E. Layanan Konseling Perorangan
5. Konseling di Lingkungan Kerja yang Berbeda a Konseling di Sekolah Dasar
Sasaran layanan konseling di SD adalah anak-anak yang masih sangat muda. Barangkali masih ada yang beranggapan bahwa anak0anak yang masih sangat muda jarang yang mengalami masalah sehingga layanan konseling sebenarnya tidak diperlukan di SD. Untuk mereka yang berpendapat seperti itu perlu diingatkan bahwa perkembangan dan kehidupan itu penuh dengan tantangan; tidak peduli tua ataupun muda, setiap individu yang berkembang dan hidup pasti selalu menghadapi tantangan. Di samping itu perlu digarisbawahi pula bahwa masalah-masalah yang ternyata sudah muncul perlu dientaskan seawal, sesegera, secepat, dan setepat mungkin. Oleh karena itu, pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan layanan
konseling khususnya tetap sangat diperlukan bagi mereka yang masih sangat muda sekalipun.
Aspek-aspek lain juga muncul dalam layanan konseling di SD. Karena anak-anak SD menurut kenyataannya masih amat tergantung pada orang tua dan guru, maka peningkatan keterampilan berkomunikasi, sikap dan perilaku orang tua dan guru terhadap anak-anak merupakan layanan pokok yang justru lebih mendasar dari pada layanan konseling dalam arti konsultasi dalam bentuk hubungan tatap muka antara konselor dan klien (Dinkmeyer, Frust, Linduquist dan Chamley dalam Nugent, 1981). Dibanding dengan layanan konseling perorangan, layanan konseling kelompok agaknya lebih mungkin dilaksanakan dengan anak-anak SD.
Hal lain lagi yang perlu mendapat perhatian konselor ialah bagaimana mendorong anak-anak untuk datang kepada konselor untuk memperoleh layanan bimbingan. Nogent (1981) melihat empat sumber yang memungkinkan alih tangan anak-anak kepada konselor, yaitu guru, kepala sekolah, anak-anak itu sendiri, dan konselor sendiri. Guru-guru adalah orang- orang yang paling banyak bergaul dan memperhatikan segenap tingkah laku anak-anak sehari-hari di sekolah. Sikap dan kebiasaan masing-masing anak belajar, hubungan sosial mereka satu sama lain, sampai dengan tingkah laku yang menyimpang, seperti nakal, mencuri dan sebagainya teramati oleh guru. Kekuatan dan kelemahan anak-anak dapat diketahui secara langsung oleh guru. Anak-anak yang memerlukan bantuan konselor, oleh guru dapat secara langsung diahlihtangankan kepada konselor.
Konselor sendiri juga merupakan figur yang penting sebagai sumber alih tangan. Konselor yang aktif, yang menunjukkan banyak perhatian dan sering berhubungan dengan anak, yang sering menampilkan diri di hadapan anak-anak dan sering menciptakan suasana dan melakukan kegiatan yang menyenangkan dan menguntungkan bagi anak-anak, akan dirasakan dekat oleh anak-anak dan besar kemungkinan akan banyak dikunjungi oleh anak- anak itu. Hubungan baik antara konselor dengan murid, ditambah dengan
pemahaman yang cukup baik dari anak-anak tentang fungsi dan peranan konselor yang dapat diberikan kepada mereka, akan banyak menentukan frekuensi dan intensitas pemanfaatan jasa konseling oleh anak-anak di SD. b. Konseling di Sekolah Menengah
Siswa sekolah menengah berbeda dari murid SD. Mereka berada pada tahap perkembangan remaja yang merupakan transisi dari masa anak-anak ke dewasa. Banyak gejolak menandai masa perkembangan remaja itu. Konselor di sekolah menengah dituntut untuk memahami berbagai gejolak yang secara potensial sering muncul itu dan cara-cara penanganannya. Bentuk-bentuk permasalahan khusus seperti masalah hubungan muda-mudi, masalah perkembangan seksual, masalah sosial dan ekonomi, masalah masa depan banyak muncul di antara para remaja itu.
