• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN

B. Konsep Checks and Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan

Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka dikembangkanlah teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan politik menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislative (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan lembaga membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang sifatnya fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga, aliansi antarnegara, dan perjanjian-perjanjian dengan negara asing.

Kemudian tiga cabang kekuasaan ini kemudian dikembangkan oleh Baron Montesquieu, teori ini dikenal dengan teori trias politica. Dalam teorinya, kekuasaan politik dibagi dalam 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan

39

Juanda, Hukum PemerintahanDaerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD Dan Kepala Daerah, (Bandung: Alumni, 2009), h. 31.

eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang suatu Negara. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan hukum tersebut. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman.

Kemudian menurut Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan Negara tersebut harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak. Jika tidak demikian, kebebasan akan terancam.

Namun pada kenyataannya, teori yang di idealkan Monstesquieu tersebut tidak dapat diterapkan pada Negara-negara dewasa ini. Kenyataannya ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling berhubungan satu sama lainnya. Dari sinilah dikembangkan teori checks and balances.

Check and balances mengacu pada variasi atau aturan prosedur yang memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi kekuasaan lainnya.40 Judicial

review adalah bukti pelanggaran batas atas prinsip pemisahan kekuasaan, demikian juga impeachment presiden oleh legislatif. Tindakan-tindakan saling mengimbangi dan mengawasi yang sekarang ini dipahami sebagai check and balances.

40

Ketika gerakan reformasi berhasil menjebol sakralisasi UUD 1945, banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat terutama kalangan akademisi, berkaitan dengan gagasan untuk memperbaiki UUD 1945 agar mampu membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang demokratis. Gagasan ini menjadi niscaya karena berlakunya UUD 1945 dalam tiga periode sistem politik ternyata di Indonesia tak pernah lahir sistem politik yang demokratis sehingga selalu timbul korupsi dalam berbagai bidang kehidupan.41

Salah satu gagasan perubahan yang ketika itu ditawarkan adalah usulan tentang sistem dan mekanisme checks and balances didalam sistem politik dan ketatanegaraan. Usulan ini penting artinya karena selama era dua orde sebelumnya dapat dikatakan bahwa checks and balances itu tidak ada. Dalam pembuatan UU misalnya, seluruhnya didominasi oleh eksekutif, baik proses inisiatifnya maupun pengesahannya. Selama era Orde Baru, tak pernah ada RUU datang dari inisiatif DPR. Bahkan RUU yang semula berasal dari presiden pun pernah ditolak untuk disahkan oleh presiden sendiri setelah disetujui oleh DPR melalui pembahasan bersama pemerintah selama tak kurang dari 8 bulan. Dominasi eksekutif dalam membuat, melaksanakan, dan menafsirkan UU menjadi begitu kuat didalam sistem politik yang executive heavy42 karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan UU. Waktu itu, tidak ada peluang pengujian oleh lembaga yudisial dalam apa yang

41

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Ke-2011), h. 67.

42Executive heavy,

adalah kekuasaan terlalu dominan berada di tangan Presiden (hak prerogatif dan kekuasaan legislatif). melalui http://www.siputro.com/2012/09/sejarah-amandemen-uud-1945/, diakses pada tanggal 14 Januari 2014.

dikenal sebagai judicial review atau (constitutional review) seperti sekarang. Review atas UU hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislative melalui legislative review atau political review, padahal lembaga tersebut didominasi oleh presiden.43

Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 tidak mengenal check and balances. MPR dianggap sebagai penjelmaan rakyat Indonesia yang memegang kekuasaan tertinggi diantara lembaga-lembaga lainnya. Yang mana berbeda dengan ajaran John Locke bahwa Negara tidak boleh dipimpin atau dikuasai oleh seseorang atau satu lembaga yang sifatnya absolut sehingga menjadi sewenang-wenang. MPR menetapkan UUD, mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Presiden ialah pengelenggara kekuasaan di bawah MPR yang berkewajiban menjalankan haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR serta tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Oleh karena itu, siapapun Presiden yang dapat menguasai MPR, kekuasaannya akan langgeng. Begitupun sebaliknya, jika Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar kemungkinan diturunkan dari kursi kepresidenannya.

Sistem check and balance mulai diterapkan setelah amandemen UUD 1945. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan pemerintahan

43

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Ke-2011), h. 68.

lainnya. Kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga tinggi lainnya.

