• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4. 1 Letak dan Luas

Kampus IPB Darmaga terletak ± 9 km arah barat pusat kota Bogor atau ± 49 km sebelah selatan kota Jakarta. Luas keseluruhan areal kampus IPB Darmaga adalah 256,97 ha yang secara geografis terletak antara 6o 30’ – 6o 45’ Lintang Selatan dan 106o 30’– 106o 45’ Bujur Timur dengan ketinggian 145-195 m dpl (van Balen et al 1986 dalam Kurnia 2003).

Secara administratif Kampus IPB Darmaga termasuk kedalam wilayah Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Batas- batas Kampus IPB Darmaga adalah:

- sebelah Timur berbatasan dengan Desa Babakan

- sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Raya Bogor-Jasinga - sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Cihideung, dan

- sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane Arboretum Fakultas Fehutanan IPB merupakan tegakan campuran yang terdiri dari jenis-jenis tanaman kehutanan. Terletak di depan gedung utama kompleks Fakultas Kehutanan. Luas keseluruhan mencapai 0,36 Ha. Lantai arboretum ditumbuhi oleh tumbuhan bawah, tumbuhan menjalar dan tanaman pada berbagai tingkat pertumbuhan Yuliana (2000).

4. 2 Keadaan Kawasan 4. 2. 1 Kondisi Fisik

Topografi kampus IPB Darmaga sangat beragam dari mulai datar sampai bergelombang dengan gedung-gedung yang dikelilingi oleh kawasan hutan. Keadaan topografi Kampus IPB Darmaga adalah 41% dari luas kawasan memiliki kemiringan 0-5%, 37% areal memiliki kelerengan 5-15%, 17% areal memiliki kelerengan 15-25% dan 5% memiliki kelerengan > 25%. Jenis tanah di Kampus IPB Darmaga termasuk jenis Latosol. Ketinggian lokasi penelitian berkisar antara 145-200 meter diatas permukaan laut.

Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Kampus IPB Darmaga termasuk daerah bertipe hujan A dengan bulan basah > 9 bulan. Curah hujan rata-

rata tahunan mencapai 4046 mm. Temperatur udara rata-rata tahunan 23,2˚C dengan suhu maksimum 31,1˚C dan minimum 22,2˚C. Sedangkan menurut Badan Metereologi dan Geofisika (1999) dalam Hafni (2001) mengenai data pengamatan iklim wilayah Darmaga selama 9 tahun berturut-turut (1991-1999) di Stasiun Pengamatan Klimatologi Kelas 1 Dramaga menyebutkan rata-rata suhu udara 25,6˚C, kelembaban nisbi 84,8%, curah hujan 329,7 mm/bulan, kecepatan angin 1,6 km/jam dan lama penyinaran matahari sebesar 58,9%.

Pola penggunaan lahan di Kampus IPB Darmaga dapat dibagi kedalam 11 kelompok yaitu Komplek Akademik, Pusat Administrasi, Plaza Taman Rektorat, Arboretum, Kompleks Graha Widya Wisuda, Kandang Ternak, Komplek Olahraga, Komplek Mesjid Al Hurriyyah, Asrama Mahasiswa, Kebun Percobaan dan Ruang Terbuka Hijau.

3. 2. 2 Kondisi Biotik 3. 2. 2. 1 Flora

Vegetasi di lingkungan Kampus IPB Darmaga berupa vegetasi semak berumput, tegakan karet, hutan pinus, hutan campuran, hutan percobaan, arboretum dan tanaman pekarangan perumahan dosen dan taman. Pada mulanya seluruh wilayah Kampus IPB Darmaga didominasi oleh tegakan karet (Hevea brasilliensis) namun saat ini hanya tinggal beberapa bagian saja yang tersisa. Selain itu terdapat juga hutan campuran yang terletak di sebelah utara Mesjid Al Hurriyyah yang merupakan miniatur dari hutan tropika dataran rendah karena memiliki struktur tajuk berbeda.

