BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
2.11 Konsep Analisis Multi Kriteria (AMK)
Salah satu cara untuk memprioritaskan serangkaian alternatif kebutuhan penanganan jalan di setiap ruas jalan adalah dengan menggunakan Analisis Multi Kriteria (AMK), dimana diharapkan dengan pendekatan AMK ini pengambilan keputusan telah mempertimbangkan semua variabel sekomprehensif mungkin dengan tetap berada dalam koridor proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan yang dilakukan.
Bila dibandingkan dengan pendekatan pengambilan keputusan lain, AMK memiliki sejumlah keunggulan, yakni:
a. Sudut pandang terhadap pemilihan bisa lebih dalam. b. Bisa mengakomodasikan berbagai interest yang berbeda.
c. Pemilihan bisa lebih transparan serta hasil pemilihannya bisa diharapkan lebih baik.
Namun di lain pihak kerugian penggunaan metode ini adalah bahwa proses evaluasi lebih kompleks serta perlu data yang banyak dan kemungkinan sulit diinterpretasikan secara sederhana karena adanya bumbu scientific yang menutupi proses analisis.
2.12 Analytical Hierarchie Process Method
Salah satu metode multi kriteria yang sering digunakan adalah Proses Hierarki Analitik (PHA) atau disebut Analytical Hierarchy Process (AHP), yang pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburg, Amerika Serikat pada tahun 1970-an.
Metoda yang dikembangkan oleh Thomas Saaty ini pada dasarnya merupakan prosedur yang sistematik untuk merepresentasikan elemen masalah secara hirarki (memecahkan masalah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil). Metode AHP adalah proses membentuk nilai secara numerik untuk menyusun peringkat dari setiap alternatif keputusan berbasis pada bagaimana sebaiknya alternatif tersebut dicocokkan dengan kriteria para pembuat keputusan.
Menurut Saaty (1993) metode AHP memiliki beberapa aksioma yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Reciprocal condition axiom
Aksioma ini menyatakan bahwa bila suatu alternatif atau kriteria A lebih disukai sebesar n kali daripada B, maka B lebih disukai sebesar 1/n kali daripada A.
2. Homogenity
Aksioma ini menjelaskan bahwa dalam membandingkan antara mobil dan apel, tetapi harus apel dan apel.
3. Dependence
Aksioma ini mengijinkan perbandingan antara sekumpulan elemen dengan sekumpulan elemen lainnya pada tingkat bawah tergantung elemen di tingkat atas.
4. Expectations
Aksioma ini menyatakan bahwa suatu perubahan pada struktur akan membutuhkan suatu evaluasi baru terhadap hirarki. Ukuran yang banyak digunakan dalam AHP menggunakan konsep perbandingan berpasangan, yaitu proses membandingkan antara dua kriteria yang perlu dipertimbangkan untuk melakukan suatu pengambilan keputusan.
Di dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible ke dalam aturan yang biasa sehingga dapat dibandingkan. Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai metode analisis adalah (Saaty, 1993):
1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak berstruktur.
2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan.
5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak berwujud untuk mendapatkan prioritas.
6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.
8. AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensinteis suatu hasil yang representatif dari penilaian-penilaian yang berbeda.
10. AHP memungkinkan orang memperhalus defenisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
Disamping itu ada juga kelemahan metode AHP yaitu:
1. Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini merupakan persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan
subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian keliru.
2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari terbentuknya kebenaran model. Dalam pengerjaannya metode Analytical Hierarchy Process (AHP) menggunakan prinsip-prinsip yang meliputi:
1. Decomposition: suatu masalah yang kompleks dipecahkan ke level di bawahnya yang mempunyai elemen yang bisa ditangani.
2. Prioritization: dampak tiap elemen dinilai pada levelnya dan dibawa ke level di atasnya.
3. Synthesis: semua prioritas ditarik bersama untuk mendapatkan penilaian keseluruhan.
4. Sensitivity Analysis: kestabilan hasil terhadap perubahan-perubahan dicoba dengan apa yang akan terjadi jika dilakukan perubahan terhadap elemen analisis.
2.12.1 Decomposition
Dekomposisi merupakan proses memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya, sampai yang sekecil-kecilnya setelah mendefinisikan permasalahan yang terjadi. Sistem yang kompleks dapat dengan mudah dipahami jika memecahnya menjadi berbagai elemen pokok dan selanjutnya menusun elemen elemen tersebut secara hirarki.
Hirarki merupakan alat mendasar dari fikiran manusia yang melibatkan
pengidentifikasian elemen-elemen suatu persoalan. Langkah pertama dalam menyusun hirarki adalah merumuskan tujuan dari suatu kegiatan penyusunan prioritas yang dilanjutkan dengan menentukan kriteria dari tujuan. Berdasarkan tujuan dan kriteria, maka beberapa pilihan perlu diidentifkasi agar pilihan tersebut merupakan pilihan yang potensial sehingga jumlah pilihan tidak terlalu banyak. Struktur hirarki AHP secara sederhana ditunjukkan dalam Gambar 2.6.
