• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Kondisi Umum Perairan

1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan

Keadaan umum perairan menggambarkan kondisi perairan di wilayah perairan kedua desa yang menjadi objek penelitian bidang fisik, masing-masing di perairan sekitar desa Tongali dan desa Biwinapada yang secara representatif mewakili keadaan umum perairan di pulau Siompu Kecamatan Siompu pada

commit to user

56 umumnya. Gambaran umum ini, meliputi kondisi fisik, kimia air laut seperti suhu, salinitas (kadar garam), kecerahan (Clarynitas), dan kecepatan arus.

Kondisi fisik air laut sangat dipengaruhi oleh tipe iklim, letak wilayah secara geografis dan tiupan angin musim pada saat penelitian dilaksanakan yang secara langsung mempengaruhi turbulensi masa air dan kecepatan arus serta gelombang dan kecerahan air laut (Thalib, 1992 dalam Hussein, 2000). Selanjutnya dikatakan pula bahwa kondisi kimia air laut selain tergantung pada letak wilayah secara geografis, juga sangat tergantung pada sebaran besar energi, jenis zat serta material terlarut yang masuk dan berkomposisi kedalam badan air laut. Keadaan fisik kimia air laut diperairan daerah penelitian desa Tongali dan desa Biwinapada, dapat dilihat pada tabel 13 berikut ini.

Tabel 13. Kondisi Fisik/Kimia Air Laut di Lokasi Penelitian Desa Tongali dan Desa Biwinapada.

No Parameter Satuan

Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut Kep Men KLH Nomor 51 Tahun 2004 Lokasi Penelitian Desa Tongali(Lokasi Pengamatan) Desa Biwinapada (Lokasi Pembanding Rata-rata 1 Suhu ºC 28-30 27,5 27,5 27,5 2 Salinitas ‰ 25-30 27 25 26 3 Kecerahan m > 6 14,5 17 15,75 4 Kec.Arus m/dt < 20 0,37 0,38 0,38

Sumber : Data Primer, Pebruari, 2011

Dari tabel 13 di atas, dapat diketahui bahwa kondisi fisik /kimia diperairan sekitar desa Tongali dan desa Biwinapada masih di bawah ambang batas baku mutu air laut yang sangat sesuai dengan kondisi optimal pertumbuhan biota laut termasuk binatang karang, sesuai dengan ketentuan Kementrian Lingkungan Hidup RI No. 51 Kep.KLH Tahun 2004. Hal ini terjadi karena kondisi alam lokasi penelitian belum tercemar oleh limbah domestik maupun industri dan aktivitas manusia yang mengarah kedalam kegiatan yang merusak ekosistem perairan laut. Dengan melihat kondisi fisik/kimia perairan disekitar daerah penelitian ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa perairan ini, merupakan salah satu

commit to user

57 wilayah perairan di Indonesia yang cukup ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang secara optimum. Selanjutnya kondisi fisik/kimia perairan dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Suhu.

Suhu perairan pada lapisan permukaan di daerah penelitian berdasarkan hasil analisis Laboratorium Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Yogyakarta menunjukan nilai sebesar 27.5 ºC adalah sangat sesuai untuk kondisi pertumbuhan karang sebagaimana menurut Nontji (2005), bahwa suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan terumbu karang berkisar antara 25 – 30 ºC. Selanjutnya dikatakan pula oleh Wells (1954) dalam Supriharyono (2002), bahwa pertumbuhan karang akan mencapai puncaknya pada toleransi kisaran suhu antara 25 – 29 ºC, dengan batas pertumbuhan minimum dan maksimum pada kisaran suhu antara 16 ºC dan maksimum pada suhu 36 ºC.

