• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONDISI SOSIOKULTURAL YANG TERCERMIN PADA

2.3 Konflik Bernuansa Agama

Ketika dominasi Kerajaan Sriwijaya di wilayah Nusantara sirna seiring dengan kekalahan kerajaan itu pada abad XII, Kerajaan Majapahit menguasai perdagangan rempah-rempah Maluku. Di samping Kerajaan Majapahit, saudagar-saudagar Arab, Gujarat dan Persia juga berdatangan ke Maluku. Selain berdagang secara perorangan, saudagar-saudagar itu juga menyebarluaskan agama Islam. Pada abad berikutnya negara-negara Eropa bergantian datang ke Maluku, menjajah, sekaligus menyebarkan agama. Portugis yang datang pada tahun 1521 dan Spanyol yang datang tahun 1530 menyebarkan agama Kristen Katolik, sedangkan Belanda dan Inggris yang datang di awal abad XVII menyebarkan agama Kristen Protestan. Pesatnya penyebaran agama Kristen di Ambon berdampak pada eksistensi kebudayaan asli setempat. Beberapa atraksi adat yang berbau mistik dan menggunakan jasa roh halus mulai ditinggalkan, karena dinilai atraksi adat itu menggunakan kuasa gelap (Kompas, 2003).

Guna menghindari permusuhan antara desa-desa satu suku berbeda agama, tetua-tetua adat Maluku menghidupkan tradisi pelagandong. Secara sederhana, tradisi pelagandong dapat diartikan hidup berdampingan dengan penuh tenggang rasa dalam perbedaan agama, tetapi tidak saling mempengaruhi untuk masuk dan memeluk suatu agama tertentu. Cerita indah di masa lalu menyebutkan, melalui tradisi pelagandong

ini pemuda Muslim turut bergotong royong membangun gereja dan pemuda Nasrani turut terlibat dalam pembangunan masjid. Pelagandong pun menjadi kebudayaan lokal yang lahir setelah pengaruh agama dari luar, yang merupakan salah satu manifestasi dari budaya universal, tersebar di Maluku (Kompas, 2003).

Ketika suku-suku dari luar masuk dan menetap di Maluku, tradisi pelagandong sebagai perekat kesukuan pun terusik oleh pendekatan kesamaan agama. Suku-suku pemeluk agama tertentu merasa lebih nyaman berada bersama suku pendatang yang memeluk agama yang sama. Lunturnya pelagandong membuat pemeluk kedua agama membatasi diri. Pendekatan kesamaan agama itu membuat suku-suku dan kampung-kampung berbeda agama saling berhitung perbedaan di antara mereka. Di masa pelagandong masih dijunjung tinggi, perkelahian dua kelompok pemuda adalah semata-mata perkelahian. Setelah pelagandong luntur, jika terjadi perkelahian dua kelompok pemuda, yang kebetulan saja berbeda agama, masing-masing kelompok pemuda dianggap merepresentasikan agama yang dianutnya (Kompas, 2003).

Akibat kebudayaan lokal yang tertelan kebudayaan universal itulah, di Ambon pada hari raya Idul Fitri tanggal 19 Januari 1999, perkelahian antara Usman-pemuda warga Batumerah yang mayoritas penduduknya kaum Muslim-dan Yopie-pemuda warga Aboru yang mayoritas penduduknya kaum Nasrani-terseret menjadi perkelahian antara pemeluk dua agama yang berbeda. Tangan-tangan provokator membuat bola api perkelahian kedua pemuda itu terus menggelinding dan membesar menjadi rentetan kerusuhan (Kompas, 2003).

Konflik yang terjadi di Ambon menyebar sampai ke Pulau Buru, segala sisi kehidupan di sana berubah total. Menyebabkan hilangnya kedamaian dan ketentraman hidup bahkan pola hidup dapat berubah cepat. Mengungsi dan melarikan diri adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan hidup, segalanya tercerai-berai. Hal ini tergambar dalam cerita pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo, berikut ini.

