DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Taksonomi
Klasifikasi ilmiah dari Polypedates leucomystax (Katak pohon bergaris) berdasarkan Goin et al. (1978) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Amfibia Ordo : Anura Sub Ordo : Acosmanura Famili : Rhacophoridae Genus : Polypedates
Spesies : Polypedates leucomystax Gravenhorst (1829)
Di Indonesia, suku Rhacophoridae terbagi kedalam 5 marga yaitu: Nyctixalus (2 jenis), Philautus (17 jenis), Polypedates (5 jenis), Rhacophorus (20 jenis) dan Theloderma (2 jenis). Suku Rhacophoridae merupakan keluarga katak pohon di Indonesia menggantikan suku Hylidae yang tersebar luas di dunia (Iskandar 1998).
Dari seluruh jenis suku Rhacophoridae yang ada di Indonesia, hanya ada 8 jenis yang dapat ditemukan di Pulau Jawa. Sementara itu dari 13 jenis marga Polypedates yang ada di dunia, hanya terdapat empat jenis di Indonesia, dengan satu jenis yang umum ditemukan di Pulau Jawa yaitu P. leucomystax (Iskandar 1998). Di Kampus IPB Darmaga hanya dapat ditemukan 2 jenis katak pohon dari suku Rhacophoridae yaitu Rhacophorus reinwardtii dan P. leucomystax (Yuliana 2000).
2. 2 Morfologi
Menurut Iskandar (1998), P. leucomystax merupakan katak yang berukuran sedang, berwarna coklat kekuningan, memiliki dua pola permukaan kulit yaitu pada permukaan kulitnya tersebar bintik hitam atau dengan enam garis yang jelas memanjang dari kepala sampai ujung tubuh. Menurut Inger dan Stuebing (1997) P. leucomystax merupakan katak yang berukuran sedang dengan
tubuh yang ramping dan panjang serta bentuk mulut semakin menyempit ke depan. Jari tangan dan jari kaki katak melebar dengan ujung rata dan kulit kepala menyatu dengan tengkorak. Jari tangan katak setengahnya berselaput dan jari kakinya hampir sepenuhnya berselaput. Tekstur kulit permukaan tubuh katak seluruhnya halus tanpa indikasi adanya bintil-bintil atau lipatan. Bagian bawah tubuh katak berbintil granular yang jelas.
P. leucomystax biasanya berwarna coklat keabu-abuan. Tetapi terdapat dua warna yang berbeda pada permukaan tubuhnya sehingga terkadang dianggap merupakan dua jenis yang berbeda (Gambar 1). Kedua warna pada permukaan tubuh tersebut sering kali terdapat dalam satu kelompok, sebagai contoh pasangan yang sedang kawin sering berasal dari individu dengan warna yang berbeda. Warna yang pertama yaitu coklat gelap atau coklat kekuningan dengan empat atau enam garis memanjang dari kepala sampai selangkangan. Warna yang kedua biasanya coklat keabu-abuan gelap atau kekuningan dengan bintik-bintik gelap tersebar di seluruh tubuh (Iskandar 1998). Pada kondisi yang alami, perubahan warna pada amfibi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya suhu. Kenaikan suhu, cahaya matahari yang terlalu kuat atau suhu udara kering menyebabkan warna berkilau, sedangkan penurunan suhu, kurangnya cahaya, serta kelembaban yang tidak tentu menyebabkan warna gelap (Hofrichter 2000).
Gambar 1. Perbedaan warna permukaan kulit pada Polypedates leucomystax.
Ukuran tubuh P. leucomystax bergantung pada jenis kelaminnya. Katak jantan berukuran lebih kecil dibandingkan dengan katak betina. Ukuran SVL (Snout Vent Length atau panjang tubuh dari moncong sampai dengan selangkangan) katak jantan dewasa mencapai 50 mm dan katak betina dewasa
mencapai 80 mm (Iskandar 1998). Menurut Inger dan Stuebing (1997) ukuran SVL jantan dewasa pada P. leucomystax berkisar antara 37-50 mm sedangkan katak betina dewasa berkisar antara 57-75 mm. Menurut Berry (1975) ukuran SVL P. leucomystax mencapai 50-80 mm.
2. 3 Habitat dan Penyebaran
Habitat adalah kawasan yang terdiri dari komponen fisik (antara lain: air, udara, garam mineral, tempat berlindung dan berkembangbiak), dan biologi (antar lain : sumber pakan, jenis dan satwa lainnya) yang merupakan suatu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwaliar tersebut (Alikodra 2002).
