• Tidak ada hasil yang ditemukan

INFORMAN III

A. Harapan Yang Tak Terkatakan

Adakalanya konflik kelihatannya menyangkut soal – soal “remeh”. Siapa yang mencuci piring dan siapa yang mencuci pakaian? Siapa yang memasak, siapa yang membersihkan rumah?. Bagi orang luar masalah ini tampak tidak begitu penting, tapi dalam konflik ini soal isi ( content )

bukanlah hal yang pokok. Seringkali konflik ini berpusat pada dimensi hubungan. Pasangan yang sering mempermasalahkan siapa yang membersihkan rumah mungkin menghadapi masalah yang lebih dari pada persoalan membersihkan rumah. Bisa menyangkut hal yang lebih penting seperti siapa yang sebenarnya menjadi kepala keluarga. Sering kali konflik kecil bersumber pada perasaan marah yang menyangkut tidak puas atau tidak bahagia.

Seperti yang diungkapkan oleh pasangan suami istri informan III kepada peneliti melalui wawancara secara langsung jika konflik sering terjadi karena permasalahan yang sepele.

Informan III ( Suami ):

“biasanya masalah membersihkan rumah...soalnya dia malas saya juga malas jadinya repot..soalnya istri tidak suka bersih – bersih rumah”

( Interview : jumat, 29 oktober 2010 jam 16.30 wib di kediaman informan )

Informan III ( istri : ):

Ya jika disuruh – suruh tidak mau...soalnya disuruh tidak mau langsung malah ditinggal ..misalnya disuruh beli popok anaknya selalu tidak langsung dibelikan biasanya harus tunggu dulu..”

( Interview : jumat, 29 oktober 2010 jam 16.30 wib di kediaman informan )

Penyebab yang sama juga diungkapkan oleh pasangan suami istri informan IV yang menyatakan bahwa persoalan sepele yang sering terjadi membuat mereka menjadi berselisih paham.

Informan IV ( Suami ) :

“ya istri saya khan terpaut jauh kadang saya menyadari dia masih ingin senang- senag, ya saya marahin sebentar..besok menangis besok saya selesakan,saya minta maaf dan selesai..”

( Interview : Selasa, 6 November 2010 pukul 18.00 di

kediaman orang tua istri)

Informan IV ( Suami ) :

“konflik itu pasti ada tengkar - tengkar kecil, ya masalahnya sepele, ya masalah ngidam hamil ini ”

( Interview : Selasa, 6 November 2010 pukul 18.00 di

kediaman orang tua istri)

Permasalahan sepele juga menjadi penyebab terjadinya konflik diungkapkan juga oleh pasangan suami istri informan V kepada peneliti melalui wawancara secara langsung.

Informan V ( Suami ) :

“Biasanya masalah sepel ya untuk bersih – bersih rumah kadang malas”

( Interview : Jumat, 12 November 2010 jam 19.00 di

Informan V ( Istri ) :

“Masalah yang dirumah..ya masalah pribadi sendiri ini di dalam..ya tidak dapat dijelaskan ya...masalah bersih- bersih rumah”

( Interview : Jumat, 12 November 2010 jam 19.00 di kediaman informan)

Berdasarkan hasil wawancara ketiga informan tersebut dapat disimpulkan jika persoalan sepele seperti urusan rumah tangga dan kondisi istri yang sedang hamil menimbulkan konflik diantara mereka. Dari pernyataan yang disampaikan oleh suami maupun istri dapat diketahui jika adanya ketidakpuasan salah satu pihak. Suami yang tidak puas karena istri yang melupakan tugasnya membersihkan rumah membuat perasaan marah. Sekaligus sebaliknya, istri pun merasa marah karena adanya perasaan yang tidak puas karena suami yang tidak mengetahui dan memenuhi keinginan istri. Ketidakpuasan itu disebabkan karena adanya harapan satu pihak kepada pihak lain yang tidak sesuai. Pemecahan konflik semacam ini bukanlah pada pemenuhan harapan yang tidak realitis tapi melainkan lebih pada berusaha menemukan harapan tersebut tidak realitis dan menggantikannya dengan harapan yang lebih mungkin dicapai. (DeVito,1997:250)

B. ANAK

Setiap hubungan antarpribadi mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan pendapat, atau perbedaan kepentingan. Konflik pun dapat timbul karena adanya kesalahan dalam diri seseorang berkomunikasi. Konflik juga dapat terjadi oleh siapa saja termasuk pasangan suami istri.

