• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONDISI SOSIOKULTURAL YANG TERCERMIN PADA

2.2 Patriarkhi

Secara umum, patriarkhi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa menentukan (Murniati, 2004: 80).

Apa yang membuat kehidupan rumah tangga di Pulau Buru begitu memberatkan pihak perempuannya? Sutikno Sutantyo (dalam Aurelia, 2006) menyebutkan bahwa dalam tradisi masyarakat asli (indigenous people) Buru, suami tidak akan membantu pekerjaan rumah tangga maupun istrinya. Jadi, semua tugas

akan dilakukan oleh sang istri seorang diri sementara sang suami kerjanya hanya duduk, makan pinang dan menghisap tembakau. Melihat hal tersebut, tidak salah kalau perempuan itu hanya layaknya budak yang ”dibeli” sehingga suami pun otomatis lepas tangan. Harta kawin yang begitu mahal dianggap telah cukup untuk membeli sang istri untuk memuaskan suami dan mengerjakan semua hal seorang diri.

Budaya patriarkhi yang dianut masyarakat Pulau Buru memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan kaum perempuan Buru. Lelaki memiliki kekuasaan mutlak dalam rumah tangga. Di tengah himpitan dan kerasnya kehidupan para perempuan Buru tetap berjuang. Budaya patriarkhi sangat kokoh berdiri dan telah turun-temurun mengikat hak dan kebebasan kaum perempuan-perempuan Buru hingga saat ini. Hal ini tergambar dalam cerita pendek Maria, Keteguhan Hati Perempuan, karya Sutikno Sutantyo, berikut ini.

(39) Lelaki mempunyai kekuasaan mutlak atas perempuan. Seorang lelaki yang mempunyai banyak harta berhak mempersunting perempuan sebanyak dia suka. Konsep suami istri di sini sangat berbeda dengan konsep suami istri di dunia modern. Di sini perempuan sudah dibayar dengan harta yang mahal, sehingga lelaki mempunyai hak yang mutlak atas istrinya. Sementara sang istri sama sekali kehilangan hak kalau dirinya sudah terbayar lunas oleh suaminya. Jika sudah tak menghendaki lagi, suami bisa mengoperkan istrinya ke orang lain asal harta yang di bayarkan cocok dengan yang diminta (hlm.34).

Segala keputusan yang menentukan adalah sang suami, Maria tidak bisa begitu saja dapat dengan mudah menawar keputusan paitua (suami). Dengan berbagai alasan, Maria berhasil meyakinkan suaminya agar tidak meminangkan anak perempuan mereka dahulu.

(40) Maria ada di tengah himpitan ini. Hati kecilnya menolak jika Ci, panggilan Lusi, dikawinkan. Tapi tidak bisa begitu saja menawar keputusan paitua (suami).

”Beta bilang pada Paitua, kalau Ci dikawinkan, siapa yang akan jaga adiknya di rumah? Kalau beta jaga si kecil, siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari?” lanjutnya.

Dengan alasan itu, sang suami setuju menunda mengawinkan anak perempuan kecil mereka (hlm.35).

Mencukupi segala kebutuhan rumah tangga adalah tugas kaum perempuan Buru khususnya istri dari sang suami. Dalam kutipan berikut terlihat hal tersebut.

(41) Mencari makan seperti singkong di hutan, mencuci dan melayani segala kebutuhan suami serta anak-anak adalah tugas utama perempuan di pedalaman Buru (hlm.35).

Karena keputusan suami yang tidak bisa di ubah oleh Maria untuk meninggalkan padalaman Buru menuju pantai demi anaknya, Maria memilih untuk nekat lari meninggalkan suaminya tanpa sepengetahuan keluarganya yang lain termasuk sang suami.

(42) Beralasan ingin pergi berjalan-jalan menghibur diri setelah kematian anaknya, ibu yang sedang berduka ini membulatkan tekad meninggalkan suami dan anak lelakinya.

Ia melarikan diri dengan membawa Lusi yang saat itu hanya tinggal tulang dibalut kulit saking kurusnya (hlm.36).

Budaya patriarkhi sudah melekat pada diri Maria yang sehari-hari mengurus rumah tangga dan mencukupi kebutuhan suami dan anak-anaknya, membuat Maria menjadi sesosok wanita yang tahan banting. Ia sudah terbiasa untuk bekerja keras,

apalagi sekarang Maria hanya mengurus satu anak perempuannya Lusi, hal itu tidak terlalu sulit bagi Maria.

