• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Keperawatan

2.2 Konsep Dasar Kepuasan Kerja .1 Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosi seseorang yang positif maupun menyenangkan yang dihasilkan dalam suatu pekerjaan atau pengalaman kerja (Luthans, 1998). Perawat yang merasa puas dalam pekerjaannya akan memberikan pelayanan lebih baik dan bermutu kepada pasien rumah sakit sehingga kepuasan pasien dan keluarga pasien juga terpenuhi, yang pada akhirnya meningkatkan citra dan pendapatan rumah sakit (Crose, 1999). Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya (Robbins, 2008).

Kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya (Howell & Dipboye, 1986). Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbins, 2006). Kepuasan kerja akan tercapai apabila karyawan dapat mencapai tiga kedudukan psikologis yang kritis dimana kedudukan psikologis tersebut yaitu: karyawan merasakan pekerjaan sebagai sesuatu yang penting dan bermanfaat; karyawan mengalami bahwa ia bertanggung jawab terhadap pekerjaan itu secara individu maupun hasil; dan karyawan dapat merasakan hasil apa yang dicapai dan apakah hasil tersebut memuaskan atau tidak (Roziqin, 2010). Kepuasan kerja didapatkan dalam berbagai bentuk secara finansial dan non-finansial (fisik, emosional, dan intelektual) (Simamora, 2012).

Rasa puas dapat dicapai karena adanya motivasi dalam diri individu (Mangkunegara, 2004). Ada beberapa teori dimensi motivasi kepuasan kerja, diantaranya yaitu:

1. hierarki kebutuhan (need hierarchy)

Hierarki kebutuhan (need hierarchy) dikembangkan oleh Abraham Maslow. Maslow memandang bahwa kebutuhan manusia tersusun atas suatu hierarki atau urutan kebutuhan, mulai dari kebutuhan yang paling mendasar (kebutuhan fisiologis) sampai kebutuhan yang paling tinggi (aktualisasi diri) (Suarli & Bahtiar, 2009). Menurut Maslow orang akan berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih pokok dulu (fisiologis) sebelum beralih pada kebutuhan yang lebih tinggi (Suarli & Bahtiar, 2009). Apabila kebutuhan tingkat bawah sudah terpenuhi maka akan naik ke kebutuhan tingkat atas, tetapi bila sudah mencapai tingkatan tertinggi, tidak akan turun lagi ke tingkatan dibawahnya (Kurniadi, 2013). Hierarki kebutuhan Maslow adalah sebagai berikut: physiological needs (kebutuhan fisik/fisiologis), safety and security needs (kebutuhan keamanan dan keselamatan), belongingness, social and love needs (kebutuhan rasa memiliki, berinteraksi sosial, dan cinta), esteem needs (kebutuhan pengakuan harga diri), dan self actualization needs (kebutuhan aktualisasi diri).

Kebutuhan fisik merupakan tingkat kebutuhan terendah (Kurniadi, 2013) yang berkaitan langsung dengan fisik manusia. Manusia dalam mempertahankan hidup harus memenuhi kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, tempat tinggal, pakaian, seks, kesehatan badan, dan semua yang berhubungan dengan biologis tubuh (Kurniadi, 2013; Suarli & Bahtiar, 2009).

Kebutuhan keamanan dan keselamatan merupakan tingkat kebutuhan kedua (Kurniadi, 2013) dimana manusia butuh akan kebebasan dari ancaman baik berupa ancaman kejadian atau ancaman dari lingkungan (Suarli & Bahtiar, 2009). Manusia membutuhkan rasa aman agar bisa memenuhi kebutuhan lainnya seperti jauh dari gangguan atau kejahatan orang lain, tidak merasa dibawah tekanan orang atau situasi, serta merasa terpenuhi kebutuhan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan sehari-seharinya (Kurniadi, 2013), misalnya gaji tetap sehingga bisa melakukan perencanaan regular (Suarli & Bahtiar, 2009).

