• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.2 Konflik Sosial Tokoh Utama

Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan. (Leopod Von Wiese,

.

Setiadi (2011: 364) menjelaskan bahwa pada hakikatnya teori konflik muncul sebagai bentuk reaksi atas tumbuh suburnya teori fungsionalisme struktural yang dianggap kurang memperhatikan fenomena konflik sebagai salah satu gejala di masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Teori konflik adalah salah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian atau komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha menaklukkan kepentingan yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Setiadi (2011: 369) menyatakan bahwa dalam teori konflik sosial terdapat dua bagian besar yang penting, yaitu:

1. Setiap kehidupan sosial selalu berada dalam proses perubahan, sehingga perubahan merupakan gejala yang bersifat permanen yang mengisi setiap perubahan kehidupan sosial. Gejala perubahan kebanyakan sering diikuti oleh konflik baik secara personal maupun secara interpersonal.

2. Setiap kehidupan sosial selalu terdapat konflik didalam dirinya sendiri, oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang permanen yang mengisi setiap kehidupan sosial.

Setiadi (2011: 94) menegaskan bahwa Ralf dahrendorf dalam pandangannya, yaitu dalam setiap masyarakat cenderung menyimpan potensi konflik. Beberapa angapan dasar berkenaan dengan konflik menurut Ralf Dahrendorf yaitu:

1. Setiap elemen dalam kehidupan sosial memberikan andil bagi perubahan dan konflik sosial, sehingga antara konflik dan perubahan merupakan dua variabel yang saling berpengaruh. Elemen-elemen tersebut akan selalu dihadapkan

pada persamaan dan perbedaan, sehingga persamaan akan mengantarkan pada akomodasi, sedangkan perbedaan akan mengantarkan pada timbulnya situasi konflik.

2. Setiap kehidupan sosial, masyarakat akan terintegrasi diatas penguasaan atau dominasi sejumlah kekuatan-kekuatan lain. Dominasi kekuatan secara sepihak akan menimbulkan konsiliasi, akan tetapi mengandung benih-benih konflik yang bersifat laten, yang sewaktu-waktu akan meledak menjadi konflik manifes (terbuka).

Setiadi (2011: 385-386) membagi pengaturan konflik berdasarkan pandangan Ralf Dahrendorf dalam dua segi, yaitu:

1. Dari segi identitas

konflik tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat diatur, sehingga setiap konflik tidak berlangsung dalam bentuk kekerasan. Dalam mekanisme ini, Dahrendorf melihat proses konflik dari tingkat intensitas dan sarana yang digunakan dalam konflik itu sendiri. Intensitas diartikan sebagai tingkat keterlibatan kontestan konflik yang didalamnya terdapat waktu, tenaga, dana, dan pikiran.

2. Dari segi “hukum kekekalan konflik”

Antara kehidupan sosial dan konflik merupakan gejala yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga dalam setiap kehidupan sosial akan tercipta pola-pola konflik. Artinya “konflik tidak dapat diciptakan dalam kehidupan sosial dan juga tidak dapat dimusnahkan”. Asumsi ini dilandasi oleh kenyataan bahwa konflik merupakan gejala yang serba hadir dan melekat dalam setiap kehidupan sosial, sehingga melenyapkan konflik berarti melenyapkan kehidupan sosial itu sendiri.

Apek terakhir teori konflik Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Jika konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba.

Susan (103-104) menjelaskan bahwa pada dasarnya, analisis konflik terbagi menjadi tiga tradisi, yaitu:

1. Bahwa setiap orang mempunyai angka dasar kepentingan, mereka ingin dan mencoba mendapatkannya, masyarakat selalu terlibat dalam situasi yang diciptakan oleh keinginan-keinginan dari setiap orang dalam meraih kepentingannya.

2. Pusat pada perspektif teori konflik secara keseluruhan, adalah satu pemusatan perhatian pada kekuasaan sebagai inti hubungan sosial. Teori konflik selalu melihat kekuasaan tidak hanya sebagai kelangkaan dan pembagian yang tidak merata, dan oleh sebab itu salah satu sumber konflik juga sebagai paksaan penting.

3. Aspek khusus teori konflik adalah bahwa nilai dan ide-ide dilihat sebagai instrumen yang digunakan oleh kelompok-kelompok sosial dalam mempermudah pencapaian tujuan mereka. Sekaligus merupakan cara-cara pendefinisian satu identitas masyarakat keseluruhan dan tujuannya.

Konflik sosial tokoh utama yaitu ada tiga, pertama dengan masyarakat disekitarnya, kedua dengan Sri Baginda Erlangga dan yang ketiga yang terjadi dengan Empu Baradah.

4.2.1 Konflik sosial tokoh utama

konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu itu sendiri.

