• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Pengelolaan dan Tata Batas Kawasan

Menurut Galudra et al. (2005), sejarah penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dapat dibagi menjadi empat periode tahun, dimulai dari zaman penjajahan sampai dengan setelah kemerdekaan Republik Indonesia (Tabel 3).

Tabel 3 Sejarah kebijakan penggunaan lahan dan penunjukan kawasan TNGHS

Periode Tahun Pemerintahan Penggunaan dan

penunjukan kawasan TNGHS

Keterangan

1700-1865 Hindia Belanda kawasan perkebunan kopi, indigo, teh, kayu manis, kapas, karet, kina, coklat, kapuk, kelapa, lada 1865-1942 Hindia Belanda kawasan kehutanan hutan rimba (>1.570

mdpl), dan hutan cadangan

1942-1945 Jepang kawasan pertanian sawah dan kebun

1945-sekarang Republik Indonesia

kawasan kehutanan kelompok hutan dikelola oleh BKSDA, Perhutani, dan Taman Nasional

Sumber: Galudra et al. (2005)

Sebagian besar kegiatan penataan batas kawasan TNGHS telah dilaksanakan pada masa penjajahan Belanda, sedangkan sisanya dilaksanakan pada masa pendudukan Jepang dan masa pemerintahan Republik Indonesia. Pada awal penunjukannya, Belanda menetapkan kawasan hutan yang sekarang merupakan kawasan TNGHS sebagai kawasan perkebunan. Hal ini berhubungan dengan kondisi geografis, dimana pada beberapa lokasi memang cocok untuk ditanami komoditas perkebunan. Kebijakan Hindia Belanda tersebut telah menyebabkan berkembangnya pemukiman dan lahan pertanian yang berada di dalam kawasan TNGHS. Sebagian besar pekerja pada kawasan perkebunan bermukim di sekitar lokasi perkebunan, dan memanfaatkan lahan di sekitar pemukiman mereka untuk dijadikan sebagai lahan pertanian.

Berdasarkan studi Galudra et al. (2005), pada awal tahun 1700-an, terdapat kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk memperluas areal perkebunan kopi di daerah Keresidenan Priangan (Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Tasikmalaya). Masyarakat setempat diwajibkan untuk menanan tanaman kopi di kawasan terbuka pada ketinggian 700-1400 mdpl. Eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara terorganisir, dengan bupati sebagai penanggung jawab utama bagi pasokan komoditi hasil bumi dari tanaman perdagangan yang ditentukan oleh Hindia Belanda. Setelah tahun 1915, sistem penanaman kopi dihapuskan akibat penyebaran penyakit tanaman kopi. Kebun-kebun kopi diserahkan kepada masyarakat setempat, dengan tujuan untuk membangun perkebunan kopi rakyat. Kebijakan ini mengalami kegagalan, karena masyarakat cenderung menanam tanaman pangan daripada menanam tanaman kopi. Dampak dari kebijakan ini adalah banyaknya masyarakat yang menggarap tanah-tanah di dataran tinggi bekas perkebunan kopi.

Selanjutnya, terdapat juga kebijakan Hindia Belanda yang melakukan penjualan tanah sewa kepada tuan tanah pada beberapa daerah di Keresidenan Priangan. Pada awalnya, pemberian hak penguasaan tanah sewa kepada tuan tanah bertujuan untuk menciptakan keamanan dan keuntungan ekonomi bagi Hindia Belanda. Tetapi tidak terdapat peraturan yang mengatur hubungan tuan tanah dan masyarakat, sehingga terjadi kesewenangan tuan tanah terhadap hak masyarakat atas tanah sawah yang telah dibuka. Hal ini menyebabkan terjadinya perlawanan masyarakat terhadap tuan tanah di daerah Priangan. Untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan mengurangi tanah-tanah sewa milik tuan tanah non-Belanda yang dapat mengancam kestabilan politik Hindia Belanda, pemerintah telah membeli kembali tanah-tanah sewa tersebut.

Pada periode tahun 1830-1870, Hindia Belanda menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia. Hal ini, juga berpengaruh terhadap perubahan penguasaan tanah di kawasan Halimun-Salak. Pada periode ini, masyarakat dipaksa untuk menyerahkan seperlima tanah sawah mereka untuk ditanami kopi, indigo, teh, dan kayu manis.

