Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
NAUFAL EL RAMADHIAN NIM:109048000037
KONSENTERASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
iii
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 09 Januari 2014
iv
OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. xi + 91 halaman + halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia serta tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach) pada norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang menjelaskan mengenai kedudukan Ombudsman lembaga pengawas pelayanan publik dan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sudah jelas dan final dengan dikeluarkannya UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan diperkuat dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, sehingga tugas dan wewenang ORI dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan optimal.
Kata kunci: Kedudukan Ombudsman, Lembaga Pengawas pelayanan Publik, Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan Tugas serta Wewenang Ombudsman Republik Indonesia, Dugaan Pelanggaran, Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Pembimbing : Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum
Dwi Putri Cahyawati, SH, MH.
v
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berbagai macam nikmat yang diantaranya nikmat iman, islam, ihsan dan
nikmat sehat wal-afiat serta rahmatnya, sehingga pada akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “KEDUDUKAN
OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK
DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA” ini merupakan salah
satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan,
nasehat, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. K.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. Ketua dan
Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah memberikan luang waktu, saran dan
vi
4. Nur Rohim Yunus, LLM., dan Fitria SH, MR., dosen penguji 1 dan 2 yang telah
memberikan saran, masukan, serta arahan dalam proses penyusunan skripsi ini.
5. Segenap staf Perputakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf
Perpustakaan Universitas Indonesia, yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi ilmu hukum, yang telah memberikan berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu
pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat, mendapat rahmat dari Allah SWT
dan menjadikan keberkahan bagi penulis. Semoga Allah SWT senantiasa
membalas jasa-jasa beliau dengan menjadikan semua kebaikan dan keikhlasan ini
sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
7. Kedua orang tuaku ayahanda Ateng Sukmayadi dan Ibunda Cucun Sunoarti yang
ku sayangi dan ku hormati, terimakasih tak terhinga atas kasih sayang, do’a,
bimbingan, nasehat, materi serta segala yang telah diberikan untuk ananda. Serta
Adik-adikku Nawafi El Bikri, Naila Aufa El Silmi dan Ryhan Maulana Akbar
yang selalu menghibur, memotivasi dan memberikan arti penting sebagai seorang
vii
spiritual bagi penulis.
9. Sahabat hatiku Dwi Astuti Handayani Putri (Wiwid) yang selalu disampingku,
memberikan perhatiannya kepadaku, memberikan motivasi dan dukungan serta
do’a dalam proses penyusunan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum yang kucintai, khususnya prodi Ilmu Hukum
angkatan 2009 (Ilham, Fajri, Fandi, Wawan, Fuji, Budi, Rizky,Taufan, Silmi,
Iffah, Alin, Affidah, Sisca, Vera, Luspina, Gagat, Zaki, Jajang, Holil Imam,
Maul, Saddam dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu).
Terimakasih yang tak terhingga atas kebersamaannya, memotivasi, dan selalu
menghibur dikala sedang gelisah.
11. Sahabat-sahabat Futsal Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan sahabat Futsal Kecret-Kocrot FC yang selalu memberikan dorongan
dalam proses skripsi.
12. Sahabat-sahabat kosan Inun, Ilham, Wawan, Daqoiq, Lili, Doblenk, Fiman, Oye,
Rezha, Riko, Teqie, Radi, Indra, Soleh, Taufik, Zay, Long, dan semua sahabat
kosan inun yang tidak bisa penulis sampaikan satu-persatu. Karena selalu
menghibur dengan candaan, bantuan dan motivasi selama proses pembuatan
viii
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat
bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Jakarta, 31 Desember 2013
Penulis,
ix
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI………. ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 5
E. Kerangka Konseptual ... 7
F. Metode Penelitian... 9
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan ... 16
x INDONESIA
A. Tinjauan Umum tentang Ombudsman ... 44
B. Sejarah Berdirinya Ombudsman Republik Indonesia ... 48
C. Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia ... 55
D. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia... 56
BAB IV KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA A. Ombudsman Republik Indonesia dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia ... 64
B. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam Menangani Kasus Berupa Dugaan Pelanggaran Pelayanan Publik Yang Dilakukan Oleh Penyelenggara Negara ... 74
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 84
B. Saran ... 86
xi
Indonesia
2. Alur penanganan laporan masyarakat atas tindakan maladministrasi oleh
penyelenggara negara kepada Ombudsman Republik Indonesia
3. Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa ini, hukum merupakan sebuah instrumen untuk memperoleh
sebuah keadilan. Hukum merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan
yang berwenang yang berisi perintah ataupun larangan untuk mengatur tingkah
laku manusia guna mencapai keadilan, keseimbangan dan keselarasan dalam
hidup serta untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam
hidup.
Sesuai dengan pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang memiliki
konstitusi yang dikenal dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.1 Bertujuan
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.2 Sebagaimana ada dalam
makna alinea ke-4 pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
1
A. Abdullah dan Abdul Rozak, Demokrasi (Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani), (Jakarta: ICCE bekerja sama dengan Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. 3), h. 68.
