• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. MARGA SEBAGAI KEHORMATAN STATUS SOSIAL

3.2 Penabalan Marga

Syamsul Arifin yang sekarang kita kenal merupakan Kepala Daerah Sumatera Utara, yang memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Sumatera Utara pada tahun 2008 sebagai Gubernur Sumatera Utara untuk periode 2008-2013. Sebelum menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin merupakan Bupati Langkat.

Pada dasarnya Syamsul Arifin bukan suku Batak Toba, namun Syamsul di tabalkan sebagai marga Silaban. Pada saat Syamsul Arifin masih remaja, Syamsul Arifin sering bermain ke rumah tetangganya yang bersuku Batak Toba bermarga Silaban. Marga Silaban ini merupakan seorang polisi yang bekerja di Pangkalan Berandan, keluarga Silaban memiliki satu anak laki-laki yang seumur dengan Syamsul Arifin. Kedekatan dan persahabatan Syamsul Arifin dengan anak marga keluarga Silaban ini membuat Syamsul Arifin dianggap sebagai keluarga oleh keluarga Silaban.

Semasa remaja, Syamsul Arifin dikenal sebagai pemuda yang rajin, baik dan rajin beribadah. Keramahan Syamsul Arifin inilah disukai oleh masyarakat di daerah tempat tinggal Syamsul. Syamsul Arifin hidup dalam suasana keluarga yang cukup sederhana, kesederhanaan ini membuat Syamsul dikenal dengan remaja yang rajin. Hubungan Syamsul Arifin terhadap keluarga Pak Silaban sangat dekat sehingga Syamsul Arifin sering bermain ke rumah Pak Silaban.

Ketika Pak Silaban kehilangan anak laki satu-satunya, silaban mengangkat Syamsul Arifin menjadi marga silaban di keluarga mereka. Kedekatan dan keramahan Syamsul Arifin pada anak dan keluarga silaban, sehingga silaban beranggapan bahwa Syamsul Arifin adalah anak mereka. Beberapa tahun

kemudian Pak Silaban meninggal dunia, istri Pak Silaban yang masih hidup sampai saat ini yang sekarang tinggal di Kota Binjai, sewaktu silaban pindah tugas ke Binjai.

Pada tanggal 16 juni 2003 Syamsul Arifin, SE telah resmi diangkat sebagai marga Silaban oleh tokoh dan masyarakat marga silaban yang berdomisili di daerah Pangkalan Berandan dengan mengundang beberapa tokoh masyarakat yang ada di Pangkalan Berandan dan daerah tanah kelahiran marga silaban (asal silaban). Penabalan marga Silaban pada Syamsul Arifin dilakukan pada acara ”Pelantikan Pengurus HIKBA Se-Kabupaten Langkat dan Pengukuhan Bpk H. Syamsul Arifin, SE jadi marga Silaban di Langkat Kecamatan Babalan”.

3.2.1 Konflik Penabalan Marga

Perbedaan pandangan merupakan hal yang wajar dalam kehidupan berdemokrasi merupakan suatu wujud dalam penyampaian suara dalam mengungkapkan pendapat. Pandangan penabalan marga juga sering terjadi hanya karena permasalahan hula-hula tidak datang, proses adat yang salah, kurangnya koordinasi, adanya pihak yang tidak setuju dan tidak memenuhi syarat dalam penabalan marga. Penabalan marga silaban pada Syamsul Arifin yang dilaksanakan pada tahun 2003 yang kemudian diresmikan secara lebih besar pada tahun 2008 disaat adanya pencalonan pemilihan kepala daerah sumatera utara untuk periode yang berikutnya, membuat pertanyaan bagi mereka yang mengetahui bahwa Syamsul Arifin telah dimargakan dalam dua suku yang berbeda dan lokasi yang berbeda juga namun disaat akan berlangsungnya pemilihan kepala daerah.

Perbedaan pandangan bukan hanya menjadi pandangan dan perbincangan masyarakat namun sebagian marga silaban juga mempertanyakan penabalan marga silaban pada kerabat yang bukan keluarga silaban. Banyaknya reaksi pandangan marga silaban sendiri terhadap penabalan ini karena kurangnya penyampaian adanya penambahan keluarga baru marga silaban yang kebetulan marga silaban ditabalkan pada seorang pejabat yang memungkinan mereka mendapat keuntungan dari penabalan tersebut. Sehingga terjadi pandangan yang berbeda namun adanya juga merasa sebagai kebangggan dalam menabalkan marga silaban pada seorang pejabat. Hal inilah yang menuai kontraversi terhadap marga silaban sendiri yang kemudian menjadi lebih luas adanya unsur-unsur kepetingan dalam politik untuk memperoleh suara masyarakat silaban pada khususnya dan masyarakat Batak pada umumnya.

3.2.2 Hak dan Kewajiban Marga

Melalui ketiga kategori ini hula-hula, boru dan dongan tubu, setiap orang yang terlibat dalam upacara adat akan dipisahkan kedudukannya(parhundulana) berdasarkan hubungan kekerabatan(tutur) antara dengan suhut, yaitu pihak yang mengadakan upacara. Pihak hula-hula duduk dalam suatu kelompok khusus, demikian juga pihak Boru dan Dongan Sabutuha. Kehadiran mereka dalam upacara itu untuk melaksanakan segala kewajiban dan menerima segala hak yang telah ditentukan dalam adat. Setiap unsur dalam Dalihan Na Tolu memiliki hak dan kewajiban yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Pada tatanan sosial, Dalihan Na Tolu menata hak dan kewajiban antara seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok lainnya. Setiap

orang dalam masyarakat batak harus menjalankan perannya sesuai dengan statusnya dalam konteks upacara adat. Pada suatu upacara dia bisa berperan

Hula-hula, sedangkan pada upacara lainnya bisa berperan sebagai Boru atau Dongan Sabutuha. Setiap orang Batak akan menduduki ketiga status itu pada saat dan

hubungan kekerabatan yang berlainan. Misalkan si A, terhadap keluarga dari pihak istrinya berstatus Boru, terhadap keluarga dari pihak suami adek/kakak perempuannya (ito), ia berstatus sebagai Hula-hula. Sementara terhadap adek laki-laki atau abangnya dia berstatus sebagai Dongan Sabutuha.