Pasangan suami istri yang usia pernikahan di bawah 5 tahun sering kali mengalami konflik yang disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu persoalan anak yang menyangkut cara pola asuh anak. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan pasangan suami istri kepada peneliti berikut ini :

Informan I ( Suami ) :

“selisih pendapat atau perbedaan dalam mendidik anak. Karena menurut saya cara mendidik anak yang baik adalah mengarahkan anak kita kearah yang lebih baik, mengajarkan anak kita cara hidup dan etika dan yang paling penting karena saya ingin anak saya memiliki sopan santun.

(Interview : Senin, 26 Oktober 2010 jam 17.00 di kediaman informan)

Informan I ( Istri) :

”kalo menurut saya mendidik anak ajah dia terlalu keras, bolehlah dia mendidiknya secara keras karena anak saya laki – laki . Terkadang anak terlalu nakal sampai dipukul. (Interview : Senin, 26 Oktober 2010 jam 17.00 di kediaman informan)

Konflik yang disebabkan oleh anak juga dialami oleh pasangan suami istri informan IV ini. Berikut pernyataan pasangan suami istri kepada peneliti mengenai penyebab konflik yang sering terjadi diantara pasangan.

Informan VI ( Suami ) :

“masalah anak, edukasi dini ke anak terkadang kita lepas menyamaratakan anak yang baru 2thn dengan umur 5thn, cara mendidik kita menyampaikan suatu perintah dengan sistem yang langsung menyuruh,membentak , atau seperti apa itu kadang juga menjadi konflik di kita”.

( Interview : Selasa, 9 November 2010 jam 16.30 di kantor)

Informan VI ( Istri ) “ masalah anak, kalo anak nakal ya bertengkar...”

( Interview : Selasa, 9 November 2010 jam 19.00 di kediaman orang tua )

Dari pernyataan informan I dan VI dapat diketahui jika penyebab konflik yang sering terjadi diantara pasangan ini yaitu persoalan anak. Informan I menyatakan selama ini konflik yang sering terjadi di antara mereka adalah perbedaan cara mendidik anak. Konflik sering terjadi disebabkan adanya perbedaan pandangan dan pemikiran antara suami dan istri. Suami mengakui jika dirinya keras dalam mendidik anak. Sedangkan istri tidak menyukai cara suami. Karena menurut istri mendidik anak tidak akan selalu dengan kekerasan. Keinginan istri untuk suami tidak mendidik secara keras menimbulkan perasaan ketidak puasan istri terhadap suami.

Sedangkan informan VI yang sama dengan informan I memberikan pernyataan yang sama jika anak menjadi penyebab konflik diantara mereka. Perbedaan pendapat tentang cara pola asuh anak yang menjadi awal konflik terjadi diantara mereka. Kesalahan terhadap pemberian pendidikan di usia dini yang diterapkan mereka, diakui oleh suami sering kali membuat cara mendidik anak menjadi salah. Sedangkan istri berpendapat jika kenakalan yang dilakukan oleh anak tidak seharusnya di sikapi dengan kekerasan. . (DeVito,1997:250)

C. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik diantara pasangan suami istri. Pasangan suami istri yang kondisinya sama – sama memiliki pekerjaan akan akan cenderung memiliki potensi terjadinya konflik. Karena pasangan yang sama –sama perkerjaan akan sering kali sulit menemukan waktu untuk bersama – sama. Dan pekerjaan ikut menyebabkan terjadinya konflik di kemukakan oleh Blumsteinn and Schwartz (1997) :

“ menghabiskan waktu terlalu banyak secara sendiri – sendiri merupakan petanda bahwa pasangan yang bersangkutan tidak ingin hidup sendiri lagi. Jika suatu pasangan berlibur sendiri – sendiri, makan terpisah, dan menghabiskan banyak waktu di tempat kerja dan jauh dari rumah, kecil harapan bahwa hubungan mereka dapat bertahan”

Pernyataan tersebut menyatakan bahwa pekerjaan merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik di antara pasangan suami istri.