Kebutuhan rasa memiliki, berinteraksi sosial, dan cinta merupakan tingkat kebutuhan ketiga (Kurniadi, 2013). Individu bebas mengadakan hubungan dengan orang lain tanpa ada rasa dibenci seperti: pertemanan, afiliasi, interaksi, pernikahan, dan kerja sama dalam tim (Suarli & Bahtiar, 2009; Kurniadi, 2013). Individu merasa menjadi bagian dari lingkungannya jika individu tersebut mampu mencintai orang lain dan dicintai oleh orang lain, merasa saling membutuhkan satu sama lain, dan membina hubungan baik antar tenaga kesehatan dikantor atau dengan kelompok/masyarakat dimanapun berada (Kurniadi, 2013).

Kebutuhan pengakuan harga diri merupakan tingkat kebutuhan ke empat (Kurniadi, 2013).

Kebutuhan pengakuan harga diri merupakan kebutuhan untuk menghargai diri sendiri (Suarli & Bahtiar, 2009) maupaun mendapat penghargaan dari orang lain, misalnya pencapaian posisi atau jabatan tertentu (Suarli & Bahtiar, 2009; Kurniadi, 2013). Individu akan merasa diakui apabila dirinya dihargai dan dapat diterima oleh kelompok/masyarakat, seseorang harus memiliki identitas diri yang

jelas baik berupa status atau kedudukan tertentu, tetapi yang diharapkan individu disini adalah hanya sekedar ada pengakuan keberadaannya dari orang lain (Kurniadi, 2013).

Kebutuhan aktualisasi diri merupakan tingkat kebutuhan tertinggi, apabila individu sudah mencapai tingkatan ini diharapkan tidak turun ke tingkatan kebutuhan dibawahnya lagi, individu dituntut untuk melaksanakan pengabdian yang terbaik dan ikhlas demi orang lain atau kerja sosial agar lebih bermanfaat bagi orang lain (Kurniadi, 2013). Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk bisa memaksimumkan kemampuan, keahlian, dan potensi diri misalnya dalam menghadapi tantangan kerja (Suarli & Bahtiar, 2009; Kurniadi, 2013).

Tabel 2.1

The need hierarchy

Teori Penjelasan

The need hierarchy (Maslow) 1. Fisiologi = gaji pokok

2. Aman = perencanaan yang regular (gaji)

3. Kasih sayang = kerjasama secara tim 4. Harga diri = pencapaian posisi

5. Aktualisasi = tantangan dalam bekerja

(Sumber: Nursalam, 2002)

2. teori existence, relatedness, growth (ERG)

Teori ERG merupakan modifikasi dari teori hierarki Maslow yang dikemukakan oleh Clayton Alderfer (Kurniadi, 2013), serupa dengan hierarki kebutuhan Maslow karena juga memandang kebutuhan manusia sebagai suatu

hierarki (Suarli & Bahtiar, 2009). Ada Tiga hierarki dalam teori ERG yaitu: existence (eksistensi), relatedness (keterkaitan), dan growth (pertumbuhan).

Kebutuhan yang bisa dipuaskan oleh faktor-faktor seperti makanan, minuman, udara, upah, dan kondisi kerja (Suarli & Bahtiar, 2009). Bila dibandingkan dengan teori hierarki Maslow maka termasuk dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan keamanan (Suarli & Bahtiar, 2009; Hariandja, 2007). Kebutuhan yang bisa dipuaskan oleh hubungan sosial dan hubungan antarpribadi (Suarli & Bahtiar, 2009). Manusia memerlukan kehidupan yang baik dengan cara bisa membina hubungan dengan orang lain, serta manusia butuh dihargai sebagai individu dan kelompok, saling membutuhkan dan saling bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan dengan orang lain (Hariandja, 2007). Bila dibandingkan dengan teori hierarki Maslow maka termasuk kebutuhan rasa memiliki, sosial dan cinta serta kebutuhan pengakuan harga diri (Suarli & Bahtiar, 2009; Hariandja, 2007).

Kebutuhan yang bisa dipuaskan bila seseorang memberikan kontribusi yang kreatif dan produktif (Suarli & Bahtiar, 2009). Pertumbuhan adalah keinginan untuk diakui sebagai individu yang bermanfaat bagi orang lain, individu tersebut sudah mencapai tujuan hidup sehingga akan membantu memenuhi kebutuhan orang lain (Hariandja, 2007).