3.2.3 Kontribusi Yang Diberikan Dalam Penabalan Marga

Marga memainkan peranan yang sangat penting dalam kekerabatan orang

Batak Toba, karena merupakan bukti identitas diri yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Marga ini merupakan kelompok yang ekogami dan orang-orang yang semarga menganggap dirinya berkerabat, kendati telah bergenerasi mereka masih merupakan kakak-adik (marhaha-maranggi). Sehubungan dengan hal itu, laki-laki mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam meneruskan silsilah dan keturunan keluarga, karena hanya laki-lakilah yang dapat menurunkan marga bagi keturunannya atau dengan kata lain bahwa setiap anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan akan selalu mencantumkan marga ayahnya dan bukan

marga ibunya.

Kontribusi yang diberikan dalam penabalan marga baik dari pihak yang menerima maupun pihak yang memberikan marga masing-masing memiliki kontribusi yang sama penting dalam proses penabalan marga. Si penerima marga berhak mendapatkan hak sebagaimana anak lainnya baik berupa harta warisan

tanah, benda dan uang. Keturunan marga pada si penerima marga juga berhak mendapatkan marga tersebut untuk diturunkan kepada anak-anak mereka dan terhadap warisan yang telah diberikan pada orang tuanya. Sebaliknya begitu juga halnya yang akan diperoleh dari si pemberi marga terhadap penerima marga mereka akan ikut dalam memberikan kontribusi baik secara materi (finansial) maupun spritual dalam kegiatan-kegiatan pesta adat perkawinan, meninggal maupun permasalah di dalam keluarga silaban itu sendiri harus memiliki tanggung jawab yang sama besar dengan anak laki-laki yang lainnya

3.2.4 Pelimpahan Marga

Pelimpahan marga ialah pemberian marga kepada orang lain, baik kepada orang yang sudah punya marga maupun yang belum. Disebut juga sebagai

mangain, yaitu menarik orang, mengakui orang menjadi satu marga dengan si

pemberi marga secara adat. Mangain sama dengan adoptie, bila terjadi pangangkatan seseorang menjadi anak atau boru. Misalnya, karena perkawinan antar suku yang sekarang semakin besar frekuensinya di kalangan orang Batak, maka orang pendatang tersebut diberi marga adopsi, baik pendatang laki-laki, maupun perempuan sama saja.

Pada zaman dahulu, karena seseorang membantu suatu marga berperang melawan marga lain atau bangsa lain, maka dianugerahkan marga kepada keturunan orang yang berjasa. Misalnya, marga Simamora (Simamora Debata Raja) memberikan marga tersebut kepada cicit marga Manurung untuk dipakainya, karena orang tersebut membantu marga Simamora ketika ia sakit dan

disembuhkan oleh marga Manurung. Jadi, karena berhutang jasa bisa terjadi pengangkatan menjadi anggota keluarga dan diberi marga.

Pemberian marga atau adposi itu selalu disertai dengan tanggung jawab dalam soal warisan. Karena si penerima marga dengan sendirinya mempunyai hak dalam warisan. Kecuali perempuan, tetapi juga mempunyai hak yang lain, terutama kalau sudah lahir anaknya laki-laki yang pertama. Selalu ditentukan oleh orangtua angkat apa dan dimana warisan itu. Misalnya sawah, ladang, kebun atau ternak atau benda lain.

Pemberian marga kepada mereka yang non-batak, yang tidak ada memiliki hubungannya dengan pernikahan antar-etnis adalah peyimpangan budaya. Sebab dalam arti mangain sebenarnya hanya diberikan kepada salah satu pasangan non-batak yang menikah dengan orang Batak. Marga tidak hanya sekedar tanda yang bisa digonta-ganti dan tak bisa dibeli dan tak boleh diberikan dengan sembarangan. Pemberian marga sekarang ini sudah menjadi bagian dari strategi politik dan bisnis dari mereka yang memberi dan menerima. Jadi, pemberian marga itu dilakukan berdasarkan hanya karena sekedar pertemanan atau adanya unsur politik didalam pemberian marga. Pemberian marga telah menjadi alat dagang dan alat politik sebagai jalan menuju pencapaian yang akan diperoleh.

Tidaklah mengeherankan setiap pemilihan kepada daerah sering terjadi pemberian marga kepada salah satu calon dari kepada daerah yang hendak dipilih. Hal ini jelas merupakan pemberian marga dengan maksud-maksud politik untuk dapat mendekatkan diri mereka dengan kedekatan secara emosional. Marga seakan-akan dapat dipertukar belikan hanya dengan memenuhi syarat-syarat yang diberikan oleh si pemberi sebagai cara dalam pemberian marga telah di

politisasikan dengan materi. Sehingga timbul kesan dalam penabalan marga syarat-syarat yang diberikan hanya sebagai formalitas saja.

Dokumen terkait