3. 2. 2. 2 Fauna

Kampus IPB Darmaga memiliki keanekaragaman satwaliar yang tinggi. Menurut Hernowo et al. (1991) ditemukan 12 jenis mamalia, 68 jenis burung, 37 jenis reptil dan 4 jenis ikan di Kampus IPB Darmaga, sedangkan untuk amfibi ditemukan sebanyak 13 jenis yang semuanya berasal dari ordo Anura (Yuliana 2000). Dari 13 jenis amfibi yang ditemukan, Bufo melanostictus merupakan jenis yang paling banyak ditemukan, jenis yang paling sedikit ditemukan adalah Occidozyga lima, Fejervarya limnocharis dan Rhacophorus reinwardtii (Yuliana 2000).

V. HASIL

5. 1 Hasil Uji Coba Metode

5. 1. 1 Metode Pemakaian Cat dan Pewarna Makanan

Hasil uji coba menggunakan cat dan pewarna makanan (Gambar 7), menunjukkan bahwa kedua bahan tersebut tidak meninggalkan jejak yang tahan lama. Pada penggunaan cat, cat yang lengket dan licin membuat katak sulit bergerak. Cat juga hanya tahan untuk beberapa lompatan saja karena sebagian besar dari cat langsung menempel pada kaca terarium dalam sekali lompatan. Penggunaan pewarna makanan juga tidak jauh berbeda dengan penggunaan cat, yaitu hanya tahan untuk beberapa lompatan saja. Selain itu pewarna makanan luntur apabila terkena air.

Gambar 7. Jejak hasil pergerakan P. leucomystax(a dan b) menggunakan cat;

(c dan d) menggunakan pewarna makanan.

5. 1. 2 Metode Pemakaian Tali

Penggunaan benang sebagai alat untuk menelaah pergerakan P. leucomystax menghadapi beberapa kendala dalam penentuan alat dan bahan yang sesuai pada pemasangan alat penggulung benang dan wadah gulungan benangnya (Gambar 8). Setelah dilakukan uji coba pembuatan alat dengan menggunakan bahan-bahan yang berbeda (Tabel 2) maka hasil yang terbaik untuk metode tali

a b

d c

bagi katak betina adalah menggunakan palet sebagai penggulung benang dan botol sitrun sebagai wadah penyimpan palet tersebut. Untuk katak jantan, metode tali yang terbaik yaitu menggunakan setengah bagian palet sebagai penggulung benangnya dan tutup parfum sebagai wadah penyimpanya. Tali pengikat yang digunakan yaitu selotip paralon. Adapun berat alat terbaik yang berhasil dibuat adalah 4 gram untuk betina dan 1,5 gram untuk jantan

Tabel 3. Uji coba beberapa bahan pada pembuatan alat pergerakan P. leucomystax dengan menggunakan metode tali

Metode Penempatan

Gulungan Benang Bahan

Berat

Alat Dampak pada Katak Tanpa

selongsong

Batang pohon Benang katun Katak tidak bergerak

dengan bebas karena benang menyangkut pada ranting tanaman Dengan selongsong selongsong pulpen (tinggi ± 1,5 cm; lebar ± 3 mm) − Benang katun (10 m)

− Selongsong benang sebagai wadah gulungan benang

− Ban mobil-mobilan (diameter 8 mm) penahan sisi bawah dan atas selongsong pulpen

− Benang elastis (diameter ± 0,5 mm) sebagai pengikatnya

2 gram

5 individu katak mati, karena benang kusut dan tidak keluar dengan lancar Dengan selongsong Hansaplast roll kain (tinggi ± 1,6 cm; lebar ± 3 cm) - Benang katun (50 m) - Botol minyak kayu putih

sebagai penyimpan gulungan benang (diambil bagian bawahnya ± 2,2 cm)

- Kawat bunga hiasan (diameter ± 0,5 mm) untuk pengikatnya

6 gram

Alat tidak diujicobakan karena berat alat hampir sama dengan berat katak jantan dan setengah dari berat katak betina

Dengan selongsong

Palet (alat untuk menyimpan benang pada mesin jahit) (tinggi ± 1,1 cm; lebar ± 2 cm)

- Benang katun (30 m) - Botol sitrun sebagai wadah

gulungan benang (diambil bagian bawahnya ± 1,3 cm dan lebar ± 2,3 cm)