4.2.1.1Konflik intrapersonal yang dialami Calon Arang adalah saat dia tersinggung dengan orang-orang sekitarnya yang mengatakan bahwa putri sematawayangnya tidak juga diperistri orang atau tidak ada yang mau mendekati.

Lama-lama marahlah Calon Arang karena tidak banyak orang yang suka padanya. Dari murid-muridnya itu banyak mendengar bahwa anaknya jadi buah percakapan, karena tidak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya yang

jahat pun tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya, supaya puaslah hatinya (halaman 14).

Konflik intrapersonal ini mengawali dan menjadi sumber konflik interpersonal.

4.2.1.2(konflik interpersonal) adalah konflik yang terjadi antar individu.

Setiadi (2011: 353) menegaskan bahwa konflik antarpribadi atau konflik antarindividu adalah konflik sosial yang melibatkan individu di dalam konflik tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan atau pertentangan atau juga ketidakcocokan antara individu satu dengan individu yang lain. Masing-masing individu bersikeras mempertahankan tujuannya atau kepentingannya masing-masing.

4.2.1.2.1 Konflik sosial Calon Arang dengan masyarakat di sekitarnya.

Lama-kelamaan tidak adalah orang yang berumah di dekat rumah Calon Arang. Mereka lebih suka menjauhi rumah Calon Arang agar bisa hidup aman. Dusun Girah tambah lama tambah sepi. Sawah banyak tidak dikerjakan orang. Ladang-ladang jadi padang rumput dan belukar.

Tidak ada seorang pun yang berani menangkap Calon Arang dan murid-muridnya. Kepala desa dan barisannya pun tidak berani. Calon Arang dan murid-muridnya telah termasyhur kebal. Tidak ada senjata dapat melukai mereka. Singkatnya, penduduk dusun itu hidup dalam ketakutan terus-menerus.

(halaman 26).

4.2.1.2.2 Konflik sosial Calon arang dengan Sri Baginda Erlangga.

Berita tentang meluasnya teluh Calon Arang telah dilaporkan pada Sri Baginda Erlangga. Bukan main sedih Sri Baginda mendengar penderitaan yang harus ditanggung rakyatnya itu.

Pada suatu hari dipanggilnya semua menteri menghadap. Selain para menteri menghadap juga pendeta-pendeta dan para johan pahlawan yang mengepalai pasukan-pasukan tentara Daha.

Alun-alun penuh oleh penduduk yang ingin mendengar putusan Sri Baginda. Mereka mengharap-harap agar Sri Baginda menitahkan balatentara memusnahkan Calon Arang dan semua muridnya

(halaman 31).

4.2.1.2.3 Konflik sosial Calon Arang dengan Empu Baradah.

Konflik antara Calon Arang dengan Empu Baradah semakin memanas. Persaingan pun menjadi memanas dan berimbang karena Empu Baradah sudah mengetahui rahasia kitab Calon Arang yang menjadi sumber kekuatannya. Empu Baradah pun pergi dengan ketiga muridnya untuk menolong rakyat yang menjadi korban Calon Arang (halaman 77).

4.2.1.2.3.1Konflik Penolakan Calon Arang terhadap Empu Baradah karena telah menghidupkan dia kembali. Sebelumnya Calon Arang kalah bertarung dengan Empu Baradah.

Lama api itu membakar Sang Empu dan Calon Arang terus meniup sambil meraung-raung seperti singa. Api tambah besar, tetapi Empu Baradah tidak terbakar olehnya.

Melihat Baradah tidak apa-apa bertambah murka tukang sihir itu. Giginya gemeletuk. Badannya membungkuk sampai kecil, kemudian ia melompat menerkam. Bulu tengkuknya berdiri seperti ayam sedang bersabung.

“Keluarkan seluruh kepandaianmu,” kata Baradah.

Api dari tubuh janda itu kian jadi besar, keluar-masuk bersama napasnya. Bunyi api keluar-masuk itu mengerikan seperti rumah kebakaran.

Akhirnya Sang Maha Pendeta berkata dengan kepastian:

Waktu itu juga matilah Calon Arang. Lenyap api yang keluar-masuk dari tubuhnya. Lenyap api yang besar seperti rumah terbakar itu. Sekarang Calon Arang telah tergolek di tanah. Tidak bergerak-gerak ia.

Sang Maha Pendeta masih berdiri di tempatnya. Dipandanginya mayat itu diam-diam. Kemudian, ia berkata pada dirinya:

“Ini tidak baik. Tidak ada gunanya kalau ia mati begitu saja sebelum jiwanya dibersihkan. Ini artinya pembunuhan.”

Setelah berkata begitu, ditiupkannyalah mayat Calon Arang itu pelan-pelan. Segera Calon Arang bangun kembali.

