• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Ombudsman Sebagai Lembaga Pengawas Pelayanan Publik Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Naufal El Ramadhian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kedudukan Ombudsman Sebagai Lembaga Pengawas Pelayanan Publik Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Naufal El Ramadhian"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

NAUFAL EL RAMADHIAN NIM:109048000037

KONSENTERASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)
(3)
(4)

iii

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 09 Januari 2014

(5)

iv

OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. xi + 91 halaman + halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia serta tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach) pada norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang menjelaskan mengenai kedudukan Ombudsman lembaga pengawas pelayanan publik dan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sudah jelas dan final dengan dikeluarkannya UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan diperkuat dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, sehingga tugas dan wewenang ORI dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan optimal.

Kata kunci: Kedudukan Ombudsman, Lembaga Pengawas pelayanan Publik, Struktur Ketatanegaraan Indonesia dan Tugas serta Wewenang Ombudsman Republik Indonesia, Dugaan Pelanggaran, Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Pembimbing : Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum

Dwi Putri Cahyawati, SH, MH.

(6)

v

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan berbagai macam nikmat yang diantaranya nikmat iman, islam, ihsan dan

nikmat sehat wal-afiat serta rahmatnya, sehingga pada akhirnya penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “KEDUDUKAN

OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK

DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA” ini merupakan salah

satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses penulisan ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan,

nasehat, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan

ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. K.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. Ketua dan

Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah memberikan luang waktu, saran dan

(7)

vi

4. Nur Rohim Yunus, LLM., dan Fitria SH, MR., dosen penguji 1 dan 2 yang telah

memberikan saran, masukan, serta arahan dalam proses penyusunan skripsi ini.

5. Segenap staf Perputakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf

Perpustakaan Universitas Indonesia, yang telah memberikan fasilitas untuk

mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

khususnya dosen program studi ilmu hukum, yang telah memberikan berbagai

macam disiplin ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu

pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat, mendapat rahmat dari Allah SWT

dan menjadikan keberkahan bagi penulis. Semoga Allah SWT senantiasa

membalas jasa-jasa beliau dengan menjadikan semua kebaikan dan keikhlasan ini

sebagai amal jariyah untuk beliau semua.

7. Kedua orang tuaku ayahanda Ateng Sukmayadi dan Ibunda Cucun Sunoarti yang

ku sayangi dan ku hormati, terimakasih tak terhinga atas kasih sayang, do’a,

bimbingan, nasehat, materi serta segala yang telah diberikan untuk ananda. Serta

Adik-adikku Nawafi El Bikri, Naila Aufa El Silmi dan Ryhan Maulana Akbar

yang selalu menghibur, memotivasi dan memberikan arti penting sebagai seorang

(8)

vii

spiritual bagi penulis.

9. Sahabat hatiku Dwi Astuti Handayani Putri (Wiwid) yang selalu disampingku,

memberikan perhatiannya kepadaku, memberikan motivasi dan dukungan serta

do’a dalam proses penyusunan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum yang kucintai, khususnya prodi Ilmu Hukum

angkatan 2009 (Ilham, Fajri, Fandi, Wawan, Fuji, Budi, Rizky,Taufan, Silmi,

Iffah, Alin, Affidah, Sisca, Vera, Luspina, Gagat, Zaki, Jajang, Holil Imam,

Maul, Saddam dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu).

Terimakasih yang tak terhingga atas kebersamaannya, memotivasi, dan selalu

menghibur dikala sedang gelisah.

11. Sahabat-sahabat Futsal Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan sahabat Futsal Kecret-Kocrot FC yang selalu memberikan dorongan

dalam proses skripsi.

12. Sahabat-sahabat kosan Inun, Ilham, Wawan, Daqoiq, Lili, Doblenk, Fiman, Oye,

Rezha, Riko, Teqie, Radi, Indra, Soleh, Taufik, Zay, Long, dan semua sahabat

kosan inun yang tidak bisa penulis sampaikan satu-persatu. Karena selalu

menghibur dengan candaan, bantuan dan motivasi selama proses pembuatan

(9)

viii

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi

penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat

bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Jakarta, 31 Desember 2013

Penulis,

(10)

ix

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI………. ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 5

E. Kerangka Konseptual ... 7

F. Metode Penelitian... 9

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan ... 16

(11)

x INDONESIA

A. Tinjauan Umum tentang Ombudsman ... 44

B. Sejarah Berdirinya Ombudsman Republik Indonesia ... 48

C. Struktur Organisasi Ombudsman Republik Indonesia ... 55

D. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia... 56

BAB IV KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA A. Ombudsman Republik Indonesia dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia ... 64

B. Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia dalam Menangani Kasus Berupa Dugaan Pelanggaran Pelayanan Publik Yang Dilakukan Oleh Penyelenggara Negara ... 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 86

(12)

xi

Indonesia

2. Alur penanganan laporan masyarakat atas tindakan maladministrasi oleh

penyelenggara negara kepada Ombudsman Republik Indonesia

3. Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masa ini, hukum merupakan sebuah instrumen untuk memperoleh

sebuah keadilan. Hukum merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan

yang berwenang yang berisi perintah ataupun larangan untuk mengatur tingkah

laku manusia guna mencapai keadilan, keseimbangan dan keselarasan dalam

hidup serta untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam

hidup.

Sesuai dengan pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang memiliki

konstitusi yang dikenal dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.1 Bertujuan

untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.2 Sebagaimana ada dalam

makna alinea ke-4 pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik

1

A. Abdullah dan Abdul Rozak, Demokrasi (Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani), (Jakarta: ICCE bekerja sama dengan Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. 3), h. 68.