Dari berbagai kebijakan Hindia Belanda yang dipaksakan kepada masyarakat, terdapat juga kebijakan yang memperhatikan pelestarian hutan di kawasan Halimun-Salak. Walaupun pada akhirnya, hal ini juga menyebabkan konflik dengan masyarakat yang bermukim pada beberapa daerah di sekitar kawasan Halimun-Salak yang masih melakukan sistem perladangan berpindah. Pada tahun 1865, Hindia Belanda menetapkan hutan yang berada pada ketinggian di atas 1570 mdpl sebagai kawasan hutan rimba. Hutan yang ditetapkan sebagai hutan rimba adalah hutan dengan jenis-jenis pohon non-jati, dengan tujuan untuk mendukung persediaan air irigasi dan persediaan kayu.

Pada tahun 1927, pemerintah Hindia Belanda menerbitkan peraturan yang menetapkan beberapa kawasan sebagai hutan cadangan, dengan tujuan untuk kepentingan pelestarian hutan dan produksi kayu. Hutan cadangan tersebut meliputi tanah yang bebas dari hak ulayat, dan tanah kosong yang dikelilingi oleh hutan. Terdapat perlawanan dari pemilik perkebunan swasta dan masyarakat setempat, karena tanah-tanah mereka diambil untuk dijadikan sebagai hutan cadangan. Sehingga pemerintah harus membeli tanah-tanah tersebut dari masyarakat dan pemilik perkebunan swasta.

Pada masa pendudukan Jepang, tidak ada kepastian wewenang atas pengaturan hutan. Masyarakat telah membuka hutan yang dulunya dijaga dan dilestarikan, untuk dijadikan sebagai perkampungan, sawah, dan ladang. Penguasa Jepang juga mewajibkan adanya serah-padi, sehingga masyarakat yang berada di sekitar hutan terpaksa membuka hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian.

Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengalami kesulitan dalam menjaga dan memulihkan kembali kawasan hutan di Halimun-Salak yang sudah rusak. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah menerapkan beberapa kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Halimun-Salak. Pada tahun 1957, pengelolaan hutan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat I, kecuali kawasan Cagar Alam dan Suaka Alam yang tetap menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pada masa itu, pemerintah daerah tetap mengizinkan masyarakat setempat yang terlanjur menggarap kawasan hutan, tetapi diwajibkan untuk memberikan sebagian hasil panennya kepada pemerintah daerah.

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan tentang perluasan kawasan hutan di kawasan Halimun-Salak. Pada tahun 1976, dibentuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) yang bertanggung jawab untuk mengelola hutan konservasi. Pada tahun 1978, dibentuk juga Perum Perhutani Unit III Jawa Barat yang bertanggung jawab untuk mengelola hutan produksi. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 40/kpts/um/1/1979, beberapa kelompok hutan rimba di kawasan Halimun-Salak seluas 40000 hektar berada di bawah pengelolaan BKSDA, sedangkan sisa hutan di kawasan Halimun-Salak seluas 73357 hektar berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani.

Pada sistem pengelolaan hutan produksi di kawasan Halimun-Salak, Perum Perhutani tetap mengizinkan masyarakat yang terlanjur menggarap lahan pada kawasan hutan. Masyarakat hanya diwajibkan untuk membayar pungutan sebesar 10-25% dari hasil panennya. Kebijakan Perum Perhutani ini, merupakan salah satu bentuk ketidaktegasan pengelola kawasan hutan terhadap keberadaan masyarakat yang secara ilegal berada di dalam kawasan hutan. Pengelola hanya memberikan penyelesaian sementara terhadap permasalahan kepemilikan lahan yang terjadi di kawasan Halimun-Salak. Padahal, kebijakan tersebut tidak didukung oleh adanya pengawasan yang kuat dan tegas terhadap aktivitas masyarakat dan beberapa pihak yang mengharapkan keuntungan pribadi. Akibat dari kebijakan tersebut, terus dirasakan sampai sekarang, dimana semakin banyak kawasan pemukiman dan lahan garapan masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan.

