• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PENABALAN MARGA DALAM POLITIK

4.4 Konflik Penabalan Marga

Marga silaban yang merupakan marga yang memiliki ikatan kekerabatan yang cukup luas. Borsak Junjungan memiliki 3 (tiga) orang anak yaitu: Datu Bira yang biasanya juga sering disebut dengan sitio, Datu Mangambit yang biasanya juga sering disebut dengan Siponjot dan Datu Guluan. Dari ketiga nama besar inilah marga silaban terbagi lagi dan menyebar di tanah Humbang Hasudutan di Kecamatan Lintongnihuta desa Silaban Dolok Margu.

Penabalan marga silaban pada Syamsul Arifin yang telah dilakukan di Pangkalan Berandan Kabupaten Langkat di saat Syamsul Arifin masih menjabat sebagai Bupati Langkat yang juga sebagai calon Gubernur Sumatera Utara periode Tahun 2008-2013. Namun disaat penabalan marga silaban ada pergolakan yang terjadi di tubuh marga silaban itu sendiri adanya perbedaan pendapat tentang penabalan marga pada Syamsul Arifin. Perbedaan ini lebih menonjol terjadi pada marga silaban yang garis keturunan dari Datu Bira (yang disebut juga Sitio) dan dari pihak garis keturunan Datu Mangambit (yang disebut juga Siponjot) kedua garis keturunan inilah yang sangat mempermasalahkan tentangb penabalan marga silaban pada Syamsul Arifin yang tidak terlepas juga kedua garis keturunan ini lebih mendominasi jumlahnya karena garis keturunan Datu Guluan di ceritakan banyak menrantau ke Mandailing dan banyak berganti marga mandailing serta ke daerah lain.

Kurangnya koordinasi dan komunikasi inilah yang memicu terjadinya perdebatan yang mana merasa tidak di konfirmasikan atas penabalan marga silaban pada Syamsul Arifin. Yang mana disebutkan marga silaban dari keturunan Datu Bira yang memargakan Syamsul Arifin tidak mengfrimasikan pada seluruh

marga Silaban yang kedua garis keturunan yang lain lagi. Mereka merasa kurang dihargain sebagai marga Silaban juga, yang memiliki hak yang sama besar seperti marga silaban yang lainnya. Perdebatan ini lebih di pertentangkan oleh marga silaban dari pihak keturunan Datu Mangambit (Siponjot). Hal ini menjadikan marga silaban sendiripun perbeda pendapatnya.

Perdebatan ini juga bukan hanya merasa tidak dipanggil pada saat upacara penabalan marga silaban pada Syamsul Arifin, namun pada persoalan bagaimana dan apa yang akan di peroleh marga silaban yang memargakan Syamsul Arifin dan bagi masyarakat marga silaban. Marga silaban pihak dari keturunan Datu Bira (Sitio) merasa merekalah yang paling berhak terhadap apa yang akan diberikan Syamsul Arifin kepada marga silaban terlebih dahulu. Mereka beranggapan memiliki jasa dan peranan yang sangat penting bisa memargakan Syamsul Arifin yang pada saat itu mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara dibanding dari silaban Mangambit (siponjot) dan Guluan. Hal ini sangat ditentang oleh pihak Silaban dari Siponjot mereka merasa juga memiliki hak yang sama yang diperoleh Silaban Sitio karena mereka juga marga silaban dan ikut dalam melaksanakan upacara dan proses pendukungan suara Syamsul Arifin mencalonkan sebagai Gubernur Sumatera Utara. Apalagi penabalan marga Syamsul Arifin bukan di upacarkan secara adat di tanah kelahiran marga silaban namun di Pangkalan Berandan Kabupaten Langkat bukan di Humbang Hasudutan. Jadi, adanya yang beranggapan kamilah yang berjasa membawakan marga Silaban namun ada yang kurang setuju karena di tabalkan disana bukan ditanah kelahiran marga silaban dan kurangnya koordinasi terhadap marga silaban yang lain sehingga timbul perasaan kurang dihargain apalagi yang ditabalkan adalah seorang yang penting.

4.4.1 Dua Marga Yang Dimiliki

Marga yang merupakan cikal bakal garis keturunan yang diturunkan oleh ayahnya dianggap sebagai garis keturunan yang mewarisakan harta warisan dan benda-benda pusaka yang diturunkan dari generasi ke generasi. Penabalan dua marga Syamsul Arifin yang menjadi kontraversi bagi mereka yang mengetahui

bahwa adanya unsur-unsur politik yang dimaksud dalam penabalan marga ter sebut. Banyak berpendapat tentang penabalan marga yang diberikan pada

Syamsul Arifin, ada dua versi yang saya tangkap dari hasil wawancara penelitian di lapangan. Kedua versi tersebut ada yang mengatakan cara seseorang dalam menggunakan politik untuk dapat mengambil perhatian dari orang-orang sekitarnya, namun di versi lain mereka mengatakan bahwa hal tersebut masih wajar terjadi karena disaat penabalan marga Syamsul Arifin masih menjabat sebagai kepala daerah sehingga untuk dekat dengan rakyat yang dipimpinnya dirinya dimargakan agar timbul rasa kekeluargaan. Hal ini juga menjadi pertanyaan bagi mereka yang kurang setuju karena penabalan marga Syamsul Arifin dilakukan di Tanah Karo sebagai Sembiring dan Silaban untuk Kabupaten Humbang Hasudutan mewakili suku Batak Toba, sedangkan Syamsul Arifin menjabat kepala daerah yang teritorialnya sama sekali tidak termasuk ke dua daerah tersebut. Adanya tanggapan bagi mereka yang memandang masalah ini dengan mengatakan bahwa Syamsul Arifin merupakan figur dari seorang Bapak segala suku sehingga wajar bilang suku apa saja ingin memberikan gelar kehormatan pada dirinya.

Masalah politik dan sosial tidaklah bisa dibilang 100 persen itu karena permasalah jabatan karena disisi lain Syamsul Arifin yang berstatuskan sebagai

calon Kepala Daerah Sumatera Utara. Jadi masalah politik dan sosial sangat sulit dibedakan antara kepentingan politik dan sosial yang memiliki satu kepentingan yang sama. Terlihat dari perlunya kekuasaan (harta benda) namun haruslah memiliki status sosial yang tinggi dihadapan masyarakat agar terjadi keseimbangan.

4.4.2 Pengaruh Marga Pada Politik

Marga dalam politik dapat dikatakan kedua hal yang sama dan sulit untuk dipisahkan dalam penggunaan politik dan sosial karena akan memiliki hubungan yang enerjik timbal-balik yang cukup kuat, namun sebaliknya memiliki arti yang sangat berbeda dalam konsep politik dan sosial yang sebenarnya. Dengan jumlah penduduk yang cukup banyak di kecamatan Lintongnihuta yang mayoritaskan marga Silaban dan kekerabatannya yang dianggap sangat cocok dalam pendukungan suara saat pemilihan calon Gubernur Sumatera Utara nantinya.

Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.

Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam

proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Jika secara langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.

Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpin politik dan lain-lain.

Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me-merintah.

Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kesukuan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat. Kondisi ini sering dimanfaatkan bagi mereka memiliki kepentingan dan kekuasaan yang dapat mendukung karier mereka baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum melalui kekuasaan yang mereka miliki.

Dokumen terkait