- Kawat bunga hiasan (diameter ± 0,5 mm) untuk pengikatnya

5 gram

Alat dapat diterapkan untuk katak betina. Katak bergerak bebas namun pengikatnya menyebabkan luka pada kulit katak

Tabel 4. Lanjutan

Metode Penempatan

Gulungan Benang Bahan

Berat

Alat Dampak pada Katak Dengan

selongsong

Palet (alat untuk menyimpan benang pada mesin jahit) (tinggi ± 1,1 cm; lebar ± 2 cm)

- Benang katun (30 m) - Botol sitrun sebagai wadah

penyimpan gulungan benang (diambil bagian bawahnya ± 1,3 cm dan lebar ± 2,3 cm) - Kawat berlapis alumunium

(lebar 4 mm) sebagai pengikatnya

5 gram

Katak dapat

melepaskan alat yang diikatkan pada punggungnya karena pengikatnya tidak terlalu kuat saat mengikatnya Dengan selongsong Selongsong suntikan (tinggi ± 1,5 cm; lebar ± 4 mm) - Benang katun (5 M)

- Tutup parfum sebagai wadah penyimpan gulungan benang (diambil bagian bawahnya ± 2 cm)

- Kawat berlapis karet berdiameter 1 mm sebagai pengikatnya

2 gram

Pergerakan katak terhambat karena alat cukup besar dan keluarnya benang kurang lancar serta tali pengikatnya kurang kuat sehingga alat dilepaskan Dengan

selongsong

Palet (alat untuk menyimpan benang pada mesin jahit) (tinggi ± 1,1 cm; lebar ± 2 cm)

- Benang katun (30 M) - Botol sitrun sebagai wadah

penyimpan gulungan benang (diambil bagian bawahnya ± 1,3 cm dan lebar ± 2,3 cm) - Selotip paralon sebagai

pengikatnya

4 gram

Alat dapat diterapkan pada katak betina. Katak dapat bergerak dengan bebas Dengan selongsong Palet bagian tengahnya (alat untuk menyimpan benang pada mesin jahit) (tinggi ± 1,1 cm; lebar ± 1,2 cm)

- Benang katun (15 M) - Tutup parfum sebagai wadah

penyimpan gulungan benang (diambil bagian bawahnya ± 1,5 cm dan lebar 1,5 cm) - Selotip paralon sebagai

pengikatnya

1,5 gram

Alat dapat diterapkan pada katak jantan. Katak dapat bergerak dengan bebas.

5. 1. 3 Uji Coba Pengaruh Penggunaan Alat terhadap Pergerakan P. leucomystax

Uji coba pengaruh penggunaan alat dilakukan pada pemasangan metode tali pada punggung katak. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pada awal pemasangan terdapat reaksi penolakan katak terhadap alat yang ditunjukkan, yaitu usaha untuk melepaskan alat dari punggungnya. Namun, setelah beberapa saat katak mulai terbiasa dengan alat dan bergerak dengan bebas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa baik katak yang memakai alat dan tidak memakai alat lebih banyak diam dan hanya sedikit bergerak (Tabel 5 dan 6).

Tabel 5. Hasil uji coba pengaruh penggunaan alat terhadap pergerakan P. leucomystax Lama Bergerak (detik)

Waktu

(WIB) Jantan memakai

alat Jantan tanpa alat

Betina memakai

alat Betina tanpa alat

22:00 1 - 19 1 04:00 38 5 3 13 10:00 - - - - 16:00 - - - - 22:00 5 2 32 -

Gambar 8. Beberapa hasil percobaan pembuatan alat pada metode tali. (a) penggulung benangnya hansaplast roll kain; (b) penggulung benangnya selongsong suntikan; (c) beberapa jenis tali pengikat; (d) penggulung benangnya palet; (e) penggulung benangnya palet; dan (f) alat yang sesuai untuk menelaah pergerakan P. leucomystax.

a b c

Tabel 6. Persentase pergerakan pada uji coba pengaruh penggunaan alat terhadap pergerakan P. leucomystax

