• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

4.1 Bentuk-Bentuk Konflik Sosial dalam Novel Seteguk Air Zam-Zam

4.1.1 Konflik Sosial Antartokoh

Konflik menurut Meredith dan Fitzgerald, merupakan sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi atau dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita, yang, jika tokoh (-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya (Nurgiyantoro, 1994:122).

Tokoh dalam sebuah cerita diciptakan pengarang layaknya seorang tokoh yang hidup secara wajar, sebagaimana kehidupan manusia sebenarnya. Manusia dalam kehidupan sosialnya tidak akan terlepas dari konflik, begitu juga dengan tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam sebuah cerita senantiasa mengalami konflik. Konflik yang terjadi antartokoh menjadikan cerita itu lebih hidup, berkembang, dan memberikan kesan tersendiri

kepada pembaca. Pembaca seolah-olah ikut merasakan keadaan ataupun peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.

Di dalam novel Seteguk Air Zam-Zam terdapat empat tokoh utama yang mengalami konflik yaitu tokoh Nauli, Lindung, Tiurma, dan Pandapotan. Tokoh Nauli mengalami konflik sosial dengan Tokoh Lindung, tokoh Tiurma mengalami konflik sosial dengan tokoh pandapotan, dan tokoh Tiurma mengalami konflik sosial dengan tokoh Lindung. Berikut gambaran konflik sosial yang terjadi antartokoh dalam novel Seteguk Air Zam-Zam:

A.Konflik Sosial antara Tokoh Nauli dengan Lindung

Novel Seteguk Air Zam-Zam menggambarkankonflik sosial yang terjadi antara tokoh Nauli dengan suaminya yang bernama Lindung.Dalam novel tersebut, tokoh Nauli digambarkan sebagai seorang guru yang bertempat tinggal di daerah Mandailing. Ia merupakan seorang isteri yang patuh teradap suami dan juga termasuk wanita yang taat dalam agamanya. Nauli juga merupakan seorang guru yang sangat sabar dalam mendidik murid-muridnya serta sabar dalam menghadapi persoalan dalam rumah tangganya sedangkan tokoh Lindung digambarkan sebagai seorang suami yang memiliki watak keras, tetapi sangat sayang terhadap isterinya. Tokoh Lindung juga digambarkan sebagai seorang suami yang lebih percaya kepada orang pintar (dukun) dalam hal menyembuhkan penyakit ataupun dalam meminta pertolongan daripada seorang dokter. Tokoh Nauli sendiri sebenarnya lebih percaya kepada dokter daripada orang pintar (dukun). Adanya perbedaan pendapat mengenai keahlian seorang dokter dan orang pintar (dukun) antara Nauli dengan Lindung adakalanya menimbulkan konflik. Berikut penggalan ceritanya:

“Bang Lindung harus ingat pernah terbaring sakit selama hampir tigabulan. Penyebabnya adalah rokok!”

“Siapa bilang?” “Dokter Puskesmas!” “Bohong besar!”

“Lalu apa penyebab Bang Lidung terbaring selama hampir tiga bulan?”

“Ompung Marlaut bilang ada orang yang dengki kepada kita. Karena aku seorang petani dan mendapatkan isteri seorang guru yang cantik. Malah Ompung Marlaut bilang, yang membuatku jatuh sakit adalah seorang laki-laki yang pernah jatuh hati padamu lalu ingin membuatku supaya cepat masuk liang kubur.”....

“Yang menyembuhkan abang bukan dukun itu, tapi dokter puskesmas!,” Nauli meyakinkan suaminya.

“Bukan, tapi Ompung Marlaut!” “Bukan!. Bukan!”

“Terserah kepadamu, tapi aku tetap yakin, Ompung Marlautmemang orang pintar.”

“Ingat nasihat dokter, Bang Lindung. Rokok dapat menyebabkan penyakit paru-paru, juga dapat menyebabkan kanker dan kemandulan!”

“Akh, masak bodoh dengan ucapan dokter. Semua itu Cuma mengada-ada!”(SAZZ: 21-22).

Cerita di atas menggambarkan percekcokan yang terjadi antara tokoh Nauli dengan Lindung. Tokoh Lindung tidak sependapat dengan Nauli. Lindung yang memiliki watak keras terpancing emosi saat Nauli mengatakan bahwa yang menyebabkan ia sakit adalah karena terlalu banyak mengonsumsi rokok danyang menyembuhkannya bukanlah seorang dukun yang bernama Ompung Marlaut melainkan seorang dokter.Lindung yang lebih mempercayai keahlian seorang dukun daripada dokter membantah perkataan Nauli.Tokoh Nauli dan tokoh Lindung saling mempertahankan pendapatnya masing-masing. Lindung bersikeras mengatakan bahwa ia sakit bukan disebabkan terlalu banyak mengonsumsi rokok dan yang menyembuhkannya adalah Ompung Marlaut. Ia juga mengabaikan nasihat Nauli untuk berhenti merokok. Nauli yang lebih mempercayai keahlian seorang dokter juga tetap mempertahankan pendapatnya. Tidak adanya persamaan

pendapat di antara kedua tokoh tersebut melahirkan konflik sosial di antara keduanya.