Coles dan Jokiel (1978) dalam Supriharyono (2002), mengatakan bahwa suhu secara langsung dapat mempengaruhi napsu makan dari binatang terumbu karang sehingga sangat mempengaruhi pertumbuhan karang, dan secara ekstrim jika terjadi perubahan secara mendadak pada suhu 4 – 6 ºC di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya. Dengan demikian bila ditinjau dari segi kondisi suhu, maka kondisi perairan disekitar daerah penelitian ini sangat ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan biota karang karena mempunyai kisaran suhu 27,5 ºC.

b. Salinitas

Salinitas air laut pada lapisan permukaan di daerah penelitian berdasarkan hasil analisis Laboratorium Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Yogyakarta berkisar antara 25 – 27 permil ( ‰ ) hal ini di bawah kisaran rata – rata salinitas air laut untuk daerah tropis berkisar antara 30 – 35 permil (‰), namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau

commit to user

58 pengaruh alam seperti hujan, sedangkan binatang karang mempunyai kisaran toleransi antara 17,5 – 52,5 permil (‰) (Wells,1936 dalam Supriharyono, 2002).

c. Kecerahan

Kecerahan perairan diartikan sebagai kemampuan cahaya matahari untuk melakukan penetrasi pada kedalaman tertentu dari perairan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya kecepatan angin, kecepatan arus dan sedimen, kecerahan yang rendah akan mempengaruhi pertumbuhan binatang karang sehingga kecerahan mempunyai korelasi positif terhadap pertumbuhan karang sampai batas kecerahan tertentu yang mampu ditolerir oleh pertumbuhan karang, hal ini berhubungan dengan faktor kedalaman perairan. Kinsman, (1964) dalam Supriharyono (2002) mengatakan bahwa secara umum karang tumbuh subur pada kedalaman kurang dari 20 meter.

Kecerahan pada lokasi penelitian adalah 14,5 -17 meter, hal ini sangat mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang dapat diterima oleh perairan, cahaya matahari merupakan faktor yang sangat penting bagi binatang karang (hermatypic) yang hidupnya bersimbiose dengan ganggang ( Zooxathella e) yang melakukan proses fotosintesa untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Nilai kecerahan diperairan sekitar daerah penelitian di kedua desa ini sangat dimungkinkan karena pada perairan kedua desa tidak terdapat alur sungai yang membawa suspensi material daratan yang masuk dalam air laut, ataupun kegiatan lain di daratan yang dapat berakibat fatal pada tingkat kecerahan air laut.

Pada dasar perairan sekitar kedua desa di daerah penelitian tidak terdapat endapan lumpur, sehingga terjadi pengadukan vertikal akibat turbulensi permukaan massa air tidak terlalu berpengaruh pada nilai kecerahan. Dengan kisaran nilai kecerahan sebesar 14,5 -17 meter, merupakan kondisi yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang.

commit to user

59 d. Kecepatan Arus

Kecepatan arus merupakan perpindahan massa air laut dari satu tempat ke tempat lain sehingga distribusi makanan (nutrien) yang dibutuhkan organisme dapat terbawah dan menjadikan komposisi nutrien lebih bervariasi dan homogen. Arus mempunyai peranan yang cukup penting bagi kehidupan biota laut termasuk bagi kehidupan binatang karang karena berperan dalam menghindarkan ekosistem karang dari penumpukan endapan yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangannya.

Kecepatan arus di daerah penelitian adalah antara 0,36 – 0,39 m/dt sedangkan kecepatan rata-rata mencapai 0,38 m/dt. Kecepatan arus yang demikian diperlukan beberapa biota laut untuk membersihkan organisma dari berbagai kotoran dan endapan yang tertinggal ditubuh organisme, sedangkan bagi binatang karang kecepatan arus sangat mempengaruhi penumpukan endapan yang akan menghambat pertumbuhan, kecepatan arus optimal berkisar antara 0,15 – 0,40 m/dt, sehingga dapat dijelaskan bahwa kecepatan arus diperairan sekitar kedua desa penelitian cukup bagus bagi binatang karang untuk membersihkan bahan-bahan tersuspensi yang berlebihan pada tubuh karang (Soekarno dkk.,1993 dalam Hussein, 2000).