2Makna alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

(14)

Indonesia. Ironisnya, pada saat ini hukum tidak berjalan sesuai dengan das sein

(apa yang seharusnya).

Pada dasarnya yang bertanggung jawab atas ketidaksesuaian hukum yang

telah terjadi saat ini adalah pemerintah, karena pemerintah merupakan

organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum

serta Undang-undang di wilayah tertentu. Fungsi utama pemerintah adalah

memberikan pelayanan, menyelenggarakan pembangunan dan

menyelenggarakan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya,

dengan menciptakan ketentraman dan ketertiban yang mengayomi dan

mensejahterakan masyarakatnya3. Selaras dengan prinsip-prinsip pokok Good &

Clean Governance bertujuan merealisasikan pemerintahan yang professional dan

akuntabel, baik, bersih dan berwibawa. Kemudian sejalan dengan prinsip

demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan tujuan utama dari implementasi

good and clean governance.

Pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai

aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah

3

(15)

dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap Penyelenggara

Negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional.4

Namun peraturan yang mengatur Ombudsman ini telah banyak menuai

kontroversi yang mengakibatkan kurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap

lembaga pemerintah yang mengatur semua jenis pengawasan peyelenggaraan

pelayanan publik. Seperti halnya UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman

Republik Indonesia yang substansi materi muatan hukumnya hampir sama

dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang secara

kontinuitas akan menimbulkan dualisme kewenangan.

Masyarakat memiliki peranan dalam proses membangun penegakan

Hukum untuk memperoleh keadilan, karena mereka adalah bagian, dan juga

sasaran, dari keadilan itu sendiri. Masyarakat adalah komponen yang semestinya

merasakan keadilan, dan bukan sebaliknya, menjadi obyek serta korban

ketidakadilan.

Masyarakat juga memiliki hak untuk melakukan pengawasan karena

penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan Negara yang berdasarkan

atas mandat yang diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pengawasan

oleh Ombudsman adalah pengawasan riil, yaitu pengawasan untuk memperoleh

pelayanan sebaik-baiknya dari aparatur pemerintah.

4

(16)

Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah dijelaskan, penulis tertarik

untuk membahas penelitian ini dengan judul “KEDUDUKAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, Penulis akan membatasi

permasalahan yang akan dibahas hanya Kedudukan Ombudsman sebagai

lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan

Indonesia kemudian tugas dan wewenang Ombudsman Republik Indonesia

dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan

pelayanan publik.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan ulasan yang penulis paparkan dalam latar belakang dan

permasalahan yang penulis sudah batasi, rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah:

a. Bagaimana kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas

(17)

b. Bagaimana tugas dan wewenang Ombudsman dalam menangani

kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan

publik ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Selaras dengan pembatasan dan rumusan masalah diatas, maka penelitian

ini bertujuan untuk :

a. Untuk mengetahui kedudukan Ombudsman sebagai lembaga

pengawas pelayanan publik dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

b. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Ombudsman dalam

menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan

pelayanan publik.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai

kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam

struktur ketatanegaraan Indonesia dan tugas dan wewenang Ombudsman

dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan

pelayanan publik.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, Penulis melakukan

penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini di

(18)

1. Judul Skripsi : PERAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

PERWAKILAN PROPINSI JAWA TIMUR DALAM PENYELESAIAN

LAPORAN ATAS DUGAAN MAL ADMINISTRASI PENYELENGGARA

PELAYANAN PUBLIK. (Studi Kasus di Wilayah Kerja Kota Surabaya).

Penulis : Heru Prasetyo / Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur / 2012

Penelitian ini didasarkan Permasalahan tentang Peran Ombudsman Republik

Indonesia Perwakilan Propinsi Jawa Timur Dalam Penyelesaian Laporan Atas

Dugaan Mal-administrasi Penyelenggara Pelayanan Publik. Sedangkan penulis,

menitikberatkan permasalahan tentang Kedudukan Ombudsman Dalam Struktur

Ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman dalam

menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan

publik

2. Judul Skripsi : PERANAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA.

Penulis : Lina Rubiyanti/ UMY/ 2010

Penelitian ini didasarkan pada permasalahan Peranan Ombudsman RI Untuk

mewujudkan Good Governance di Indonesia dan mengkaji Ombudsman RI

dalam penyelenggaraan pelayanan publik dalam kinerja penanganan laporan.

Sedangkan penulis didasarkan pada permasalahan tentang Kedudukan

(19)

wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran

dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

E. Kerangka Konseptual

Institusi pengawasan yang bernama “Ombudsman” pertama kali lahir di

Swedia, namun demikian sebenarnya Swedia bukanlah Negara pertama yang

membangun Sistem pengawasan Ombudsman. Pada zaman Romawi telah

terdapat intitusi “Tribunal Plebis” yang tugasnya hampir sama dengan

Ombudsman yaitu melindungi hak masyarakat lemah dan penyalahgunaan

kekuasaan oleh para bangsawan. Model yang demikian juga dapat dijumpai pada

kekaisaran Cina Dinasty Tsin pada tahun 221 SM.5

Ombudsman menurut Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang

Ombudsman Republik Indonesia adalah Ombudsman Republik Indonesia yang

selanjutnya disebut Ombudsman adalah Lembaga Negara yang mempunyai

kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang

diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang

diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,

dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang

diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau

5

(20)

seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara

dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Kemudian dalam menaungi Lembaga Ombudsman yang pada awalnya

telah dibentuk Komisi Ombudsman Nasional, yang diuraikan pada Pasal 2

Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman

Nasional yang dikatakan “Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan

masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang

melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat

mengenai penyelenggaraan Negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur

pemerintah termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat.