Konflik sosial yang terjadi antara tokoh Nauli dengan Lindung juga tergambar ketika Nauli ingin melepas azimat yang diberikan oleh seorang dukun kepadanya.Lindung sangat marah ketika Nauli merasa risih perutnya dilingkari azimat dari seorang dukun. Ia melarang Nauli untuk melepas azimat tersebut sedangkan Nauli merasa bahwa azimat tersebut tidak memiliki khasiat apa-apa. Nauli yang taat dalam agamanya sebenarnya tidak ingin terlalu percaya kepada dukun dan merasa keberatan jika memakai benda seperti itu karena dalam agama islam, mempercayai seorang dukun dan memakai azimat sudah termasuk syirik. Keinginan yang sangat besar untuk segera memiliki anak membuat Nauli terpaksa memakai benda tersebut. Konflik sosial itu juga tergambar ketika Nauli memaksakan keinginannya kepada Lindung untuk tetap mendatangi dokter ahli. Berikut penggalan ceritanya:

Bang Lindung sangat marah, ketika Bu Nauli merasa risih di perutnya dilingkari azimat itu.

“Ingat pesan Ompung Datu, empat puluh hari azimat ini harus tetap melekat pada diri kita.”

“Tapi rasanya tidak ada khasiat apa-apa!” “Kita harus meyakini!”

Bu Nauli hanya menghela nafas panjang.

“Bukankah kita sudah amat ingin hadirnya seorang anak?. bukankah kita sudah sangat ingin dari rahimmu akan lahir anak kita yang mungil?.”

“Rasanya belum ada perubahan meski pun sudah lebih empat bulan kita mendatangi orang pintar itu.”

“Tunggu saja beberapa minggu lagi. mudah-mudahan ada perobahan pada dirimu.”

“Kalau tidak ada perobahan apa pun, Bang Lindung mau mengantar aku ke dokter ahli?”

“Tidak!. Tidak harus ke dokter lagi. Kita harus menemui Angkang Sori Pada untuk meminta bayi yang sedang dikandung isterinya untuk

“Terserah Bang Lindung, tapi saya tetap berkeinginan kita berdua mendatangi dokter ahli. Yang penting kehadiran anak di antara kita.”(SAZZ: 45-46).

Selanjutnya konflik sosial yang terjadi antara tokoh Nauli dengan Lindung juga tergambar ketika Nauli mengetahui Lindung berselingkuh dengan seorang janda pendatang baru di desanya. Berikut penggalan ceritanya:

“Mulai hari ini tidak ada lagi kopi hangat!” “Bah!. Kenapa?. Kenapa?.”

“Seorang isteri yang hatinya hancur tidak akan dapat membuatkan kopi hangat lagi untuk suaminya.” Suara Nauli tinggi.

“Bah!. Kenapa begitu?”

“Tanya dirimu sendiri, pasti Bang Lindung tahu jawabnya!”

“Demi Tuhan, aku tidak tahu, Nauli. Adakah sesuatu yang sangat menyakitkan hatimu hari ini?”

“Ya!, ada!. Perempuan yang ada di mobil Bang Lindung siang tadi. Itulah yang menghancurkan hatiku. Orang menyebutnya pendatang dan pemilik warung sembako. Aku sudah tahu!”....

“Tidak usah sentuh lagi kalau memang sudah ada niat di hati Bang Lindung untuk kawin dengan orang lain.”

“Maafkan aku, Nauli. Kalau aku harus menikah lagi karena banyak famili memang menghendaki aku punya keturunan.”

“Lalu banyak famili juga meminta agar aku dilemparkan ke sungai sebagai benda busuk?”

“Tidak!. Kau tetap sebagai isteriku, Nauli. Aku tetap cinta kepadamu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

“Tidak mungkin!”

“Kenapa tidak mungkin?. Kita sudah hidup bersama hampir sepuluh tahun sebagai suami isteri dan tidak pernah ada gempa dahsyat. Aku sudah tahu benar pribadimu, kesetiaanmu, kasih sayangmu. Tapi aku sungguh sangat ingin punya anak. Hanya keturunan!. Yang kucari tidak lebih dari itu.”