Secara umum kondisi kualitas perairan di lokasi penelitian ( Desa Tongali) maupun lokasi pembanding (desa Biwinapada) sangat memungkinkan untuk pertumbuhan optimal bagi binatang karang, karena secara teknis kondisi perairan merupakan kondisi alami yang sangat ideal bagi binatang karang dan biota laut yang lain untuk melangsungkan aktivitas hidup pada habitat alami.

2. Kondisi Terumbu Karang

Hasil penelitian diperairan sekitar desa Tongali sebagai lokasi penelitian dan peraiaran sekitar desa Biwinapada sebagai desa pembanding. Tiap lokasi dilakukan pengamatan pada kedalaman 3 meter dan 10 meter, sekaligus sebagai ulangan dengan panjang garis transek 30 meter.

commit to user

60 Sepanjang garis transek diamati bentuk pertumbuhan terumbu karang pada tiap kategori pertumbuhan yaitu Hard Coral (HC), Other (OT), Algae (AL), dan Abiotic (AB). Pengamatan terumbu karang ini dilakukan bersamaan dengan pengamatan ikan – ikan karang secara sensus visual.

Secara lengkap hasil pengamatan terumbu karang di lokasi penelitian (desa Tongali dan desa Biwinapada) dapat dilihat pada tabel 14 berikut ini :

Tabel 14. Hasil Pengamatan Bentuk Pertumbuhan Karang Pada Lokasi Penelitian

No Kategori/Bentuk

Pertumbuhan Karang Kode

Lokasi Penelitian Ket. Desa Tongali (Lokasi Penelitian) Desa Biwinapada (Lokasi Pembanding) 1 2 3 4 5 6

I Hard Coral = HC(karang

keras/batu

- = tidak ada + = ada

1 Acropora branching ABC + +

2 Acropora encrusting ACE + +

3 Acropora submassive ACS - +

4 Acropora digitate ACD - -

5 Acropora tabulate ACT - +

6 Baranching AB + + 7 Encrusting CE + + 8 Foliase CF + + 9 Massive CM - + 10 Submassive CS + - 11 Mushroom CMR + + 12 Millepora CME - -

II Other = OT/Fauna Lainnya

13 Soft Coral SC + +

14 Sponge SP + +

15 Zoanthids ZO - +

16 Others OT - +

III Alga (Ganggang) = AL

17 Algae assemblage AA - -

18 Coralline algae CA - -

19 Halinneda HA - -

20 Macroalgae MA - -

21 Turf-algae TA + +

IV Abiotik(Benda Mati) = AB

22 Send (pasir) S + -

23 Rubble R + -

24 Water WA - -

25 Rock (bebatuan) RCK + + Sumber : Data Primer yang diolah, 2011

commit to user

61 Dari tabel 14 di atas menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian perairan desa Tongali 12 kategori pertumbuhan karang, sedangkan pada lokasi pembanding di perairan desa Biwinapada 16 kategori. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran pertumbuhan karang cukup merata dan hampir seragam, pada semua lokasi penelitian kategori Acropora dan non-Acropora keberadaannya dominan pada kedua perairan tersebut, namun demikian kondisi (kualitas) terumbu karang pada masing-masing lokasi baik pada lokasi penelitian perairan sekitas desa Tongali maupun lokasi pembanding perairan sekitar desa Biwinapada berbeda-beda.

a. Persentase Tutupan Karang

Persentase tutupan karang yang dimaksud adalah jumlah masing-masing individu karang hidup yang terdapat di bawah tali transek, dibagi dengan keseluruhan individu, dikalikan 100 %. Kondisi terumbu karang ditentukan berdasarkan pada persentase tutupan karang yang masih hidup yaitu karang batu (hard coral) baik kategori pertumbuhan Acropora maupun non-Acropora yang melalui garis transek bentuk pertumbuhan (life form), semakin sering dijumpai karang batu melalui life form maka semakin bagus kondisi terumbu karang, komponen lain yang menentukan kondisi terumbu karang adalah keberadaan fauna lain (others/OT) merupakan fauna atau hewan lain selain binatang karang termasuk didalamnya karang lunak (soft coral), sponge, dan lainnya. Alga (AL) merupakan kelompok ganggang baik yang terdiri dari satu spesies atau lebih dari berbagai ukuran dan komponen abiotik (AB) merupakan kelompok benda-benda mati seperti pasir (sand), pecahan karang (ruble), dan bebatuan (rock).