Harada et al. (2001) juga membagi periode pengelolaan kawasan TNGHS pada beberapa periode waktu. Pada zaman penjajahan Belanda, kawasan TNGHS dibagi menjadi: hutan lindung, lahan untuk dikelola masyarakat lokal, lahan milik perkebunan, lahan milik pribadi, dan lahan milik pemerintah lokal. Pada zaman penjajahan Jepang, sistem pengelolaan hutan diserahkan pada masyarakat lokal secara bebas. Terjadi perpindahan penduduk dari berbagai tempat, sehingga menyebabkan jumlah populasi penduduk yang berada di sekitar kawasan TNGHS meningkat secara cepat. Setelah kemerdekaan sampai tahun 1960, pemerintah telah membuat sistem pengelolaan dan pengawasan terhadap hutan, dimana

kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat lokal telah diubah fungsinya menjadi hutan lindung. Pada tahun 1977, seluruh hutan lindung yang ada di Provinsi Jawa Barat pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA). Pada tahun 1979, dengan adanya Perum Perhutani yang melakukan pengelolaan hutan dengan tujuan produksi, kawasan cagar alam tersebut dibagi lagi menjadi: kawasan Cagar Alam, areal perkebunan, dan kawasan hutan produksi. Pada tahun 1992, areal tersebut dirancang untuk dijadikan sebagai taman nasional, dimana kawasan perkebunan juga termasuk di dalamnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992, Cagar Alam Gunung Halimun ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), dengan luas 40000 hektar [BTNGH 2004].

Pada tahun 2003, pemerintah telah menunjuk kawasan hutan lindung dan hutan produksi pada kelompok hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak yang berada di sekitar TNGH sebagai daerah perluasan taman nasional. Perubahan fungsi kawasan tersebut, menyebabkan penambahan luas kawasan TNGH seluas ± 73357 hektar (Gambar 5).

Gambar 5 Perubahan tata batas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Masyarakat Adat

Masyarakat adat yang ada di kawasan TNGHS dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) masyarakat Badui, dan (2) masyarakat Kasepuhan. Masyarakat Badui hanya terdapat pada Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Sedangkan desa-desa yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh adat kasepuhan yaitu: di Kabupaten Lebak (Desa Citorek, Ciparay, Ciusul, Cisungsang, Lebak Situ, Kujangsari, dan Situmulya), dan di Kabupaten Sukabumi (Desa Sirnarasa dan Sirnaresmi).

Menurut Purnomohadi (1985), masyarakat Badui adalah masyarakat peladang berpindah, dimana pada pengelolaan lahan pertanian menerapkan pola bercocok tanam padi ladang dengan masa bera yang cukup panjang. Berdasarkan kepercayaan mereka, lahan huma harus diberakan setidak-tidaknya selama 7 atau 9 tahun (bilangan ganjil). Tetapi pada kenyataannya, sebagian besar warga Desa Kanekes mulai tidak mengikuti aturan adat dan kepercayaannya, dengan memberakan lahan humanya hanya selama 4 tahun. Pada pengolahan tanah, masyarakat Badui tidak melakukan penggemburan dan perataan tanah, dimana penggunaan cangkul dan alat-alat pertanian tidak diperbolehkan oleh peraturan adat. Alat yang dipakai pada pengolahan tanah hanyalah aseuk atau tugal dari cabang kayu, yang digunakan untuk membuat lubang-lubang tempat menanam bibit tanaman. Kegiatan pemeliharaan tanaman masih sangat tradisional, dimana tidak diperbolehkan adanya penggunaan pupuk dan obat-obatan pembasmi hama dan penyakit tanaman.

Pada masyarakat adat kasepuhan, pola kehidupan dan aktivitas harian mereka tidak berbeda dengan kebiasaan sehari-hari masyarakat pedesaan pada umumnya. Sistem pengelolaan hutan di kawasan masyarakat adat kasepuhan merupakan perwujudan filosofi hidup ”Ibu Bumi, Bapak Langit” yang bermakna bahwa keutuhan bumi beserta segala isinya harus dijaga dengan seksama, sebab apabila salah satu unsur dirusak maka akan menyebabkan rusaknya keseimbangan alam (Karyono & Herawati 2005). Pada sistem pengelolaan hutan, masyarakat adat kasepuhan membagi kawasan hutan menjadi (Karyono & Herawati 2005): 1. Leuweung Awisan, adalah hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu untuk

2. Leuweung Tutupan, adalah hutan yang berfungsi untuk menutupi Leuweung Awisan, dimana hutan ini dilindungi oleh negara.

3. Leuweung Titipan, adalah hutan yang dicadangkan untuk daerah pemukiman dan lahan garapan masyarakat adat kasepuhan di masa yang akan datang. 4. Leuweung Garapan atau Sampalan, adalah hutan yang telah dibuka dan

menjadi lahan garapan masyarakat.