2Makna alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
Indonesia. Ironisnya, pada saat ini hukum tidak berjalan sesuai dengan das sein
(apa yang seharusnya).
Pada dasarnya yang bertanggung jawab atas ketidaksesuaian hukum yang
telah terjadi saat ini adalah pemerintah, karena pemerintah merupakan
organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum
serta Undang-undang di wilayah tertentu. Fungsi utama pemerintah adalah
memberikan pelayanan, menyelenggarakan pembangunan dan
menyelenggarakan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya,
dengan menciptakan ketentraman dan ketertiban yang mengayomi dan
mensejahterakan masyarakatnya3. Selaras dengan prinsip-prinsip pokok Good &
Clean Governance bertujuan merealisasikan pemerintahan yang professional dan
akuntabel, baik, bersih dan berwibawa. Kemudian sejalan dengan prinsip
demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan tujuan utama dari implementasi
good and clean governance.
Pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai
aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah
3
dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap Penyelenggara
Negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional.4
Namun peraturan yang mengatur Ombudsman ini telah banyak menuai
kontroversi yang mengakibatkan kurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap
lembaga pemerintah yang mengatur semua jenis pengawasan peyelenggaraan
pelayanan publik. Seperti halnya UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia yang substansi materi muatan hukumnya hampir sama
dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang secara
kontinuitas akan menimbulkan dualisme kewenangan.
Masyarakat memiliki peranan dalam proses membangun penegakan
Hukum untuk memperoleh keadilan, karena mereka adalah bagian, dan juga
sasaran, dari keadilan itu sendiri. Masyarakat adalah komponen yang semestinya
merasakan keadilan, dan bukan sebaliknya, menjadi obyek serta korban
ketidakadilan.
Masyarakat juga memiliki hak untuk melakukan pengawasan karena
penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan Negara yang berdasarkan
atas mandat yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pengawasan
oleh Ombudsman adalah pengawasan riil, yaitu pengawasan untuk memperoleh
pelayanan sebaik-baiknya dari aparatur pemerintah.
4
Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah dijelaskan, penulis tertarik
untuk membahas penelitian ini dengan judul “KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, Penulis akan membatasi
permasalahan yang akan dibahas hanya Kedudukan Ombudsman sebagai
lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia kemudian tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia
dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan yang penulis paparkan dalam latar belakang dan
permasalahan yang penulis sudah batasi, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
a. Bagaimana kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas
b. Bagaimana tugas dan wewenang Ombudsman dalam menangani
kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan
publik ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Selaras dengan pembatasan dan rumusan masalah diatas, maka penelitian
ini bertujuan untuk :
a. Untuk mengetahui kedudukan Ombudsman sebagai lembaga
pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
b. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Ombudsman dalam
menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia dan tugas dan wewenang Ombudsman
dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, Penulis melakukan
penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini di
1. Judul Skripsi : PERAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
PERWAKILAN PROPINSI JAWA TIMUR DALAM PENYELESAIAN
LAPORAN ATAS DUGAAN MAL ADMINISTRASI PENYELENGGARA
PELAYANAN PUBLIK. (Studi Kasus di Wilayah Kerja Kota Surabaya).
Penulis : Heru Prasetyo / Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur / 2012
Penelitian ini didasarkan Permasalahan tentang Peran Ombudsman Republik
Indonesia Perwakilan Propinsi Jawa Timur Dalam Penyelesaian Laporan Atas
Dugaan Mal-administrasi Penyelenggara Pelayanan Publik. Sedangkan penulis,
menitikberatkan permasalahan tentang Kedudukan Ombudsman Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman dalam
menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan
publik
2. Judul Skripsi : PERANAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA
UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA.
Penulis : Lina Rubiyanti/ UMY/ 2010
Penelitian ini didasarkan pada permasalahan Peranan Ombudsman RI Untuk
mewujudkan Good Governance di Indonesia dan mengkaji Ombudsman RI
dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam kinerja penanganan laporan.
Sedangkan penulis didasarkan pada permasalahan tentang Kedudukan
wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran
dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
E. Kerangka Konseptual
Institusi pengawasan yang bernama “Ombudsman” pertama kali lahir di
Swedia, namun demikian sebenarnya Swedia bukanlah Negara pertama yang
membangun Sistem pengawasan Ombudsman. Pada zaman Romawi telah
terdapat intitusi “Tribunal Plebis” yang tugasnya hampir sama dengan
Ombudsman yaitu melindungi hak masyarakat lemah dan penyalahgunaan
kekuasaan oleh para bangsawan. Model yang demikian juga dapat dijumpai pada
kekaisaran Cina Dinasty Tsin pada tahun 221 SM.5
Ombudsman menurut Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia adalah Ombudsman Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut Ombudsman adalah Lembaga Negara yang mempunyai
kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang
diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
5
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Kemudian dalam menaungi Lembaga Ombudsman yang pada awalnya
telah dibentuk Komisi Ombudsman Nasional, yang diuraikan pada Pasal 2
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman
Nasional yang dikatakan “Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan
masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang
melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat
mengenai penyelenggaraan Negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur
pemerintah termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia, maka hal-hal yang diatur dalam Keputusan
Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional sudah
dihapus dan digantikan dengan Undang-undang terbaru.