Lama Bergerak (%) Waktu

(WIB) Jantan memakai

alat Jantan tanpa alat

Betina memakai

alat Betina tanpa alat

22:00 0,005 0 0,09 0,005

04:00 0,2 0,02 0,01 0,06

10:00 0 0 0 0

16:00 0 0 0 0

22:00 0,02 0,009 0,1 0

5. 2 Hasil Pengamatan Pergerakan P. leucomystax

Dari hasil pengamatan pergerakan, terlihat bahwa terdapat perbedaan antara pergerakan katak jantan dengan katak betina. Hal itu terlihat dari total pergerakan yang dilakukan selama 24 jam dan hasil Chi kuadrat hitung yang lebih besar dari pada Chi kuadrat tabel (4,448 > 3,481), terlihat bahwa katak betina pergerakannya lebih luas dibandingkan dengan katak jantan.

Tabel 7. Hasil Perhitungan Alur Kelurusan Pergerakan P. leucomystax di Kamus IPB Darmaga

Lokasi Individu Total

Pergerakan (m)

Jarak dari posisi awal – akhir (m) Nilai Alur Kelurusan Betina 73,52 14,28 0,19 Gymnasium Jantan 32,1 1,69 0,05 Betina 69,32 29,65 0,43 Fakultas Pertanian Jantan 15,44 7,86 0,51 Betina 20,76 14,8 0,71 Fakultas Kehutanan Jantan 15,47 7,6 0,49 Betina 19,72 16,56 0,84 Fakultas Teknologi Pertanian Jantan 23,09 14,55 0,63 Betina 107 19,1 0,18 Taman Rektorat Jantan 24,66 8,58 0,35 Betina 16,85 12,24 0,73

Arboretum Lanskap dan GWW

Jantan 29,13 3,9 0,13

Dari hasil perhitungan nilai alur kelurusan pada Tabel 7, dapat diketahui bahwa sebagian besar katak jantan pergerakannya tidak menjauhi titik awal, sedangkan untuk katak betina ada sebagian yang menjauhi titik awal pengamatan

dan sebagian lagi mendekati titik awal pengamatan. Sementara itu, dari hasil perhitungan Chi kuadrat nilai alur kelurusan dengan nilai Chi kuadrat hitung lebih kecil dari pada Chi kuadrat tabel (0,686 < 3,481), diketahui bahwa pola pergerakan katak jantan dan betina tidak menjauhi titik awal.

5. 3 Hasil Pengamatan Penggunaan Ruang P. leucomystax

Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pada siang hari biasanya katak berada di tempat-tempat yang terlindung, seperti di bawah serasah, sela-sela ranting tumbuhan bawah, lubang akar pohon dan di bawah tumpukan batu (Tabel 8). Katak jantan sebagian besar lebih banyak beraktivitas di sekitar sumber air. Selain itu, pada setiap lokasi terlihat beberapa jenis satwa yang menjadi makanan P. leucomystax, seperti semut, belalang, jangkrik dan labah-labah.

Tabel 8. Aktivitas P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga pada pukul 07.00 - 01.00 WIB

Lokasi Individu Aktivitas Substrat

Betina Istirahat/Tidur Lubang tumpukan batu Fak. Kehutanan Jantan Istirahat/Tidur di bawah serasah Matoa dekat

kolam

Betina Istirahat/Tidur Tanaman Jarak Pagar Fak. Pertanian

Jantan Istirahat/Tidur Akar tanaman bayam-bayaman Betina Istirahat/Tidur tanaman nanas kerang

Fak. Teknologi

Pertanian Jantan Istirahat/Tidur tembok kolam pembuangan limbah Betina Istirahat/Tidur polong-polongan

GWW & Arboretum

Lanskap Jantan Istirahat/Tidur tembok selokan

Betina Istirahat/Tidur serasah Taman Rektorat

Jantan Istirahat/Tidur bayam merah Betina Istirahat/Tidur pisang mati Gymnasium Jantan Istirahat,

Tabel 9. Aktivitas P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga pada pukul 01.00-07.00 WIB