Selain kategori bentuk pertumbuhan maka kualitas terumbu karang juga dapat ditentukan oleh karang mati yang tertutup alga (dead coral with algae/DCA) merupakan karang yang masih berdiri tegak dan utuh, namun sudah tidak berwarna putih lagi karena sebagian atau seluruh bagian karang telah ditumbuhi dan ditutupi oleh alga.

commit to user

62 Berdasarkan hasil pengamatan maka kondisi terumbu karang di lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 15 berikut ini.

Tabel 15. Persentase Tutupan Karang Pada Lokasi Penelitian

Lokasi Stasi-un

Kedala -man (m)

Persentase Tutupan Karang Karang

Hidup

Karang Mati Rata- Rata

Har d Coral (HC) Other (OT) Alga (AL) Abiotik Karang Hidup Karang Mati Desa Tongali/ Lokasi Peneliatian I 3 11,63 6,98 0,77 19,38 11,63 9,04 10 30,23 13,18 2,33 15,49 30,23 10,33 Rata-rata 20,93 10,08 1,55 17,44 20,93 9,69 Desa Biwinapada/ Lokasi Pembanding II 3 31,45 4,03 0,00 3,23 31,45 2,42 10 50,81 8,06 0,80 1,60 50,81 3,49 Rata - rata 41,13 6,05 0,80 2,42 41,13 3,09

Sumber : Data Primer yang diolah, 2011

Pada tabel 15 di atas menunjukan bahwa pada lokasi penelitian di perairan desa Tongali (stasiun A), kondisi terumbu karang pada kedalaman 3 meter termasuk dalam ketegori rusak (buruk) dan pada kedalaman 10 meter menunjukan kondisi terumbu karang dalam kategori rusak sedang, kondisi terumbu karang yang telah rusak dapat dibuktikan dengan rata – rata persentase terumbu karang hidup sebesar 20,93 %, tutupan biota lain (OT) sebesar 10,08 %, tutupan alga (AL) 1,55 % dan tutupan benda mati (AB) 17,44 %.

Kedalaman 3 meter pada lokasi pengamatan, tutupan karang hidup sebesar 11,63 % termasuk dalam katergori rusak (buruk), fauna lain (OT) 6,98 %, alga (AL) 0,77 % dan komponen abiotik (AB) 19,38 %, pada kedalaman 10 meter persentase tutupan karang hidup sebesar 30,23 % termasuk kategori rusak sedang, fauna lain (OT) 13,18 %, alga (AL) 2,23 % dan komponen abiotok (AB) 15,49 %, sehingga secara umum rata-rata kondisi terumbu karang pada lokasi pengamatan disekitar perairan desa Tongali dengan 2 transek pada kedalaman 3 meter dan 10 meter termasuk dalam kondisi rusak (buruk).

commit to user

63 Pada lokasi pembanding disekitar perairan desa Biwinapada (stasiun B), kondisi terumbu karang termasuk dalam kategori rusak sedang yang ditunjukkan dengan rata – rata persentase tutupan karang hidup sebesar 41,13 %, didominasi oleh acropora dan non acropora, tutupan fauna lain (other/OT) 6,05 %, tutupan alga (AL) 0,80 %, dan tutupan abiotik (AB) sebesar 2,42 %.