(48) Konflik bernuansa agama yang pecah di Ambon sejak 1999 mengubah segalanya. Dusun berpenghuni 27 kepala keluarga (76 jiwa) itu hancur tercerai berai pada tanggal 12 Februari 2001. Tiap-tiap orang lari mencari selamat sendiri. Semua kacau. Kawan jadi lawan, saudara jadi musuh (hlm.32).

Setelah Maria dan keluarga menetap di daerah pesisir, mereka mulai hidup seperti biasa kembali, namun ketika konflik bernuansa agama muncul di Ambon, segala sisi kehidupan menjadi berubah, tidak terkecuali kehidupan Maria dan keluarganya. Situasi yang buruk itu tidak memperbolehkan Maria dan keluarga tetap tinggal, mereka harus lari untuk menyelamatkan diri.

(49) Awal mimpi buruk yang panjang dimulai di sini. Sesuatu yang tak pernah dibayangkan harus ia lakoni. Situasi tak mengijinkannya tetap tinggal. Ia harus lari, bersama suami dan anak-anaknya. Semua yang ia punya ditinggal. Hanya sedikit barang yang sempat mereka selamatkan (hlm.32).

Pelarian untuk menyelamatkan diri dari konflik agama yang terjadi dimulai, Maria dan suami beserta anak-anaknya memilih menyelamatkan diri ke pedalaman Pulau Buru tanpa ada tujuan pasti mereka harus menetap dimana. Perjalanan dengan

medan berat serta bekal yang tidak mencukupi membuat Maria dan keluarga harus berjuang dengan sangat keras demi keselamatan keluarga dari situasi yang terjadi.

(50) Pulau Buru menjadi pilihan penyelamatan. Tujuan pasti belum mereka putuskan. Lari menghindar dari ujung senjata yang siap mencabut nyawa adalah yang terpenting saat itu. Persiapan untuk perjalanan jauh tak pernah sempat mereka lakukan. Jika lapar, mereka terpaksa mengganjal perut dengan umbi-umbian yang tumbuh liar di hutan. Jika haus, air hujan yang menggenang di tanah adalah pelunas dahaga (hlm.32).

Berhari-hari mereka lalui dengan berjalan kaki dan menumpang di kampung-kampung kerabat yang tinggal di pegunungan. Setelah berpindah-pindah, akhirnya mereka memutuskan untuk mengakhiri perjalanan di kampung asal suami Maria. Tempat itu sama sekali belum pernah mereka kunjungi karena sejak kecil suaminya menjadi anak piara dari bapak mantunya/mertuanya (hlm.32).

Perjalanan panjang yang ditempuh selama berhari-hari dengan berjalan kaki karena memang tidak ada kendaraan yang bisa melewati medan itu kecuali hanya berjalan kaki telah berakhir. Maria dan suaminya serta anak-anaknya menetap sementara di kampung asal suaminya dengan peralatan seadanya.

(51) Di tempat itu, hari-hari yang melelahkan itu akhirnya berlalu. Mereka tinggal di gubuk yang sangat sederhana, beratapkan daun sagu namun tak berdinding. Si bungsu yang saat itu baru berusia dua bulan harus tidur hanya dengan beralaskan kulit kayu dilapisi kain dan daun pisang. Sementara anggota keluarga lainnya harus puas tidur beralaskan kulit kayu saja sebagai penahan dingin tanah yang menjalar ke tubuh mereka (hlm.32).

Konflik bernuansa agama membuat segalanya berubah, asupan gizi tidak mungkin tercukupi, makanan layak tidak pernah maria dan keluarga dapatkan, apalagi makan teratur tiga kali sehari.