Lokasi Individu Aktivitas Substrat

Betina Diam dan bergerak sawo, mahkota dewa, talas-talasan Fak. Kehutanan

Jantan Diam dan bergerak pohon matoa

Betina Diam dan bergerak rumput, talas-talasan, styrofoam Fak. Pertanian

Jantan Diam dan bergerak bambu jepang Betina Diam dan bergerak tanaman nanas kerang Fak. Teknologi

Pertanian Jantan Diam dan bergerak rumput Betina Diam dan bergerak rumput GWW & Arboretum

Lanskap Jantan Diam dan bergerak selokan

Betina Diam dan bergerak tanaman soka, rumput Taman Rektorat

Jantan Diam dan bergerak bayam merah Betina Diam dan bergerak rumput, tanaman soka Gymnasium

VI. PEMBAHASAN

6. 1 Uji Coba Efektifitas Dua Metode

6. 1. 1 Metode Pemakaian Cat dan Pewarna Makanan

Metode pemakaian cat pada telapak kaki katak, adalah salah satu metode yang pernah dilakukan untuk melihat pergerakan katak (lihat Eggert et al. 1999 mengenai perbandingan dua metode untuk mempelajari pergerakan amfibi terestrial; Davies dan MacDonald 1979 mengenai variasi hubungan intraspesifik pada Litoria chloris). Cat yang digunakan pada penelitian yang dilakukan oleh Eggert et al. tahun 1999 dan Davies dan MacDonald tahun 1979 adalah sejenis bahan yang dapat berpendar apabila terkena cahaya (fluorescent pigment) sehingga akan memudahkan untuk melihat pola pergerakan dari individu yang diberi perlakuan. Penelitian ini menggunakan jenis cat yang berbeda, karena cat yang digunakan oleh peneliti di luar negeri tidak dapat diperoleh di Bogor. Perbedaan jenis cat yang digunakan ini diduga menyebabkan gagalnya penggunaan cat pada penelitian ini. Jenis cat yang digunakan pada penelitian ini selain tidak bertahan lama juga dikhawatirkan bersifat racun bagi katak.

Pada uji coba pertama, cat yang diberikan pada katak jantan yang diberi perlakuan hanya mampu bertahan sampai lima lompatan saja. Keesokan harinya, katak yang diberi perlakuan tersebut ditemukan mati kekeringan. Beberapa faktor diduga menyebabkan kematian katak tersebut, yaitu: kurangnya makanan dan air dalam terrarium, dan sifat cat yang mungkin beracun pada katak tersebut. Pada uji coba pertama ini katak diberi perlakuan dua hari setelah tertangkap dan dalam kondisi perut yang rata tanpa benjolan seperti pada katak yang sudah makan. Selain itu, tidak adanya air di dalam terarium menyebabkan katak kekeringan. Kulit katak bersifat permeabel, yaitu dapat menyerap cairan yang ada disekitarnya dan mudah menguapkan cairan apabila kelembaban disekitarnya sangat rendah. Ketahanan tubuh yang rendah ditambah dengan kondisi terarium yang tidak memadai diduga menyebabkan kematian katak tersebut. Tidak adanya informasi mengenai bahan yang terkandung dalam cat dan efek samping dari penggunaan cat tersebut, sehingga tidak dapat diketahui apakah cat beracun bagi katak apabila menempel pada kulitnya.

Pada uji coba kedua, kondisi terrarium telah diperbaiki yaitu dengan pemberian air dan jangkrik untuk makanan katak. Perlakuan diberikan pada katak jantan dan betina yang ditangkap pada malam hari, dan siang harinya langsung diberi perlakuan (selang waktu antara penangkapan dan perlakuan yaitu 10 jam). Cat dapat bertahan selama 9 menit dan jejak yang ditinggalkan cukup bertahan sampai beberapa lompatan. Setelah itu, katak langsung dilepaskan kembali, sehingga tidak diketahui apakah katak pada uji coba kedua ini mati atau tidak. Namun, pengamatan menunjukan bahwa kondisi keaktifan katak setelah diberi perlakuan terlihat tidak berbeda dengan kondisi keaktifan sebelum diberi perlakuan.