Kedalaman 3 meter pada lokasi pembanding persentase tutupan karang hidup sebesar 31,45 % termasuk dalam kategori rusak sedang, fauna lain (OT) 4,03 %, alga (AL) 0,00 % dan komponen abiotik (AB) 3,23 %, pada kedalaman 10 meter persentase tutupan karang hidup sebesar 50,81 % termasuk dalam ketegori baik, fauna lain (OT) 8,06 %, alga (AL) 0,80 % dan tutupan benda lain (AB) sebesar 1,60 %, meskipun pada kedalaman 3 meter persentase tutupan karang hidup sebesar 31,45 % dengan kondisi terumbu karang rusak sedang dan pada kedalaman 10 meter persentase tutupan karang hidup sebesar 50,81 % termasuk kondisi karang dalam kategori baik namun secara umum rata – rata kondisi terumbu karang menunjukan 41,13 % dapat dikategorikan dalam keadaan rusak sedang.

Dilihat dari keadaan kondisi persentase tutupan karang pada lokasi penelitian di perairan sekitar desa Tongali (stasiun A) maupun desa Biwinapada (stasiun B) sebagai lokasi pembanding dengan kategori rusak (buruk) hingga kategori baik kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya bahwa pada perairan desa Tongali yang penduduknya senangtiasa berhubungan dengan ekosistem terumbu karang disekitarnya dalam aktivitas sehariannya sebagai masyarakat nelayan, dianggap mempunyai peranan yang cukup besar pada proses penurunan kualitas terumbu karang didaerah tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tata cara dan penggunaan alat tangkap ikan dari jenis yang dapat merusak karang sepeti penggunaan bahan peledak (bom), jaring insang, panah, tombak. Selain itu terdapat indikasi eksploitasi karang batu untuk berbagai keperluan, hal ini secara langsung dapat mengganggu pertumbuhan dan

commit to user

64 perkembangan karang yang akan berdampak langsung pada persentase penutupan karang hidup.

Perairan desa Biwinapada (stasiun B) sebagai lokasi pembanding dengan rata-rata tutupan karang hidup (living cover) adalah sebesar 41,13 % termasuk dalam kategori rusak sedang, hal ini disebabkan oleh adanya kesepakatan bersama pihak pemerintah desa, dewan adat, dan masyarakat setempat dengan asumsi bahwa perairan di desa Biwinapada bukan merupakan daerah tangkapan ikan utama bagi nelayan tradisional setempat sehingga sebagian besar nelayan di wilayah ini dapat menangkap ikan di perairan pulau Siompu khususnya di wilayah perairan desa Kaimbulawa kecamatan Siompu bagian Selatan, juga perairan desa Biwinapada dapat dibagi sesuai dengan peruntukannya sehingga penggunaan alat tangkap ikan oleh nelayan dari jenis yang dapat merusak seperti bahan peledak (bom), jaring insang, panah, dan tombak serta ada indikasi kerusakan akibat pengambilan anemon yang dikenal masyarakat dalam bahasa daerah disebut Bulibuli dengan cara menghancurkan karang untuk dapat dikonsumsi atau dijual tidak berdampak lebih besar terhadap terumbu karang.

Dari keseluruhan penelitian bidang fisik yang dilaksanakan dapat mendukung hipotesis pertama terbukti karena pada perairan desa Tongali, keadaan kualitas terumbu karang yang berada diperairan dekat pemukiman penduduk senangtiasa berhubungan dengan ekosistem terumbu karang disekitarnya dalam aktivitas sehariannya dapat menghasilkan nilai yang sangat rendah (rusak/buruk) hingga rusak sedang dengan nilai tutupan karang hidup (living cover) hanya berkisar antara 11,63 % hingga 30,23 % dengan tara-rata tutupan karang hidup 20,93 %.

Rendahnya rata-rata persentase tutupan fauna lain (OT) sebesar 6,05 %, alga (AL) 0,80 % dan komponen abiotik (AB) 2,42 % pada lokasi pembanding di perairan sekitar desa Biwinapada menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut intensitas penangkapan ikan destruktif yang

commit to user

65 menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang secara langsung sangat rendah, terbukti dengan rendahnya pecahan karang (rubbel) yang dijumpai selama pengamatan dan rendahnya jumlah karang mati yang tetutup alga.