Itulah sebabnya, ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya amandemen atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah memasukan sistem checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara presiden dan DPR, maka dominasi presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Dan jika dalam waktu 30 hari sejak (disahkan) oleh presiden, maka RUU tersebut sah sebagai UU dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh presiden [Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal hubungan antara yudikatif dan legislatif, maka gagasan checks and balances mengumandangkan usul agar lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan di dalam Pasal 24 yang mengatur bukan pengujian isi (uji materi) saja, tetapi juga pengujian prosedur (uji formal). Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan Mahkamah Agung menguji peraturan undangan dibawah UU terhadap perundang-undangan yang diatasnya.44

44Ibid.

C. Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenangan (yang biasanya terdiri atas beberapa wewenang) adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja.45

Sedangkan pengawasan, Secara harfiah dari segi tata bahasa, kata “kontrol” berarti pengawasan, pemeriksaan dan pengendalian.46 George R.Terry memberi

arti dari pengawasan (control) adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil yang sesuai dengan rencana.47

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang

45

Prajudi Atmosudirdja, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi VII (edisi revisi) cet. Ke-10, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 78.

46

Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-4, Perum dan Percetakan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1955), h. 523 dan 1134.

47

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: PT.Alumni, 2004), h.89.

berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi seluas apa kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.

Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai

bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya.” Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai: “pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.” atau “suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya.”

Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.

Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang

muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnyadengan penerapan good governance itu sendiri. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).

Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat dilakukan adalah:

a. Mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan; b. Menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;

c. Mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.

Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang bersifat struktural maupun fungsional. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia. Selain itu juga terdapat Organisasi Non Pemerintah ataupun Lembaga Swadaya

Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara.

Berbagai lembaga negara, Aparatur Pengawas Struktural, Pengawas Fungsional serta Organisasi Non Pemerintah tersebut dapat diberikan beberapa catatan sebagai berikut:48

1. Lembaga Pengawas Struktural sebagaimana selama ini dilakukan oleh Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan terkait. Dalam menghadapi dan ataupun menindaklanjuti laporan sangat ditentukan oleh atasan. Lagi pula pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu sendiri.

2. Lembaga Pengawas Fungsional meskipun tidak bersifat intern namun substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan. Dengan kata lain Aparat Pengawas Fungsional selain cakupannya sangat sempit juga kurang memperhatikan penyimpangan-penyimpangan yang sering menjadi

48

Antonius Sujata dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), h. 70.

keluhan langsung masyarakat kerena pengawasan yang dilakukan merupakan kegiatan rutin.

3. Lembaga Pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam konstitusi memang melakukan pengawasan namun pada satu sisi substansi yang diawasi terlalu luas dan bersifat politis karena memang secara kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan Lembaga Politik serta mewakili kelompok-kelompok politik sehingga pengawasannya juga tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan kelompok yang mereka wakili. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan pada satu sisi substansi yang diawasi cukup luas yaitu mengenai Keuangan Negara yang mencakup kebijakan ataupun pengelolaannya, namun dari sisi lain juga dapat dikatakan terlalu sempit karena hanya mengenai segi keuangannya saja, sementara aspek-aspek lain dalam penyelenggaraan negara belum disentuh, apalagi kepentingan-kepentingan warga yang bersifat individual dan bukan merupakan penyimpangan sistem ataupun kebijakan jelas belum terakomodasikan. 4. Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah

menjadi trend dan berkembang pesat. Namun karena sifatnya swasta dan

kurang terfokus maka lebih banyak ditanggapi dengan sikap “acuh tak

acuh”. Terlebih lagi pengawasan yang dilakukan sering kurang data dan lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi dan keseimbangan fakta perlu lebih memperoleh perhatian. Terdapat jarak ataupun “jurang” yang cukup jauh dan dalam antara aparat pemerintah dengan organisasi non

pemerintah yang disebabkan perbedaan landasan keberadaan mereka masing-masing. Lembaga Swadaya Masyarakat eksistensinya berasal dari masyarakat itu sendiri sementara lembaga negara secara formal dilandasi oleh perundang-undangan yang berlaku sehingga dengan bertitik tolak dari landasan yang berbeda tersebut muncul sikap resistensi satu sama lain. Resistensi tersebut makin dalam manakala menghadapi suatu permasalahan konkrit di mana Lembaga Pemerintah menggunakan parameter pranata yang bersifat formil serta prosedur yang struktural hierarkis sementara Organisasi Non Pemerintah mendekati permasalahan berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dihadapi dengan prosedur yang tidak hierarkis karena LSM memang bukan merupakan institusi struktural.