Dalam literatur peraturan perUndang-undangan, Perbedaan Keputusan
Presiden dengan Peraturan, yakni suatu keputusan (beschikking) selalu bersifat
individual, kongkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig). Sedangkan, suatu
peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus
konkret, individual, dan sekali selesai. Begitupun dengan Ombudsman yang
menurut Undang-undang terbaru Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia membaharui Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang
Komisi Ombudsman Nasional.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, Sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
Sistematis adalah berdasarkan suatu Sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.6
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.7
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian yuridis normatif/normatif yuridis, yaitu penelitian yang
dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, Cet. III), h. 42.
7Ibid.,
perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang
berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di
masyarakat.8
2. Pendekatan penelitian
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian
yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan yaitu:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan
pendekatan perndang-undangan, karena yang akan diteliti adalah
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian.9 Penelitian ini dilakukan untuk meneliti aturan-aturan
yang penormaannya tentang Kedudukan Ombudsman dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia dan wewenang Ombudsman dalam
menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
b. Pendekatan konsep (conceptual approach)
Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep
tentang Ombudsman Republik Indonesia dalam mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik sehingga diharapkan penormaan
8
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.
9
dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang
bermakna ganda.
c. Pendekatan historis (historical approach), dan
Penelitian normatif yang menggunakan pendekatan sejarah
memungkinkan seorang peneliti untuk memahami hukum secara lebih
mendalam tentang suatu lembaga. Dengan mengetahui latar belakang
dan sejarah suatu lembaga, maka dapat diketahui permasalahan apa
saja yang dihadapi dan mempengaruhi lembaga tersebut.10
d. Pendekatan perbandingan (comparative approach).
Setiap kegiatan ilmiah lazimnya menerapkan metode
perbandingan. Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara
yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan
salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang
satu dengan lembaga hukum yang lain.11
Dari perbandingan itu, maka dapat ditemukan unsur-unsur
persamaan dan perbedaan kedua Sistem hukum itu.
Persamaan-persamaan akan menunjukkan inti dari lembaga hukum yang
diselidiki, sedangkan perbedaan-perbedaan disebabkan oleh adanya
10Ibid
., h. 318.
11
perbedaan suasana, iklim, budaya, dan sejarah masing-masing bangsa
yang bersangkutan.12
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim13.
Dalam penelitian ini yang termasuk bahan Hukum primer adalah
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman
Republik Indonesia, Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi
Ombudsman Nasional, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
Tentang Pelayanan Pubik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, naskah
akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ombudsman Republik
Indonesia, dan Peraturan Perundang-undangan terkait dengan
Ombudsman Republik indonesia.
b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
12
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum (Malang: Bayumedia Publishing, 2006, Cet. II),h. 313.
13
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.14
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat
berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum
sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan
non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan peneliti.15
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam mengumpulkan Bahan hukum, yakni bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum yang telah didapatkan
itu kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah dan
diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih Sistematis untuk
menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan
hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. h. 141.
15
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi16. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis
terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana
Kedudukan Hukum dalam Sistem kelembagaan Negara dan Tugas dan
Wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran
dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun penulis berdasarkan buku petunjuk “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2012” dengan Sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing
bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti.
Adapun sistematikanya sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah; Batasan
dan Rumusan Masalah; Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu; Metode
Penelitian; dan Sistematika Penulisan.
BAB II : KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN
Bab ini Menjelaskan Mengenai Teori Pembagian dan Pemisahan
Kekuasaan; Konsep Checks and Balances Dalam Sistem
16
Ketatanegaraan Indonesia; dan Urgensi Kewenangan Ombudsman
Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK
INDONESIA
Pada bab ini akan diuraikan mengenai sejarah berdirinya
Ombudsman; yang terdiri atas pengertian, sejarah singkat sifat, asas
dan tujuan, falsafah, visi dan misi, kemudian struktur organisasi; serta
fungsi tugas dan wewenang lembaga Ombudsman.
BAB IV: OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS
PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR
KETATANEGARAAN INDONESIA
Dalam bab ini menjelaskan tentang Ombudsman Republik Indonesia
sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman
Republik Indonesia dalam menangani kasus berupa dugaan
pelanggaran terhadap penyelengaraan pelayanan publik.