Menurut Iskandar (1998) P. leucomystax sering ditemukan di antara tetumbuhan atau di sekitar rawa dan bekas tebangan hutan sekunder. Jenis ini sering mendekati hunian manusia, karena tertarik oleh serangga di sekeliling lampu. Pasangan katak ini biasanya membuat sarang berbusa pada tetumbuhan di atas kolam. Menurut Inger dan Stuebing (1997) P. leucomystax merupakan jenis katak yang bisa hidup di habitat terganggu, dapat ditemukan dimanapun bahkan di dalam rumah, tetapi jarang ditemukan di hutan primer. Berry (1975) menyebutkan bahwa P. leucomystax merupakan salah satu katak yang umum ditemukan di sekitar daerah Semenanjung Malaysia. Katak tersebut menempati banyak tipe habitat, tetapi lebih banyak ditemukan di sekitar habitat manusia, di kota dan pedesaan. Telurnya diletakkan pada buih yang sering terlihat di sekitar rumah pada tong, kolam, tong penampung air hujan atau di daun pada pepohonan yang terdapat saluran air di sekitarnya.
Secara geografis P. leucomystax dapat ditemukan di Indo-Cina, India, Cina Selatan, Nicobar, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Peninsular Malaysia, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa Sumba, Flores, Timur Timur, Filipina, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (diintroduksi) (Iskandar 1998; Iskandar dan Colijn 2000). Menurut Inger dan Stuebing (1997) di Kalimantan jenis ini dapat ditemukan pada kondisi lingkungan yang terganggu hingga ketinggian 750 mdpl dan penyebarannya cukup luas di Asia Selatan.
Menurut Yuliana (2000) di Kampus IPB Darmaga, P. leucomystax dapat ditemukan di sekitar Sawah Baru, Arboretum Fahutan, Hutan percobaan dan Sawah Cikabayan. Jenis ini ditemukan sedang menempel di daun, cabang atau bagian tumbuhan lainnya, tetapi pada ketinggian < 2 m di atas permukaan tanah.
2. 4 Perilaku Amfibi
Amfibi memiliki beragam perilaku sebagai respon terhadap rangsangan yang diterima. Amfibi memiliki perilaku yang unik dan beranekaragam dalam hal perkembangbiakan. Kebanyakan jenis-jenis amfibi di daerah tropis berkembangbiak pada saat musim hujan, agar kelembaban dari telur dapat terjaga dan dapat menetas dengan baik pada saat makanan melimpah bagi berudu (Goin et al. 1978; Stebbins dan Cohen 1995).
Aktivitas harian amfibi dipengaruhi oleh kebutuhan katak untuk memperoleh makanan, kawin dan tempat berlindung, menghindari pemangsa dan mempertahankan kondisi fisiologis yang memadai (Dole 1965). Kebanyakan amfibi memiliki beberapa perilaku yang hampir sama karena sifat morfologinya serupa. Kulit amfibi bersifat permeabel yaitu mudah menyerap cairan yang ada di sekitarnya dan mudah menguapkan cairan, sehingga sangat mudah mengalami dehidrasi saat terjadi penguapan yang menyebabkan hilangnya cairan yang ada. Oleh karena itu, banyak amfibi yang bersifat nokturnal (aktif pada malam hari) dan memiliki shelter (tempat berlindung) yang basah sepanjang hari dan mulai aktif hanya pada malam hari (Duellman dan Trueb 1986).
Pengaruh dari ukuran habitat dan terpisah pada penyebaran populasi sering ditunjukkan pada bermacam-macam spesies yang berbeda antar kelompok spesies (Claire et al. 1995). Menurut Sinsch 1990 dalam Pope (2001); Stebbins dan Cohen (1995) banyak ordo anura yang bergerak pada lokasi yang berbeda selama periode aktivitas tahunan mereka untuk menggunakan sumberdaya khusus yang dimiliki untuk melakukan hibernasi, bereproduksi dan mendapatkan nutrisi. Amfibi terestrial mempunyai daya adaptasi tersendiri dan perlahan-lahan dalam mengatasi kehilangan cairan dalam tubuh ketika mempertahankan kelembaban kulit pada saat pertukaran udara. Amfibi terestrial umumnya nokturnal, dengan mempertahankan temperatur harian yang tinggi dan
kelembaban yang rendah. Pada siang hari biasanya amfibi mempunyai kandungan kelembaban yang lebih tinggi dari pada lingkungan sekitarnya yang terbuka dari sinar matahari dan udara yang hangat. Tempat berlindung pada siang hari yaitu di bawah batu, batang pohon, daun jerami, celah-celah yang terlindung dan daun- daun (Duellman dan Trueb 1986)
Menurut Roy (1997) P. leucomystax (Katak pohon bergaris) sering ditemukan hinggap dan merayap pada pagar bambu atau pada rumput yang tinggi di sekitar aliran air. Perilaku tersebut memudahkan untuk penelitian tentang spesies terestrial atau akuatik dan untuk mengetahui perilaku kawin mereka. Menurut Duellman dan Trueb (1986) amfibi biasanya tergantung pada air dan umumnya menempati lingkungan yang berlawanan dengan fisiologi dasarnya. Hal ini dikarenakan amfibi merupakan satwa ektoterm dan mempunyai permukaan tubuh yang permeabel yaitu mudah menyerap cairan yang ada di sekitarnya dan mudah menguapkan cairan, sehingga mereka lebih mudah terpengaruh oleh lingkungan yang berubah-ubah dibandingkan dengan makhluk berkaki empat (tetrapods) lainnya. Kebanyakan amfibi ditemukan berpindah ke air pada saat sudah siap untuk berpasangan. Peletakan telurnya terjadi setelah sampai di air, setelah keduanya siap untuk kawin. Pelepasan telur harus dilakukan cepat karena tidak ada pasangan yang ampleksus (kawin) yang dijumpai di sungai lebih dari sekali (Dole dan Durant 1974). Perilaku agresif sudah banyak dilaporkan pada banyak spesies amfibi dan biasanya terjadi pada jantan sejak dimulainya musim kawin (Wells 1977 dalam Shepard 2004).