Sebelum adanya perluasan kawasan taman nasional, kesatuan masyarakat kasepuhan di sekitar kawasan TNGHS terdiri dari 6 kasepuhan, yaitu: Citorek, Bayah, Cisungsang, Cicarucup, Sirnaresmi, dan Ciptarasa (Hadi 1994). Menurut sejarahnya, kasepuhan Banten Kidul telah ada sejak tahun 1369 yang pada awalnya berlokasi di Bogor. Selanjutnya terjadi beberapa kali perpindahan lokasi pemukiman masyarakat kasepuhan. Menurut Setyono et al. (2003), lokasi pemukiman masyarakat kasepuhan yang berada di Bogor telah pindah ke wilayah Kabupaten Sukabumi yaitu di Desa Sirnarasa (Kampung Cicemet, Kampung Cicadas, dan Kampung Ciganas), yang kemudian berkembang menjadi Kasepuhan Sirnarasa. Selanjutnya, pada tahun 1982 sebagian dari masyarakat kasepuhan terebut pindah ke Kampung Ciptarasa, dan akhirnya pada tahun 2000 terjadi lagi perpindahan ke Kampung Ciptagelar, yang selanjutnya berkembang menjadi Kasepuhan Ciptagelar.

Menurut Suhaeri (1994), kebiasaan warga kasepuhan memindahkan kampung utama (lembur gede) yang dijadikan sebagai pusat kegiatan warga kasepuhan telah dilakukan sebanyak 13 kali. Kegiatan tersebut cenderung mengarah kepada kegiatan deforestasi, dimana pada lokasi kampung yang baru akan berkembang kegiatan pencetakan sawah, perladangan, pembuatan jalan, dan pengambilan hasil hutan. Terdapat pula pemahaman dan pandangan masyarakat adat kasepuhan bahwa hutan yang berada di sekitar pemukiman adalah hutan sampalan, dimana diperbolehkan adanya eksploitasi terhadap hasil hutan, perburuan satwa, serta pembuatan ladang dan sawah.

Pengaruh tetua adat dalam tatanan kehidupan masyarakat yang ada pada desa-desa tradisional dapat dilihat dari pola bercocok tanam dan ketaatan masyarakat terhadap tetua adat (Abah, Olot). Pada desa dengan pengaruh adat/kasepuhan yang masih sangat kuat, maka hanya diperbolehkan bercocok

tanam padi satu musim saja (satu kali setiap tahun). Terdapat juga kepercayaan dari anggota masyarakat akan adanya hukuman dari alam ghaib (kualat) jika tidak menuruti apa yang diperintahkan oleh tetua adat.

Menurut Suhaeri (1994), penegakan hukum adat oleh tetua adat terhadap warga masyarakat yang melanggar aturan adat hampir tidak pernah dilakukan. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran dari warga kasepuhan bahwa adanya pelanggaran terhadap sesuatu yang ditabukan oleh nenek moyang mereka akan berakibat pada seluruh warga kasepuhan, bukan hanya dirasakan oleh warga yang melakukan pelanggaran saja.

Sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, pada beberapa desa sampel telah terjadi perubahan terhadap pengaruh adat istiadat. Perubahan ini terutama disebabkan oleh adanya pengaruh dari perkembangan informasi dan teknologi, serta masuknya pemahaman-pemahaman baru pada warga masyarakat. Tingkat pendidikan formal dan pengetahuan terhadap agama yang diterima oleh warga masyarakat telah membawa perubahan terhadap pengaruh tetua adat. Terdapat indikasi bahwa tetua adat hanya diperlukan jika terdapat kegiatan yang berhubungan dengan adat, tetapi untuk keperluan di luar adat lebih dibutuhkan peran aparat pemerintahan atau tokoh agama.

Kawasan Enclave

Enclave adalah pemilikan hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan hutan yang dapat berupa pemukiman dan atau lahan garapan. Secara kewilayahan, enclave berada di dalam kawasan hutan, tetapi secara hukum tidak termasuk kawasan hutan. Pada penelitian ini kawasan hutan yang dimaksud adalah kawasan TNGHS. Penetapan kawasan enclave ini didasarkan pada analisis kelayakan enclave yang meliputi: kelayakan fisik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, serta sejarah pemukiman dan lahan garapan (Dephut 1997).

Adanya aktivitas masyarakat dalam penggunaan lahan untuk pemukiman dan kegiatan budidaya pertanian merupakan salah satu bahan pertimbangan penetapan kawasan enclave. Departemen Kehutanan telah menetapkan bahwa status pemukiman penduduk dan lahan usahanya yang berada di dalam kawasan hutan harus diselesaikan untuk ditetapkan sebagai enclave atau karena

pertimbangan lain dikeluarkan dari kawasan hutan. Tujuan penyelesaian enclave adalah untuk memantapkan status kawasan hutan dan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam kawasan enclave.