BAB V : PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran penulis yang didapatkan berdasarkan
16
BAB II
KEKUASAN LEMBAGA INDEPENDEN
A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan
Salah satu ciri Negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal state
atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut
rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraaan
kekuasaaaan Negara. Meskipun kedua istilah rechstsstaat dan rule of law itu
memiliki latar belakang sejarah dan pengertian berbeda, tetapi sama-sama
mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum
yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.17
Pada awalnya, teori pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikenal
sekarang merupakan pengembangan atas reformasi dari teori “pemisahan
kekuasaan”. Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali di Eropa barat sebagai
antitesa terhadap kekuasaan raja yang absolute sekitar abad pertengahan, yaitu
antara abad 14 samapai dengan abad ke 15. Kemudian pada abad ke 17 dan ke 18,
lahirlah suatu konsep atau gagasan untuk menarik kekuasaan membuat peraturan
dari raja dan selanjutya diserahkan kepada suatu badan kenegaraan yang berdiri
17
sendiri. Begitu pula pada akhir abad pertengahan terhadap kekuasaan kehakiman
telah diserahkan kepada suatu badan perwakilan.18
Istilah “Pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga
fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan
dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri
urusan masing-masing.19
Kemunculan teori pemisahan kekuasaan mengalami proses yang cukup
panjang. Hal itu dapat dicermati mulai dari penggunaan istilah “Trias Politica”.
Istilah trias politica awalnya oleh Emmanuel Kant, begitu pula secara substansi
pemikiran yang melandasinya sudah terlebih dahulu dan ditulis oleh Aristoteles.
1. Teori Pemisahan Kekuasaan John Locke
John Locke dilahirkan 26 Agustus 1632 dalam suatu keluarga dengan kelas
ekonomi menengah di Wrington, Inggris Barat. Ayahnya adalah seorang tuan
tanah dan pengacara. Ia memberikan pengaruh sangat besar pada cara berfikir
Locke.20
18
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1990), h. 2.
19
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 285.
20
John Locke adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari
inggris, dia hidup pada tahun 1632-1704, di bawah kekuasaan pemerintahan
willem III, yang bersifat pemerintahanya adalah monarki yang sudah agak
terbatas.21 Memang demikianlah, bahwa seluruh ajaran John Locke terutama
ajarannya tentang negara dan hukum.
John Locke dalam bukunya “Two Tritieses of Government” yang terbit Tahun
1690. Locke adalah seorang filusuf Inggris yang pertama kali menggagaskan
pentingnya kekuasaan dalam negara dipisahkan menjadi tiga bidang: pertama,
kekuasaan membentuk Undang-Undang (legislatif), kedua, kekuasaan eksekutif,
dan ketiga, kekuasaan federatif. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk
melaksanakan Undang-Undang mencakup juga kekuasaan mengadili. Kekuasaan
federatif adalah kekuasaan yang meliputi semua kekuasaan yang tidak termasuk
dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif.22
2. Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu
Montesquieu adalah seorang ahli pemikir besar yang pertama diantara
ahli-ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari perancis. Nama lengkapnya
adalah Charles Secondat, baron de Labrede et de Montesquieu. Dia adalah seorang
sarjana hukum, hidup pada tahun 1688-1755. Dia adalah seorang autodidact, yaitu
21
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), h. 106.
22
seorang yang dengan pemikiran dan tenaganya sendiri telah memperoleh
kemajuan terutama dalam lapangan ilmu pengetahuan.23
Montesquieu berpendapat bahwa negara dalam bangunannya seperti
Undang-Undang, kebiasaan dan tradisinya adalah berlainan. Yang menyebabkan
berlainannya hal-hal di atas negara yang pernah dan masih ada itu adalah
perbedaan yang terdapat dalam situasi bangsa masing-masing, sifat
kebudayaannya, dan lain-lain syarat mengenai alam dan kebudayaannya seperti
iklim, tanah, kebiasaan, dan lain-lain.24
Montesquieu membangun suatu ajaran atau teori pemisahan kekuasaan yang
mengilhami teori John Locke. Hal itu tergambar dengan jelas dalam bukunya
“De L’esprit Des Lois” yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut
dirumuskan “The Doctrine Of Separation Of Power States That The Legislative,
Executive, And Judicial Functions Of Government Should Be Independent”.
(doktrin pemisahan kekuasaan negara ke dalam fungsi-fungsi pemerintahan yang
independen: legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
3. Teori Pembagian Kekuasaan C. van Vollenhoven Donner
Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven
Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara
itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan
dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur
23
Soehino, Ilmu Negara, h. 116.
24
(penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv)
fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.25
Catur praja yang pertama adalah regeling (pengaturan) yang kurang lebih
identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu, Bestuur yang identik fungsi
pemerintahan eksekutif, rechtspraak (peradilan) dan politie yang menurutnya
merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan
peri kehidupan bernegara.26
Dari 3 teori di atas ada beberapa perbedaan antara teori John Locke
dengan Montesquieu27 kemudian perbedaan pendapat dengan C. van Vollenhoven
Donner, diantaranya pada kekuasaan kehakiman atau pengadilan, perbedaan yang
mendasar antara Locke dan Montesquieu. Bagi John Locke, berpendapat bahwa
kehakiman atau pengadilan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Bahkan
oleh John Locke pekerjaan pengadilan disebutkan pertama-pertama sebagai
pelaksanaan Undang-undang.
