• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KONFLIK BATIN TOKOH SARASWATI DALAM NOVEL SINTREN

3.1. Sebab-sebab Konflik Batin Tokoh Saraswati

3.1.1. Konflik Batin karena Kemiskinan Kedua Orang Tuanya

Saraswati dari semenjak usia sepuluh tahun ia dipaksa emaknya untuk mencari uang.

Penghasilan orang tuanya sebagai buruh serabutan membuatnya menjadi gadis yang tidak

Semenjak ayahnya sakit-sakitan membuat keadaan ekonomi keluarga semakin terpuruk

karena ditergantungkan dari penghasilan kerja emak seorang. Kemiskinan yang membalut

keluarganya membuat Saraswati dipaksa berhenti sekolah dan harus menikah. Kutipan

dibawah ini menunjukkan indikasi tersebut.

1. “Ganti baju!”

“Tidak dengar kamu? Ganti bajumu.” “saya ingin masuk sekolah, Mak.”

“Tidak tahu malu! Uang sekolahmu nunggak sampai tiga bulan, kamu masih mau

masuk. Mau taruh dimana mukamu itu?”

Terasa getir kalimat Emak. Memang uang sekolahnya selama tiga bulan belum bisa dibayar. Kalau saja musim kemarau tak memanjang di kampungnya, pasti bulan-bulan sekarang ini orang-orang kampungnya yang memiliki sawah akan menebar benih. Itu berarti kedua orang tuanya bisa mendapatkan uang dengan menjadi buruh bagi pemilik sawah.

(Dianing Widya Yudhistira, 2:1)

2. “Mudah-mudahan tuhan melapangkan jalannya.” “Ya, pak.” Saraswati masih menunduk.

“Apa lagi yang kau pikirkan, nduk?”

Saraswati menatap ayahnya. “Apakah Saras bisa sekolah terus, pak?”

(Dianing Widya Yudhistira, 9:1)

3. Saraswati sesungguhnya tidak samapi hati tak membantu emaknya. Tetapi kabar menyakitkan etlinga itu, membuat Saraswati bertengkar dengan batinnya sendiri. Ia jadi bimbang antara pergi dan tidak ke juragan Wargo.

(Dianing Widya Yudhistira, 24:2)

4. Saraswati sudah tahu akibat apa yang nanti akan ia terima dari emaknya kalau ia tak menyusulnya ke Klidang. Emak pasti akan marah habis-habisan. “ah, betapa tak enak menjadi anak. Selalu dimarahi,” pikirnya.

(Dianing Widya Yudhistira, 25:1)

5. Saraswati memilih diam di depan emaknya yang uring-uringan. Percuma ia meminta maaf berulang kali walaupun mengungkapkan alasannya mengapa tidak ke Klidang tadi siang. Emak tidak pernah mau mengerti tentang dirinya.

(Dianing Widya Yudhistira, 33:1)

6. Saraswati duduk termenung di kamarnya, memikirkan nasibnya. (Dianing Widya Yudhistira, 43:1)

(Dianing Widya Yudhistira, 48:3)

8. Saraswati masuk ke kamarnya dan langsung menutup pintu. Ia ingin tak seorangpun mengganggunya. Ia benci dengan pristiwa tadi siang. Juragan Wargo menatapnya cukup lama. Baru kali ini ia diperhatikan sedemikian rupa oleh laki-laki.

(Dianing Widya Yudhistira, 50:2)

9. Kalaupun juragan Wargo simpati padanya, janganlah memandang seperti tadi siang.

“Amit-amit kalau aku jadi menantunya. Tidak. Aku tidak mau,” katanya dalam hati.

(Dianing Widya Yudhistira, 51:1)

10. Saraswati tertegun mendengarnya. Sungguh hatinya mengiyakan, ia ingin sekali sekolah setinggi mungkin. Tidak hanya sampai sekolah dasar saja.

(Dianing Widya Yudhistira, 58:3)

11. Panggilan bapak tidak Saraswati dengar. Saraswati larut dengan sikap emak yang selalu menyuruhnya berhenti sekolah.

(Dianing Widya Yudhistira, 59:1)

12. Saraswati diam-diam memperhatikan emaknya. “Ah, aku tidak mau menjadi buruh seperti sekarang ini,” ujarnya dalam hati. Maka keinginannya untuk terus sekolah semkin menjulang.

(Dianing Widya Yudhistira, 62:3)

13. Detak nadi Saraswati seperti berhenti. Ia ingat ketika juragan Wargo memangdangi dirinya tanpa sedikit pun berkedip. Ia benci bila ingat saat itu. Ia merasa seperti ditelanjangi juragan Wargo yang sudah tua.

(Dianing Widya Yudhistira, 82:1)

14. “Kamu harus kawin dengan Kirman, Saras. Harus. Emak akan beruasaha sekuat mungkin untuk itu,” batinnya.

(Dianing Widya Yudhistira, 85:4)

15. Kawin muda, setelah lulus Sekolah Dasar. Sangat mengerikan bagi Saraswati. Ia masih ingin sekolah hingga ke SMP, SMU, kalau bisa sampai kuliah. Ah, itu terlampau melambung. Ingin ke SMP saja rintangan yang ia hadapi sangat berat. Emak lebih suka ia kawin muda. Keinginan itu emak utarakan jauh sebelum juragan Wargo melamar. Sekarang setelah juragan Wargo benar-benar melamar Saraswati, ia merasa sangat terancam. Ia takut tak memiliki kesempatan melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Ah, sungguh malang.