Suatu areal juga dapat dijadikan langsung sebagai kawasan enclave apabila areal tersebut (Dephut 1997): 1) sudah memiliki Sertifikat Hak Milik; 2) secara administrasi pemerintahan merupakan kecamatan/desa yang sudah definitif; dan 3) mempunyai kepentingan khusus yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Berdasarkan data dari pemerintah daerah kabupaten, desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS adalah desa yang sudah definitif. Bahkan pada beberapa desa sampel, sudah ada sertifikat hak milik atas tanah yang digarap oleh warga desa. Hal ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk menyelesaikan konflik antara warga masyarakat, pemerintah daerah, dan pengelola TNGHS. Sehingga tata batas kawasan TNGHS di lapangan benar-benar dapat diakui oleh warga desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan taman nasional.

Terdapat 7 desa di kawasan TNGHS yang wilayahnya merupakan kawasan enclave. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kawasan enclave yang ada di kawasan TNGHS adalah lokasi perkebunan (Desa Malasari), kawasan pemukiman masyarakat adat kasepuhan (Desa Citorek, Ciparay, Ciusul, Cisarua, Lebak Situ), dan situs benda purbakala (Desa Lebak Gedong).

Penetapan kawasan enclave pada desa-desa yang termasuk lokasi perkebunan dan situs benda purbakala sudah dilaksanakan sebelum adanya perluasan kawasan TNGHS. Tetapi, penetapan beberapa desa yang merupakan pemukiman warga kasepuhan (Desa Citorek, Ciusul, Ciparay) sebagai kawasan enclave baru dilaksanakan pada tahun 2003, dimana desa-desa tersebut adalah desa yang termasuk pada daerah perluasan kawasan TNGHS.

Pada desa-desa yang pada wilayahnya merupakan lokasi perkebunan (Gambar 6), sebagian besar warga desa merupakan pekerja pada perusahaan perkebunan, sebagai tenaga kerja harian, dan mengolah sawah tadah hujan yang berada di pinggir lokasi perkebunan. Beberapa warga desa juga bekerja sebagai penunjuk jalan, dan mengelola tempat wisata yang berada di kawasan enclave.

Gambar 6 Enclave perkebunan teh di Desa Malasari.

Strata Desa

Hasil stratifikasi terhadap seluruh desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS dapat dikelompokkan menjadi 10 strata (Tabel 4). Strata dengan jumlah desa terbanyak adalah strata 1 (38.54%), diikuti oleh strata 5 (3.21%), dan strata 9 (12.50%). Desa-desa yang termasuk ke dalam tiga strata tersebut merupakan desa-desa non-tradisional dan non-enclave. Hal ini mengindikasikan bahwa pada sebagian besar desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS, tidak terdapat lagi adanya pengaruh masyarakat tradisional, dan hampir semua wilayah desa berada di luar kawasan enclave.

Tabel 4 Strata desa di kawasan TNGHS

No strata

Laju penurunan luas hutan alam

rata-rata (%/tahun)

Sosial kultural masyarakat

Status desa Jumlah desa Persentase (%) 1 0 – 2.0 non-tradisional non-enclave 37 38.54 2 0 – 2.0 non-tradisional enclave 2 2.08 3 0 – 2.0 tradisional non-enclave 5 5.21 4 0 – 2.0 tradisional enclave 3 3.13 5 2.1 – 4.0 non-tradisional non-enclave 29 30.21 6 2.1 – 4.0 non-tradisional enclave 1 1.04 7 2.1 – 4.0 tradisional non-enclave 1 1.04 8 2.1 – 4.0 tradisional enclave 1 1.04 9 4.1 – 6.0 non-tradisional non-enclave 12 12.50 13 6.1 – 8.0 non-tradisional non-enclave 5 5.21 Jumlah 96 100.00

Dari Tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa desa-desa tradisional di kawasan TNGHS hanya terdapat pada strata 3, 4, 7, dan 8. Terdapat 8 desa (strata 3 dan 4) dengan laju penurunan luas hutan alam rata-rata sebesar 0-2%, dan 2 desa (strata 7 dan 8) dengan laju penurunan luas hutan alam rata-rata sebesar 2.1-4%. Sebaliknya, pada sebagian besar desa-desa non-tradisional (47 desa) terdapat laju penurunan luas hutan alam rata-rata lebih dari 2% per tahun. Bahkan pada beberapa wilayah desa strata 13, dapat diidentifikasi bahwa tidak terdapat lagi adanya hutan alam. Jika dibandingkan dengan desa-desa non-tradisional, terdapat kecendrungan bahwa laju penurunan luas hutan alam pada desa-desa tradisional masih lebih rendah dari desa-desa non-tradisional.