Namun bagi Montesquieu meskipun pemerintah dan pengadilan
dua-duanya melaksanakan hukum, namun ada perbedaan sifat antara dua macam
pekerjaan itu, yaitu pemerintah menjalankan hukum dalam tindakan sehari-hari,
25
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 34.
26
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 284.
27
sedangkan pengadilan hanya bertindak mengambil suatu putusan menurut hukum
dalam hal suatu pihak mengemukakan suatu pelanggaran hukum oleh lain pihak.
Berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut Van
Vollenhoven tidak hanya melaksanakan Undang-undang saja tugasnya, karena
dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas
negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal ialah
mempertahankan hukum secara preventif (preventive rechtszorg), mengadili
(menyelesaikan perselisihan) dan membuat peraturan (regeling).28
Di samping itu, dalam studi ilmu administrasi publik atau public
administration dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan ke dalam dua
fungsi saja. Kedua fungsi itu adalah : (i) fungsi pembuatan kebijakan (policy
making function); dan (ii) fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing
function).29
Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak
secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica
mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di
negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis.
Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya
adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila
28
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988), h.147.
29
diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ
negara penunjang.30 Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum
digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada
kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara
penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis
lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih
“lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang
berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional.
Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula
lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga-lembaga
non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau
NGO non-governmental organization).
Lembaga negara bantu sekilas memang menyerupai NGO karena berada
di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat
publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk
kepentingan publik,31 membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti
sebenarnya.32 Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam
30
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006 ). h. 8.
31 31
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 11.
ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang
menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan
pemerintahan, seperti yang dinyatakan oleh Yves Meny dan Andrew Knapp :33
“Regulatory and monitoring bodies are a new type autonomous
administration which has been most widely develoved in the United States
(where it is sometimes referred to as the headless fourth branch’ of the
government). It takes the form of what are generally known as
Independent Regulatory Commisions”
Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara
untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari
unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus
menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari
keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat,
rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi,
meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta
akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara
bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya
prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui
lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya.
33
Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu
adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk
mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian
dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder
mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu:
(1) Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi
terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan
(2) Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada
pemerintah;34
Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam Constitutional and
Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi
dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu
adalah sebagai berikut.35
1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan
yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan
politik.
2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat
non-politik.
34
John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: The Macmillan Press LTD, 1989), h. 232-233.
3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen,
seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum.
4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat
teknis.
5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi
untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute
resolution/ alternatif penyelesaian sengketa).
Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu sebenarnya sudah
terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden Soeharto. Kemunculan
lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan satunya-satunya di dunia. Di
negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir
lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya lembaga negara bantu merupakan
perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah
tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antar lembaga
negara.
Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga
negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan
pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya.
Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam
tiga kelompok.36 Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah
36
UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga
negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted
power). Ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan
presiden.37
Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara
umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap
lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain
itu pada kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil
memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan
perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya
paham demokrasi di Indonesia.38
Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu yang bersifat
mandiri dan independen di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada
sebelumnya akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang
mengakar dan sulit diberantas
37
Jimly Asshidiqie, “Perkembangan Ketatanegaraan Pasca-Perubahan UUD 1945 dan Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Nasional”. (makalah disampaikan pada seminar dan lokakarya nasional perkembangan ketatanegaraan pascaperubahan UUD 1945 dan pembaruan pendidikan hukum Indonesia, Jakarta, 7 September 2004), h. 7
38
T.M. Lutfhi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”,
2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan
tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu.
3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada dalam
melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan pada masa transisi menuju
demokrasi, baik karena persoalan internal maupun persoalan eksternal.
4. Adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan
beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan,
baik yang disebut sebagai state auxiliary institutions/organs/agencies
maupun institutional watchdog (lembaga pengawas), yang dianggap
sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga negara
yang telah ada merupakan bagian dari sistem yang harus diperbaiki.
5. Adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk
lembaga-lembaga negara tambahan tersebut sebagai prasyarat menuju
demokratisasi.
Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia,
maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik
Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi
berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga
negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan
Lembaga Negara adalah merupakan lembaga-lembaga atau organ publik
yang menjalankan pemerintahan dan tidak berada dibawah kendali presiden.
Bersifat “mandiri” secara etimologis berarti menunjukan kemampuan berdiri
sendiri. Ini menjelaskan bahwa istilah mandiri menunjuk pada tidak adanya
pengaruh dari luar atau bebas dari campur tangan kekuasaan lain atau
ketidaktergantungan dengan suatu lembaga kepada lembaga lainnya.