Bila dibandingkan dengan teori Maslow maka termasuk tingkatan aktualisasi diri (Suarli & Bahtiar, 2009; Hariandja, 2007). Teori ERG juga menyatakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi mengalami kekecewaan,

maka kebutuhan yang lebih rendah akan kembali walaupun sudah pernah terpuaskan (Suarli & Bahtiar, 2009).

Tabel 2.2 ERG theory

Teori Penjelasan

ERG theory (Clayton Alderfer) 1. E = Existence (fisiologi dan aman) 2. R = Relatedness (kasih sayang) 3. G = Growth (harga diri dan

aktualisasi) (Sumber: Nursalam, 2002)

3. teori dua faktor (two-factors theory) atau motivator-hygienes theory

Teori dua faktor (two-factors theory) dikemukakan oleh Federick Herzberg yang meyakini bahwa karyawan dapat dimotivasi oleh pekerjaannya sendiri dan di dalamnya terdapat kepentingan yang bisa disesuaikan dengan tujuan organisasi (Suarli & Bahtiar, 2009). Menurut teori ini seseorang akan melakukan pekerjaan karena dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (Danim, 2004). Faktor-faktor penyebab ketidakpuasan berasal dari kondisi ekstrinsik (di luar) pekerjaan atau konteks pekerjaan (job context) seperti gaji, kondisi kerja, jaminan pekerjaan, prosedur perusahaan, kebijakan perusahaan, mutu supervisi, hubungan dengan supervisor, hubungan dengan rekan sejawat, hubungan dengan bawahan, status (Suarli & Bahtiar, 2009), reward dan punishment, budaya kerja, teknik kerja, pedoman penilaian kerja, dan audit (Hariandja, 2004).

Faktor yang menyebabkan ketidakpuasan (dissatisfier) disebut juga dengan faktor hygienes (Suarli & Bahtiar, 2009), karena ada beberapa hal yang kurang memuaskan dari apa yang diinginkan dari pekerjaannya (Hariandja, 2007). Faktor-faktor penyebab kepuasan berasal dari kondisi intrinsik (di dalam) pekerjaan atau isi pekerjaan (job content) seperti prestasi, pengakuan, tanggung

jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, dan kemungkinan berkembang (Suarli & Bahtiar, 2009; Hariandja, 2007). Faktor pemuas (satisfier) disebut juga faktor motivator (Suarli & Bahtiar, 2009), karena akan bisa menjadi faktor pendorong yang kuat untuk bekerja menjadi lebih baik sehingga memuaskan individu (Hariandja, 2007).

Tabel 2.3

Two-factors theory

Teori Penjelasan

Two-factors theory (Frederich Herzberg)

1. Motivators = kepuasan kerja

2. Hygiene = lingkungan yang kondusif

(Sumber: Nursalam, 2002)

4. teori kebutuhan yang dipelajari (learned needs theory)

Teori kebutuhan yang dipelajari (learned needs theory) yang dikemukakan oleh McClelland adalah teori yang berkaitan erat dengan konsep belajar, teori ini menyatakan bahwa melalui kehidupan dalam suatu budaya seseorang belajar tentang kebutuhannya (Suarli & Bahtiar, 2009). Tiga dari kebutuhan yang diperlajari ini adalah sebagai berikut: kebutuhan berprestasi (need for achievement), kebutuhan berkuasa (need for power), dan kebutuhan berafiliasi atau menjalin hubungan (need for affiliation).

Kebutuhan berprestasi yaitu keinginan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dari yang sebelumnya dan tidak dimiliki oleh orang lain, karena motivasi ini individu akan mau mengikuti pendidikan dan pelatihan (Hariandja, 2007), menyelesaikan pekerjaan yang menantang, memenangkan kompetisi, dan bisa menyelesaikan masalah dengan baik (Suarli & Bahtiar, 2009). Kebutuhan berkuasa yaitu keinginan untuk memiliki kekuasaan sehingga bisa menjadi