Pada uji coba metode pergerakan katak dengan menggunakan pewarna makanan, perlakuan diberikan pada sepasang katak jantan dan betina. Hasil yang diperoleh hampir serupa dengan penggunaan cat yaitu bahan pewarna tidak bertahan dan langsung luntur saat terkena air (Gambar 7). Kedua metode ini tidak dapat digunakan karena tidak dapat digunakan di air. Walaupun P. leucomystax merupakan katak yang banyak beraktivitas di pohon namun dalam kegiatannya seringkali bergerak ke arah air.

6. 1. 2 Metode Pemasangan Tali

Pada uji coba pemasangan tali, percobaan dilakukan untuk mencari alat yang paling sesuai untuk melihat pergerakan P. leucomystax tanpa mengganggu aktivitas katak saat membawa alat ini dipunggungnya. Kegagalan dalam uji coba disebabkan oleh berbagai faktor antara lain benang yang membuat katak tidak dapat bergerak lancar. Sebagai contoh pada uji coba pertama, alat yang dibuat diikatkan pada batang pohon dan benang diikatkan pada punggung katak. Pada saat dilepaskan, katak langsung melompat ke sela-sela tanaman. Meskipun pada beberapa lompatan pertama katak dapat bergerak dengan leluasa, namun saat benang tersangkut pada batang tanaman, pergerakan katak langsung terhenti. Pada saat itu katak tetap berusaha untuk melompat yang menyebabkan tubuh katak meregang. Oleh karena itu, pada uji coba ini katak dilepaskan karena khawatir mengakibatkan kematian. Pada uji coba selanjutnya, bahan-bahan yang digunakan menyebabkan benang kusut dan tidak lancar keluar, salah satunya dikarenakan

tempat untuk menggulung benangnya terbuat dari selongsong pulpen ataupun suntikan. Kedua bahan tersebut tidak memiliki penahan pada sisi atas dan bawah sehingga penutup dibuat tersendiri dan ditempel. Akibat perekatan lem yang tidak bersih, benang tersangkut pada bagian-bagian tertentu, dan tidak tergulung dengan benar, yang pada akhirnya menyebabkan benang kusut dan tidak lancar keluar. Pada uji coba ini, 5 ekor katak jantan yang telah diberi perlakuan mati dan 2 ekor katak jantan dilepaskan. Kematian yang terjadi disebabkan benang yang tidak keluar dengan lancar sehingga menghentikan pergerakan katak, sementara katak tetap berusaha untuk melompat dan akhirnya mati tercekik (Gambar 9).

Gambar 9. Alat yang tidak lancar keluar benangnya menyebabkan kematian pada katak jantan. (kiri) P. leucomystax di Fakultas Pertanian; (kanan) P. leucomystax di Taman Rektorat.

Hal lain yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan alat adalah perbedaan ukuran katak jantan dan betina. P. leucomystax memiliki sexual dimorphism atau perbedaan ukuran tubuh antar kelamin yang sangat besar dimana ukuran betina jauh lebih besar daripada jantan. Oleh karena itu alat yang dibuat juga harus sesuai dengan ukuran tubuh katak agar pengaruh alat pada pergerakan katak akan semakin kecil. Dari studi pustaka diketahui bahwa berat alat seharusnya tidak boleh melebihi 10% dari bobot tubuh penerima (Richards et al. 1994 dalam Heyer et al. 1994). Pada uji coba selanjutnya, penyempurnaan alat menghasilkan lancarnya pergerakan benang. Sayangnya, alat yang dibuat tidak dapat diterapkan karena berat alat tersebut mencapai setengah dari berat katak jantan yang ditemukan, yaitu sekitar 5-6 gram dengan berat rata-rata katak jantan sekitar 6-12 gram.