Menurut Jimly Asshidiqie bahwa independensi lembaga-lembaga Negara
sangat diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan
demokratisasi yang lebih efektif. Kemudian beliau menyebutkan lembaga-lembaga
sekarang ini menikmati kedudukan independen, diantaranya pada tingkatan
pertama, yaitu Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik
Indonesia (POLRI), dan Bank Indonesia sebagai Bank Central. Pada tingkatan
kedua juga muncul lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional dan Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi
Ombudsman Nasional (sekarang Ombudsman Republik Indonesia), Komisi
Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan Komisi peniyaran Indonesia
(KPI).
Secara garis besar Lembaga Negara di Indonesia terbagai dalam dua
kelompok, yaitu lembaga negara yang dibentuk melalui UUD dan lembaga negara
yang dibentuk di luar UUD. Lembaga Negara yang pembentukannya diluar UUD
negara secondary, dalam artian merupakan lembaga negara yang tidak terdapat
dalam konstitusi, namun dibentuk melalui Undang-undang (regulatory body).
Keberadaan Ombudsman di Indonesia memang sangat dibutuhkan
masyarakat dewasa ini dengan pertambahan penduduk dan beragamnya masalah
yang dialami oleh masyarakat dalam mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Sehingga masyarakat dapat melaporkan keluhan yang dialaminya dengan cepat
kepada lembaga yang independen dan dengan tanpa biaya yaitu Ombudsman
Republik Indonesia.
Pengaturan Ombudsman dalam Undang-undang tidak hanya mengandung
konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan
cakupan kerja Ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam
undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah
Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan
yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki
kekuatan memaksa (subpoena power), rekomendasi yang bersifat mengikat,
investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi ombudsman dalam
menangani laporan.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang muncul, bahwa semuanya
memiliki makna pemisahan kekuasaan bertujuan agar penguasa atau pemerintah
dalam menjalankan tugas dan fungsi-fungsi pemerintahan mengindari dan tidak
memberikan ruang gerak terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan dan
kemerdekaan.39
B. Konsep Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya
konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu
cenderung untuk disalah gunakan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka
dikembangkanlah teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh
John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan
politik menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislative (legislative
power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif
(federative power).
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan lembaga membentuk
undang-undang dan peraturan-peraturan yang sifatnya fundamental lainnya. Kekuasaan
eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh
kekuasaan legislatif. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan
dengan hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga,
aliansi antarnegara, dan perjanjian-perjanjian dengan negara asing.
Kemudian tiga cabang kekuasaan ini kemudian dikembangkan oleh Baron
Montesquieu, teori ini dikenal dengan teori trias politica. Dalam teorinya,
kekuasaan politik dibagi dalam 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
39
eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang
berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang suatu Negara.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan
hukum tersebut. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman.
Kemudian menurut Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan Negara
tersebut harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ
hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan
masing-masing dalam arti mutlak. Jika tidak demikian, kebebasan akan terancam.
Namun pada kenyataannya, teori yang di idealkan Monstesquieu tersebut
tidak dapat diterapkan pada Negara-negara dewasa ini. Kenyataannya ketiga
cabang kekuasaan tersebut tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan
ketiganya bersifat sederajat dan saling berhubungan satu sama lainnya. Dari
sinilah dikembangkan teori checks and balances.
Check and balances mengacu pada variasi atau aturan prosedur yang
memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi kekuasaan lainnya.40 Judicial
review adalah bukti pelanggaran batas atas prinsip pemisahan kekuasaan,
demikian juga impeachment presiden oleh legislatif. Tindakan-tindakan saling
mengimbangi dan mengawasi yang sekarang ini dipahami sebagai check and
balances.
40
Ketika gerakan reformasi berhasil menjebol sakralisasi UUD 1945,
banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat terutama kalangan akademisi,
berkaitan dengan gagasan untuk memperbaiki UUD 1945 agar mampu
membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang demokratis. Gagasan ini
menjadi niscaya karena berlakunya UUD 1945 dalam tiga periode sistem politik
ternyata di Indonesia tak pernah lahir sistem politik yang demokratis sehingga
selalu timbul korupsi dalam berbagai bidang kehidupan.41
Salah satu gagasan perubahan yang ketika itu ditawarkan adalah usulan
tentang sistem dan mekanisme checks and balances didalam sistem politik dan
ketatanegaraan. Usulan ini penting artinya karena selama era dua orde sebelumnya
dapat dikatakan bahwa checks and balances itu tidak ada. Dalam pembuatan UU
misalnya, seluruhnya didominasi oleh eksekutif, baik proses inisiatifnya maupun
pengesahannya. Selama era Orde Baru, tak pernah ada RUU datang dari inisiatif
DPR. Bahkan RUU yang semula berasal dari presiden pun pernah ditolak untuk
disahkan oleh presiden sendiri setelah disetujui oleh DPR melalui pembahasan
bersama pemerintah selama tak kurang dari 8 bulan. Dominasi eksekutif dalam
membuat, melaksanakan, dan menafsirkan UU menjadi begitu kuat didalam sistem
politik yang executive heavy42 karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan
UU. Waktu itu, tidak ada peluang pengujian oleh lembaga yudisial dalam apa yang
41
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Ke-2011), h. 67.
