Mannosa Glukosa/Gula Total
(g/100g) Persentase (%) (g/100g) Persentase (%) A (100% M) 0.0181 9.05 0.1890 18.91 B (75%M;25%S) 0.0134 6.68 0.1614 16.14 C (50%M;50%S) 0.0090 4.51 0.1205 12.05 D (25%M;75%S) 0.0073 3.63 0.1082 10.83 E (Tanpa Enzim) 0.0034 1.70 0.0743 7.43 Pembahasan
Pengamatan data menunjukkan bahwa kecernaan protein terendah terlihat pada perlakuan E, meskipun retensi proteinnya menunjukkan angka tertinggi. Sedangkan kecernaan protein perlakuan C cukup tinggi, sementara retensi proteinnya paling rendah. Kecernaan protein tertinggi yang didapat pada perlakuan D sebesar 75,83 ± 0,08 % memunculkan dugaan kuat bahwa terdapat tren antara tingkat kecernaan protein yang semakin tinggi dengan rasio kombinasi selulase yang semakin kecil. Namun hal ini masih harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut mengenai rasio kombinasi enzim mannanase : selulase optimal. Terdapat hubungan antara mannanase dan selulase, yaitu bahwa selulase bersama – sama dengan mannanase dapat meningkatkan derajat hidrolisis polisakarida berbasis mannan (Kurakake & Komaki 2001). Kurakake dan Komaki
28
meicelase (enzim selulase komersial) dan gamanase (enzim mannanase dan galaktosidase komersial). Hasilnya, produksi gula dalam bahan tersebut
meningkat sekitar dua kali lipat yaitu konjac dari 39,1% menjadi 53,7% dan
kacang lokus dari 15,8% menjadi 31,1%. Dowman (1993) dalam Sundu & Dingle
(2003) mengembangkan metode untuk mengurai BIS dengan kombinasi selulase dan gamanase. Sedangkan Sundu & Dingle (2003) menemukan bahwa kecernaan tepung BIS meningkat dari 46% menjadi 67% setelah diberi kombinasi enzim selulase dan gamanase. Landasan teori inilah yang menjadi bahan pertimbangan untuk menggunakan kombinasi mannanase dan selulase dalam penelitian ini.
Fenomena yang terjadi pada kecernaan dan retensi protein pada perlakuan D juga menjelaskan bahwa pada tingkat pemberian pakan dengan protein yang sama, kadar gula dalam pakan diduga mempengaruhi penyerapan proteinnya. Kadar gula yang tinggi menyebabkan zat nutrisi lainnya terhambat untuk diserap oleh tubuh. Pada perlakuan E, akibat pengaruh serat kasar yang tinggi, mungkin saja menghambat masuknya protein pada saat pakan kontak dengan usus, namun sebaliknya pada pakan C dan pakan – pakan lain. Besar kemungkinan, karena tingginya kadar gula dalam pakan, zat protein yang sudah masuk ke dalam tubuh sulit terserap karena jenuhnya darah sehingga sulit untuk mengikat zat nutrisi lainnya. Retensi lemak tertinggi diperlihatkan oleh perlakuan A. Nilai retensi lemak yang tinggi ini berhubungan dengan tingginya kadar gula dalam pakan (Tabel 5). Kelebihan karbohidrat dalam pakan akan disimpan dalam jaringan tubuh sebagai lemak (Anggorodi 1995) melalui proses lipogenesis.
Perlakuan B menunjukkan anomali, yang mana kecernaan totalnya justru paling rendah. Hal ini masih terkait dengan fakta mengenai bobot biomassa serta pertumbuhan relatif pada perlakuan B. Rendahnya kecernaan dapat menurunkan pertumbuhan. Diduga kecernaan total rendah pada perlakuan B disebabkan karena tingginya kadar gula dalam pakan. Tingginya kadar gula dalam pakan, menghambat penyerapan zat nutrisi lain, akibat jenuhnya darah ketika mengikat zat – zat nutrisi. Glukosa yang tinggi pada darah menghasilkan umpan balik negatif pada penyerapan makanan yang diikuti dengan penurunan pertumbuhan
(Machiels & van Dam 1987; Scharrer & Gearry 1977 dalam Zonneveld et. al.
Hepher (1990) juga mengemukakan bahwa fungsi serat kasar dalam pakan akan merangsang gerakan peristaltik usus, sehingga semakin tinggi kadar serat kasar dalam pakan yang masuk ke dalam dinding usus, maka semakin singkat waktu kontaknya dengan dinding usus sehingga akan menurunkan kecernaannya. Dalam hal ini, penambahan bahan baku BIS sebesar 50,00% dalam pakan masih dapat dimanfaatkan ikan mas meskipun tanpa penambahan enzim, namun dengan kecernaan total yang rendah. Pada penelitian ini, ikan mas masih mampu menolerir pakan BIS terlihat dari respon kelangsungan hidup yang tinggi dan respon pertumbuhan relatifnya yang meningkat. Tingkat kelangsungan hidup pada saat penelitian menunjukkan respon yang sangat baik, yang berarti nutrisi dalam pakan masih dapat menunjang kehidupan ikan mas.
Ekskresi ammonia berkaitan erat dengan jumlah limbah N yang dihasilkan selama proses metabolisme tubuh berlangsung. Sementara itu, limbah N yang dikeluarkan dipengaruhi oleh retensi protein, yang mana semakin tinggi retensi proteinnya maka semakin rendah limbah N yang dihasilkan. Teori ini ditunjukkan oleh data pada parameter ekskresi ammonia, meskipun responnya terhadap perlakuan tidak berpengaruh nyata. Kelompok perlakuan E memiliki retensi protein tertinggi dan menghasilkan ammonia terendah. Sebaliknya, ekskresi ammonia cenderung meningkat pada perlakuan dengan retensi protein pakan yang semakin menurun, terutama pada perlakuan B dan C.