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang

Ombudsman Republik Indonesia, maka hal-hal yang diatur dalam Keputusan

Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional sudah

dihapus dan digantikan dengan Undang-undang terbaru.

Dalam literatur peraturan perUndang-undangan, Perbedaan Keputusan

Presiden dengan Peraturan, yakni suatu keputusan (beschikking) selalu bersifat

individual, kongkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig). Sedangkan, suatu

peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus

(21)

konkret, individual, dan sekali selesai. Begitupun dengan Ombudsman yang

menurut Undang-undang terbaru Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman

Republik Indonesia membaharui Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang

Komisi Ombudsman Nasional.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, Sistematis dan

konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;

Sistematis adalah berdasarkan suatu Sistem, sedangkan konsisten berarti

tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.6

Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.7

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode penelitian yuridis normatif/normatif yuridis, yaitu penelitian yang

dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, Cet. III), h. 42.

7Ibid.,

(22)

perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang

berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di

masyarakat.8

2. Pendekatan penelitian

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian

yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan yaitu:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan

pendekatan perndang-undangan, karena yang akan diteliti adalah

berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral

suatu penelitian.9 Penelitian ini dilakukan untuk meneliti aturan-aturan

yang penormaannya tentang Kedudukan Ombudsman dalam Struktur

Ketatanegaraan Indonesia dan wewenang Ombudsman dalam

menangani kasus berupa dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan

pelayanan publik.

b. Pendekatan konsep (conceptual approach)

Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep

tentang Ombudsman Republik Indonesia dalam mengawasi

penyelenggaraan pelayanan publik sehingga diharapkan penormaan

8

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.

9

(23)

dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang

bermakna ganda.

c. Pendekatan historis (historical approach), dan

Penelitian normatif yang menggunakan pendekatan sejarah

memungkinkan seorang peneliti untuk memahami hukum secara lebih

mendalam tentang suatu lembaga. Dengan mengetahui latar belakang

dan sejarah suatu lembaga, maka dapat diketahui permasalahan apa

saja yang dihadapi dan mempengaruhi lembaga tersebut.10

d. Pendekatan perbandingan (comparative approach).

Setiap kegiatan ilmiah lazimnya menerapkan metode

perbandingan. Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara

yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan

salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang

satu dengan lembaga hukum yang lain.11

Dari perbandingan itu, maka dapat ditemukan unsur-unsur

persamaan dan perbedaan kedua Sistem hukum itu.

Persamaan-persamaan akan menunjukkan inti dari lembaga hukum yang

diselidiki, sedangkan perbedaan-perbedaan disebabkan oleh adanya

10Ibid

., h. 318.

11

(24)

perbedaan suasana, iklim, budaya, dan sejarah masing-masing bangsa

yang bersangkutan.12

3. Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer

meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim13.

Dalam penelitian ini yang termasuk bahan Hukum primer adalah

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman

Republik Indonesia, Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi

Ombudsman Nasional, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009

Tentang Pelayanan Pubik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, naskah

akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ombudsman Republik

Indonesia, dan Peraturan Perundang-undangan terkait dengan

Ombudsman Republik indonesia.

b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

12

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum (Malang: Bayumedia Publishing, 2006, Cet. II),h. 313.

13

(25)

meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.14

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat

berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi,

Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum

sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan

non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas

wawasan peneliti.15

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam mengumpulkan Bahan hukum, yakni bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, maupun sumber non-hukum yang telah didapatkan

itu kemudian dikumpulkan berdasarkan rumusan masalah dan

diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian

rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih Sistematis untuk

menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan

hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu

14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. h. 141.

15

(26)

permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang

dihadapi16. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis

terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana

Kedudukan Hukum dalam Sistem kelembagaan Negara dan Tugas dan

Wewenang Ombudsman dalam menangani kasus berupa dugaan pelanggaran

dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun penulis berdasarkan buku petunjuk “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2012” dengan Sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing

bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti.

Adapun sistematikanya sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah; Batasan

dan Rumusan Masalah; Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu; Metode

Penelitian; dan Sistematika Penulisan.

BAB II : KEKUASAAN LEMBAGA INDEPENDEN

Bab ini Menjelaskan Mengenai Teori Pembagian dan Pemisahan

Kekuasaan; Konsep Checks and Balances Dalam Sistem

16

(27)

Ketatanegaraan Indonesia; dan Urgensi Kewenangan Ombudsman

Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK

INDONESIA

Pada bab ini akan diuraikan mengenai sejarah berdirinya

Ombudsman; yang terdiri atas pengertian, sejarah singkat sifat, asas

dan tujuan, falsafah, visi dan misi, kemudian struktur organisasi; serta

fungsi tugas dan wewenang lembaga Ombudsman.

BAB IV: OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS

PELAYANAN PUBLIK DALAM STRUKTUR

KETATANEGARAAN INDONESIA

Dalam bab ini menjelaskan tentang Ombudsman Republik Indonesia

sebagai lembaga pengawas pelayanan publik dalam struktur

ketatanegaraan Indonesia dan tugas serta wewenang Ombudsman

Republik Indonesia dalam menangani kasus berupa dugaan

pelanggaran terhadap penyelengaraan pelayanan publik.