Pada perairan sekitar desa Biwinapada yang dijadikan sebagai pembanding, juga dengan kualitas terumbu karang yang berada di perairan dekat dengan pemukiman penduduk dapat menghasilkan nilai terumbu karang dalam kategori rusak sedang hingga kategori baik dengan tutupan karang hidup berkisar antara 31,45 % hingga 50,81 % dengan rata-rata tutupan karang hidup adalah 41,13 %.

Kenyataan lain yang ditemukan di lapangan selama proses penelitian berlangsung ternyata pada perairan yang dijadikan pembanding, tidak ditemukan bentuk-bentuk kerusakan karang yang tidak wajar selain kerusakan secara biologis oleh pemangsa alami seperti bulu babi. Dengan demikian berdasarkan kenyataan ini dapat dikatakan bahwa penurunan kualitas terumbu karang di kedua desa penelitian ini, bukan disebabkan oleh proses alami, namun oleh proses kerusakan fisik akibat adanya pengaruh kegiatan manusia atau penduduk sekitar.

Untuk melihat kondisi terumbu terumbu karang dalam keadan baik di lokasi pembanding desa Biwinapada, dapat disajikan pada gambar 8 dan 9 berikut ini :

Gambar 8. Terumbu Karang Dalam Keadaan Baik di Lokasi Pembanding (Desa Biwinapada).

commit to user

66 Gambar 9. Terumbu Karang Dalam Keadaan Baik Yang Melalui Garis

Transek di Lokasi Pembanding (Desa Biwinapada); 2011

Pada gambar 8 dan 9 menunjukan bahwa terumbu karang di lokasi pembanding (perairan desa Biwinapada) didominasi oleh Acropora hyacinthus dan Arcopora soliaryensis merupakan jenis karang batu yang mempunyai percabangan lebih dari dua. Terumbu ini lebih banyak dipengaruhi oleh arus pasang surut dan adanya pertukaran massa air. b. Kerusakan terumbu Karang dan Penyebabnya

Hasil pengamatan pada kedua lokasi, kondisi terumbu karang secara umum pada lokasi penelitian di perairan desa Tongali dalam keadaan rusak (buruk) dan rusak (sedang). Kerusakan tersebut sangat dominan disebabkan oleh kegiatan nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom), terbukti dengan banyaknya pecahan karang dan benda mati (AB) 15,49 % pada kedalaman 10 meter.

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom) yang dilakukan oleh nelayan mempunyai konstribusi terbesar terhadap kerusakan terumbu karang di perairan Desa Tongali. Bahan peledak seberat 0,5 kg yang diledakkan pada dasar terumbu karang menyebabkan

commit to user

67 karang pada radius 3 m dari pusat ledakkan hancur sama sekali (Suharsono, 1998).

Penggunaan bahan peledak (bom) dalam penangkapan ikan akan merusak suatu lokasi perairan secara permanen sehingga untuk meremajakan kembali, dibutuhkan puluhan tahun. Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak lingkungan, penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara menggunakan bahan Peledak (bom), mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah, terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang.

Terumbu karang yang rusak akibat penangkapan ikan dengan bahan peledak (bom) dapat dilihat pada gambar 10 dan 11 berikut ini :

Gambar 10. Kondisi Terumbu Karang Bekas penggunaan bahan peledak (bom) di Lokasi Penelitian (Desa Tongali); 2011

commit to user

68 Gambar 11. Kondisi Terumbu Karang Bekas penggunaan bahan peledak

(bom) di Lokasi Penelitian (Desa Biwinapada); 2011

Penyebab kerusakan terumbu karang dapat teramati pada kedua lokasi penelitian, lebih dominan disebabkan oleh aktivitas manusia (factor anthropogenik) dibandingkan dengan pengaruh alam, secara jelas penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 16 berikut ini :

Tabel 16. Penyebab Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang di Lokasi Penelitian

