipe, kondisi tumbuh tanaman donor, tingkat perkembangan mikrospora, pra perlakuan, media, dan lingkungan yang mendukung (Wehr dan Wenzel 1993). Germana (2000) dalam Maluszynski et al. 2003 menyatakan persentase kalus tertinggi

Citrus clementiana dihasilkan pada media MS + 5% sukrosa + 0,02 mg/l NAA.

Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah praperlakuan sebelum kultur antera. Chen (1985) memberikan praperlakuan dingin 3oC selama 0 - 25 hari pada bunga Citrus madurensis, dan praperlakuan dingin (3oC) selama 5-10 hari merupakan praperlakuan terbaik untuk menginduksi kalus dan embrio C. madurensis. Germana dan Chiancone (2003) membandingkian efek pemberian temperatur tinggi (40 oC) selama 24 jam dan temperatur rendah (4 oC) selama 10 hari Citrus clementina. Hasil penelitian

menyatakan pemberian temperatur rendah (4 oC) selama 10 hari merupakan praperlakuan yang terbaik untuk menginduksi kalus antera Citrus clementina.

Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kultur antera adalah sumber karbon. Hidaka (1987) melakukan penelitian kultur antera pada Citrus sinensis dan Citrus aurentum dengan memberikan sukrosa (1, 3, 5, 7, dan 9)%. Hasil penelitian menyatakan pemberian sukrosa 1% dapat menginduksi kalus dan embrio Citrus sinensis sebanyak 30%, dan pemberian sukrosa 7% merupakan konsentrasi yang paling baik untuk menginduksi kalus dan embrio Citrus

aurentum. Ling et al (1988) menyatakan bahwa persentase embrio tertinggi

(0,92%) diperoleh dengan pemberian 2mg/l IAA pada Citrus madurensis. Berbeda dengan pernyataan Geraci and Starrantino (1990) yang menyatakan pemberian 1 mg/l BAP dan 0,5 mg/l 2,4-D merupakan media terbaik untuk menginduksi kalus dengan persentase tertinggi (25%) pada Citrus reticulata,

Citrus deliciosa, dan Citrus paradisi, sedangkan pada Citrus sinensis pemberian 1

mg/l NAA dan 1 mg/l BAP merupakan media terbaik untuk meninduksi kalus sebanyak 44,2% (Drira dan Benbadis 1975).

Dokumen terkait