(43) Untuk menghidupi putrinya dan dirinya sendiri, Maria menanam singkong, jagung, dan kacang tanah di sebidang tanah di kilo empat (jaraknya kurang lebih empat kilo dari rumahnya). Tanah itu dipinjamkan padanya untuk digarap. Berjalan kaki ke kebun untuk merawat tanamannya menjadi santapan hariannya.Bila musim panen cengkeh tiba (biasanya panen besar dua tahun sekali), Maria untuk sementara meninggalkan kerja kebunnya untuk menjadi buruh pemetik cengkeh (hlm.39).

Maria sudah merasakan pahitnya hidup di antara himpitan sistem patriarkhi dan kerasnya kehidupan demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya yang sebelumnya berada di pedalaman (hutan Buru).

(44) ”Paling setengah mati, mas. Kasiang. Beta sendiri su rasakan setengah matinya kawin muda di gunung. Baru dua tiga hari melahirkan, beta su harus cuci pakeang, cari kasbi di hutan par makang. Kerja paling berat, baru harus gendong anak bayi yang baru lahir di belakang. Pokoknya paling setengah mati, Mas,” jawabnya bersemangat (hlm.39).

Sistem patriarkhi sudah ”mengakar” di dalam masyarakat Pulau Buru, pada cerita pendek Tragedi Turun Temurun Anak Perempuan Buru, karya Melani Wahyu Wulandari. Semenjak kecil tokoh Roby yang sudah dipinangkan bersama tokoh Ince, Roby dibebaskan untuk memutuskan kapan mereka siap secara resmi menikah untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Segala keputusan tergantung pada Roby, sedangkan Ince sendiri sudah dilarang untuk sekolah semenjak mulai dijodohkan.

(45) Tentang rencana resmi menikah, menurut Mama Lusi, semuanya tergantung keluarga Roby. Jika Roby masih ingin bersekolah, maka Ince harus setia menunggunya selesai. Atau, jika roby memutuskan untuk tidak sekolah, maka gerbang rumah tangga sudah menunggu bagi dua anak manusia yang masih belia ini (hlm.46).

Perempuan-perempuan belia Buru yang sudah dipinang, akan menunggu waktu yang tepat (dianggap cukup dewasa) untuk menjalankan tugas-tugas rumah tangga yang begitu berat untuk mencukupi segala kebutuhan rumah tangga, sedang sang suami hanya menunggu kapan akan disiapkan segala kebutuhan terpenuhi di rumah tanpa harus bekerja keras, suami tidak sedikit pun membantu istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang begitu berat, sang istri sendirilah yang melakukan semua pekerjaan, sistem patriarkhi begitu kental mewarnai hari-hari berumah tangga di Pulau Buru.

(46) Setelah mereka menginjak usia yang cukup dewasa dan kuat barulah tugas-tugas rumah tangga menanti mereka, mulai dari melahirkan, merawat anak, memasak, ke kebun, hingga ke ladang. Sebuah tugas yang sangat berat dari dini hari hingga petang (hlm.47).

(47) Dalam tradisi Buru suami tidak akan membantu pekerjaan rumah atau istri, jadi semuanya harus dilakukan sendiri. Sampai-sampai, urusan seperti melahirkan biasanya mereka lakukan sendiri tanpa dibantu mantra atau dukun bayi (hlm.47).

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa sistem patriarkhi yang dianut oleh masyarakat Pulau Buru merupakan bentuk-bentuk gambaran penindasan kaum perempuan, hak dan kebebasan kaum perempuan Buru menghilang sejak usia mereka belia bahkan sejak mereka berada di dalam kandungan, semua itu dikarenakan tradisi yang turun temurun. Kaum perempuan Buru terpaksa melakukan pekerjaan-perkerjaan yang sebenarnya berada di luar kemampuan secara mental dan fisik mereka, namun karena kondisi dan sistem patriarkhi yang telah berjalan lama kaum perempuan mau tidak mau harus melakukannya. Budaya patriakhi dalam tradisi

Pulau Buru ini menghasilkan ketidakadilan, kekerasan dan penindasan terhadap kaum perempuan.

Dokumen terkait