BAB V : PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran penulis yang didapatkan berdasarkan

(28)

16

BAB II

KEKUASAN LEMBAGA INDEPENDEN

A. Teori Pembagian Dan Pemisahan Kekuasaan

Salah satu ciri Negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal state

atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut

rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraaan

kekuasaaaan Negara. Meskipun kedua istilah rechstsstaat dan rule of law itu

memiliki latar belakang sejarah dan pengertian berbeda, tetapi sama-sama

mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum

yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.17

Pada awalnya, teori pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikenal

sekarang merupakan pengembangan atas reformasi dari teori “pemisahan

kekuasaan”. Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali di Eropa barat sebagai

antitesa terhadap kekuasaan raja yang absolute sekitar abad pertengahan, yaitu

antara abad 14 samapai dengan abad ke 15. Kemudian pada abad ke 17 dan ke 18,

lahirlah suatu konsep atau gagasan untuk menarik kekuasaan membuat peraturan

dari raja dan selanjutya diserahkan kepada suatu badan kenegaraan yang berdiri

17

(29)

sendiri. Begitu pula pada akhir abad pertengahan terhadap kekuasaan kehakiman

telah diserahkan kepada suatu badan perwakilan.18

Istilah “Pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan

terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga

fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan

dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri

urusan masing-masing.19

Kemunculan teori pemisahan kekuasaan mengalami proses yang cukup

panjang. Hal itu dapat dicermati mulai dari penggunaan istilah “Trias Politica”.

Istilah trias politica awalnya oleh Emmanuel Kant, begitu pula secara substansi

pemikiran yang melandasinya sudah terlebih dahulu dan ditulis oleh Aristoteles.

1. Teori Pemisahan Kekuasaan John Locke

John Locke dilahirkan 26 Agustus 1632 dalam suatu keluarga dengan kelas

ekonomi menengah di Wrington, Inggris Barat. Ayahnya adalah seorang tuan

tanah dan pengacara. Ia memberikan pengaruh sangat besar pada cara berfikir

Locke.20

18

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1990), h. 2.

19

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 285.

20

(30)

John Locke adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari

inggris, dia hidup pada tahun 1632-1704, di bawah kekuasaan pemerintahan

willem III, yang bersifat pemerintahanya adalah monarki yang sudah agak

terbatas.21 Memang demikianlah, bahwa seluruh ajaran John Locke terutama

ajarannya tentang negara dan hukum.

John Locke dalam bukunya “Two Tritieses of Government” yang terbit Tahun

1690. Locke adalah seorang filusuf Inggris yang pertama kali menggagaskan

pentingnya kekuasaan dalam negara dipisahkan menjadi tiga bidang: pertama,

kekuasaan membentuk Undang-Undang (legislatif), kedua, kekuasaan eksekutif,

dan ketiga, kekuasaan federatif. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk

melaksanakan Undang-Undang mencakup juga kekuasaan mengadili. Kekuasaan

federatif adalah kekuasaan yang meliputi semua kekuasaan yang tidak termasuk

dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif.22

2. Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu

Montesquieu adalah seorang ahli pemikir besar yang pertama diantara

ahli-ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari perancis. Nama lengkapnya

adalah Charles Secondat, baron de Labrede et de Montesquieu. Dia adalah seorang

sarjana hukum, hidup pada tahun 1688-1755. Dia adalah seorang autodidact, yaitu

21

Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), h. 106.

22

(31)

seorang yang dengan pemikiran dan tenaganya sendiri telah memperoleh

kemajuan terutama dalam lapangan ilmu pengetahuan.23

Montesquieu berpendapat bahwa negara dalam bangunannya seperti

Undang-Undang, kebiasaan dan tradisinya adalah berlainan. Yang menyebabkan

berlainannya hal-hal di atas negara yang pernah dan masih ada itu adalah

perbedaan yang terdapat dalam situasi bangsa masing-masing, sifat

kebudayaannya, dan lain-lain syarat mengenai alam dan kebudayaannya seperti

iklim, tanah, kebiasaan, dan lain-lain.24

Montesquieu membangun suatu ajaran atau teori pemisahan kekuasaan yang

mengilhami teori John Locke. Hal itu tergambar dengan jelas dalam bukunya

De L’esprit Des Lois” yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut

dirumuskan “The Doctrine Of Separation Of Power States That The Legislative,

Executive, And Judicial Functions Of Government Should Be Independent”.

(doktrin pemisahan kekuasaan negara ke dalam fungsi-fungsi pemerintahan yang

independen: legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

3. Teori Pembagian Kekuasaan C. van Vollenhoven Donner

Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven

Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara

itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan

dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur

23

Soehino, Ilmu Negara, h. 116.

24

(32)

(penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv)

fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.25

Catur praja yang pertama adalah regeling (pengaturan) yang kurang lebih

identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu, Bestuur yang identik fungsi

pemerintahan eksekutif, rechtspraak (peradilan) dan politie yang menurutnya

merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan

peri kehidupan bernegara.26

Dari 3 teori di atas ada beberapa perbedaan antara teori John Locke

dengan Montesquieu27 kemudian perbedaan pendapat dengan C. van Vollenhoven

Donner, diantaranya pada kekuasaan kehakiman atau pengadilan, perbedaan yang

mendasar antara Locke dan Montesquieu. Bagi John Locke, berpendapat bahwa

kehakiman atau pengadilan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Bahkan

oleh John Locke pekerjaan pengadilan disebutkan pertama-pertama sebagai

pelaksanaan Undang-undang.