Tingginya angka konversi pakan pada semua perlakuan diartikan sebagai nilai konversi yang rendah. Konversi pakan umumnya dipengaruhi oleh JKP, pertumbuhan dan kecernaan. Semakin tinggi kecernaan total suatu pakan, semakin tinggi pula retensi nutrisi dalam tubuh untuk pertumbuhan dan akan semakin baik pula konversi pakannya. Jumlah konsumsi pakan berbanding terbalik dengan pertumbuhan dan konversi pakan. Semakin besar konsumsi pakan tanpa diikuti pertumbuhan yang signifikan, semakin tinggi pula nilai rasio konversinya yang menunjukkan inefisiensi suatu pakan. Pada kasus ini, komposisi pakan perlakuan memiliki serat kasar tinggi. Semakin tinggi serat kasar yang terkandung dalam bahan pakan maka semakin rendah kecernaannya yang berakibat pada rendahnya pertumbuhan dan semakin tinggi nilai rasio konversi pakannya. Konversi pakan yang didapat dalam penelitian ini kemungkinan besar berhubungan dengan kinerja
30
metabolisme asam-asam amino tertentu terkait manosa yang terkandung dalam pakan.
Fenomena terkait kecernaan, konversi pakan, tingkat pertumbuhan relatif, dan bobot biomassa dalam percobaan ini secara teoritis dapat dijelaskan berdasarkan bukti-bukti lain dari penelitian sebelumnya berkenaan dengan evaluasi karbohidrat. Pemberian bentuk gula sederhana seperti glukosa dalam jumlah yang signifikan justru kurang efektif terhadap efisiensi pakan dan pertumbuhan. Penelitian tersebut antara lain dilakukan Furuichi & Yone (1982);
Furuichi & Yone (1986) dan Dupree (1966) dalam Watanabe (1988) menjelaskan
bahwa dalam tingkatan dosis yang sama (42%) antara pati, dekstrin dan glukosa, ikan – ikan perairan hangat yang dipelihara selama 60 hari dapat memanfaatkan pati lebih efektif daripada dekstrin dan glukosa. Perlakuan dengan pati, dekstrin dan glukosa menunjukkan efisiensi pakan dari nilai tertinggi hingga nilai terendah yaitu 74.4%, 31.9% dan 26.5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pakan dengan penambahan kombinasi enzim dalam pakan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap beberapa parameter uji, terutama pertumbuhan relatif, bobot bomassa, konversi pakan dan ekskresi amonia. Secara keseluruhan respon perlakuan terhadap JKP menunjukkan pengaruh yang sama. Hal ini disebabkan karena tingkat energi yang diberikan dalam pakan adalah relatif sama (Tabel 2), sehingga perilaku konsumsi ikan terhadap pakan yang diberikan pun sama. Konsumsi pakan umumnya dipengaruhi oleh kandungan energi dan kelebihan
lemak pakan (Church dan Pond 1982 dalam D’Abramo 1997). Jika berlebihan,
konsumsi pakan akan menurun dan pada akhirnya menyebabkan defisiensi nutrisi. Bahan baku BIS mengandung 78% mannan, sehingga penambahan enzim mannanase efektif dalam menguraikan mannan menjadi mannosa. Hal ini terlihat pada hasil pengujian kadar gula dalam pakan uji yang disajikan pada Tabel 3. Pada bahan pakan yang sama, terdapat persentase kadar gula yang berbeda setelah ditambahkan enzim. Golongan ikan omnivora umumnya memiliki kemampuan aktivitas intestinal yang lebih baik dalam mencerna dan juga memanfaatkan pati dibandingkan ikan karnivora. Namun, jika pemberian karbohidrat jenis glukosa ini berlebihan, justru akan menimbulkan efek pertumbuhan dan efisiensi pakan yang
buruk (Furuichi & Yone 1980; Furuichi et al. 1971 dalam Watanabe 1988). Monosakarida seperti glukosa sangat cepat diserap tubuh dari sistem pencernaan
ikan (Furuichi & Yone 1982 dalam Watanabe 1988). Hal ini menjelaskan bahwa
besar kemungkinan zat – zat nutrisi lain selain glukosa terhalang untuk masuk ke dalam sel tubuh. Hal lain yang menyebabkan rendahnya toleransi ikan terhadap gula adalah rendahnya kemampuan dalam mensekresi insulin (Furuichi & Yone
1971; Furuichi & Yone 1982 dalam Watanabe 1988).
Semua perlakuan memperlihatkan bobot biomassa dan respon pertumbuhan relatif yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan enzim belum mampu meningkatkan pertumbuhan relatif dari ikan mas. Besar kemungkinan gula mannosa yang banyak dihasilkan oleh penguraian enzim mannanase terhadap mannan dalam BIS, justru menghasilkan efek yang kurang baik terhadap pertumbuhan ikan mas. Hal ini sesuai dengan teori Butherworth &
Fox (1963) dalam Sundu & Dingle (2003) yang menyatakan bahwa bentuk gula
manosa cenderung bereaksi dengan asam amino tertentu sehingga menurunkan metabolisme tubuh yang pada akhirnya mengurangi efektivitas penyerapan asam – asam amino tersebut sehingga menghambat pertumbuhan. Hal ini menjelaskan mengapa perlakuan pakan E yang tidak diberi enzim justru menghasilkan respon pertumbuhan yang sama dengan perlakuan lainnya yang ditambahkan enzim.