pemimpin dan memiliki bawahan yang berada dibawah pengaruhnya, karena motivasi ini individu akan mencari bagaimana caranya mendapatkan jabatan dengan berbagai cara (Hariandja, 2007), kekuasaan untuk memerintah orang lain atau kekuasaan untuk menentukan kebijakan (Suarli & Bahtiar, 2009). Kebutuhan berafiliasi atau menjalin hubungan yaitu keinginan untuk berhubungan dengan orang lain dan selalu bekerja sama dengan orang lain (Hariandja, 2007), menjalin pertemanan atau persahabatan (Suarli & Bahtiar, 2009). Perawat adalah profesi yang selalu berhubungan dengan orang lain dan bekerjasama dengan orang lain dalam meningkatkan pelayanan keperawatan yang bermutu tinggi, sehingga kecenderungan berafiliasi lebih tinggi daripada kebutuhan untuk berprestasi dan berkuasa (Kurniadi, 2013).

Tabel 2.4 Learned theory

Teori Penjelasan

Learned theory (McClelland) 1. Affiliation = bersahabat

2. Power = memerintah orang lain

3. Achievement = suka tantangan, kompetisi, dan menyelesaikan masalah secara efektif

(Sumber: Nursalam, 2002)

2.2.3 Faktor-Faktor Kepuasan Kerja

Ada lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu (Ghiselli & Brown, 2003), pertama yaitu kedudukan, pada umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang berkerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa puas daripada yang pekerjaannya lebih rendah. Sesungguhnya hal tersebut tidak

selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaannyalah yang mempengaruhi kepuasan kerja. Kedua yaitu golongan, seseorang yang memiliki golongan yang lebih tinggi umumnya memiliki gaji, wewenang dan kedudukan yang lebih dibandingkan yang lain, sehingga menimbulkan perilaku dan perasaan yang puas terhadap pekerjaannya. Ketiga yaitu umur, terdapat hubungan antara umur dengan kepuasan kerja, dimana umur antara 25-34 tahun dan umur 40-45 tahun merupakan umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan. Keempat yaitu jaminan finansial dan jaminan sosial, jaminan finansial dan jaminan sosial umumnya berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Kelima yaitu mutu pengawasan, kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan dengan bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja.

Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: motivasi, lingkungan, dan peran manajer. Menurut Nursalam (2002) fungsi manajer dalam meningkatkan kepuasan kerja staf didasarkan pada faktor-faktor motivasi yang meliputi: keinginan untuk peningkatan; percaya bahwa gaji yang didapatkan sudah mencukupi; memiliki kemampuan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diperlukan; umpan balik; dan kesempatan untuk mencoba.

Faktor-faktor motivasi selanjutnya yaitu instrumen penampilan untuk promosi, kerjasama, dan peningkatan penghasilan. Motivasi seseorang akan timbul apabila mereka diberi kesempatan untuk mencoba dan mendapat umpan balik dari hasil yang diberikan, oleh karena itu penghargaan psikis dalam hal ini

sangat diperlukan agar seseorang merasa dihargai dan diperhatikan serta dibimbing manakala melakukan suatu kesalahan (Nursalam, 2002).

Menurut Nursalam (2002) faktor lingkungan juga memegang peranan yang penting dalam motivasi meliputi: 1) komunikasi, yaitu penghargaan terhadap usaha yang telah dilaksanakan, pengetahuan tentang kegiatan organisasi dan rasa percaya diri berhubungan dengan manajemen organisasi; 2) potensial pertumbuhan, yaitu kesempatan untuk berkembang, karir dan promosi; dukungan untuk tumbuh dan berkembang: pelatihan, beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, pelatihan manajemen bagi staf yang dipromosikan; 3) kebijaksanaan individu yaitu mengakomodasi kebutuhan individu: jadwal kerja, liburan, dan cuti sakit serta pembiayaan; keamanan pekerjaan; loyalitas organisasi terhadap staf, menghargai staf: agama, latar belakang; adil dan konsisten terhadap keputusan organisasi; 4) upah/gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup; dan 5) kondisi kerja yang kondusif.

Peran manajer dapat mempengaruhi faktor motivasi dan lingkungan, secara umum peran manajer dapat dinilai dari kemampuannya dalam memotivasi dan meningkatkan kepuasan staf, kepuasan kerja staf dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikis, dimana kebutuhan psikis tersebut dapat terpenuhi melalui peran manajer dalam memperlakukan stafnya (Nursalam, 2002). Hal ini perlu ditanamkan kepada manajer agar diciptakan suatu keterbukaan dan memberikan kesempatan kepada staf untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya (Nursalam, 2002). Manajer mempunyai lima dampak terhadap faktor lingkungan dalam tugas profesional sebagaimana dibahas sebelumnya:

komunikasi, potensial perkembangan, kebijaksanaan, gaji atau upah, dan kondisi kerja (Nursalam, 2002).