Namun bagi Montesquieu meskipun pemerintah dan pengadilan

dua-duanya melaksanakan hukum, namun ada perbedaan sifat antara dua macam

pekerjaan itu, yaitu pemerintah menjalankan hukum dalam tindakan sehari-hari,

25

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 34.

26

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 284.

27

(33)

sedangkan pengadilan hanya bertindak mengambil suatu putusan menurut hukum

dalam hal suatu pihak mengemukakan suatu pelanggaran hukum oleh lain pihak.

Berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut Van

Vollenhoven tidak hanya melaksanakan Undang-undang saja tugasnya, karena

dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas

negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal ialah

mempertahankan hukum secara preventif (preventive rechtszorg), mengadili

(menyelesaikan perselisihan) dan membuat peraturan (regeling).28

Di samping itu, dalam studi ilmu administrasi publik atau public

administration dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan ke dalam dua

fungsi saja. Kedua fungsi itu adalah : (i) fungsi pembuatan kebijakan (policy

making function); dan (ii) fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing

function).29

Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak

secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica

mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di

negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis.

Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya

adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila

28

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988), h.147.

29

(34)

diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ

negara penunjang.30 Istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum

digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada

kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara

penunjang” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis

lembaga tersebut. Mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih

“lembaga negara bantu” untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang

berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional.

Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang

kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula

lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga-lembaga

non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau

NGO non-governmental organization).

Lembaga negara bantu sekilas memang menyerupai NGO karena berada

di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, keberadaannya yang bersifat

publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk

kepentingan publik,31 membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti

sebenarnya.32 Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam

30

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006 ). h. 8.

31 31

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 11.

(35)

ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang

menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan

pemerintahan, seperti yang dinyatakan oleh Yves Meny dan Andrew Knapp :33

Regulatory and monitoring bodies are a new type autonomous

administration which has been most widely develoved in the United States

(where it is sometimes referred to as the headless fourth branch’ of the

government). It takes the form of what are generally known as

Independent Regulatory Commisions”

Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara

untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari

unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus

menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari

keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat,

rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi,

meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta

akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara

bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya

prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui

lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya.

33

(36)

Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu

adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk

mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian

dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder

mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu:

(1) Regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi

terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan

(2) Advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada

pemerintah;34

Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam Constitutional and

Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama yang melatarbelakangi

dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu

adalah sebagai berikut.35

1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan

yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan

politik.

2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat

non-politik.

34

John Alder, Constitutional and Administrative Law, (London: The Macmillan Press LTD, 1989), h. 232-233.

(37)

3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen,

seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum.

4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat

teknis.

5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi

untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute

resolution/ alternatif penyelesaian sengketa).

Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu sebenarnya sudah

terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden Soeharto. Kemunculan

lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan satunya-satunya di dunia. Di

negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir

lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya lembaga negara bantu merupakan

perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah

tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antar lembaga

negara.

Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga

negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan

pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya.

Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam

tiga kelompok.36 Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah

36

(38)

UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga

negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted

power). Ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan

presiden.37

Pembentukan lembaga-lembaga negara yang bersifat mandiri ini secara

umum disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan publik terhadap

lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan. Selain

itu pada kenyataannya, lembaga-lembaga negara yang telah ada belum berhasil

memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan

perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan berkembangnya

paham demokrasi di Indonesia.38

Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu yang bersifat

mandiri dan independen di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting yang dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang telah ada

sebelumnya akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang

mengakar dan sulit diberantas

37

Jimly Asshidiqie, “Perkembangan Ketatanegaraan Pasca-Perubahan UUD 1945 dan Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Nasional”. (makalah disampaikan pada seminar dan lokakarya nasional perkembangan ketatanegaraan pascaperubahan UUD 1945 dan pembaruan pendidikan hukum Indonesia, Jakarta, 7 September 2004), h. 7

38

T.M. Lutfhi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”,

(39)

2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan

tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu.

3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada dalam

melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan pada masa transisi menuju

demokrasi, baik karena persoalan internal maupun persoalan eksternal.

4. Adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan

beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara tambahan,

baik yang disebut sebagai state auxiliary institutions/organs/agencies

maupun institutional watchdog (lembaga pengawas), yang dianggap

sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga negara

yang telah ada merupakan bagian dari sistem yang harus diperbaiki.

5. Adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk

lembaga-lembaga negara tambahan tersebut sebagai prasyarat menuju

demokratisasi.

Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia,

maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik

Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi

berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga

negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta

dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan

(40)

Lembaga Negara adalah merupakan lembaga-lembaga atau organ publik

yang menjalankan pemerintahan dan tidak berada dibawah kendali presiden.

Bersifat “mandiri” secara etimologis berarti menunjukan kemampuan berdiri

sendiri. Ini menjelaskan bahwa istilah mandiri menunjuk pada tidak adanya

pengaruh dari luar atau bebas dari campur tangan kekuasaan lain atau

ketidaktergantungan dengan suatu lembaga kepada lembaga lainnya.