Bu Nauli menangis lagi.

“Demi Tuhan, aku bersumpah, kau tetap isteriku yang kucintai. Aku akan selalu berada di sisimu.”

“Lalu setelah lahir seorang anak dari rahim perempuan itu lambat laun aku akan terbuang, bukan?”

“Demi Tuhan, tidak!”(SAZZ: 65-66).

Cerita di atas menggambarkan pertengkaran yang terjadi antara tokoh Nauli dengan Lindung. Konflik sosial itu terjadi ketika Nauli mengetahui Lindung berselingkuh dengan seorang janda yang bernama Tiurma. Nauli merasa sakit hati

dan kecewa atas tindakan perselingkuhan yang dilakukan oleh Lindung. Emosi Nauli memuncak ketika Lindung mengatakan bahwa ia akan menikah lagi. Nauli yang ketika itu sedang dalam keadaan emosi tidak mau mendengarkan alasan Lindung menikahi Tiurma.Kecemburuan tokoh Nauli serta tindakan perselingkuhan yang dilakukan oleh Lindung melahirkan emosi dalam dirinya. Sehingga menimbulkan pertengkaran di antara keduanya.

B.Konflik Sosial antara Tokoh Tiurma dengan Pandapotan

Tokoh Tiurma dalam novel Seteguk Air Zam-Zam, digambarkan sebagai seorang janda pendatang baru di desa di kaki bukit daerah Mandailing. Ia seorang janda yang memiliki usaha warung sembako yang cukup besar sebagai matapencahariannya dan belum memiliki anak sedangkan tokoh Pandapotan digambarkan sebagai mantan suami Tiurma yang selama ini menghilang. Konflik sosial yang terjadi antara tokoh Tiurma dengan Pandapotan dilatarbelakangi oleh masalah keuangan. Konflik itu terjadi ketika Pandapotan mendatangi rumah Tiurma. Tiurma selama ini mengira bahwa Pandapotan telah meninggal dunia karena amukan warga ketika Pandapotan membakar traktor milik Haji Sulaiman. Ternyata Pandapotan masih hidup dan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya ia menyamar menjadi seorang pengemis.

Konflik sosialitu tergambar ketika tokoh Pandapotan meminta uang kepada Tiurma. Tiurma adakalanya mendapatkan ancaman dari Pandapotan apabila ia tidak dapat memberikan apa yang diinginkan oleh Pandapotan terutama jika Pandapotan meminta uang kepadanya. Berikut penggalan ceritanya:

“Bukan dua puluh ribu, Tiur!,” lelaki itu mengembalikan uang itu kepada Tiur.

“Laluberapa harus kuberikan?”

“Banyak!. Aku butuh uang banyak untuk bersembunyi dari satu desa ke desa lainnya, juga sampai ke kota.”....

“Tambah lagi. Tiur!”

“Aku tidak punya uang lagi” tubuh Tiur gemetar menatap sorot mata lelaki itu teramat tajam, seperti menyemburkan api.

“Jangan bohong kepadaku!” “Sungguh aku tidak punya lagi!”

“Atau aku sendiri yang akan mengambilnya dan membongkar isi lemarimu?.”

“Demi tuhan aku tidak punya uang lagi!”

“Kalau begitu aku yang harus mengambil sendiri uang itu!”.... “Masih kurang, Tiur. Aku perlu uang untuk pergi jauh!” “Tidak ada lagi sisa uang!”

Lelaki itu tidak percaya dan tatapannya tetap saja seperti menyemburkan api yang amat panas. Setelah jadi buronan polisi, Bang Dapot jadi amat bringas dan kasar.

“Jangan bohong, Tiur. Bukankah kau sudah membuka warung dan langgananmu banyak!”

“Tapi aku tidak punya uang banyak!”

“Jangan bohongi aku. Bukankah kau sudah kawin dan suamimu memberi nafkah?. Berikan aku uang yang cukup!”

“Demi Tuhan tidak ada yang lain!” tubuh Tiur makin gemetar. “Ingat, kalau kau tidak memberiku uang yang cukup, aku akan tetap di sini, aku tidak akan pergi dari rumah ini!”(SAZZ: 90-91).

Tindakan pemaksaan serta ancaman yang dilakukan oleh tokoh Pandapotan kepada Tiurma membuat Tiurma merasa ketenangannya terganggu. Dengan perasaan terpaksa ia memberikan uang miliknya kepada Pandapotan. Tiurma yang tidak memiliki pilihan lain serta rasa takut yang menyelimuti dirinya melahirkan konflik sosial antara dirinya dengan Padapotan.