Ada 12 kunci utama dalam kepuasan kerja: input; hubungan manajer dan staf; displin kerja; lingkungan tempat kerja; istirahat dan makan yang cukup; diskriminasi; kepuasan kerja; penghargaan penampilan; klasifikasi kebijaksanaan, prosedur, dan keuntungan; mendapatkan kesempatan; pengambilan keputusan; gaya manajer (Nursalam, 2002; Kuntoro, 2010).

Indikator yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja: 1) kepuasan terhadap gaji, gaji merupakan upah yang diperoleh seseorang sebanding dengan usaha yang dilakukan dan sama dengan upah yang diterima oleh orang lain dalam posisi yang sama (Robbins, 2007). Beberapa studi menyatakan bahwa gaji selalu menempati nomor enam dari enam prediktor yang menentukan kepuasan kerja perawat (Stamps, 1997); 2) kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, sejauh mana pekerjaan menyediakan kesempatan seseorang untuk belajar memperoleh tanggung jawab dalam suatu tugas tertentu dan tantangan untuk pekerjaan yang menarik (Robbins, 2007).

3) kepuasan terhadap sikap atasan, sejauh mana perhatian bantuan teknis dan dorongan ditunjukkan oleh supervisor terdekat terhadap bawahan, atasan yang memiliki hubungan personal yang baik dengan bawahan serta mau memahami kepentingan bawahan memberikan kontribusi positif bagi kepuasan pegawai, dan partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan memberikan dampak positif terhadap kepuasan pegawai (Robbins, 2007); 4) kepuasan terhadap rekan kerja, bagi kebanyakan pegawai, kerja merupakan salah satu cara untuk memenuhi

kebutuhan interaksi sosial, oleh karena itu mempunyai rekan kerja yang menyenangkan dapat meningkatkan kepuasan kerja (Robbins, 2007); dan 5) kepuasan terhadap promosi, keinginan untuk promosi mencakup keinginan untuk pendapatan yang lebih tinggi, status sosial, pertumbuhan secara psikologis dan keinginan untuk rasa keadilan (Robbins, 2007).

Menurut Society for Human Resource Management (SHRM) pada tahun 2013 faktor kepuasan kerja pegawai (employee job satisfaction) (SHRM, 2013): 1. perkembangan karir (career development) yaitu: kesempatan untuk

menggunakan keterampilan/kemampuan (opportunities to use skills/abilities); kesempatan memajukan karir dalam organisasi (career advancement opportunities within organization); pelatihan kerja khusus (job-specific training); komitmen organisasi untuk pengembangan profesi (organization’s commitment to professional development); kesempatan mengembangankan karir (career development opportunities); pembayaran pelatihan dan program pembayaran ulang uang kuliah (paid training and tuition reimbursement programs); dan jaringan (networking).

2. hubungan pegawai dengan manajemen (employee relationships with management) yaitu: hubungan dekat dengan supervisor (relationship with immediate supervisor, komunikasi antar pegawai dan pimpinan senior (communication between employees and senior management), otonomi dan kebebasan (autonomy and independence), dan pengakuan pimpinan terhadap penampilan kerja pegawai (management’s recognition of employee job performance).

3. bayaran dan keuntungan (compensation and benefits) yaitu: bayaran (compensation/pay) dan keuntungan (benefits).

4. lingkungan kerja (work environment) yaitu: keamanan kerja (job security), keseimbangan keuangan organisasi (organization’s financial stability), pekerjaan itu sendiri (the work itself), keselamatan lingkungan kerja (feeling safe in the work environment), semua yang tergabung dalam budaya (overall corporate culture), hubungan dengan teman sekerja (relationship with co-workers), makna pekerjaan (meaningfulness of the job), kontribusi kerja terhadap tujuan bisnis organisasi (contribution of work to organization’s business goals), jenis pekerjaan (variety of work), komitmen organisasi terhadap hubungan pertanggungjawaban sosial (organization’s commitment to corporate social responsibility), komitmen organisasi dalam membedakan dan sampai pada kekuatan pekerja (organization’s commitment to a diverse and inclusive workforce), dan komitmen organisasi terhadap lingkungan kerja yang asri (organization’s commitment to a “Green” workplace).