Menurut Jimly Asshidiqie bahwa independensi lembaga-lembaga Negara

sangat diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan

demokratisasi yang lebih efektif. Kemudian beliau menyebutkan lembaga-lembaga

sekarang ini menikmati kedudukan independen, diantaranya pada tingkatan

pertama, yaitu Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik

Indonesia (POLRI), dan Bank Indonesia sebagai Bank Central. Pada tingkatan

kedua juga muncul lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional dan Hak

Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi

Ombudsman Nasional (sekarang Ombudsman Republik Indonesia), Komisi

Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi,

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan Komisi peniyaran Indonesia

(KPI).

Secara garis besar Lembaga Negara di Indonesia terbagai dalam dua

kelompok, yaitu lembaga negara yang dibentuk melalui UUD dan lembaga negara

yang dibentuk di luar UUD. Lembaga Negara yang pembentukannya diluar UUD

(41)

negara secondary, dalam artian merupakan lembaga negara yang tidak terdapat

dalam konstitusi, namun dibentuk melalui Undang-undang (regulatory body).

Keberadaan Ombudsman di Indonesia memang sangat dibutuhkan

masyarakat dewasa ini dengan pertambahan penduduk dan beragamnya masalah

yang dialami oleh masyarakat dalam mendapatkan haknya sebagai warga negara.

Sehingga masyarakat dapat melaporkan keluhan yang dialaminya dengan cepat

kepada lembaga yang independen dan dengan tanpa biaya yaitu Ombudsman

Republik Indonesia.

Pengaturan Ombudsman dalam Undang-undang tidak hanya mengandung

konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan

cakupan kerja Ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam

undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah

Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan

yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki

kekuatan memaksa (subpoena power), rekomendasi yang bersifat mengikat,

investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi ombudsman dalam

menangani laporan.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang muncul, bahwa semuanya

memiliki makna pemisahan kekuasaan bertujuan agar penguasa atau pemerintah

dalam menjalankan tugas dan fungsi-fungsi pemerintahan mengindari dan tidak

(42)

memberikan ruang gerak terhadap pelaksanaan prinsip kebebasan dan

kemerdekaan.39

B. Konsep Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari lahirnya

konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu

cenderung untuk disalah gunakan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan, maka

dikembangkanlah teori pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh

John Locke. Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan

politik menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislative (legislative

power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif

(federative power).

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan lembaga membentuk

undang-undang dan peraturan-peraturan yang sifatnya fundamental lainnya. Kekuasaan

eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh

kekuasaan legislatif. Kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan

dengan hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga,

aliansi antarnegara, dan perjanjian-perjanjian dengan negara asing.

Kemudian tiga cabang kekuasaan ini kemudian dikembangkan oleh Baron

Montesquieu, teori ini dikenal dengan teori trias politica. Dalam teorinya,

kekuasaan politik dibagi dalam 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan

39

(43)

eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang

berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang suatu Negara.

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan

hukum tersebut. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman.

Kemudian menurut Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan Negara

tersebut harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ Negara. Satu organ

hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh saling mencampuri urusan

masing-masing dalam arti mutlak. Jika tidak demikian, kebebasan akan terancam.

Namun pada kenyataannya, teori yang di idealkan Monstesquieu tersebut

tidak dapat diterapkan pada Negara-negara dewasa ini. Kenyataannya ketiga

cabang kekuasaan tersebut tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan

ketiganya bersifat sederajat dan saling berhubungan satu sama lainnya. Dari

sinilah dikembangkan teori checks and balances.

Check and balances mengacu pada variasi atau aturan prosedur yang

memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi kekuasaan lainnya.40 Judicial

review adalah bukti pelanggaran batas atas prinsip pemisahan kekuasaan,

demikian juga impeachment presiden oleh legislatif. Tindakan-tindakan saling

mengimbangi dan mengawasi yang sekarang ini dipahami sebagai check and

balances.

40

(44)

Ketika gerakan reformasi berhasil menjebol sakralisasi UUD 1945,

banyak hal yang dikemukakan oleh masyarakat terutama kalangan akademisi,

berkaitan dengan gagasan untuk memperbaiki UUD 1945 agar mampu

membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang demokratis. Gagasan ini

menjadi niscaya karena berlakunya UUD 1945 dalam tiga periode sistem politik

ternyata di Indonesia tak pernah lahir sistem politik yang demokratis sehingga

selalu timbul korupsi dalam berbagai bidang kehidupan.41

Salah satu gagasan perubahan yang ketika itu ditawarkan adalah usulan

tentang sistem dan mekanisme checks and balances didalam sistem politik dan

ketatanegaraan. Usulan ini penting artinya karena selama era dua orde sebelumnya

dapat dikatakan bahwa checks and balances itu tidak ada. Dalam pembuatan UU

misalnya, seluruhnya didominasi oleh eksekutif, baik proses inisiatifnya maupun

pengesahannya. Selama era Orde Baru, tak pernah ada RUU datang dari inisiatif

DPR. Bahkan RUU yang semula berasal dari presiden pun pernah ditolak untuk

disahkan oleh presiden sendiri setelah disetujui oleh DPR melalui pembahasan

bersama pemerintah selama tak kurang dari 8 bulan. Dominasi eksekutif dalam

membuat, melaksanakan, dan menafsirkan UU menjadi begitu kuat didalam sistem

politik yang executive heavy42 karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan

UU. Waktu itu, tidak ada peluang pengujian oleh lembaga yudisial dalam apa yang

41

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara (Pasca Amandemen Konstitusi), cet. Ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Ke-2011), h. 67.

42Executive heavy,

(45)

dikenal sebagai judicial review atau (constitutional review) seperti sekarang.