(52) Kehidupan berubah 180 derajat bagi mereka. Orang-orang yang tinggal di gunung tidak mengenal bumbu. Garam adalah barang langka di sana. Makanan pokok mereka adalah papeda. Papeda adalah singkong diparut, yang diambil patinya lalu diseduh dengan air panas. Setelah masak, persis sekali dengan lem yang biasa digunakan untuk membuat topeng dari kertas koran untuk prakarya semasa saya SD dulu (hlm.33).

Kalau beruntung, mereka makan berlauk ikan rebus tawar hasil tangkapan di kali. Singkong bakar sesekali tersaji untuk sarapan. Kopi pahit dengan tekun mendorong zat tepung nakal yang tiap kali macet di tenggorokan. Gula adalah barang mewah di pedalaman Buru. Makan malam pun bukan menjadi kebiasaan rutin mereka (hlm.33).

Pelarian menuju pegunungan membuat kesehatan menjadi memburuk, iklim gunung yang dingin membuat kondisi tubuh menurun, penyakit kulit mulai menjangkit di tubuh mereka.

(53) Pinang dan sirih menjadi suatu hal yang wajib bagi mereka. Campuran pinang sirih dan kapur bisa memproduksi panas untuk penghangat tubuh mereka. Air ludah merah tua ini pun juga berfungsi sebagai penahan lapar. Iklim gunung yang dingin membuat mandi menjadi pantangan bagi mereka. Akibatnya jamur dan berbagai kuman penyakit kulit tumbuh subur di sekujur tubuh mereka (hlm.33).

Kondisi lingkungan pelarian yang tidak mendukung dan gizi yang tidak memenuhi standar mengakibatkan anak Maria yang lumpuh sejak lahir dan baru berumur lima tahun terserang penyakit dan sedikit demi sedikit melemah dan akhirnya meninggal.

(54) Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tanpa terasa hampir dua tahun Maria sekeluarga sudah tinggal di kampung itu. Perubahan iklim yang drastis didukung dengan tidak terpenuhi asupan gizi yang cukup membuat anak Maria yang baru berumur 5 tahun mulai sakit-sakitan. Tak lama berselang anak lelaki yang lumpuh sejak lahir itu mati (hlm.34).

Penyelamatan yang dilakukan Maria sekeluarga ke pedalaman Pulau Buru, tidak merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik khususnya anak-anak Maria, justru kehidupan semakin buruk, hal ini diakibatkan karena anak-anak Maria sudah beradaptasi dengan kehidupan pantai, dan tak mampu beradaptasi dengan kehidupan orang-orang gunung. Anak-anak Maria adalah orang pantai.

(55) Dalam segala himpitan hidup, waktu toh terus berjalan. Dan alam juga turut menghimpit. Meski pernah hidup di gunung, sejatinya mereka telah menjadi orang pantai. Paling tidak anak-anak mereka. Tidak mudah menyesuaikan diri dengan iklim gunung. Seperti si bungsu. Kesehatan terus menurun. Maria berulangkali minta kepada suaminya untuk meninggalkan gunung sebelum semua anak mereka mati (hlm.35).

Demi keselamatan anaknya, Maria nekat melarikan diri dari rumah menuju pantai (dataran) dengan membawa Lusi yang satu-satunya anak perempuan yang selamat dari keganasan iklim gunung.

(56) Tanah Masnana ini diinjaknya setelah perempuan tak kenal menyerah ini melakukan perjalanan berhari-hari menembus ganasnya hutan Buru bersama gadis kecilnya. Namun, karena suasana di dataran itu masih belum terlalu aman, Maria memilih tinggal di Leksula, kota kecamatan yang berjarak satu hari berjalan kaki dari Masnana. Kecamatan Leksula luput dari ganasnya kerusuhan yang telah memporakporandakan bumi seribu pulau ini. Cukup aman untuk tinggal di sana (hlm.37).

Maria akhirnya tinggal di Masnana, Maria mendapat jatah tanah pengungsi dari Misi Khatolik di sana, dan mendapat bantuan bahan untuk membuat rumah. Awalnya Maria tinggal di rumah bekas kebakaran yang enggan berdiri akibat ganasnya api kerusuhan akibat konflik bernuansa agama.