Berdasarkan pengelompokkan laju penurunan luas hutan alam pada setiap desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS (Lampiran 2), sebagian besar desa (47 desa) memiliki laju penurunan sebesar 0-2.0% per tahun. Selain itu, terdapat juga desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 2.1-4.0% per tahun sebanyak 32 desa (33.33%), desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 4.1-6.0% per tahun sebanyak 12 desa (12.50%), dan desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam sebesar 6.1-8.0% per tahun sebanyak 5 desa (5.21%).

Berdasarkan sosial kultural masyarakat, di kawasan TNGHS terdapat 10 desa yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh masyarakat tradisional, yaitu: Desa Sirnaresmi, Kanekes, Cisungsang, Kujangsari, Situmulya, Ciparay, Ciusul, Lebaksitu, Sirnarasa, dan Citorek. Pengaruh masyarakat tradisional dapat dilihat dari ada tidaknya tetua adat yang bermukim pada desa tersebut, dan tingkat kepatuhan warga desa terhadap perintah atau larangan tetua adat.

Berdasarkan status desa, terdapat 89 desa (83.96%) yang berada di luar kawasan enclave. Sedangkan desa-desa yang berada di dalam kawasan enclave adalah sebanyak 7 desa (16.04%), yaitu: Desa Malasari, Citorek, Ciparay, Ciusul, Cisarua, Lebak Situ, dan Lebak Gedong. Dari sudut pandang peraturan perundangan di bidang kehutanan, desa-desa yang berada pada kawasan enclave merupakan desa-desa yang legal, walaupun secara geografis berada di dalam kawasan taman nasional.

Desa Strata 1

Desa-desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju penurunan luas hutan alam rata-rata sebesar 0-2.0% per tahun, tidak ada pengaruh masyarakat tradisional, dan wilayah desa berada di luar kawasan enclave. Dari 37 desa yang termasuk ke dalam strata ini (Tabel 5), pengambilan data dilakukan pada 10 desa sampel yaitu: Desa Bantar Karet, Sukajaya, Tugu Jaya, Sukaharja, Cijeruk, Cileungsing, Cikiray, Cipeuteuy, Pulosari, dan Kujang Jaya.

Tabel 5 Desa-desa strata 1

Kabupaten Kecamatan Desa

Bogor Sukajaya Kiarasari Nanggung Bantarkaret Tamansari Tamansari Sukajadi Sukajaya Pamijahan Gunungsari Ciasihan Gn. Bunder 2 Purwabakti Ciasmara Tenjolaya/ Tapos 1 Ciampea Gn. Malang Cigombong Tugujaya Pasirjaya Cijeruk Cipelang Sukaharja Tajurhalang Cijeruk

Sukabumi Cikakak Cileungsing

Cidahu Cidahu Cikidang Cikiray Cicurug Cisaat Pasawahan Kutajaya Kabandungan Kabandungan Cipeuteuy Mekarjaya Cihamerang Kalapanunggal Pulosari Parakansalak Parakansalak Sukatani Sukakersa

Lebak Sobang Majasari Citujah

Cibeber Hegarmanah

Kujang Jaya

Sukamulya

Desa Strata 2

Desa-desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 0-2.0% per tahun, tidak ada pengaruh masyarakat tradisional, tetapi wilayah desa berada di dalam kawasan enclave. Terdapat 2 desa yang termasuk dalam strata ini yaitu: Desa Malasari dan Cisarua, di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Pada strata ini, lokasi pengambilan data yang terpilih adalah di Desa Malasari.

Desa Strata 3

Desa-desa yang termasuk ke dalam strata ini adalah desa-desa dengan laju perubahan luas hutan alam rata-rata sebesar 0-2.0% per tahun, terdapat pengaruh masyarakat tradisional, tetapi wilayah desa berada di luar kawasan enclave. Terdapat 5 desa yang termasuk ke dalam strata ini, yaitu: Desa Sirnaresmi, Kanekes, Cisungsang, Kujangsari, dan Situmulya. Pengambilan data di lakukan pada 2 desa terpilih yaitu: Desa Sirnaresmi dan Cisungsang.

Dokumen terkait