Uji coba selanjutnya dilakukan dengan mengurangi berat alat dengan membuat alat dari palet dan wadah dari bagian bawah bekas botol sitrun dengan

pengikat dari kawat tanpa pelindung. Berat alat 5 gram dan dapat digunakan pada katak betina, walaupun masih terlalu berat bagi katak jantan. Akan tetapi, setelah 24 jam pengikat kawat tanpa pelindung berkarat dan menyebabkan luka pada bagian bawah tubuh P. leucomystax. Pada percobaan selanjutnya, kawat dilapisi karet dan alumunium. Karena kawat tidak terikat dengan baik pada awal pengikatan, yaitu tidak diikatkan dengan sangat ketat, alat ini terlepas dari tubuh katak. Pada uji coba ini, alat tidak menyebabkan kematian namun 3 ekor katak betina lepas, yaitu 2 ekor di Graha Widya Wisuda dan 1 ekor di Fakultas Pertanian. Penyempurnaan terakhir dibuat dengan mengganti tali pengikat dengan selotip paralon. Berat alat menjadi berkurang 1 gram yaitu menjadi 4 gram dan bisa digunakan untuk katak betina walaupun masih terlalu berat bagi katak jantan. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi alat untuk katak jantan, dimana bahan yang digunakan sama dengan katak betina, namun palet yang digunakan dipotong bagian luarnya dan diambil bagian tengahnya saja. Wadah penyimpan tali dibuat dari tutup parfum dengan tali pengikat berupa selotip paralon. Dengan demikian berat alat untuk katak jantan sebesar 1,5 gram (Gambar 10).

Gambar 10. (kiri) Alat untuk katak jantan dan betina; (kanan) pola pergerakan yang dihasilkan dari benang pada P. leucomystax di Arboretum Lanskap.

Pada uji coba terakhir, alat yang dibuat sesuai untuk pergerakan P. leucomystax, baik jantan maupun betinanya dengan berat alat sekitar 12,8 % dari tubuh katak betina dan 17,2 % dari berat tubuh katak jantan. Akan tetapi, tali pengikat berupa selotip paralon akan meninggalkan bekas berupa perubahan warna pada kulit katak yaitu menjadi lebih pucat dibandingkan bagian kulit lainnya (Gambar 11). Hal ini sama dengan bekas yang ditinggalkan setelah memakai cincin di jari tangan yang dalam beberapa saat (sekitar 10-15 menit) bekas tersebut akan memudar dan warna kulit akan sama dengan warna kulit

lainnya yang tidak terikat. Berdasarkan hasil penelitian Dole (1965) terkadang tali pengikat membuat kulit katak teriritasi pada bagian paha dan dada. Dalam kasus ini, katak yang mengalami iritasi dilepaskan dan tidak akan diikat lagi sampai lukanya sembuh total.

Gambar 11. Bekas tali pengikat. (kiri) P. leucomystax jantan di Gymnasium; (kanan) P. leucomystax betina di Fakultas Kehutanan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengikatan alat. Pada katak jantan yang lebih banyak berada dekat sumber air, alat harus diikatkan pada pangkal paha bukan di dada. Apabila alat diikat pada bagian dada akan menyebabkan katak kesulitan bernafas saat berenang dan efek terburuknya akan menyebabkan kematian. Menurut Dole (1965) alat spool track mempengaruhi kemampuan berenang katak dan mengacaukan pergerakannya Dalam penelitian ini, 3 katak jantan (2 ekor di Fakultas Teknologi Petanian dan 1 ekor di Fakultas Pertanian) dilepaskan karena alat menghambat pergerakan pada saat berenang. Untuk katak betina, karena tidak sering berada dekat sumber air alat dapat diikatkan pada bagian dadanya.

Baik diikatkan pada pangkal paha maupun dada katak, alat sering kali berputar ke bagian bawah atau bagian sisi tubuh katak. Berdasarkan hasil pengamatan, katak terlihat kesulitan pada saat akan masuk atau keluar got atau selokan yang ditutup dengan teralis. Pada saat katak masuk ke sela-sela tanaman, alat yang berputar ke bawah dapat tersangkut batang tanaman. Namun, secara keseluruhan katak dapat bergerak cukup normal walaupun alatnya berputar ke bawah atau ke sisi tubuh katak. Menurut Dole (1965) katak yang diberi perlakuan memiliki respon yang cepat ketika mendekati bahaya, seperti halnya katak yang

Dokumen terkait