Saat melakukan penelitian, peneliti juga menemukan informan pasangan suami istri yang penyebab konflik adalah pekerjaan. Karena kesibukan suami akan pekerjaan dan juga lokasi kerja yang jauh, membuat pasangan ini kurang ada waktu untuk bersama.hal itu dinyatakan langsung oleh informan kepada peneliti.

Informan II ( Suami ):

“Seperti jarang pulang kerumah atau semaunya sendiri. Saya jarang pulang karena setiap hari saya pulangnya malam, dan jarak kantor dan rumah jauh, jadi saya lebih sering menginap dirumah orang tua karena jaraknya lebih dekat dengan kantor saya.”

( Interview : Kamis, 28 Oktober jam 15.00 di kediaman orang tua )

Informan II ( Suami ): “biasanya karena kurang perhatian”

( Interview : Kamis, 28 Oktober jam 15.00 di kediaman orang tua )

Pasangan suami istri yang menyatakan sama jika penyebab terjadinya konflik yaitu pekerjaan. Hal ini disampaikan langsung oleh Pak Heri dan Bu Ika kepada peneliti secara langsung

Informan VI ( Suami ) :

“Misalnya pekerjaan kita pulang telat agak malam sedikit dari biasanya itu, kita tidak konfirmasi ke istri itu secara otomatis bertanya yang tidak-tidak...”

( Interview : Selasa, 9 November 2010 jam 16.30 di kantor)

Informan VI ( Istri ) : “trus kalo kerja gak pulang - pulang “

( Interview : Selasa, 9 November 2010 jam 16.30 di kediaman orang tua)

Kedua informan diatas memiliki penyebab konflik yang sama yaitu pekerjaan. Bagi mereka pekerjaan banyak menyita waktu kebersamaan. Karena masing – masing sibuk kerja, sehingga waktu bagi mereka merupakan sesuatu yang sangat berharga. Sehingga disaat ada waktu untuk bersama yang hanya di malam hari, tidak dapat digunakan dikarenakan suami yang jarang pulang kerumah atau suami yang telat pulang kerumah sering kali menjadi satu permasalahn bagi istri. Dan jika konflik ini tidak segera diatasi akan membawa hubungan ini menjadi lebih buruk. (DeVito,1997:250)

Dari keenam informan yang di teliti melalui wawancara secara langsung dapat diketahui jika ada 3 pokok penyebab konflik antara suami istri yaitu harapan yang tak terkatakan, anak, dan pekerjaan. Informan III, IV dan V menyebutkan jika penyebab konflik adalah harapan yang tidak terkatakan, informan I dan VI menyebutkan anak sebagai penyebab konflik, dan pekerjaan sebagai penyebab konflik bagi informan II dan IV.

Dapat disimpulkan konflik antara suami istri di bawah 5 tahun disebabkan oleh adanya harapan yang tidak terkatakan. Konflik terjadi karena adanya ketidakpuasan salah satu pihak. Ketidakpuasan itu disebabkan karena adanya harapan satu pihak kepada pihak lain yang tidak

sesuai. Pemecahan konflik semacam ini bukanlah pada pemenuhan harapan yang tidak realitis tapi melainkan lebih pada berusaha menemukan harapan tersebut tidak realitis dan menggantikannya dengan harapan yang lebih mungkin dicapai. (DeVito,1997:250)

Konflik yang disebabkan karena harapan yang tak terkatakan cenderung terjadi pada pasangan suami istri yang usia pernikahannya antara 1 hingga 2 tahun. Hal ini membuktikan jika konflik yang terjadi di usia awal pernikahan masih tergolong konflik yang kecil, karena konflik itu muncul juga disebabkan karena faktor kondisi suami istri yang masih harus melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi.

Dengan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa usia pernikahan menentukan konflik yang terjadi, menurut Duvall and Miller (1985) mengatakan bahwa masa awal pernikahan merupakan masa paling berat ketika pasangan yang baru menikah harus menghadapi berbagai proses penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Proses ini pasti melibatkan konflik didalamnya, dan melalui proses ini pasangan dapat mempelajari cara penyelesaian konflik yang efektif, yang dapat bermanfaat bagi mereka yang menjalani kehidupan pernikahan dimasa yang akan datang.

4.2.2. Pola Komunikasi Suami Istri Dalam Penyelesaian Konflik Di Usia

Pernikahan Di Bawah 5 Tahun  

Dokumen terkait