42Executive heavy,
dikenal sebagai judicial review atau (constitutional review) seperti sekarang.
Review atas UU hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislative melalui legislative
review atau political review, padahal lembaga tersebut didominasi oleh presiden.43
Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 tidak
mengenal check and balances. MPR dianggap sebagai penjelmaan rakyat
Indonesia yang memegang kekuasaan tertinggi diantara lembaga-lembaga
lainnya. Yang mana berbeda dengan ajaran John Locke bahwa Negara tidak boleh
dipimpin atau dikuasai oleh seseorang atau satu lembaga yang sifatnya absolut
sehingga menjadi sewenang-wenang. MPR menetapkan UUD, mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Presiden ialah pengelenggara kekuasaan di bawah MPR yang
berkewajiban menjalankan haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR serta tunduk
dan bertanggung jawab kepada MPR. Oleh karena itu, siapapun Presiden yang
dapat menguasai MPR, kekuasaannya akan langgeng. Begitupun sebaliknya, jika
Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar kemungkinan
diturunkan dari kursi kepresidenannya.
Sistem check and balance mulai diterapkan setelah amandemen UUD
1945. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi
pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar
tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan pemerintahan
43
lainnya. Kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang
pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan
sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga
tinggi lainnya.
Itulah sebabnya, ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya
amandemen atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah
memasukan sistem checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga
eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara presiden dan DPR,
maka dominasi presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Dan jika dalam
waktu 30 hari sejak (disahkan) oleh presiden, maka RUU tersebut sah sebagai UU
dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh presiden [Pasal 20 ayat (1)
dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal hubungan antara yudikatif
dan legislatif, maka gagasan checks and balances mengumandangkan usul agar
lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Ini
pun kemudian diterima dan dituangkan di dalam Pasal 24 yang mengatur bukan
pengujian isi (uji materi) saja, tetapi juga pengujian prosedur (uji formal).
Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan Mahkamah
Agung menguji peraturan undangan dibawah UU terhadap
perundang-undangan yang diatasnya.44
C. Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kewenangan adalah hak dan
kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenangan (yang biasanya
terdiri atas beberapa wewenang) adalah kekuasaan terhadap segolongan
orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang
urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu
onderdil tertentu saja.45
Sedangkan pengawasan, Secara harfiah dari segi tata bahasa, kata “kontrol”
berarti pengawasan, pemeriksaan dan pengendalian.46 George R.Terry memberi
arti dari pengawasan (control) adalah menentukan apa yang telah dicapai,
mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil
yang sesuai dengan rencana.47
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari
adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan
dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan
yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara
efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang
45
Prajudi Atmosudirdja, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi VII (edisi revisi) cet. Ke-10, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 78.
46
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-4, Perum dan Percetakan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1955), h. 523 dan 1134.
47
berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan
kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi seluas apa kebijakan
pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam
pelaksanaan kerja tersebut.
Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan
merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai
bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada
pihak di bawahnya.” Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai
tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan
mengandung makna pula sebagai: “pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan
unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang
dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.” atau “suatu usaha agar suatu
pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan
dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan
hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan
tindakan perbaikannya.”
Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai
sebagai proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan,
atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau
diperintahkan.
Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat
muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang
bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan
merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan
sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama
pentingnyadengan penerapan good governance itu sendiri. Dalam kaitannya
dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk
membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik
pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external
control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).
Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya
penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat
dilakukan adalah:
a. Mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;
b. Menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;
c. Mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.
Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang
bersifat struktural maupun fungsional. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang
secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia.
Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan
pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara.
Berbagai lembaga negara, Aparatur Pengawas Struktural, Pengawas
Fungsional serta Organisasi Non Pemerintah tersebut dapat diberikan beberapa
catatan sebagai berikut:48
1. Lembaga Pengawas Struktural sebagaimana selama ini dilakukan oleh
Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris
merupakan bagian dari kelembagaan terkait. Dalam menghadapi dan
ataupun menindaklanjuti laporan sangat ditentukan oleh atasan. Lagi pula
pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang
dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu
sendiri.
2. Lembaga Pengawas Fungsional meskipun tidak bersifat intern namun
substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama
masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya
tidak menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka
melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik
yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan. Dengan kata lain
Aparat Pengawas Fungsional selain cakupannya sangat sempit juga kurang
memperhatikan penyimpangan-penyimpangan yang sering menjadi
48
keluhan langsung masyarakat kerena pengawasan yang dilakukan
merupakan kegiatan rutin.