Menurut Duellman dan Trueb (1986) banyak jenis amfibi aktif selama dan pertengahan musim hujan dan biasanya mereka aktif pada malam harinya. Pada dasarnya terdapat 2 macam strategi memakan pada amfibi. Banyak anura menggunakan strategi diam dan menunggu, strategi ini digunakan oleh setiap individu dikarenakan adanya pengaruh dari kelimpahan mangsa yang ada. Metode pengintaian tersebut mungkin untuk melindungi diri dari mekanisme sensor yang dimiliki predator. Strategi makan dari amfibi adalah biasanya mereka memilih mangsanya terlebih dahulu, kemudian berjalan mendekati mangsanya, menangkap dan menelannya. Kebiasaan makan amfibi dipengaruhi oleh beberapa faktor luar diantaranya yaitu keberadaan makanan musiman dan keberadaan pesaing.
Sedangkan faktor dalamnya seperti toleransi ekologi dan komposisi morfologi individu, pada setiap spesies mempunyai perbedaan ukuran yang signifikan dari jenis dan jumlah mangsa yang dimakan pada habitat yang berbeda.
2. 5 Pergerakan Amfibi
Amfibi adalah hewan yang sering berada pada satu tempat, pergerakannya hanya berkisar antara 10-100 m (Sinsch 1990; dalam Hodgkison dan Hero 2001). Menurut Duellman dan Trueb (1986) arah pergerakan amfibi dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Setelah perkawinan, sebagian besar pergerakan individu terlihat berada di sekitar lokasi perkawinan untuk mendapatkan makanan dan menemukan tempat berlindung dari kekeringan, pemangsa, dan kedinginan (Denton dan Beebee 1993 dalam Lemckert dan Brassil 2000).
Menurut Duellman dan Trueb (1986) wilayah jelajah adalah suatu kawasan yang digunakan oleh suatu individu untuk melakukan seluruh aktivitas hariannya. Wilayah jelajah biasanya mencakup tempat berlindung, tempat mencari makan dan pada beberapa kodok jantan digunakan sebagai tempat melakukan panggilan terhadap betinanya (calling site). Sebagai suatu tanggapan terhadap berkurangnya makanan, terbatasnya tempat perlindungan, atau berkurangnya peluang kawin individu tersebut biasanya memperluas wilayah jelajahnya atau melakukan perputaran di dalam wilayah jelajahnya.
Daerah teritori mempunyai definisi yang klasik yaitu “daerah yang banyak dipertahankan” dan diperlihatkan dengan penyerangan terhadap penyusup (Noble 1939 dalam Shepard 2004). Menurut Mathis et al. (1995) dalam Shepard (2004) untuk amfibi komponen penyusun terbentuknya daerah teritori yaitu : (1) sumberdaya terbatas, (2) daerah yang keras, dan (3) pertahanan sumberdaya; dengan kata lain teritori sebagai perluasan pertahanan suatu area (dengan advertensi atau penyerangan) yang akan memberikan keuntungan terhadap individu untuk mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup ataupun melakukan perkembangbiakkan. Menurut Martof (1953) pergerakan harian mencapai jarak yang luas dan mungkin diklasifikasikan sebagai asosiasi dari (1) pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaan berikutnya, (2) aktivitas perkawinan, dan (3) musim dingin yang berkepanjangan.