Konflik sosial yang terjadi antara Tiurma dengan Pandapotan juga tergambar ketika Pandapotan merampas dompet Tiurma dan mengambil semua isi uang yang ada dalam dompet itu. Berikut penggalan ceritanya:

“Jangan ambil semua uang itu, Bang Dapot1. Jangan ambil semua!,” Tiurma berusaha untuk meminta kembali dompet itu.

“Aku butuh uang, Tiur!. Kau harus sadar, aku butuh uang. Tanpa uang aku akan mati kelaparan.” Tukas lelaki itu dan bersiap-siap untuk melangkah pergi.

“tapi uang itu untuk modal.” Tiurma berusaha merebut dompet itu dari tangan Bang Dapot, tapi sia-sia. “Warung ini akan bangkrut kalau Bang Dapot mengambilnya.”(SAZZ: 146).

Selain itu, konflik sosial yang terjadi antara tokoh Tiurma dengan Pandapotan juga tergambar pada penggalan cerita berikut:

“Tidak usah kau beri aku uang, tapi berikan kalung ini kepadaku,” lelaki itu berkata setengah berbisik.

“Tidak!. Tidak, Bang Dapot. Aku tidak dapat memberikan kalung ini kepada siapa pun!,” Tiurma mencegah.

“Aku butuh biaya untuk pergi ke ujung dunia.”

“Tapi kalung ini tidak akan kuberikan kepada siapa pun. Kalung ini adalah kenang-kenangan dari ibuku. Kalung ini tidak akan terlepas dari diriku sampai kapan pun!”

“Kalau kalung ini tidak kau berikan, itu artinya aku gagal untuk menyeberangi laut. Itu artinya aku akan tetap tinggal disini bersamamu....”(SAZZ: 100-101).

Cerita di atas menggambarkan bahwa tokoh Pandapotan saat itu tengah memaksa Tiurma untuk memberikan kalungnya tetapi Tiurma tidak mau memberikan kalung itu karena kalung itu merupakan peninggalan dari ibunya. Pandapotan yang senantiasa memberikan ancaman kepada Tiurma membuat Tiurma terpaksa menuruti keinginannya. Dengan sangat terpaksa Tiurma memberikan kalung peninggalan ibunya kepada Pandapotan.

C. Konflik Sosial antara Tokoh Lindung dengan Tiurma

Novel Seteguk Air Zam-Zammenggambarkan tentang sosok Lindung yang menikah lagi denganseorang janda yang bernama Tiurma. Lindung berharap

dengan menikahi Tiurma, ia akan mendapatkan keturunan karena selama delapan tahun usia pernikahannya dengan Nauli belum juga dikaruniai seorang anak.

Konflik sosial yang terjadi antara tokoh Lindung dengan Tiurma tergambar ketika Lindung mengetahui bahwa anak yang dilahirkan oleh Tiurma bukanlah darah dagingnya melainkan darah daging Pandapotan yaitu mantan suami Tiurma. Lindung sangat marah kepada Tiurma ketika mengetahui bahwa anak yang dilahirkan oleh Tiurma ternyata bukannlah darah dagingnya. Ia pun meninggalkan Tiurma dan anaknya. Lindung yang merasa sudah dibohongi selama ini tidak memperdulikan permohonan maaf dari Tiurma. Ia tetap saja pergi dengan penuh kekesalan dan amarah. Berikut penggalan ceritanya:

Wajah itu tampak tegang. Dia amat marah. Ingin rasanya dia menampar wajah Tiurma. Ingin rasanya dia menarikkan rambutnya lalu menghempaskannya ke tanah. Bahkan ingin rasanya lelaki itu mencekik batang lehernya. Seorang isteri yang melayani lelaki lain, pasti pantas mati!.

Tapi lelaki itu masih memiliki kesabaran di hatinya. Sama sekali lelaki itu tidak menyentuh tubuh Tiurma yang mendadak bersujud di kakinya.

“Maafkan aku, Bang Lindung!. Ampuni aku!,” Tiur menghiba dan berusaha mencium kaki lelaki itu.

“Aku sudah tahu apa yang terjadi!. Aku sudah tahu rumah ini penuh dosa. Rumah ini penuh noda!,” suara lelaki itu menggelegar dan melangkah pergi. “Aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah yang penuh dosa.”

“Jangan pergi, Bang Lindung!. Jangan pergi!.” Tangis Tiurma berderai-derai dan mencegah Bang Lindung agar tidak meninggalkannya. Tapi lelaki itu tidak peduli.

“Demi Tuhan, aku tidak kembali ke rumah ini lagi!,” lelaki itu melangkah ke arah mobilnya dan tidak sekali pun menoleh lagi (SAZZ:151-152).

Dokumen terkait