2.2.4 Pengukuran Kepuasan Kerja

Pengukuran kepuasan kerja (Maryanto, Pujiyanto, & Setyono, 2013; Paramarta & Haruman, 2005):

1. pengukuran kepuasan kerja dengan skala indeks deskripsi jabatan

Skala pengukuran ini dikembangkan oleh Smith, Kendall, dan Hullin pada tahun 1969. Dalam penggunaannya, pegawai ditanya mengenai pekerjaan maupun jabatannya yang dirasakan sangat baik dan sangat buruk, dalam skala mengukur sikap dari lima area yaitu kerja, pengawasan, upah, promosi dan co-worker. Setiap

pertanyaan yang diajukan harus dijawab oleh pegawai dengan cara menandai jawaban ya, tidak atau tidak ada jawaban.

2. pengukuran kepuasan kerja berdasarkan ekspresi wajah

Mengukur kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Kunin pada tahun 1955. Skala ini terdiri dari segi gambar wajah-wajah orang mulai dari sangat gembira, gembira, netral, cemberut, dan sangat cemberut. Pegawai diminta untuk memilih ekspresi wajah yang sesuai dengan kondisi pekerjaan yang dirasakan pada saat itu. 3. pengukuran kepuasan kerja dengan kuesioner minnesota

Pengukuran kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Weiss, Dawis, dan England pada tahun 1967. Skala ini terdiri dari pekerjaan yang dirasakan sangat tidak puas, tidak puas, netral, memuaskan, dan sangat memuaskan. Pegawai diminta memilih salah satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya.

2.2.5 Klasifikasi Kepuasan

Tingkat kepuasan dapat diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan sebagai berikut (Gerson, 2004):

1. sangat memuaskan

Sangat memuaskan diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan seseorang yang menggambarkan sepenuhnya atau sebagian besar sesuai kebutuhan atau keinginan. Seluruhnya menggambarkan tingkat kualitas yang paling tinggi.

2. memuaskan

Memuaskan diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan seseorang yang menggambarkan tidak sepenuhnya atau sebagian sesuai kebutuhan atau keinginan. Seluruhnya ini menggambarkan tingkat kualitas yang kategori sedang.

3. tidak memuaskan

Tidak memuaskan diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan seseorang yang rendah. Menggambarkan tidak sesuai kebutuhan atau keinginan.

4. sangat tidak memuaskan

Sangat tidak memuaskan diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan seseorang yang rendah, menggambarkan tidak sesuai kebutuhan atau keinginan. Seluruh hal ini menggambarkan tingkat kualitas yang kategori paling rendah.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pelayanan kesehatan merupakan suatu bentuk pemberian layanan kepada klien di bidang kesehatan, layanan kesehatan yang diberikan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan klien, dimana pemberian layanan kesehatan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan di unit kesehatan seperti rumah sakit (Iskandar, 1998). Bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 tahun 2015 berupa pelayanan kedokteran dan pelayanan keperawatan (Perpres RI No 77, 2015). Pemberian layanan kesehatan khususnya layanan keperawatan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2014 merupakan tugas seorang perawat, dimana tugas utama perawat dalam pelayanan keperawatan adalah memberikan asuhan keperawatan profesional kepada klien di rumah sakit (UU RI No 38, 2014).

Rumah sakit merupakan institusi kesehatan yang menyediakan berbagai pelayanan kesehatan dalam bentuk praktik keperawatan seperti pelayanan kesehatan di rumah, pelayanan untuk rawat jalan dan juga rawat inap (Nursalam, 2002). Klien yang berada di rawat inap tentunya membutuhkan pelayanan keperawatan prima dari perawat berupa pelayanan keperawatan profesional, berkualitas, efektif, dan efisien (Sitorus & Panjaitan, 2011).