3. Lembaga Pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam konstitusi
memang melakukan pengawasan namun pada satu sisi substansi yang
diawasi terlalu luas dan bersifat politis karena memang secara kelembagaan
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan Lembaga Politik serta mewakili
kelompok-kelompok politik sehingga pengawasannya juga tidak terlepas
dari kepentingan-kepentingan kelompok yang mereka wakili. Sedangkan
Badan Pemeriksa Keuangan pada satu sisi substansi yang diawasi cukup
luas yaitu mengenai Keuangan Negara yang mencakup kebijakan ataupun
pengelolaannya, namun dari sisi lain juga dapat dikatakan terlalu sempit
karena hanya mengenai segi keuangannya saja, sementara aspek-aspek lain
dalam penyelenggaraan negara belum disentuh, apalagi
kepentingan-kepentingan warga yang bersifat individual dan bukan merupakan
penyimpangan sistem ataupun kebijakan jelas belum terakomodasikan.
4. Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah
menjadi trend dan berkembang pesat. Namun karena sifatnya swasta dan
kurang terfokus maka lebih banyak ditanggapi dengan sikap “acuh tak
acuh”. Terlebih lagi pengawasan yang dilakukan sering kurang data dan
lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi dan keseimbangan
fakta perlu lebih memperoleh perhatian. Terdapat jarak ataupun “jurang”
pemerintah yang disebabkan perbedaan landasan keberadaan mereka
masing-masing. Lembaga Swadaya Masyarakat eksistensinya berasal dari
masyarakat itu sendiri sementara lembaga negara secara formal dilandasi
oleh perundang-undangan yang berlaku sehingga dengan bertitik tolak dari
landasan yang berbeda tersebut muncul sikap resistensi satu sama lain.
Resistensi tersebut makin dalam manakala menghadapi suatu permasalahan
konkrit di mana Lembaga Pemerintah menggunakan parameter pranata
yang bersifat formil serta prosedur yang struktural hierarkis sementara
Organisasi Non Pemerintah mendekati permasalahan berdasarkan
kenyataan-kenyataan yang dihadapi dengan prosedur yang tidak hierarkis
karena LSM memang bukan merupakan institusi struktural.
Memperhatikan kenyataan-kenyataan di atas kiranya dapat dikemukakan
bahwa ternyata masih terdapat celah-celah secara mendasar yang belum
merupakan sasaran pengawasan dari Ombudsman Republik Indonesia. Dari aspek
kelembagaan juga belum ada lembaga yang secara optimal memperoleh
pengakuan dan diterima sebagai pengawas. Bahkan juga belum ada prosedur yang
dapat menjembatani antara mekanisme yang bersifat kaku sebagai akibat sistem
struktural hierarkis di satu pihak dengan mekanisme pendek dari suatu organisasi
yang tidak struktural hierarkis.
Dengan demikian diperlukan suatu jalan keluar yang diharapkan pada satu
sisi merupakan jalan tengah bagi kepentingan pengemban sistem struktural
mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus melewati
sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku.
Oleh karena itu, Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat
mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi
pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas
dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Dilandasi oleh kondisi baik yang mencakup substansi pengawasan,
prosedur maupun kelembagaan maka Ombudsman Republik Indonesia merupakan
salah satu alternatif. Tentu di dunia ini tidak ada satu lembagapun yang dapat
merupakan obat ajaib dalam arti menyembuhkan segala macam penyakit dengan
seketika. Tetapi setidak-tidaknya sekarang ini sudah kurang lebih 130 negara
memiliki Ombudsman (dengan sebutan bermacam-macam) baik Ombudsman
Nasional maupun Ombudsman Daerah dan lebih dari 50 negara telah
mencantumkannya dalam konstitusi. Apabila banyak negara telah memiliki
Ombudsman tentunya mereka merasakan perlunya institusi ini dalam
penyelenggaraan negara demi kesejahteraan masyarakat.49
Sekarang ini Ombudsman Republik Indonesia telah menjadi salah satu ciri
dari suatu negara yang ingin menegakkan demokrasi, menyelenggarakan
pemerintahan yang baik, menghormati Hak Asasi Manusia serta memberantas
praktek-praktek korupsi.
49
Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kewenangan Ombudsman Republik Indonesia memiliki kapasitas dalam bentuk
pengawasan terhadap pelayanan publik oleh penyelenggara Negara. Karena
pengawasan merupakan indikator pelayanan publik yang dibutuhkan oleh
masyarakat itu sejatinya seperti apa.
Dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang No.37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia selain melakukan pengawasan juga memiliki
kewenangan sebagai berikut:
- Memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis dari pihak
pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait dengan suatu laporan,
keluhan, atau informasi yang disampaikan kepada Ombudsman Daerah.
- Memeriksa semua keputusan dan atau dokumen-dokumen lainnya yang ada
pada pihak pelapor, terlapor dan atau pihak