Pendekatan dan teknik-teknik konseling dalam berbagai bentuknya dapat dipakai terhadap para pemuda yang sudah lebih berkembang dari pada anak-anak SD itu. Aplikasi pendekatan dan teknik konseling serta penyesuaiannya banyak tergantung pada keunikan klien dan masalahnya, serta spesialisasi keahlian konselor sendiri. Tentang sumber alih tangan klien, sama dengan yang telah diuraikan terdahulu, yaitu sangat mengandalkan pada peranan guru, kepala sekolah, siswa dan konselor sendiri, serta orang tua. Kehadiran konselor langsung dihadapan para siswa (di muka kelas dan pada kesempatan-kesempatan lain), disertai dengan informasi yang tepat dan mantap tentang fungsi konselor dan pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, akan sangat membantu peningkatan pemanfaatan layanan konseling oleh para siswa.
c. Konseling di Perguruan Tinggi
Perbedaan antara konseling di sekolah menengah dan di perguruan tinggi diwarnai oleh arah perkembangan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai serta kekompleksan program pendidikan dan latihan di kedua jenjang pendidikan itu. Apabila di sekolah menengah para siswa belum akan segera
dituntut untuk bekerja atau terjun di masyarakat, maka para mahasiswa sudah berada pada batas antara “hidup tergantung pada orang tua” dan “hidup bebas dan mandiri”. Disamping itu, para siswa di sekolah menengah mengalami proses pembelajaran yang secara relatif lebih terbimbing dari pada para mahasiswa di perguruan tinggi; proses pembelajaran di perguruan tinggi lebih bervariasi dan menuntut kemandirian mahasiswa.
Praktek pelaksanaan konseling di perguruan tinggi tidak banyak berada dari pada pelaksanaannya di sekolah menengah. Penekanan pada kondisi akademik dan kemandirian mewarnai pelaksanaan konseling. Sumber alih tangan klien lebih banyak ditekankan pada keadaan mahasiswa sendiri. Oleh karena itu permasyarakatan pelayanan bimbingan dan konseling dan peranan konselor lebih perlu diperluas melalui berbagai media yang ada di kampus. Unit pelayanan bimbingan dan konseling yang ada perlu bekerja sama dengan unit-unit yang langsung berhubungan dengan mahasiswa; pertama, untuk ikut serta memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling, dan kedua, untuk menjadi “agen alih tangan”.
d. Konseling di Masyarakat
Dipandang dari segi masalah klien serta pendekatan dan teknik konseling, layanan konseling di masyarakat (di luar satuan pendidikan formal) tidak berbeda dari layanan di satuan pendidikan. Jika terdapat perbedaan, maka hal itu terletak pada kondisi lembaga tempat konselor bekerja. Layanan konseling dapat diselenggarakan di lembaga tertentu, seperti lembaga kerja (perusahaan, kantor, pabrik), lembaga kemasyarakatan, Lembaga Bantuan Hukum, Puskesmas, “Badan Penasihat Perkawinan”, “Lembaga Kesehatan Masyarakat”, “Biro Konsultasi” dan berbagai lembaga swadaya masyarakat lainnya. Tidak dilupakan, konselor yang membuka “praktek pribadi”. Semua “lembaga” tempat konselor berpraktek layanan konseling menerapkan nilai-nilai sendiri yang harus diikuti oleh konselor. F. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok
Apabila konseling perorangan menunjukkan layanan kepada individu atau klien orang-perorangan, maka bimbingan dan konseling kelompok mengarahkan layanan kepada sekelompok individu. Dengan satu kali kegiatan, layanan kelompok itu memberikan manfaat atau jasa kepada sejumlah orang. Kemanfaatan yang lebih meluas inilah yang paling menjadi perhatian semua pihak berkenaan dengan layanan kelompok itu. Apalagi pada zaman perlunya efisiensi, perlunya perluasan pelayanan jasa yang mampu menjangkau lebih banyak konsumen secara tepat dan cepat, layanan kelompok semakin menarik. Bahkan Larrabee & Terres (1984) meramalkan bahwa pada tahun 2004 layanan konseling kelompok mendominasi segenap upaya pelayanan bimbingan dan konseling. Pada waktu itu dunia dan masyarakat sudah sangat terbuka, lembaga-lembaga kemasyarakatan, sekolah dan keluarga juga sangat terbuka; arus informasi dan mobilitas penduduk semakin deras; segala macam kebutuhan semakin meningkat baik jenis maupun intensitasnya—hal itu semua mengakibatkan semakin banyak orang memerlukan bimbingan dan konseling yang tepat dalam waktu yang relatif cepat. Jawaban terhadap tantangan itu ialah konseling kelompok.