No Jenis dan Kegiatan Penyebab Kerusakan Keterangan

1 Kegiatan Eksploratif

Penangkapan ikan dengan potasium

Tidak ditemukan langsung tetapi ada indikasi Penambang karang Tidak ditemukan

tetapi ada indikasi 2 Kegiatan Ekstraktif

Jangkar Perahu Nelayan Ditemukan tetapi sedikit

Jangkar wisata Tidak ada 3 Dampak Sampingan Kegiatan Pencemaran Industri Pencemaran/Limbah Pertanian Tidak ada 4 Faktor Alami

Pemangsaan oleh Acanthaser Plancit

Tidak ditemukan Penyakit Tidak di temukan Kenaikan Suhu Air Laut Tidak ditemukan Sedimentasi Tidak ada Sumber : Data Primer yang diolah, 2011

commit to user

69 3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Yang dimaksudkan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah penelitian yang dapat diamati adalah variabel-variabel yang dianggap memberikan pengaruh terhadap perilaku masyarakat sekitar desa Tongali dan desa Biwinapada dalam kaitannya dengan ekosistem terumbu karang. Sedangkan masyarakat diartikan sebagai satu kesatuan manusia yang saling berinteraksi serta membentuk pola tingkah laku yang khas bersifat mantap dan kontinyu mengenai semua faktor kehidupan dalam batas kesatuannya, sehingga membentuk kebiasaan (adat istiadat).

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan memasukan 3 komponen lingkungan yaitu komponen biotik, abiotik dan sosial, untuk komponen sosial menggunakan 3 variabel pengamatan yaitu tingkat pendidikan, tngkat pendapatan, dan kesempatan kerja lain. Responden sebanyak 100 orang nelayan, yang diambil dari 2 desa masing-masing 50 orang nelayan yakni desa Tongali dan desa Biwinapada.

Deskripsi umum yang dimaksudkan adalah yang berkaitan dengan data yang diperoleh melalui alat bantu kuesioner dan hasil pengamatan langsung yang bersifat kualitatif. Berdasarkan jawaban dari responden melalui kuesioner dan hasil pengamatan selama peneliti di lokasi penelitian dapat dianalisis, hasil analisis beberapa hal mengenai gambaran umum responden sebagai berikut :

1) Tingkat Pendidikan (X1)

Tabel 17. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat pendidikan di Lokasi Penelitian

Tingkat Pendidikan

Responden

Desa Tongali Desa Biwinapada

n % n %

Rendah (SD) 43 86 31 62

Menengah (SLTP-SLTA) 5 10 15 30 Tinggi (Akademi/PT) 2 4 4 8

Jumlah 50 100 50 100

commit to user

70 Berdasarkan data pada tabel 17 di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di desa Tongali masih sangat rendah, kategori masyarakat yang tidak sekolah (tidak tamat SD) 86 %, masyarakat yang berpendidikan menengah 5 %, dan 2 % masyarakat berpendidikan tinggi. Sedangkan di desa Biwinapada kategori masyarakat tidak sekolah sampai tamat SD 62 %, masyarakat berpendidikan menengah 30 % dan yang berpendidikan Tinggi 8 %.

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menyebabkan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang ekosistem terumbu karang, sehingga dari sejumlah pertanyaan (kuesioner) yang diajukan sehubungan dengan pengetahuan masyarakat mengenai ekosistem terumbu karang diperoleh gambaran tentang tingkat pengetahuan dapat dilihat pada tabel 18 berikut : Tabel 18. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan di

Lokasi Penelitian

Tingkat Pengetahuan Terhadap Ekosistem

Terumbu Karang

Responden

Desa Tongali Desa Biwinapada

n % n %

Berpengetahuan 22 44 24 48 Tidak berpengetahuan 28 56 26 52

Jumlah 50 100 50 100

Sumber : Data Primer yang diolah, 2011

Pada tabel 18 di atas menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat di desa Tongali maupun masyarakat di desa Biwinapada masih mempunyai pengetahuan tentang ekosistem terumbu karang yang rendah, dimana hanya 44 % responden di desa Tongali dan 48 % responden di desa Biwinapada dapat menjawab mengerti tentang ekosistem terumbu karang,

Dokumen terkait