(Dianing Widya Yudhistira, 88:3)

16. Barang kali Saraswati harus menyadari siapa dirinya sesungguhnya. Hanya orang yang miskin. Tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan mungkin tak memiliki kekuatan untuk menentukan pilihannya sendiri.

Saraswati jadi kecut hatinya. Bila ia harus menolak lamarannya juragan Wargo, itu akan menyakiti emak. Juga menyusahkan bapak, karena bapak harus berhadapan dengan juragan Wargo. Ia akan kembali menjadi bulan-bulanan emaknya karena tidak menuruti keinginan emaknya. Ia bisa kena marah setiap hari.

Saraswati menghela napas. Sangat tidak merdeka menjadi perempuan, lebih-lebih dari keluarga miskin.

(Dianing Widya Yudhistira, 90:1)

18. Hatiya semakin bimbang. Ia tak sampai hati melihat emaknya marah-marah dengan bapak karena membatalkan lamarannya dengan juragan Wargo. Tetapi kalau ia benar-benar menikah dengan Kirman pasti akan sering berdekatan dengan juragan Wargo. Padahal dirinya tidak menyukai juragan Wargo, itu berarti ia akan sering dipandangi juragan Wargo.

(Dianing Widya Yudhistira, 91:4)

19. Ia bertarung dengan pikirannya sendiri. Sungguh Saraswati tidak ingin menerima lamaran itu. Ia masih ingin sekolah, tetapi pertengkaran emak dan bapaknya membuat hatinya lumpuh. Terlebih keadaan keseharian keluarganya yang sangat kekurangan. Memang tidak memungkinkan Saraswati sekolah sekalipun hingga SMP.

Bila ingin hidup enak ya menjadi orang kaya. Untuk menjadi kaya itulah yang susah. Sekarang kesempatan itu datang. Saraswati bisa mencicipi kekayaan dengan menikah dengan Kirman. Pikiran buruk itu seolah meracuni diri Saraswati. Bila ia menerima lamaran itu, Saraswati merasa seolah-olah dirinya menggadaikan cintanya kepada Kiraman. Biarpun Kirman berwajah manis, ia tak punya hati buat Kirman. Tapi apa salahnya menerima cinta dari anak orang terkaya di kampungnya.

(Dianing Widya Yudhistira, 96:2)

20. “Sudahlah Saras, kau terima saja apa adanya hidup ini,” suara dari batinnya.

(Dianing Widya Yudhistira, 97:1)

21. Saraswati gundah luar biasa. Hatinya miris. Besok adalah awal dari hilangnya masa depan. Ia akan dilamar kemudian menikah, punya anak lalu menghabiskan waktu di dapur. Tak ada kesempatan lagi untuk sekolah. Dunia seolah runtuh.

(Dianing Widya Yudhistira, 99:2)

22. Konsentrasi Saraswati buyar. Buku pelajaran yang ada di depannya seperti menguap. Tak ada satu pun pelajaran yang dihafalnya singgah di kepalanya. Ucapan-ucapan kedua orang tuanya membuat ia lelah.

(Dianing Widya Yudhistira, 105:1)

23. Apakah kemiskinan yang dijalaninya kini adalah penjara? Penjara yang membelenggu hingga seolah-olah nasibnya ada di tangan orang lain.

(Dianing Widya Yudhistira, 106:4)

24. Di dalam kamar, Saraswati sama sekali tidak bisa tidur. Pikirannya tertuju pada pertunjukan sintren nanti malam. Ia pun mulai merutuk-rutuk sendiri, mengapa mesti

25. Tiba saatnya malam hari. Mesti malam baru saja menjelang, bagi Saraswati malam terasa begitu mencekam. Ia ingin lari dari kehidupannya yang sekarang. Kemanapun ia hendak lariseperti selalu terbentang dinding tebal dan tinggi, tak bisa ditembusnya. (Dianing Widya Yudhistira, 120:4)

26. Ruangan yang sebelumnya belum pernah ia lihat maupun bayangkan. Ruang ini mengubur seluruh rasa sakit hatinya. Hingga sayup-sayup ia mendengar suara tetabuhan yang begitu mistis. Suara yang aneh meskipun akhirnya melahirkan perasaan damai dalam hatinya.

(Dianing Widya Yudhistira, 121:1)

27. Saraswati tercenung di kamarnya. Sejak kapan ia punya kasur empuk dengan seprai bagus seperti ini.

(Dianing Widya Yudhistira, 141:1)

28. Saraswati merasa kalau bukan untuk biaya sekolah, ia tak akan mau menerima pekerjaan ini. Kalau saja ia anak orang mampu, ia tak akan perah jadi sintren. Tetapi kenyataan mengharuskan seseorang melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu tanpa bisa meawar. (Dianing Widya Yudhistira, 143:2)

29. Saraswati terjaga dari tidurnya. Ia tampak berpikir merenung. “Seperti ada yang menggangguku,” dalam batinnya.

(Dianing Widya Yudhistira, 179:1)

Dokumen terkait