Memperhatikan kenyataan-kenyataan di atas kiranya dapat dikemukakan bahwa ternyata masih terdapat celah-celah secara mendasar yang belum merupakan sasaran pengawasan dari Ombudsman Republik Indonesia. Dari aspek kelembagaan juga belum ada lembaga yang secara optimal memperoleh pengakuan dan diterima sebagai pengawas. Bahkan juga belum ada prosedur yang dapat menjembatani antara mekanisme yang bersifat kaku sebagai akibat sistem struktural hierarkis di satu pihak dengan mekanisme pendek dari suatu organisasi yang tidak struktural hierarkis.

Dengan demikian diperlukan suatu jalan keluar yang diharapkan pada satu sisi merupakan jalan tengah bagi kepentingan pengemban sistem struktural hierarkis serta kepentingan pengemban sistem non struktural, namun pada sisi lain

mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus melewati sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku.

Oleh karena itu, Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.

Dilandasi oleh kondisi baik yang mencakup substansi pengawasan, prosedur maupun kelembagaan maka Ombudsman Republik Indonesia merupakan salah satu alternatif. Tentu di dunia ini tidak ada satu lembagapun yang dapat merupakan obat ajaib dalam arti menyembuhkan segala macam penyakit dengan seketika. Tetapi setidak-tidaknya sekarang ini sudah kurang lebih 130 negara memiliki Ombudsman (dengan sebutan bermacam-macam) baik Ombudsman Nasional maupun Ombudsman Daerah dan lebih dari 50 negara telah mencantumkannya dalam konstitusi. Apabila banyak negara telah memiliki Ombudsman tentunya mereka merasakan perlunya institusi ini dalam penyelenggaraan negara demi kesejahteraan masyarakat.49

Sekarang ini Ombudsman Republik Indonesia telah menjadi salah satu ciri dari suatu negara yang ingin menegakkan demokrasi, menyelenggarakan pemerintahan yang baik, menghormati Hak Asasi Manusia serta memberantas praktek-praktek korupsi.

49

Antonius Sujata dkk. Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, h. 72.

Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan Ombudsman Republik Indonesia memiliki kapasitas dalam bentuk pengawasan terhadap pelayanan publik oleh penyelenggara Negara. Karena pengawasan merupakan indikator pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sejatinya seperti apa.

Dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia selain melakukan pengawasan juga memiliki kewenangan sebagai berikut:

- Memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis dari pihak pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait dengan suatu laporan, keluhan, atau informasi yang disampaikan kepada Ombudsman Daerah. - Memeriksa semua keputusan dan atau dokumen-dokumen lainnya yang ada

pada pihak pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait, untuk mendpatkan kebenaran dari laporan, keluhan, dan atau informasi.

- Atas inisiatif sendiri memanggil dan meminta keterangan secara lisan atau tertulis, kepada penyelengggara negara, pemerintah daerah atau penegak hukum berkaitan dengan dugaan pelanggaran asas-asas penyelenggaraan negara, pemerintah daerah atau penegak hukum yang bersih dan bebas dari KKN, penyalahgunaan kekuasaan, dan tindakan yang sewenang-wenang. - Membuat rekomendasi atas usul-usul dalam rangka penyelesaian masalah

antara pihak pelapor dan pihak terlapor serta pihak-pihak lainnya yang terkait.

- Mengumumkan hasil temuan dan rekomendasi untuk diketahui oleh masyarakat.

Kemudian kewenangan Ombudsman Republik Indonesia relevan dengan konsep Islam yang menjelaskan tentang kewenangan yang seharusnya dilakukan oleh setiap manusia yang dengan kata lain dikatakan sebagai aparatur penyelenggaraan Negara yang seharusnya melihat rencana apa yang akan dilakukan dikemudian hari, agar tidak menyalahgunakan kewenangannya, sebagaimana Firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al Hasyr (59): 18 yang berbunyi:





































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[Q.S. Al-Hasyr(59): 18]

44

Dokumen terkait