KRITERIA
PILIHAN
Gambar 2.6 Skema Umum Susunan Hirarkhi/Proses Dekomposisi (Saaty, 1993) 2.12.2 Comparative Judgement
Prinsip comparative judgement ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan
TUJUAN
I II III
III II
tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen.
Dalam mengkuantifikasi pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Menurut Saaty (2003), untuk berbagai permasalahan, skala 1 sampai 9 merupakan skala yang terbaik dalam mengkualifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation).
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan Saaty ada pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Skala Banding Secara Berpasangan (Saaty,1993) INTENSITAS
PENTINGNYA
DEFINISI PENJELASAN
1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbang sama besar
pada sifat itu
3 Elemen yang satu sedikit lebih
penting ketimbang yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lainya
5 Elemen yang satu esensial atau
sangat penting ketimbang
elemen-elemen yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting
dari elemen yang lainnya
Satu elemen dengan kuat disokong, dan
dominannya telah terlihat dalam
praktik
9 Satu elemen mutlak lebih
penting ketimbang elemen yang lainnya
Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara diantara dua
pertimbangan yang berdekatan
Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan
Kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat
satu angka bila dibandingkan
mempunyai nilai kebalikannya
bila dibandingkan dengan i
Sumber : Saaty (1993)
Penggunaan penilaian skala banding berpasangan pada Tabel 2.4, maka perbandingan antar kriteria akan menghasilkan Tabel 2.5 berikut. Untuk memudahkan, dalam tabel diasumsikan hanya ada 4 (empat) kriteria. Dari tabel tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:
1. cij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara kriteria i dengan j. 2. ci merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki kriteria ke i.
3. c merupakan penjumlahan semua nilai ci.
4. Bobot kriteria ke i diperoleh dengan membagi nilai ci. dengan c.
Tabel 2.5 Perbandingan Antar Kriteria
Kriteria CR 1 CR 2 CR 3 CR 4 Jumlah Bobot
CR 1 - c 12 c 13 c 14 c 1 bc 1 = c1/ C CR 2 c 21 - c 23 c 24 c 2 bc 2 = c2/ C CR 3 c 31 c 32 - c 34 c 3 bc3 = c3/C CR 4 c 41 c 42 c 43 - c 4 bc 4 =c 4/ C Jumlah C Sumber : Susila dkk (2007)
Tabel 2.6. Perbandingan Antar Pilihan Untuk Kriteria C1
C1 OP1 OP2 OP3 OP4 Jumlah Bobot
OP1 - o12 o13 o14 o1 bo11=o1/O
OP3 o31 o32 - o34 o3 bo31= o3/ O
OP4 o41 o42 o43 - o4 bo41= o4/ O
Jumlah O
Sumber : Susila dkk (2007)
Dengan menggunakan prosedur yang sama, maka dilakukan perbandingan antar pilihan (OP) untuk masing-masing kriteria. Tabel 2.6 mengilustrasikan perbandingan antar pilihan untuk kriteria 1 (C1) dengan penjelasan sebagai berikut:
1. oij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara pilihan i dengan k untuk kriteria ke j.
2. oi merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki pilihan ke i. 3. o merupakan penjumlahan semua nilai oi.
4. boij merupakan nilai pilihan ke i untuk kriteria ke j.
Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan
judgement atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai key person. Mereka dapat terdiri atas pengambil keputusan, para pakar dan orang yang terlibat serta memahami permasalahan yang dihadapi. Pada umumnya jumlah ahli bervariasi, bergantung pada ketersediaan sumber daya. Penilaian dapat dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada masing-masing ahli ataupun dengan melakukan suatu pertemuan para ahli untuk melakukan penilaian.
Hasil yang diperoleh dari tahap Comparative Judgement lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks Pairwise Comparison, yaitu perbandingan setiap elemen dengan elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Dan dari setiap matriks pairwise comparison dihitung vektor eigen untuk mendapatkan prioritas lokal, karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk melakukannya secara global harus dilakukan dengan mensintesis diantara prioritas lokal(Synthesis of Priority).
Susila dkk (2007) menegaskan bahwa, mensintesis hasil penilaian merupakan tahap akhir dari AHP yang prosedurnya berbeda menurut bentuk hirarki. Pada dasarnya, sintesis ini merupakan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap pilihan pada masing-masing kriteria setelah diberi bobot dari kriteria tersebut. Secara umum, nilai suatu pilihan adalah sebagai berikut:
n i j ij i bo bc bop 1 ( 2.1)dimana bop i = nilai/ bobot untuk pilihan ke i.
Formula tersebut juga dapat disajikan dalam bentuk tabel. Untuk memudahkan, diasumsikan ada empat kriteria dengan empat pilihan seperti Tabel 2.7 berikut.