Sumber daya manusia terbesar di rumah sakit adalah tenaga keperawatan yaitu sebesar 40%-60% (Swansburg, 2000). Perawat merupakan tenaga kesehatan yang berada 24 jam memberikan asuhan keperawatan kepada klien di rumah sakit (Arwani & Supriyatno, 2005). Pelayanan keperawatan merupakan indikator yang menentukan baik buruknya kualitas rumah sakit (Aditama, 2002). Ada beberapa indikator yang harus diperhatikan oleh pihak rumah sakit, salah satunya adalah memperhatikan tingkat kepuasan kerja perawat (Simamora, 2012). Tingkat kepuasan kerja perawat menjadi sangat penting karena perawat yang tidak terpenuhi hak-haknya akan merasa kecewa dan tidak puas (Pohan, 2006).

Kondisi yang dapat memicu ketidakpuasan perawat berupa kebutuhan-kebutuhan dasar perawat yang belum terpenuhi berhubungan dengan kondisi kerja, pengawasan atasan, kerja sama dari teman sekerja, keamanan, kesempatan untuk maju, fasilitas kerja, gaji, dan faktor lainnya (Simamora, 2012). Di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Jerman menunjukkan bahwa 41% perawat di rumah sakit mengalami ketidakpuasan dengan pekerjaannya dan 22% diantaranya merencanakan meninggalkan pekerjaannya dalam satu tahun (Baumann, 2007). Perawat mengalami kepuasan kerja tingkat rendah hingga sedang (Curtis, 2007).

Berdasarkan data dari Society for Human Resource Management (SHRM) pada tahun 2013 di Amerika 81% dari pegawai melaporkan secara keseluruhan bahwa mereka puas dengan pekerjaannya (SHRM, 2013). Kepuasan kerja perawat di Rumah Sakit Umum Calabar Nigeria pada tahun 2015 berada pada tingkat sedang (moderately) (Edoho, Bamidele, Neji & Frank, 2015).

Penelitian di Rumah Sakit Umum Pakistan terdapat 51,5% perawat puas terhadap pekerjaan mereka (Dar, Haq & Quratulain, 2015). Lingkungan kerja perawat belum optimal di Asia seperti pendapatan perawat yang rendah, fasilitas kesehatan yang buruk dan tidak aman bagi staf perawat, rasio perawat pasien yang tidak optimal, hubungan tim kerja yang perlu penguatan, perawat mengalami kekerasan fisik, kurang perlindungan dalam pekerjaan dan beberapa fasilitas yang tidak memuaskan (WHO, 2003).

Penelitian di Indonesia telah dilakukan oleh Setyawan bahwa kebanyakan perawat berada pada kepuasan kerja yang rendah (Setyawan, 2002). Ningtyas menemukan sebesar 55,8% perawat di rumah sakit pemerintah mengalami kepuasan kerja rendah (Ningtyas, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Lumbatorium bahwa di Rumah Sakit Umum Pemerintah H. Adam Malik terdapat lingkungan kerja perawat yang kurang baik sebesar 48,2% (Lumbatorium, 2005). Penelitian Maridi di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi terdapat hubungan antara lingkungan kerja dengan kepuasan kerja perawat (Maridi, 2006). Terdapat tenaga keperawatan keluar dari rumah sakit swasta di Demak (Maryanto, Pujiyanto & Setyono, 2013). Hasil penelitian Sari di unit rawat inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan pada tahun 2005 menunjukkan kepuasan kerja perawat masih rendah yaitu sebesar 41,30% (Sari, 2005). Rata-rata tingkat kepuasan kerja perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Pasaman Barat masih rendah yaitu 56,78% (Muslim, 2010).

Kepuasan kerja perawat di Rumah Sakit Stella Maris Makassar pada tahun 2013 sebesar 60,8%, kepuasan kerja perawat di rumah sakit ini masih rendah

karena berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kepala Bagian Umum Rumah Sakit Stella Maris target yang ingin dicapai rumah sakit tersebut untuk kepuasan kerja perawat adalah 85%, selama 4 tahun terakhir terdapat penurunan tingkat kepuasan kerja perawat di rumah sakit ini yaitu pada tahun 2010 sebesar 84,53%,

Dokumen terkait