Review atas UU hanya dapat dilakukan oleh lembaga legislative melalui legislative

review atau political review, padahal lembaga tersebut didominasi oleh presiden.43

Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 tidak

mengenal check and balances. MPR dianggap sebagai penjelmaan rakyat

Indonesia yang memegang kekuasaan tertinggi diantara lembaga-lembaga

lainnya. Yang mana berbeda dengan ajaran John Locke bahwa Negara tidak boleh

dipimpin atau dikuasai oleh seseorang atau satu lembaga yang sifatnya absolut

sehingga menjadi sewenang-wenang. MPR menetapkan UUD, mengangkat

Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara

(GBHN). Presiden ialah pengelenggara kekuasaan di bawah MPR yang

berkewajiban menjalankan haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR serta tunduk

dan bertanggung jawab kepada MPR. Oleh karena itu, siapapun Presiden yang

dapat menguasai MPR, kekuasaannya akan langgeng. Begitupun sebaliknya, jika

Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar kemungkinan

diturunkan dari kursi kepresidenannya.

Sistem check and balance mulai diterapkan setelah amandemen UUD

1945. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi

pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar

tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan pemerintahan

43

(46)

lainnya. Kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang

pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan

sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga

tinggi lainnya.

Itulah sebabnya, ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya

amandemen atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah

memasukan sistem checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga

eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara presiden dan DPR,

maka dominasi presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Dan jika dalam

waktu 30 hari sejak (disahkan) oleh presiden, maka RUU tersebut sah sebagai UU

dan wajib diundangkan tanpa harus ditandatangani oleh presiden [Pasal 20 ayat (1)

dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal hubungan antara yudikatif

dan legislatif, maka gagasan checks and balances mengumandangkan usul agar

lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Ini

pun kemudian diterima dan dituangkan di dalam Pasal 24 yang mengatur bukan

pengujian isi (uji materi) saja, tetapi juga pengujian prosedur (uji formal).

Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan Mahkamah

Agung menguji peraturan undangan dibawah UU terhadap

perundang-undangan yang diatasnya.44

(47)

C. Urgensi Kewenangan Ombudsman Dalam Bentuk Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kewenangan adalah hak dan

kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenangan (yang biasanya

terdiri atas beberapa wewenang) adalah kekuasaan terhadap segolongan

orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang

urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu

onderdil tertentu saja.45

Sedangkan pengawasan, Secara harfiah dari segi tata bahasa, kata “kontrol”

berarti pengawasan, pemeriksaan dan pengendalian.46 George R.Terry memberi

arti dari pengawasan (control) adalah menentukan apa yang telah dicapai,

mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil

yang sesuai dengan rencana.47

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari

adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan

dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan

yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara

efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang

45

Prajudi Atmosudirdja, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi VII (edisi revisi) cet. Ke-10, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 78.

46

Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ke-4, Perum dan Percetakan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1955), h. 523 dan 1134.

47

(48)

berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan

kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi seluas apa kebijakan

pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam

pelaksanaan kerja tersebut.

Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan

merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai

bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada

pihak di bawahnya.” Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai

tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan

mengandung makna pula sebagai: “pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan

unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang

dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.” atau “suatu usaha agar suatu

pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan

dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan

hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan

tindakan perbaikannya.”

Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai

sebagai proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan,

atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau

diperintahkan.

Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat

(49)

muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang

bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan

merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan

sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama

pentingnyadengan penerapan good governance itu sendiri. Dalam kaitannya

dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk

membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja

pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik

pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external

control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).

Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya

penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat

dilakukan adalah:

a. Mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;

b. Menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;

c. Mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.

Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang

bersifat struktural maupun fungsional. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang

secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu Dewan

Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia.

(50)

Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan

pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara.

Berbagai lembaga negara, Aparatur Pengawas Struktural, Pengawas

Fungsional serta Organisasi Non Pemerintah tersebut dapat diberikan beberapa

catatan sebagai berikut:48

1. Lembaga Pengawas Struktural sebagaimana selama ini dilakukan oleh

Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris

merupakan bagian dari kelembagaan terkait. Dalam menghadapi dan

ataupun menindaklanjuti laporan sangat ditentukan oleh atasan. Lagi pula

pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang

dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu

sendiri.

2. Lembaga Pengawas Fungsional meskipun tidak bersifat intern namun

substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek tertentu terutama

masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya

tidak menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka

melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik

yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan. Dengan kata lain

Aparat Pengawas Fungsional selain cakupannya sangat sempit juga kurang

memperhatikan penyimpangan-penyimpangan yang sering menjadi

48

(51)

keluhan langsung masyarakat kerena pengawasan yang dilakukan

merupakan kegiatan rutin.

3. Lembaga Pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam konstitusi

memang melakukan pengawasan namun pada satu sisi substansi yang

diawasi terlalu luas dan bersifat politis karena memang secara kelembagaan

Dewan Perwakilan Rakyat merupakan Lembaga Politik serta mewakili

kelompok-kelompok politik sehingga pengawasannya juga tidak terlepas

dari kepentingan-kepentingan kelompok yang mereka wakili. Sedangkan

Badan Pemeriksa Keuangan pada satu sisi substansi yang diawasi cukup

luas yaitu mengenai Keuangan Negara yang mencakup kebijakan ataupun

pengelolaannya, namun dari sisi lain juga dapat dikatakan terlalu sempit

karena hanya mengenai segi keuangannya saja, sementara aspek-aspek lain

dalam penyelenggaraan negara belum disentuh, apalagi

kepentingan-kepentingan warga yang bersifat individual dan bukan merupakan

penyimpangan sistem ataupun kebijakan jelas belum terakomodasikan.

4. Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah

menjadi trend dan berkembang pesat. Namun karena sifatnya swasta dan

kurang terfokus maka lebih banyak ditanggapi dengan sikap “acuh tak

acuh”. Terlebih lagi pengawasan yang dilakukan sering kurang data dan

lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi dan keseimbangan

fakta perlu lebih memperoleh perhatian. Terdapat jarak ataupun “jurang”

(52)

pemerintah yang disebabkan perbedaan landasan keberadaan mereka

masing-masing. Lembaga Swadaya Masyarakat eksistensinya berasal dari

masyarakat itu sendiri sementara lembaga negara secara formal dilandasi

oleh perundang-undangan yang berlaku sehingga dengan bertitik tolak dari

landasan yang berbeda tersebut muncul sikap resistensi satu sama lain.

Resistensi tersebut makin dalam manakala menghadapi suatu permasalahan

konkrit di mana Lembaga Pemerintah menggunakan parameter pranata

yang bersifat formil serta prosedur yang struktural hierarkis sementara

Organisasi Non Pemerintah mendekati permasalahan berdasarkan

kenyataan-kenyataan yang dihadapi dengan prosedur yang tidak hierarkis

karena LSM memang bukan merupakan institusi struktural.

Memperhatikan kenyataan-kenyataan di atas kiranya dapat dikemukakan

bahwa ternyata masih terdapat celah-celah secara mendasar yang belum

merupakan sasaran pengawasan dari Ombudsman Republik Indonesia. Dari aspek

kelembagaan juga belum ada lembaga yang secara optimal memperoleh

pengakuan dan diterima sebagai pengawas. Bahkan juga belum ada prosedur yang

dapat menjembatani antara mekanisme yang bersifat kaku sebagai akibat sistem

struktural hierarkis di satu pihak dengan mekanisme pendek dari suatu organisasi

yang tidak struktural hierarkis.

Dengan demikian diperlukan suatu jalan keluar yang diharapkan pada satu

sisi merupakan jalan tengah bagi kepentingan pengemban sistem struktural

(53)

mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus melewati

sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku.

Oleh karena itu, Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat

mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi

pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas

dari campur tangan kekuasaan lainnya.

Dilandasi oleh kondisi baik yang mencakup substansi pengawasan,

prosedur maupun kelembagaan maka Ombudsman Republik Indonesia merupakan

salah satu alternatif. Tentu di dunia ini tidak ada satu lembagapun yang dapat

merupakan obat ajaib dalam arti menyembuhkan segala macam penyakit dengan

seketika. Tetapi setidak-tidaknya sekarang ini sudah kurang lebih 130 negara

memiliki Ombudsman (dengan sebutan bermacam-macam) baik Ombudsman

Nasional maupun Ombudsman Daerah dan lebih dari 50 negara telah

mencantumkannya dalam konstitusi. Apabila banyak negara telah memiliki

Ombudsman tentunya mereka merasakan perlunya institusi ini dalam

penyelenggaraan negara demi kesejahteraan masyarakat.49

Sekarang ini Ombudsman Republik Indonesia telah menjadi salah satu ciri

dari suatu negara yang ingin menegakkan demokrasi, menyelenggarakan

pemerintahan yang baik, menghormati Hak Asasi Manusia serta memberantas

praktek-praktek korupsi.

49

(54)

Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

kewenangan Ombudsman Republik Indonesia memiliki kapasitas dalam bentuk

pengawasan terhadap pelayanan publik oleh penyelenggara Negara. Karena

pengawasan merupakan indikator pelayanan publik yang dibutuhkan oleh

masyarakat itu sejatinya seperti apa.

Dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang No.37 Tahun 2008 tentang

Ombudsman Republik Indonesia selain melakukan pengawasan juga memiliki

kewenangan sebagai berikut:

- Memanggil dan meminta keterangan secara lisan dan atau tertulis dari pihak

pelapor, terlapor dan atau pihak lain yang terkait dengan suatu laporan,

keluhan, atau informasi yang disampaikan kepada Ombudsman Daerah.

- Memeriksa semua keputusan dan atau dokumen-dokumen lainnya yang ada

pada pihak pelapor, terlapor dan atau pihak

Referensi

Dokumen terkait

Namun dengan hadirnya Ombudsman RI masih ba2nyak pelanggaran pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah sehingga perlu dilakukan penguatuan peran Ombudsman RI

Ombudsman Republik Indonesia (sebelumnya bernama Komisi Ombudsman Nasional) adalah lembaga Negara di Indonesia yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana ruang lingkupnya diatur berdasarkan Pasal 5 tersebut, dalam realita di lapangan penyelenggara pelayanan publik kerap

Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai kedudukan lembaga negara bantu, khususnya KPK, secara jelas sesuai sistem

Faktor permasalahan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau dalam mengawasi pelayanan publik di Kota Batam, yaitu kurangnya SDM, kurangnya anggaran,

Ombudsman adalah lembaga yang memiliki pengawasan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Daerah, Badan Hukum Milik

Penyelenggara Pelayanan Publik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peran Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Propinsi Jawa Timur Dalam Penyelesaian Laporan Atas

Tentu menjadi sebuah pertanyaan dan evaluasi tentang kedudukan Ombudsman Republik Indonesia mengingat bahwa lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan dalam memberikan