(57) Mereka kembali ke Masnana. Dari beberapa hektar tanah telah dibayar lunas oleh Misi Khatolik di sana, masih tersisa sebidang tanah baginya

untuk membangun sepetak rumah jatah pengungsi. Beberapa bulan pertama dilewatkan Maria dan Lusi di separuh rumah yang sudah enggan berdiri setelah dilalap ganasnya api kerusuhan (hlm.37).

Nasib yang sama dialami tokoh Yosepha Wael dalam cerita pendek Perempuan Di Musim Angin Timur, karya Bambang A. Sipayung. Yos, begitu ia biasa dipanggil, ia baru saja lulus ujian kelas enam sekolah dasar di desanya. Yos salah satu anak yang terkena dampak dari konflik bernuansa agama yang terjadi, yos tidak tahu menahu ujung pangkal atas kerusuhan yang terjadi, hanya saja ia terkena dampaknya. Ia harus mengungsi bersama keluarganya untuk menyelamatkan diri dari konflik.

(58) Kerusuhan yang dia tak tahu ujung pangkalnya sampai ke tempat tinggalnya sehingga mereka sekeluarga mengungsi. Bersama mereka ikut pula keluarga lain yang beragama Kristen karena kerusuhan yang sampai ke Buru Sudah diwarnai konflik kekerasan antarkomunitas umat beragama (hlm.52).

Yos dan keluarga memilih mengungsi ke sebuah kampung di Buru yang dianggap mereka aman karena serbuan datang dari luar pulau. Sampai situasi dirasa aman mereka akan kembali lagi ke desa asalnya untuk memulai hidup normal kembali. Kerusuhan membuat Yos tertunda untuk melanjutkan sekolah.

(59) Mereka mengungsi ke Waipsalet, sebuah kampung di Buru yang dianggap aman. Aman karena biasanya serbuan datang dari penyerang yang kebanyakan berasal dari luar pulau. Sekolah Yos pun terhenti. (hlm.53).

Kondisi mulai membaik, keluarga Yos sudah kembali ke desa asal, tetapi Yos yang ingin melanjutkan sekolah tetap merasa tidak aman untuk melanjutkan sekolah

yang ada di desanya, Yos masih teringat akan kerusuhan yang terjadi, ia tetap melanjutkan sekolah walaupun harus meninggalkan orangtua dan saudara-saudaranya. Yos adalah salah satu korban konflik bernuansa agama yang terjadi.

(60) Bahkan ketika ia kembali ke desa asalnya setelah kondisi keamanan mulai membaik, Yos tidak merasa aman dan leluasa untuk kembali ke sekolah yang lama (hlm.53).

Pada saat yang sama, ia mendengar bahwa sekelompok anak akan berangkat ke Langgur, Maluku Tenggara untuk bersekolah. Hati seseorang telah tergerak untuk membawa anak-anak ini bersekolah dan mendapat pendidikan. Yos menyampaikan hal ini kepada bapaknya dan minta ikut bersekolah ke Langgur (hlm.53).

Konflik bernuansa agama yang terjadi di Ambon dan melebar sampai Pulau Buru memberi pengaruh yang amat besar bagi seluruh lapisan masyarakat Ambon, termasuk Pulau Buru. Anak-anak terhenti sekolahnya dan mengungsi bersama keluarganya menyelamatkan diri untuk waktu yang lama, sampai-sampai nyawa melayang karena tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan pengungsian baru. Konflik yang terjadi pasti akan mendatangkan kesedihan dan penderitaan, hilangnya kedamaian serta ketentraman hidup, terkadang pengorbanan nyawa yang tidak perlu terjadi bisa saja terjadi. Anak-anak dan Pulau Buru menjadi korban kerusuhan secara langsung atau tidak langsung, secara mental dan fisik.

Dokumen terkait