“Hai, Pendeta Lemah Tulis”! teriak perempuan itu. “Untuk apa kau hidupkan aku lagi? Bukankah lebih baik aku mati?”

“Mati adalah gampang Calon Arang, tetapi mati itu tidak berguna kalau tidak membawa kesucian. Baiklah kusucikan dulu jiwamu,” kata Empu Baradah.

(halaman 85-86).

4.2.1.2.3.2Konflik perlawanan Calon Arang terhadap Empu Baradah karena Empu Baradah tidak mau melenyapkan semua dosa Calon Arang.

Calon Arang merendah-rendahkan diri supaya pendeta itu mau mensucikan dirinya. Tetapi, Empu Barada tetap menolak. Ia hanya mengeleng-gelengkan kepala. Tidak sudi ia meluluskan permintaan tukang sihir yang banyak dosa itu.

Karena tetap ditolak, lupalah Calon Arang pada ketakutannya. Kemarahan timbul. Matanya melotot galak. Seluru tubuhnya menggetar. Bibirnya menjadi pucat karena kemarahan itu. Kedua tangannya menggigil. Mata merah. Kening berkerut menakutkan, sehingga alisnya yang kiri dan kanan bersambung menjadi satu. Napasnya sesak oleh kemarahannya itu. Dadanya turun-naik seperti pompa. Akhirnya kemarahannya memuncak. Dari mulut, kuping, dan matanya menyembur api keluar.

“Apakah yang kau perbuat itu?” tanya Empu Baradah sambil tertawa.

“Hei...Baradah!” teriak Calon Arang dengan suara ganas.

“Engkau menolak permintaanku. Engkau tidak mau membuat diriku kembali jadi baik. Engkau tidak sudi melenyapkan semua dosaku. Mau apa tidak?”

Empu Baradah menggelengkan kepala.

“Kerjakan!” perintah Calon Arang. “Jangan sampai kena teluhku. Engkau mau tahu siapa Calon Arang yang tidak tertandingi di seluruh alam ini? Inilah dia orangnya. Kerjakan perintahku, atau kubuat kau jadi barang tontonan yang paling hina.”

Melihat Empu Baradah tidak mau melakukan perintah Calon Arang semakin marahlah ia.

“Tidak mau? Kalau engkau kena angin tubuhku, hancur luluhlah engkau. ”Calon Arang berteriak-teriak keras. Sambungnya: “Calon Arang belum punya tandingan di seluruh dunia. Jangankan engkau, hai pendeta kurus. Kalau engkau kena tiupanku, barulah engkau tahu siapa aku. Pasti engkau terbakar jadi abu. Kalau engkau mau lihat buktinya, pandanglah pohon beringin itu. Kalau kena tiupanku, pasti dia hancur tersebar-sebar jadi abu. “

Setelah mengatakan begitu, Calon Arang segera meniup pohon beringin yang jauh dari tempatnya. Api besar tersembur dari mulutnya. Pohon beringin yang kena tiupannya itu terbang ke angkasa dan terbakar jadi api. Dalam sekejap mata saja lenyaplah pohon itu dari pemandangan.

“Hei...Baradah! kenal engkau sekarang siapa aku?” teriak perempuan itu “Perlihatkan seluruh kepandaianmu,” Empu Baradah berkata tenang.

“Kurang ajar kau, pendeta kurus!”

“Ayo, perlihatkan segala kebiasannmu. Baradah ingin tahu,” ujar Empu itu dengan sangat tenangnya.

Bertambah marah Calon Arang mendapat tantangan seperti itu. Dadanya kembang-kempis. Keringat bermanik-manik di kening dan menetes-netes di dadanya. Setelah dilihatnya Maha pendeta itu tidak gentar melihat kepandaiannya, segera ia meniup. Api besar menyembur dari mulut dan menggulung Sang Empu. Tetapi,

Baradah tidak termakan api yang keluar dari mulutnya itu. Beliau tetap berdiri tenang ditempatnya.

(halaman 83-85).

4.2.1.2.3.3Konflik kekerasan Calon Arang terhadap Empu Baradah.

Bertambah marah Calon Arang mendapat tantangan seperti itu. Dadanya kembang-kempis. Keringat bermanik-manik di kening dan menetes-netes di dadanya. Setelah dilihatnya Maha pendeta itu tidak gentar melihat kepandaiannya, segera ia meniup. Api besar menyembur dari mulut dan menggulung Sang Empu. Tetapi, Baradah tidak termakan api yang keluar dari mulutnya itu. Beliau tetap berdiri tenang ditempatnya.

Lama api itu membakar Sang Empu dan Calon Arang terus meniup sambil meraung seperti singa. Api tambah besar. Tambah besar. Tetapi Empu Baradah tidak terbakar olehnya.

(halaman 85).

Dokumen terkait