Tabel 2.7 Matriks Sintesis
CR 1 CR 2 CR 3 CR 4 Prioritas
OP1 bo11 bo12 bo13 bo14 bop1
OP2 bo21 bo22 bo23 bo24 bop2
OP3 bo31 bo32 bo33 bo34 bop3
OP4 bo41 bo42 bo43 bo44 bop4
Sumber : Susila dkk (2007)
Sebagai contoh nilai prioritas/bobot pilihan 1 (OP1) diperoleh dengan mengalikan nilai bobot pada ktiteria dengan nilai yang terkait dengan kriteria tersebut untuk pilihan 1 sebagai berikut:
bop i = bo11 * bc1+ bo12* bc2 + bo13* bc3+ bo14* bc4 (2.2) Hal yang identik dilakukan untuk pilihan 2, 3 dan 4, dengan membandingkan nilai yang diperoleh masing-masing pilihan, prioritas dapat disusun berdasarkan besarnya nilai tersebut. Semakin tinggi nilai suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya, dan sebaliknya.
Derajat kepentingan dapat dilakukan dengan pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen-elemen dan kriteria-kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil.
Konsistensi memiliki dua makna, yaitu bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keseragaman dan relevansinya dan tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
2.12.5 Uji Konsistensi
Konsistensi jawaban atau pembobotan setiap responden harus diperiksa untuk menjaga kualitas model secara keseluruhan. Dalam AHP tingkat konsistensi ini dinyatakan dengan besaran indeks konsistensi (CI). Jany dkk (2009) menyatakan bahwa, pada teori matriks diketahui bahwa kesalahan kecil pada koefisien akan menyebabkan penyimpangan kecil pula pada eigen value. Adapun penghitungan indeks konsistensi dilakukan dengan persamaan :
CI = (maks– n)/(n-1) (2.3)
maks = (Win*Wn)/n (2.4)
dimana: maks = eigen value maksimum n = ukuran matriks
Win = nilai perbandingan antar kriteria i terhadap kriteria n
Wn = tingkat kepentingan kriteria n
Penetapan suatu matriks dianggap konsisten jika nilai Rasio Konsistensi (CR) lebih kecil atau sama dengan 0,1.
Revisi pendapat, dapat dilakukan apabila nilai rasio konsistensi pendapat cukup tinggi (≥ 10%). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar,
sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat terbatas mengingat akan terjadinya penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya.
Rasio konsistensi diperoleh dari persamaan:
RI CI
CR (2.5) Dimana CR = Consistency Ratio
CI = Consistency Index
RI = Random Index (Tabel 2.8)
Tabel 2.8 Nilai Indeks Random (RI) Ukuran Matriks Indeks Random
(Inkonsitensi) Ukuran Matriks
Indeks Random (Inkonsitensi) 1,2 0 9 1,45 3 0,58 10 1,49 4 0,9 11 1,51 5 1,12 12 1,48 6 1,24 13 1,56 7 1,32 14 1,57 Sumber: Saaty,1993
Nilai rentang CR yang dapat diterima tergantung pada ukuran matriks-nya, sebagai contoh, untuk ukuran matriks 3 x 3, nilai CR = 0,03; matriks 4 x 4, CR = 0,08 dan untuk matriks ukuran besar, nilai CR = 0,1 (Saaty, 2000 dalam Apriyanto, 2008).
Tabel 2.9 Nilai Rentang Penerimaan Bagi CR No Ukuran Matriks Rasio Konsistensi (CR)
2 4 x 4 0,08
3 > 4 x 4 0,1
Sumber : Saaty (2000) dalam Apriyanto (2008)
Dari Tabel 2.9, jika nilai CR lebih rendah atau sama dengan nilai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penilaian dalam matriks cukup dapat diterima atau matriks memiliki konsistensi yang baik. Sebaliknya jika CR lebih besar dari nilai yang dapat diterima, maka dikatakan evaluasi dalam matriks kurang konsisten dan karenanya proses AHP perlu diulang kembali.
2.12.6 Proses Penetapan Prioritas
Tahapan pengambilan keputusan dalam AHP, secara singkat diuraikan sebagai berikut:
1. Indikasi jumlah alternatif yang akan diperiksa.
2. Tinjau dominansi suatu pilihan terhadap pilihan lainnya, terjadi ketika kinerja suatu alternatif sama/lebih baik untuk semua kriteria terhadap alternatif lainnya.
3. Lakukan pembobotan, dengan menggunakan matrix pair wise comparison. 4. Skoring kinerja tiap alternatif dengan memberikan penilaian terukur
terhadap variabel kriteria secara kualitatif ataupun kuantitatif.
5. Mengalikan bobot setiap kriteria dengan score/rangking kinerja alternatif pada kriteria tersebut.
6. Menjumlahkan nilai setiap kriteria sehingga didapat nilai total suatu alternatif.
7. Merangking nilai tersebut sehingga didapat prioritas alternatif. Penyimpulan prioritas untuk setiap alternatif ditentukan oleh besarnya nilai kinerja alternatif, dimana alternatif yang menunjukkan nilai yang lebih besar akan lebih diprioritaskan.
BAB III METODOLOGI